Budaya dan Kekerabatan Orang Rote

* Bab 4

Sebagai komunitas kultural, orang (masyarakat) Rote memiliki kebudayaan sendiri yang ditampilkan lewat berbagai unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu dapat ditarik benang merah bahwa orang Rote bangga akan  identitas diri sendiri sebagai dasar untuk hidup dalam masyarakat yang majemuk, pergantian pemimpin harus diterima sebagai sebuah hal yang wajar, dan para pendatang diterima secara baik melalui sebuah ritual penyambutan.
Terkait kebanggaan orang Rote, dapatlah kita lihat bagaimana nilai-nilai kultural melingkupi atau meresap dalam setiap sendi kehidupan mereka. Setiap langkah kehidupan mereka tidak pernah terlepas dari nilai-nilai kultural yang telah lama menjadi landasan dan pijakan hidup dan kehidupan.

A.   Nilai-nilai Kultural Orang Rote
Orang Rote menjunjung tinggi filosofi kehidupan mao tua do lefe bafi yang artinya kehidupan dapat cukup bersumber dari mengiris tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisional orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak.  Dengan demikian, pada mulanya, ketika ada sekelompok tanaman lontar yang berada pada suatu kawasan tertentu, maka tempat itu jualah yang menjadi pusat pemukiman pertama orang-orang Rote.
Secara tradisional pekerjaan menyadap nira lontar merupakan tugas kaum dewasa sampai tua. Tapi pekerjaan itu hanya sampai di atas pohon, setelah nira sampai ke bawah, seluruh pekerjaan dibebankan kepada kaum wanita. Kaum pria bangun pagi hari kira-kira jam 03.30 waktu setempat, suatu suasana yang dalam bahasa Rote diungkap sebagai: Fua Fanu Tapa Deik Malelo afe take tuk (bangun hampir siang dan berdiri tegak, sadar dan cepat duduk).
Filosofi mao tua do lefe bafi itu berkorelasi kuat dengan mata pencaharian utama masyarakat Suku Rote yang adalah bercocok tanam di ladang, dengan tanaman antara lain jagung, padi ladang, dan ubi kayu. Selain itu banyak pula di antara mereka yang bekerja sebagai penyadap nira lontar dan beternak kerbau, sapi, kuda dan ayam. Kaum wanita Suku Rote pandai menenun kain dengan motif tradisional dan menganyam barang dari bahan daun pandan.
Lebih jauh masyarakat Rote mengenal sebuah sistem kemasyarakatan yang disebut dengan istilah Nusak. Sebagai sistem kemasyarakatan, nusak merupakan sebuah daerah hukum yang bersendi pada hubungan daerah, di mana di dalamnya terdiri dari sekumpulan warga masyarakat seketurunan yang dipimpin oleh Manek (raja) dan seorang Fettor sebagai pendamping. Dalam konteks kehidupan masyarakat Rote, selain ada pemimpin dan pendamping yang disebut Fettor, terdapat pula simbol-simbol lain yang diberikan kepada individu-individu tertentu sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Hal ini sebagai perwujudan dari upaya untuk membangun dan mengatur kehidupan bermasyarakat melalui sebuah sistem kemasyarakatan yang baik melalui sistem sosial yang terintegrasi.
Bahwa kesatuan hidup manusia dalam kerangka hubungan sosial menghasilkan suatu kerangka dasar kehidupan yang berkait dengan aspek konsep, perilaku dan wujud nyata dari sebuah tatanan kebersamaan. Adalah political institutions, sebuah pranata budaya dalam sebuah masyarakat yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok. Adapun macam-macam peran dan fungsinya antara lain Mane Songgo (bagian kerohanian), Mane Dope (hakim), Mane Dae Langgak (mengurusi bagian pertanahan dan pertanian), Mane Lala (penegak hukum bagian persawahan), Langga Mok (penegak hukum dalam bidang pertanian/ ladang dan kebun), Mane Holo (penegak hukum dalam bidang kelautan, hutan, dan tanaman di dalam kampung), Langgak (kepala kampung), dan Lasin (semacam RT).
