Bab
II
Tahun 2002 menjadi
tonggak penting bagi warga masyarakat (rakyat) Seruyan. Di tahun itu, melalui
penetapan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2002, Provinsi Kalimantan Tengah
yang semula hanya terdiri dari lima kabupaten plus satu kota berubah membawahi
13 kabupaten plus satu kota. Salah satu kabupaten baru di Kalimantan Tengah itu
adalah Kabupaten Seruyan.
Mengaca pada
penerbitan dan penetapan UU Nomor 5 Tahun 2002 tersebut tampak jelas bahwa
perjalanan Seruyan tak dapat dilepaskan dari bagaimana lika-liku historis
provinsi ke-17 (Kalimantan Tengah) dalam perjalanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) itu.
A.
Sekilas
Historis Provinsi Kalimantan Tengah
Pada era awal
kemerdekaan Indonesia, setelah masa pemulihan kedaulatan yang ditandai dengan
Konperensi Meja Bundar (KMB), pada tanggal 14 Agustus 1950 Pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950
yang menetapkan pembagian wilayah RIS atas 10 Provinsi (Provinsi
Administratif), satu di antaranya adalah Propinsi Kalimantan. Provinsi
Kalimantan meliputi tiga Karesidenan yakni Karesidenan Kalimantan Barat, Karesidenan
Kalimantan Selatan dan Karesidenan Kalimantan Timur. Eks Daerah Otonom Dayak
Besar dan Swapraja Kotawaringin dibentuk menjadi tiga Kabupaten –masing-masing Kabupaten
Kapuas, Kabupaten Barito dan Kabupaten Kotawaringin-- yang bersama-sama Daerah
Otonom Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara, digabung ke dalam Karesidenan
Kalimantan Selatan.
Rupanya rakyat di tiga
kabupaten itu merasa kurang puas bila sekadar menjadi bagian dari Karesidenan
Kalimantan Selatan. Sebab itu, tahun 1952 muncul tuntutan dari rakyat di tiga
Kabupaten tersebut agar wilayah mereka dibentuk menjadi Provinsi Otonom dengan
nama Provinsi Kalimantan Tengah. Tuntutan yang demikian terus menggelora dan
disampaikan baik kepada Pemerintah Daerah Kalimantan maupun kepada Pemerintah
Pusat melalui jalur demokrasi oleh partai-partai politik dan organisasi
kemasyarakatan. Aspirasi itu semakin menguat mengingat betapa luasnya wilayah Kalimantan
Tengah yang tidak akan cukup berkembang bila hanya menjadi bagian dari Karesidenan
Kalimantan Selatan.
Ya, di masa-masa awal
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), di Kalimantan hanya terdapat satu provinsi,
yakni Provinsi Kalimantan. Gubernur Kalimantan pertama bernama Ir. Pangeran
Muhammad Nur (1950). Yang kedua bernama Dr. Murjani (1953). Dan yang ketiga
bernama R.T.A. Milono (1956).
Setelah masa jabatan
RTA Milono, Kalimantan dimekarkan menjadi empat provinsi, masing-masing Kalimantan
Barat dengan Gubernur R.A. Afflus, Kalimantan Selatan dengan Gubernur Sarkawi, Kalimantan
Timur dengan Gubernur A.P.T. Pranoto, dan Kalimantan Tengah (tahun 1957-1958
masih dalam tahap persiapan pembentukan provinsi) dengan Gubernur R.T.A. Milono
yang berkantor di Kalimantan Selatan dan pada saat yang sama Tjilik Riwut menjadi
Bupati Kabupaten Kotawaringin, yang kantornya berada di kota Sampit (sekarang
Kabupaten Kotawaringin Timur). Setelah Kalimantan Tengah secara resmi menjadi
provinsi definitif, tahun 1958, Tjilik Riwut diangkat menjadi Gubernur
Kalimantan Tengah.
Beberapa wilayah
Masyarakat Dayak yang saat itu berada atau bermukim di tiga kabupaten seperti Kabupaten
Kapuas, Kabupaten Barito dan Kabupaten Kotawaringin yang tampak lebih aktif dominan
menggagas dibentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang otonom. Keinginan serta
aspirasi yang muncul di kalangan masyarakat tersebut kemudian dituangkan dalam
pernyataan yang disampaikan lalu
disalurkan melalui organisasi masyarakat (ormas) ataupun melalui saluran partai
politik (parpol) yang ada ketika itu. Hasrat serta keinginan untuk membentuk
Provinsi Kalimantan Tengah yang mandiri serta otonom, salah satunya, dicetuskan
oleh Ikatan Keluarga Dayak (IKAD) yang ada di Banjarmasin pada awal tahun 1952.
Aspirasi yang terus
berkembang tersebut lantas disalurkan melalui wadah yang dibentuk dengan nama ”Panitia Penyalur Hasrat Rakyat
Kalimantan Tengah” (PPHRKT) di Banjarmasin. Aspirasi masyarakat Kalimantan Tengah saat itu juga datang
dari Serikat Kaharingan Dayak Indonesia
(SKDI) yang tengah melangsungkan kongres di Desa Bahu Palawa pada tanggal 22-25
Juli 1953. Salah satu poin hasil kongres
adalah menuntut terbentuknya Provinsi otonom Kalimantan Tengah.