Orang-orang Rote adalah orang yang bangga akan diri mereka sendiri, tegas, dan bersemangat. Mereka tidak meniru-niru dan tidak berasimilasi dengan kelompok-kelompok lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) melainkan dengan kelompok yang mereka anggap lebih tinggi kebudayaannya. Pakaian adat sebagai tanda pembeda identitas orang Roti sangat khas dan menunjukkan pengaruh Portugis abad ke-17 dan Gujarat abad ke-18. Jika pakaian adat kaum pria suku-suku di Indonesia Timur mengenakan ikat kepala, orang Roti memakai topi daun lontar lebar seperti sombrero yang mereka tiru dari topi  Ti’i Langga.  Motif kain celup ikat tradisional mereka merupakan gabungan motif-motif asli dengan disain patola yang diambil dari kain Gujarat yang merupakan barang dagangan impor kaum elit VOC pada abad ke-18.
Orang Rote juga memiliki instrumen musik tradisional yang sangat khas yang disebut Sasando. Alat musik yang juga dikenal di Pulau Sabu ini dibuat dari daun lontar. Alat ini biasa dimainkan dalam berbagai kegiatan sosial yang penting seperti pernikahan, kematian, kelahiran, dan ulang tahun.
Nilai-nilai kultural orang Rote tampak pula dalam adat perkawinan yang memiliki sejumlah tahapan. Peminangan. Peminangan diawali dengan pembawaan mbotik (tempat sirih pinang) di pagi hari oleh ti’i (bibi dari pihak lelaki) ke rumah pihak perempuan. Ti’i menunggu hingga gadis yang akan dipinang bangun (ndao ndao). Kemudian, orang tua gadis akan menyapa “au mai sangga bei bara haik” (saya datang mencari tenaga kerja) dan jika disetujui, dijawab oleh keluarga perempuan, “felasik ala mai” (silakan orang tua datang). Pada tahap peminangan ini, pihak lelaki mengumpulkan seluruh keluarganya sebagai keluarga penerima perempuan (bapa te’o mama te’o) dan keluarga pemberi perempuan (bei huk to’o huk).
Peminangan resmi. Keluarga lelaki datang dengan rombongan yang berjumlah ganjil, biasanya 5-7 orang. Tahap ini membahas belis dan pembayaran/pengantarannya. Pihak lelaki memiliki acara tu’u belis tu’u belis di mana seluruh keluarga lelaki diundang dan mengumpulkan sumbangan belis, dimulai dari mendaftar keluarga yang akan diundang, membicarakan sumbangan yang akan diberikan, dan menyerahkan sumbangan belis.
Pengantaran belis. Pengantaran belis dilakukan sesuai kesepakatan waktu kedua belah pihak dan penyerahannya dilakukan dengan mengucapkan kata-kata penyerahan dan kata-kata penerimaan.
Terang Kampung. Terang Kampung adalah proses pengukuhan oleh imam adat sebagai pemimpin upacara perkawinan. Upacara perkawinan dalam Terang Kampung dinamakan Natu du sasook, yang merupakan sebuah pemberitahuan bahwa lelaki dan perempuan tersebut telah resmi sebagai suami-istri. Upacara ini disertai dengan pesta yang mengundang kerabat dan kenalan. Pada pagi harinya, pengantin perempuan diantar ke rumah pengantin lelaki (Napora atau dode).
Dalam pemilihan perempuan untuk menjadi isterinya, seorang lelaki Rote harus memperhatikan ungkapan berikut.
Tu titino
Sao mamete
Tu sangga duduak
Sao sangga safik
Fo ana tea bae nggi leo
Mba ana kula haba babongkik
Yang artinya:
Kawin selidiki baik-baik
Kawin harus diteliti
Kawin harus mencari pikiran yang sama
Kawin untuk menyatukan hati
Agar dapat mempersilakan sirih kepada
Kerabat dan handai taulan.
Dengan begitu, lelaki Rote berhati-hati dalam memilih perempuan yang akan dijadikan isterinya.

B.    Keluarga dan Kekerabatan
Salah satu tujuan pokok perkawinan adalah membina keluarga. Keluarga (fam) memiliki arti penting bagi orang Rote. Umumnya suatu subklen (teidalek atau keluarga) memakai suatu ciri nama atau fam. Nama suku (leo) pada umumnya diambil dari nama moyang pertama yang menurunkan cabang (suku) tersebut. Sedangkan nama keluarga (teidalek) atau fam diambil dari nama kakek pertama dari ranting yang menurunkan keluarga (teidalek) yang bersangkutan. Oleh karena dalam suatu suku/leo terdapat banyak ranting maka terdapat pula banyak ciri nama atau fam.
Dari 26 suku/klen (leo) yang ada di Nusak Thie terdapat sekitar 457 nama keluarga atau fam, termasuk yang berasal dari etnis dan/atau subetnis yang lain, lalu masuk menjadi anggota suku (warga klen) tertentu. Suku-suku yang memiliki banyak keluarga/fam adalah Manedato (37 fam), Tolaumbuk (35 fam), Kekadulu (32 fam), Bibimane (31 fam), Henula’e (30 fam), Mburala’e (29 fam), Kanaketu (20 fam), Mokaleok (19 fam), Musuhu (19), dan Meoleok (18 fam). Sedangkan suku-suku dengan sedikit keluarga di antaranya Landu (3 fam), Kona (6 fam), Su’a (8 fam), Sorumbuk (8 fam), Todefeo (9 fam) dan Langgalodo (9 fam).
Di Thie, fam-fam yang terdapat dalam lebih dari sepuluh klen adalah Adu/Adoe (21 klen), Mesah/Messakh (16 klen), Foeh/Foekh (16 klen), Moi/Moij/Mooy (14 klen), Nalle/Nalley (13 klen), Ndu/Ndun (13 klen), Ndolu (10 klen), dan Haning (10 klen). Selain di Thie, keluarga (komunitas) Haning terdapat pula di Lole, Talae dan Texas (Amerika Serikat).
Selain itu, di seluruh Rote terdapat lima fam yang terdapat dalam lebih dari 20 suku/klen, yaitu Ndun/Ndu (52 klen), Adu/Adoe (48 klen), Manafe/Manfe (40 klen), Foeh/Foekh/Foes (36 klen), dan Mesah/Messakh (21 klen).
Kemudian setelah masuk agama Kristen, banyak juga suku yang memakai nama fam Nasrani. Tercatat antara lain Suku Mburala’e (Mesakh, Arnoldus), Suku Henua’e (Mesak, Daud), Tolaumbuk (Ayub), Meoleok (Abraham, Benyamin, Matheos, Daniel), Musuhu (Gabriel, Yermias), Kanaketu (Nikodemus), Nalefeo (Yakob), Mesafeo (Felipus, Messakh), Manedato (Oktovianus, Frans), Bibimane (Messakh), dan Mokaleok (Thomas).
Adanya kesamaan nama ataupun nama keluarga (fam) karena beberapa hal, antara lain:
1.   Nama-nama orang rote Ndao diambil dari nama-nama moyang beberapa puluh generasi yang lalu sehingga ada yang kebetulan mengabadikan nama yang sama untuk anak-anak mereka, yang kemudian timbul menjadi nama keluarga (fam), padahal belum tentu mempunyai hubungan silsilah.