Pada tanggal 17 April
1954, PPHRKT menyelenggarakan rapat dan
menghasilkan kesepakatan berisi tuntutan agar Pemerintah Pusat segera membentuk
provinsi keempat di Kalimantan, yakni Provinsi Otonom Kalimantan Tengah.
Resolusi PPHRKT tersebut sebagai reaksi atas keputusan Pemerintah Pusat di
Jakarta pada tanggal 3 Februari 1954, yang menetapkan bahwa di pulau Kalimantan
hanya ditetapkan menjadi tiga provinsi, masing-masing Provinsi Kalimantan
Barat, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan.
Tuntutan dan aspirasi
dari masyarakat Kalimantan Tengah yang dideklarasikan dalam resolusi tersebut tidak
ditanggapi secara serius oleh Pemerintah Pusat waktu itu. Kabinet serta
Parlemen (DPR-RI hasil Pemilu 1955)
tetap hanya menyetujui dan mengesahkan UU Nomor 25 Tahun 1956 Tentang
Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur, yang berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari 1957. Dalam penjelasan UU Nomor 25 Tahun 1956, yang
telah disahkan dan dilegitimasi tersebut, dinyatakan bahwa “ ... Kalimantan
Tengah akan dibentuk menjadi Provinsi Otonom selambat-lambatnya dalam jangka
waktu tiga tahun.”
Warga masyarakat
Kalimantan Tengah merasa kurang puas dan menilai bahwa UU Nomor 25 Tahun 1956 tersebut
kurang akomodatif serta tidak aspiratif terhadap tuntutan serta harapan
masyarakat Kalimantan Tengah di masa itu. Akibatnya, ketika UU Nomor 25 Tahun
1956 mulai diterapkan menimbulkan ekses yang kurang kondusif, termasuk
terganggunya kondisi keamanan dan ketentraman di tengah masyarakat Kalimantan
Tengah. Satu di antaranya terjadi bentrokan bersenjata serta kesalah-pahaman
antara aparat keamanan dan organisasi militan GMTPS (Gerakan Mandau Talawang
Pantja Sila).
Berbagai kalangan
masyakat Kalimantan Tengah juga semakin menguatkan sejumlah gelaran aksi yang menyuarakan
desakan dan keinginan yang sama agar Kalimantan Tengah menjadi provinsi yang
otonom dan mandiri. Hal ini tercermin pada hasil Kongres Rakyat Kalimantan
Tengah yang dilaksanakan di Banjarmasin pada tanggal 2–5 Desember 1956, yang
dipimpin oleh Ketua Presidium Mahir Mahar dan diikuti tokoh-tokoh masyarakat
Kalimantan Tengah lainnya yang juga turut hadir. Kongres itu melahirkan
resolusi serta ikrar bersama dengan poin “Mendesak kepada Pemerintah Republik
Indonesia pada waktu itu, agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,
Kalimantan Tengah sudah ditetapkan menjadi Provinsi yang Otonom”.
Secara sedikit agak
rinci, butir-butir kesepakatan hasil Kongres Rakyat Kalimantan Tengah itu
antara lain:
·
Bersatu tekad, tidak terpisahkan dan
konsekuen, menyelesaikan perjuangan pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah
secepatnya;
·
Bersatu tekad, tidak terpisahkan, untuk
mengangkat derajat hidup yang layak bagi segenap lapisan rakyat-masyarakat
dalam daerah Kalimantan Tengah khususnya dan Indonesia umumnya.
Di samping itu, Kongres
juga membentuk Dewan Rakyat Kalimantan Tengah yang bertugas menindak-lanjuti resolusi
dan kesepakatan hasil Kongres. Untuk
tugas tersebut, kemudian Dewan Rakyat Kalimantan Tengah mengirim utusan
menghadap Gubernur Kalimantan R.T.A Milono. Selanjutnya, bersama-sama dengan Gubernur
Milono, Dewan Rakyat Kalimantan Tengah ke Jakarta menghadap Pemerintah Pusat guna
menyampaikan dan menjelaskan keputusan dan hasil Kongres Rakyat Kalimantan
Tengah. Langkah itu pun menghasilkan nota saling pengertian serta kesesuaian
pendapat antara Dewan Rakyat Kalimantan Tengah dan Pemerintah Pusat.
Sebagai tindak lanjut nota
saling pengertian itu, pada tanggal 28 Desember 1956, Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Nomor U.P.34/41/24. Isinya menetapkan
bahwa, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1957, membentuk Kantor Persiapan
Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah berkedudukan langsung di bawah
Kementerian Dalam Negeri dan sementara waktu ditempatkan di Banjarmasin.