2.   Perkawinan. Dapat dicontohkan di sini: moyang (kakek) Moi Longgo (Thie) kawin dengan Lari Feo (Oenale). Salah seorang anaknya diberi nama Feo (Moi), padahal nama Feo tersebut adalah nama dari ayah sang isteri/Oenale. Kemudian keturunan Feo Moi menjadi Suku Feosoru. Contoh lain moyang (kakek) Tara Boru (Suku Le’e) kawin dengan salah seorang anak perempuan dari Henu Hani (Suku Todefeo) yaitu Dengga Henu, lalu melahirkan beberapa anak lelaki dan salah seorang diberi nama Henu (Tara), padahal nama Henu tersebut adalah nama dari ayah sang isteri. Keturunan Henu Tara ini memakai fam Henu(k).

C.   Anggota Suku yang Diangkat
Orang yang hidup terasing atau sendirian, yang tidak mempunyai sanak-kerabat atau tidak terhisap sebagai anggota salah satu suku dimetaforakan sebagai “pohon tali puteri” (memenggok). Pohon tali puteri hidup tanpa akar, tanpa bertumbuh pada suatu wadah, sehingga orang yang hidup tanpa sanak-saudara dikatakan “mana mori memenggok” –maksudnya hidup sendirian tidak punya kaum kerabat.
Dalam pergaulan masyarakat Rote, komunitas dipentingkan sehingga sangat membenci sikap isolasi. Agar tidak terisolasi, umumnya orang-orang pendatang menyatakan diri masuk menjadi anggota salah satu suku yang resmi atau yang asli. Pendatang itu umumnya berasal dari nusak lain atau daerah seberang, bahkan ada yang berpindah ke suku lain dalam nusak sendiri. Pengalihan kewargaan itu melalui suatu upacara resmi. Mereka akan memperoleh hak yang sama dengan warga suku yang mengangkatnya. Mereka (pendatang) disebut “mana mai”. Namun istilah mana mai tidak etis bila diucapkan di hadapan mereka.
Pengalihan kewargaan terjadi atas beberapa kemungkinan. Pertama, persengketaan keluarga. Yang merasa tersudut, keluar dari sukunya lalu masuk ke dalam suku/nusak yang lain. Kedua, suatu suku hampir punah lantas melebur diri ke dalam suku yang lain. Ketiga, karena berasal dari tempat yang jauh atau seberang dan agar tidak hidup terasing maka menyatakan diri masuk ke salah satu suku. Dan keempat, lantaran menjadi tawanan perang.
Selain dari pendatang (mana mai), ada pula anggota suku yang berasal dari keturunan pihak kerabat perempuan, misalkan anak dari perkawinan yang terlarang (inses) atau tanpa kawin resmi. Mereka termasuk suku ibu, disebut ‘fetok anan’ (anak dari saudara/pihak perempuan). Ada pula yang berasal dari hamba-sahaya.
Untuk fetok anan, umumnya diangkat/diadopsi oleh ayah atau saudara lelaki si ibu, dengan demikian namanya digabung dengan nama kakek dan/atau to’o-nya.
Sebagai syarat bagi anggota yang baru (yang diadopsi) adalah sebagai berikut: Harus menunjukkan integritas serta solidaritas yang baik dalam suku yang baru; Harus berpartisipasi secara aktif dalam suku yang baru; dan Harus mengambil jodoh dari suku lain.
Terdapat pula saudara perempuan angkat yang disebut ‘feto dae’ dan saudara laki-laki yang diangkat yang disebut ‘na dae’. Feto dae adalah seorang perempuan yang diangkat oleh seorang lelaki menjadi saudara angkat. Karena yang bersangkutan berasal dari negeri yang jauh atau dari seberang, agar tidak merasa seperti orang yang tidak punya sanak kerabat, ia (umumnya yang telah berumah-tangga) meminta seorang lelaki untuk bersedia menjadi saudara angkat. Bahasa adatnya “inaa nalan” (ia menjadikan sebagai saudara lelakinya) atau “ifeto nalan” (ia menjadikan sebagai saudara perempuannya). Bila yang bersangkutan (feto dae) itu telah bersuami maka pengadopsian itu harus atas izin/restu suami. Saudara lelaki angkatnya itu (na dae) harus dari suku/klen lain, tidak boleh dari klen suami. Pengadopsian itu dilakukan dalam suatu upacara resmi dan sebagai syarat sang suami memberikan belis kepada saudara angkat isterinya, sebesar/setara seekor kerbau betina. Jika yang bersangkutan masih lajang, maka, bilamana akan kawin, saudara lelaki angkatnya itu yang menerima belis. Setelah itu antara si perempuan (feto dae) dan saudara angkatnya (na dae) hidup rukun dan saling tolong-menolong sebagaimana layaknya orang bersaudara.