Sebelumnya, Mendagri
menetapkan Surat Keputusan Nomor Des.52/19/10/50 tanggal 12 Desember 1956,
tentang Ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956, yang mulai diberlakukan
pada tanggal 1 Januari 1957. Untuk pelaksanaan Surat Keputusan Mendagri
tersebut, pada tanggal 9 Januari 1957 dilakukan serah terima kekuasaan
pemerintah dari Gubernur Kalimantan R.T.A. Milono kepada para pejabat Gubernur
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur di Banjarmasin yang dihadiri
oleh Menteri Dalam Negeri. Dan pada hari itu pula Menteri Dalam Negeri
meresmikan Kantor Persiapan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah.
Selanjutnya Gubernur
R.T.A. Milono memperoleh tugas dari Kementerian Dalam Negeri sebagai Gubernur
Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah. Seiring dengan penugasan tersebut, Tjilik
Riwut yang waktu itu sebagai Bupati Kepala Daerah Kotawaringin dilantik menjadi
residen. Bersama dengan Bupati Kapuas (saat itu) George Obus, Tjilik Riwut ditugaskan
pula untuk membantu membentuk Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara selaku
Sekretaris yang bertugas di Kantor Persiapan Pembentukan Provinsi Kalimantan
Tengah lalu ditunjuklah pejabat Pamong Praja berpengalaman Drs. F.A.D. Patianom
dengan dukungan 21 orang personil. Mereka lantas bekerja keras bahu-membahu menyiapkan
segala sesuatu bagi terwujudnya pembentukan Provinsi Otonom Kalimantan Tengah
dan secara periodik menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat (Menteri Dalam
Negeri).
Sampai kemudian pada
tanggal 23 Mei 1957, Pemerintah menerbitkan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957
tentang Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah dan Perubahan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara
Nomor 53 Tahun 1957, dan Tambahan Lembaran Negara No. 1284 Tahun 1957).
Dengan penerbitan UU
Darurat Nomor 10 Tahun 1957 yang ditetapkan dan diundangkan pada 23 Mei 1957,
berakhir pula tugas R.T.A. Milono sebagai Gubernur Pembentuk Provinsi
Kalimantan Tengah. Bersamaan dengan itu Pemerintah Pusat menunjuk dan
mengangkat R.T.A. Milono menjadi Gubernur Kalimantan Tengah definitif.
Tentu roda
pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah ketika itu belum mampu berjalan normal
karena belum memiliki mitra kerja legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD).
Dengan mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 1956 tentang Pemilihan Anggota DPRD
(Lembaran Negara No. 44 Tahun 1956), pada tanggal 18 Oktober 1958 dilaksanakan pemilihan
anggota DPRD Provinsi Kalimantan Tengah swatantra yang pertama kali. Hasil
Pemilu Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Tengah swatantra pada tahun 1958 telah
menetapkan sebanyak 17 orang anggota. Dan
mereka dilantik sebagai anggota dewan pada tanggal 2 April 1959.
Seiring berjalannya
roda pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah, telah pula dimulai perencanaan
pembangunan jalan-jalan, terusan/kanal, dermaga, pelabuhan dan lapangan
terbang. Kecamatan Pahandut dipilih sebagai ibukota provinsi. Pada tahap awal
pembangunan, Pemerintah Pusat mengucurkan anggaran pembangunan sebesar Rp25
juta. Selain menggenjot pembangunan fisik, Panitia Kerja berhasil mencari nama
bagi ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, namanya Palangka Raya. Nama ini pun kemudian
disetujui oleh Pemerintah Pusat.
Pembangunan kota
Palangka Raya dilaksanakan oleh tenaga bangsa Indonesia sendiri. Masa awal-awal
itu dibangun jalan dari Palangka Raya menuju Kasongan-Sampit-Pangkalan
Bun-Sukamara (ke arah barat), ke Pulang Pisau-Kuala Kapuas terus ke Banjarmasin
(ke arah selatan) dan ke Kuala Kurun-Muara Teweh-Puruk Cahu -AmpahBuntok (ke
arah utara dan timur) dan lain-lain jurusan. Selain itu dimulai pula pembangunan
lapangan terbang di Palangka Raya. Pada tahap pertama "kota
terbangun" seluas 10x10 kilometer persegi. Prioritasnya berupa pembuatan
jalan-jalan, berbagai gedung, perumahan dan fasilitas jasa seperti jaringan
distribusi telepon, instalasi listrik, instalasi air minum dan lain-lain. (Tjilik
Riwut, Kalimantan Memanggil, 1958:174)
Membangun dari tiada
menjadi ada Kota Palangka Raya dan daerah Kalimantan Tengah dengan serba
keterbatasan dan rasa kesulitan, seperti kekurangan tenaga terampil, ketiadaan
dana/biaya, ketiadaan prasarana/sarana dan fasilitas kerja, sementara wilayahnya
begitu luas (1,5 kali luas Pulau Jawa) dengan alamnya yang dahsyat dan jumlah
penduduk sangat sedikit (kurang dari 400 ribu jiwa). Aset awal yang menonjol adalah
11 buah sungai besar/panjang berfungsi sebagai prasarana transportasi di
perairan. Jalan darat hanya ada sepanjang kurang lebih 40 Km (Ampah-Tamiang
Layang) sambungan dari Kalimantan Selatan yang merupakan jalan peningggalan
zaman Kolonial Belanda. Lantaran medan yang berat dan rimba raya yang lebat,
sampai tahun 1963 baru selesai terbangun jalan Palangka Raya - Tangkiling
sepanjang 38 Km dengan bantuan tenaga ahli Rusia.
Sewaktu terbentuk, Provinsi
Kalimantan Tengah otonom hanya memiliki tiga Kabupaten Daerah Tingkat II, masing-masing
Kabupaten Barito, Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Kotawaringin. Dalam
perkembangannya, mengacu pada UU Nomor 27 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah
Tingkat II di Kalimantan, kabupaten-kabupaten tersebut mengalami perubahan sebagai
berikut:
·
Kabupaten Daerah Tingkat II Barito
dimekarkan menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Barito Utara, dengan ibukota
Muara Teweh, dan Kabupaten Barito
Selatan, dengan ibukota Buntok.
·
Kabupaten Daerah Tingkat II Kapuas (tidak
mengalami perubahan atau pemekaran).
·
Kabupaten Daerah Tingkat II
Kotawaringin dimekarkan menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Kotawaringin Timur, dengan ibukota
Sampit, dan Kabupaten Kotawaringin Barat, dengan ibukota Pangkalan Bun.
B. Lalu di Manakah Seruyan?
Jauh sebelum
terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah sesungguhnya nama Seruyan sudah cukup
dikenal. Tercatat bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, pada tahun 1946,
bentuk pemerintahan onderdistricshoofd
yang merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda diubah menjadi bentuk kecamatan
dengan nama Kecamatan Seruyan dengan ibukota pemerintahan di Kuala Pembuang.
Dan pada tahun 1947 dikenal nama baru Seruyan Hilir. Ceritanya, waktu itu
(1947), Kecamatan Seruyan dimekarkan menjadi dua kecamatan, masing-masing
Kecamatan Seruyan Hilir yang beribu-kota di Kuala Pembuang dan menjadi bagian
dari wilayah hukum Kawedanan Sampit Barat, dan Kecamatan Seruyan Hulu dengan
ibukota Rantau Pulut dan menjadi bagian dari wilayah hukum Kawedanan Sampit
Utara.
Sebelum terbentuk
Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah pada tahun 1957, Seruyan termasuk
bagian dari wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan dan dalam
wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin (sebelum terbagi menjadi
Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Kotawaringin Timur). Setelah
terbentuk Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah pada 1957 dan Kabupaten
Kotawaringin berada di dalamnya, maka Seruyan pun menjadi bagian wilayah Provinsi
ke-17 NKRI itu.
Dalam perkembangannya,
tahun 1958, Kecamatan Seruyan Hulu dimekarkan dalam dua kecamatan,
masing-masing Kecamatan Seruyan Tengah dengan ibukota Rantau Pulut dan
Kecamatan Seruyan Hulu dengan ibukota Tumbang Manjul. Pemilihan Tumbang Manjul
sebagai ibukota Kecamatan Seruyan Hulu dapat dikatakan cukup tepat mengingat
wilayah yang berbatasan dengan Kalimantan Barat itu punya nilai dan spirit
perjuangan. Tercatat pada 17 September 1946 terjadi pertempuran antara pasukan
(reguler) TNI/MN 1001 melawan pasukan gabungan kerajaan Belanda yang terdiri
dari Koninklijk Landmacht (terdiri
dari Belanda semata) dan KNIL/Koninklijk
Nederland Indische Leger (pasukan yang dipimpin orang Belanda dengan
prajurit campuran) di Tumbang Manjul.
Kendati terasa lambat
namun tetap tumbuh-berkembang. Tahun 1961wilayah Kecamatan Seruyan Hilir
dimekarkan menjadi dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Seruyan Hilir beribu-kota di Kuala
Pembuang dan Kecamatan Hanau dengan ibukota Pembuang Hulu.
Tahun 1963, wilayah
Kecamatan Seruyan Hilir kembali dimekarkan ke dalam dua wilayah kecamatan,
masing-masing Kecamatan Seruyan Hilir dengan pusat pemerintahan di Kuala
Pembuang dan Kecamatan Danau Sembuluh dengan ibukota di Telaga Pulang.
C.
Jadi
Kawedanan Sampai Wilayah Persiapan Daerah Tingkat II Seruyan
Melihat semakin
pesatnya perkembangan kecamatan-kecamatan hasil dari pemekaran di beberapa
wilayah kecamatan lama, kemudian Gubernur Kalimantan Tengah menerbitkan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor:
06/Pem.330-c-2-3/1963 tertanggal 1 Juni 1963 tentang Penetapan Kawedanan
Seruyan.
Kawedanan Seruyan yang
beribu-kota di Kuala Pembuang ini kemudian membawahi lima wilayah kecamatan,
yang terdiri dari:
·
Kecamatan Seruyan Hilir dengan pusat
administrasi pemerintahan di Kuala Pembuang.
·
Kecamatan Danau Sembuluh dengan pusat
pemerintahan di Telaga Pulang.
·
Kecamatan Hanau dengan ibukota di
Pembuang Hulu.
·
Kecamatan Seruyan Tengah dengan ibukota
Rantau Pulut.
·
Kecamatan Seruyan Hulu yang beribu-kota
di Tumbang Manjul.
Sedikit catatan
tentang Kecamatan Hanau. Kecamatan Hanau --yang berada di tengah-tengah
bantaran Sungai Seruyan yang mengaliri dan membelah Kabupaten Seruyan dari
muara Laut Jawa sampai ke hulu dan di lintasan jalan negara antara Kabupaten
Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur-- merupakan salah satu kecamatan
tertua di Kabupaten Seruyan. Kecamatan Hanau sesungguhnya terbentuk pada masa
pemerintahan Belanda dan pejabatnya disebut Assisten Kiai dan bertanggung-jawab
kepada pemerintahan di Sampit. Pada saat itu di Seruyan terdapat desa-desa
penghubung antara Kiai (Camat), di antaranya adalah Kampung Pembuang Hulu dan
Kampung Tanjung Hanau.
Mengingat akses dari
desa-desa ke pemerintahan di Kuala Pembuang terlalu jauh maka pada tahun
1963 dibentuklah sebuah kecamatan
(pemekaran dari Seruyan Hilir) dengan nama Kecamatan Hanau yang beribukota di
Desa Pembuang Hulu. Secara geografis wilayah daratan Kecamatan Hanau berbatasan
sebelah utara dengan Kecamatan Danau Seluluk, sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Danau Sembuluh, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Seruyan
Raya dan Danau Sembuluh, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Kotawaringin Barat.Terletak antara 111o80’ – 112o17’ Bujur Timur dan 02o24’ - 02o41’ Lintang Selatan, dan berada pada ketinggian rata-rata 25-50m (dpl)
dengan suhu rata-rata 23o-30oC.
Transportasi utama
yang digunakan untuk menjangkau ke desa-desanya sebagian besar dapat ditempuh
melalui jalan darat, melalui jalan perkebunan sawit dan sisanya dengan jalur
sungai. Kondisi jalan menuju ibukota Kecamatan terutama dari Desa Tanjung
Hanau, Parang Batang, Paring Raya dan Bahaur masih minim, sehingga masih perlu
adanya perbaikan dan peningkatan fisik jalan, karena jaringan infrastruktur
jalan sangat menentukan arus transportasi barang dan jasa yang akan mendongkrak
perekonomian masyarakat desa. Ke depan diharapkan pembangunan infrastruktur
jalan bagi desa-desa tersebut dapat menjadi prioritas utama di dalam kegiatan
pembangunan Kecamatan Hanau.
Perjalanan menuju
Ibukota Kabupaten dapat di tempuh melalui jalur air menyusur Sungai Seruyan ke
hilir menggunakan angkutan sungai (longboat)
dengan waktu tempuh kurang lebih delapan jam, atau alternatif lain menggunakan angkutan darat (mobil) melalui
Kabupaten Kotawaringin Timur dalam kondisi sekarang dapat ditempuh dengan waktu
sekitar delapan jam.
Usaha Perkebunan
kelapa sawit di Kabupaten Seruyan pertama dibuka di Kecamatan Hanau, melalui PT Indotruba,
sekitar tahun 1990. Dengan terbukanya usaha perkebunan ini diharapkan dapat
dijadikan contoh sebagai salah satu peluang usaha yang menguntungkan dan
membuka wawasan warga masyarakat untuk melirik usaha tersebut selain usaha
masyarakat yang telah ada pada saat itu di bidang perkayuan, tambang (emas),
petani dan nelayan.
Selain Kecamatan
Hanau, Kecamatan Seruyan Hulu –terutama ibukota Tumbang Manjul— pun punya cerita
yang juga menarik dalam perjalanan Kalimantan Tengah. Di sini ada cerita
perjuangan mendukung kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagaimana digambarkan
oleh TT Suan dalam tulisannya yang berjudul Gelora
Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 dan disampaikan pada satu forum diskusi di
Palangka Raya pada Oktober 1999, salah
satu noktah penting perjuangan rakyat Kalimantan Tengah adalah ”Pertempuran di
Tumbang Manjul”.
Dilukiskan bahwa di
Kalimantan (terutama di Kalimantan Selatan) pada awal masa kemerdekaan ada
gerakan dan tindakan menegakkan kekuasaan Republik Indonesia (RI), antara lain
berupa pengambil-alihan (perebutan kekuasaan) dari NICA, bersamaan dengan itu
dibentuklah Komite Nasional Daerah.
Pengiriman Utusan
Pemerintah RI dan pengiriman tentara ekspedisi dari Jawa ke Kalimantan berhasil
tiba dan mendarat di Teluk Bogam, pada awal Februari dan awal Maret 1946. Rombongan
Utusan Pemerintah RI atau ekspedisi TKR/TRI pimpinan Letnan Kolonel Husin
Hamzah dan Mayor Firmansyah sebagai rombongan pertama. Rombongan kedua adalah Utusan
Pemerintah RI dan tentara ekspedisi MN-1001 Mobiele Brigade pada Markas Besar
Tentara/TR (TNI) di bawah komando Mayor Tjilik Riwut. Rombongan ekspedisi tersebut mengalami pertempuran dengan NICA (Belanda)
di Teluk Bogam, Kotawaringin, Nanga Bulik, Pangkalan Bun, Sungai Rangas, Kumai dan
Sukamara.
Pada awal April 1946,
rombongan Penyelidik Militer Chusus (PMC) di bawah komando Kapten Mulyono tiba
di Kuala Pembuang guna membentuk serta melatih tentara atau pasukan di Kalimantan
dan memperkuat Pasukan MN-1001 yang memperbesar diri dan mempertahankan diri
dengan gigih (Lihat: Kolonel Hasan Basry, Kisah
Geriliya Kalimantan, hlm 44 dan 79).
Anggota pasukan Kapten
Mulyono antara lain Marconi R. Mangkin, A.D. Patianom, Gusti Rusli Noor, dan
lain-lain, setelah mendarat di Kuala Pembuang seterusnya menuju Tumbang Manjul
dan Sepan Biha (A.H. Nasution, “Sekitar
Perang Kemerdekaan Indonesia”, Jld. 3, hlm 270).
Gerakan yang muncul
dari rakyat sendiri diperlihatkan oleh antara lain terbentuk dan berdirinya KNI Daerah di Tumbang
Manjul yang dipelopori oleh Guncho P. Mahar (Kepala Distrik Sampit Hulu) yang
tiba di Tumbang Manjul pada tanggal 5 September 1946 disertai H.A. Sameng.
Mereka mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat dan
berhasil membentuk Komite Nasional Daerah untuk Seruyan Hulu, sekaligus
merupakan Badan Pemerintah RI. Dibentuk pula kelasykaran Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) yang menangani urusan pertahanan-keamanan dan markas, urusan
latihan kemiliteran dilengkapi tenaga personil.
Tercatat pengurus KNI
Daerah Seruyan Hulu antara lain Ketua I Akhmad Buntal; Ketua II Under Hamid,
Sekretaris I dan Sekretaris II masing-masing M. Dimel (abang kandung Tijel
Djelau) dan B. Kinem.
Awal Agustus 1946, bersama
rombongan, Kapten Mulyono tiba di Tumbang Manjul lalu mengadakan perundingan
dengan pengurus KNI setempat di mana disepakati, sebagian anggota kelasykaran
TKR mengikuti latihan di Sepan Biha, pusat latihan pasukan MN-1001 dan kelasykaran.
Ada sebanyak 35 orang anggota TKR Tumbang Manjul dilatih di pusat latihan Sepan
Biha.
Usai mengikuti latihan
secara intensif, atas perintah Kapten Mulyono, pasukan TKR itu kembali ke pos
masing-masing guna mengadakan perjuangan yang selain di Tumbang Manjul, juga
pada pos-pos mulai dari Tumbang Kubang hingga Desa Buntut Sapau di hulu Sungai
Manjul.
Di tengah perjalanan
di mana semua pasukan itu belum tiba di tempat tujuan masing-masing, diterima
kabar, militer NICA yang terdiri dari KNIL/KL (Koninklijk Nederlands Indische Leger) Divisi 7 yang langsung
dikirim dari Belanda sudah berada di Tumbang Manjul. Ekspedisi KNIL/KL memang
rupa-rupanya dilakukan karena telah “mencium” adanya pemusatan latihan pasukan
Merah-Putih di Sepan Biha. Kapten Mulyono berpendapat daripada diserang, lebih
baik menyerang lebih dulu. Persiapan pun segera dilakukan. Berdasarkan hasil
penyelidikan yang teliti, serangan atau serbuan terhadap pasukan Belanda
ditetapkan tanggal 17 Desember 1946 tengah malam.
Serangan mendadak
tersebut, menurut penuturan para pelaku, didahului dengan aksi menggunakan
mandau untuk membunuh penjaga di muka sanggrahan tempat bersarangnya pasukan
KNIL/KL. Bersamaan dengan itu dilakukan pemadaman lampu stromking. Lalu, dalam
keadaan gelap-gulita itulah secara langsung Kapten Mulyono dan pengiringnya
menyerbu ke dalam sanggrahan “menghabisi” pasukan yang telah tidur lelap di
tengah malam buta tersebut. Akibatnya empat orang pasukan KNIL/KL tewas,
sisanya dalam keadaan luka-luka namun dapat melarikan diri. Di pihak TKR, dua
orang gugur.
Sisa-sisa pasukan KNIL
yang lolos dan melarikan diri itulah yang kemudian sampai di Sampit. Kabar
“musibah” tersebut diteruskan ke Banjarmasin. Maka gencarlah KNIL menggerakkan
patroli dan operasi pembersihan di Seruyan Hulu.
Bersamaan dengan itu,
Kapten Mulyono mengirim surat kepada F.J. Hips, pimpinan pasukan KNIL di
Sampit, mengatakan bahwa dirinyalah yang bertanggung-jawab atas terjadinya pertempuran
di Tumbang Manjul. Karena itu, agar jangan menyerang rakyat yang tidak berdosa.
Pasukan Republik Indonesia hanya mempertahankan kemerdekaan. Yang membawa surat
tersebut ke Sampit adalah Tijel Djelau, guru di Rantau Pulut, anggota pasukan
MN-1001 dengan pangkat kapten. Memang telah diperhitungkan, begitu surat
diterima oleh Hips, Tijel Djelau langsung ditangkap dan dipenjarakan di Sampit.
Dari Desember 1946
sampai akhir Maret 1947, NICA/Belanda melansirkan gerakan operasi militer di
sepanjang Sungai Manjul sampai desa hulu yakni Buntut Sapau, yang mendapat
perlawanan gigih dari TKR. Selama operasi KNIL itu gugur sebanyak 18 orang
sebagai kusuma bangsa dan ratusan rakyat yang tidak berdosa ditangkap dan
disiksa. Perlawanan TKR pun patah. KNI juga dibubarkan. Para pengurusnya
ditangkap dan dipenjarakan. Jasad 18 kusuma bangsa itu dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan (TMP) Sepan Biha.
Atas jasa-jasa
patriotik tersebut, tahun 2017 Pemerintah Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah
membenahi Taman Makam Pahlawan Sepan Biha yang berada di Desa Tumbang Manjul. Tahap
awal pembenahan Taman Makam Pahlawan (TMP) Sepan Biha akan dianggarkan pada
anggaran perubahan 2017 sebesar Rp1 miliar, kata Bupati Seruyan Sudarsono,
beberapa waktu lalu.
Sudarsono mengatakan,
pembenahan dengan tujuan untuk mempercantik TMP Sepan Biha di antaranya
dilakukan dengan membangun relief yang menggambarkan perjuangan para pahlawan
saat bertempur dengan pasukan Belanda di sekitar area makam.
Lalu Kecamatan Danau
Sembuluh juga tidak kalah bersejarah. Di Desa Sembuluh terdapat sepasang meriam
kuno bekas peninggalan zaman penjajahan kolonial Belanda. Hingga kini, kedua
meriam itu masih aktif dan sering dipergunakan. Oleh warga sekitar, benda kuno
tersebut dianggap keramat.
Sepasang meriam kuno itu
hingga kini masih tergolek rapi di sebuah tempat peletakan khusus yang berada
di belakang rumah salah seorang warga Desa Sembuluh. Menurut Kepala Desa
Sembuluh II, Abdul Khaidir, kedua meriam itu sering dipergunakan oleh warga
sebagai lokasi hajatan bilamana ada harapan dan keinginan warga telah
terkabulkan.
“Meriam itu sering
dibunyikan jika ada warga yang menggelar hajatan. Warga desa sini sering
bilang, misalkan kalau nanti istriku melahirkan anak perempuan atau aku
memperoleh keberuntungan (rezeki) yang tak disangka, maka aku akan membunyikan
meriam. Nah, begitu hajat atau keinginan warga itu terkabulkan, maka mereka
segera memenuhi nazarnya dengan membunyikan meriam tersebut,” kata Khaidir
kepada Sinar Timur belum lama ini di
desanya.
Dan ikon penting
Kecamatan Danau Sembuluh tentulah Danau Sembuluh. Danau ini memiliki keunikan
dari sisi ekosistem dan pesona perairan danau yang indah. "Apabila
dikembangkan secara serius, bukan tidak mungkin Danau Sembuluh dapat menjadi
ikon wisata Kalteng," kata Bupati Seruyan Sudarsono di Kuala Pembuang,
beberapa waktu lalu.
Bupati Sudarsono mengatakan
saat ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Seruyan masih terus berupaya
mengembangkan Danau Sembuluh agar menjadi salah satu obyek wisata unggulan
daerah. Upaya yang sedang dilakukan Pemkab adalah penyusunan studi kelayakan
pengembangan daerah wisata Danau Sembuluh. Studi itu nanti memberi acuan bagi
pemerintah untuk mengembangkan atau mewujudkan wisata Danau Sembuluh yang
terpadu dengan pengembangan wisata bahari di Seruyan.
"Pemerintah
daerah sebenarnya sudah berusaha untuk mengembangkan potensi wisata danau ini,
namun karena mencari investor agak sulit, jadi pengembangannya agak lamban. Meski
demikian kami akan terus mengembangkan Danau Sembuluh sebagai obyek wisata
secara bertahap," jelasnya.
Danau Sembuluh
merupakan danau terbesar di Kalimantan dengan luas 7.832,5 hektar dan memiliki
panjang 35,68 kilometer. Salah satu dari sepuluh danau terluas di Indonesia itu
juga memiliki pemandangan indah, karena danau itu menjadi muara dari
sungai-sungai besar dan kecil di sekitarnya seperti Sungai Kupang, Rungau dan
Ramania.
Danau Sembuluh juga
dikelilingi beberapa desa yang luasnya mencapai 2.424 kilometer persegi, yakni
Sembuluh I, Sembuluh II, Bangkal dan Terawan, dengan sebagian besar
masyarakatnya masih memegang tradisi dan kearifan lokal dalam mengelola sumber
daya alam yang ada di danau. Warga Desa Bangkal misalkan masih melestarikan
adat Tiwah, ritual terakhir adat kematian Suku Dayak. Ritual Tiwah yang cukup
unik ini mampu menarik banyak wisatawan kultural.
Kembali ke Seruyan
masa silam. Organisasi dan manajemen pemerintahan kawedanan dirasa tidak mampu
lagi merespon perkembangan masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang. Perlu
adanya perubahan dan perbaikan keorganisasian yang mampu mengiringi tuntutan
kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Untuk itu, pada tahun 1965,
Gubernur Kalimantan Tengah menerbitkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Kalimatan Tengah No: 05/Pem.232-c-2-4/1965 Tanggal 1 Mei 1965 Tentang
Penetapan Wilayah Persiapan Daerah Tingkat II Seruyan. Sehubungan hal itu maka
Pemerintah Kawedanan Seruyan berubah status menjadi Kabupaten Persiapan Daerah
Tingkat II Seruyan dengan ibukota Kuala Pembuang.
D.
Status
Pembantu Bupati Kotawaringin Timur untuk Wilayah Seruyan
Belasan tahun
berjalan, wilayah Seruyan tetap saja dalam status kabupaten persiapan, tak jua
menjadi kabupaten definitif dan otonom. Bahkan, tahun 1979, status kabupaten
persiapan dihapus oleh Gubernur Kalimantan Tengah. Penghapusan itu tertuang
dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor:
148/KPTS/1979 tertanggal 28 Juni 1979 tentang Penghapusan Status Wilayah dan
Kantor Daerah Tingkat II Administratif Gunung Mas, Katingan, Murung Raya dan
Barito Timur serta Status Wilayah dan Kantor Persiapan Daerah Tingkat II
Seruyan.
Penghapusan itu tidak
lain sebagai respon atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1979
tertanggal 28 April 1979 tentang Pembentukan Wilayah Kerja Pembantu Bupati
Kapuas untuk Wilayah Gunung Mas, Pembantu Bupati Kotawaringin Timur untuk
Wilayah Katingan, Pembantu Bupati Kotawaringin Timur untuk Wilayah Seruyan,
Pembantu Bupati Barito Utara untuk Wilayah Murung Raya, Pembantu Bupati Barito
Selatan untuk Wilayah Barito Timur.
Dan penghapusan status
kabupaten persiapan lantas berubah status menjadi Pembantu Bupati Kotawaringin
Timur untuk Wilayah Seruyan itu kemudian ditindak-lanjuti dengan penerbitan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor:
247/KPTS/1980 tertanggal 02 Juli 1980 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Pembantu Bupati Kotawaringin Timur untuk Wilayah Seruyan. Pemerintahan
Pembantu Bupati Bupati (TUBUP) Kotawaringin Timur Wilayah Seruyan dengan ibukota
berkedudukan di Kuala Pembuang. Wilayah Seruyan kembali ke pangkuan Kabupaten
Kotawaringin Timur.
Dalam status sebagai
Pemerintahan Pembanyu Bupati Kotawaringin Timur Wilayah Seruyan, geliat bisnis
dan perekonomian di daerah Seruyan dapat dikatakan telah berdenyut. Bahkan,
memasuki tahun 1990, datang investor PT Indotruba yang bergerak dalam usaha
perkebunan sawit kali pertama di
Kecamatan Hanau. Dengan terbukanya usaha perkebunan ini warga masyarakat
setempat dapat belajar dan mencontoh adanya peluang usaha yang relatif
menguntungkan. Selama ini warga
masyarakat hanya mengenal usaha di bidang perkayuan, tambang (emas), petani dan
nelayan. Mereka merasa usaha bidang perkayuan dan tambang emas saja yang lebih cepat
menghasilkan.
Benak warga masyarakat
Seruyan semakin terbuka, lantaran semakin banyak perusahaan perkebunan sawit beroperasi
di wilayah Seruyan. Tercatat antara lain PT Tapian Nadenggan (Sinar Mas Group),
PT Wanasawit Subur Lestari, PT Rim Capital, PT Musirawas Citra Harpindo, PT
Sumur Pandan Wangi dan PT Sawitmas Nugraha Perdana.
Pembukaan areal
perkebunan kelapa sawit oleh banyak perusahaan itu mau tak mau bersentuhan
langsung dengan lahan masyarakat dan sangat rentan timbulnya konflik antara
investor dan masyarakat dalam hal ganti rugi lahan. Dengan menjunjung prinsip musyawarah-mufakat,
konflik antara kedua belah pihak masih mampu dijembatani oleh pemerintahan tingkat
kecamatan. Namun masih ada beberapa permasalahan lahan yang belum
terselesaikan.
Kendati sedikit
menyisakan bersoalan lahan, kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut
mampu membawa perubahan masyarakat Seruyan ke arah yang lebih maju dan
berkembang. Ada banyak kemajuan
masyarakat Seruyan di sektor pekebunan, pendidikan, perdagangan dan industri, sehingga
mmapu bersaing bersama wilayah lain yang telah lebih dulu maju dan berkembang. (*)
Komentar
Posting Komentar