Dalam masalah warisan (pusaka) kadang-kadang timbul kasus antara ahli waris yang asli dan anggota pendatang (mana mai) ataupun dengan fetok anan. Namun demikian biasanya kepala-kepala suku dan/atau tua-tua suku (lasi leo) dapat menyelesaikannya secara bijaksana. Pada masa pemerintahan Raja Urai Ndu (Paulus Messakh) telah ditetapkan olehnya bahwa masalah keanggotaan “mana mai”, juga “fetok anan”, tidak boleh diungkit-ungkit lagi, dikenal dengan ungkapan “tatana nggalas bafan” (tutup/sumbat mulut gelas).
Bagi pendatang (dalam jumlah yang besar) yang tidak menyatakan diri untuk masuk salah satu suku/leo, tidak berhak mengangkat kepala suku sendiri serta hak kewargaan suku-suku tersebut tidak mutlak sehingga dianggap orang asing (imigran) dan disebut sesuai dengan nama nusak asalnya, misalkan bila dari Lole maka disebut “hatahori Lole” (orang Lole). Kendati belum mendapat pengakuan yang selayaknya, tetapi setelah hapusnya desa-desa tradisional, hak kewargaan mereka sudah sama dengan penduduk asli, namun hak adat masih terbatas.
Dulu di beberapa nusak, untuk kelompok suku atau oknum yang masih dianggap sebagai imigran, masih mempunyai kewajiban membayar “pajak kepala” di negeri (nusak) asalnya. Bahkan untuk pendidikan pun anak-anak dari imigran itu diwajibkan bersekolah di nusak asalnya. Pada tahun 1930-an barulah hal itu tidak diberlakukan lagi.
Terdapat beberapa pendatang dalam jumlah yang agak besar namun tidak masuk dalam salah satu suku. Mereka berasal dari Dengka (Boluk, Todak, Leolulu dan Elo/Moihana), Termanu (Amalo), Sabu (dulu masuk Suku Nalefeo, kini masuk Nesafeo, memakai fam Henuk atau mau berdiri sendiri), Oenale (Mbura, Mbeo), dan Ndao (Aputeti, Loasana).

D.   Sopan-santun Kekerabatan
Setiap masyarakat memiliki panduan atau pedoman hidup buat para anggota masyarakatnya. Dapat kita bayangkan bila dalam masyarakat tidak ada pedoman, aturan, petunjuk atau pandangan hidup, maka pasti timbul kekacauan atau situasi anarkis. Tentu hal ini tidak kita inginkan.
Dalam berinteraksi atau berkomunikasi antar-sanak kerabat ataupun antar-sesama terdapat berbagai tata krama yang berlaku dalam masyarakat dan perlu diperhatikan oleh setiap individu. Salah satu tata krama yang harus diperhatikan dalam setiap interaksi sosial ialah yang berhubungan dengan cara menegur dan cara menyapa.
Tiap-tiap bahasa memiliki dua macam istilah yang dipakai dalam hubungan kekerabatan, yaitu istilah menyapa dan istilah menyebut. Cara menyapa dan cara menyebut sangatlah penting dalam berinteraksi antar-sesama, khususnya antar-orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Istilah kekerabatan mempunyai sangkut paut yang erat dengan sistem kekerabatan dalam masyarakat.
Istilah menyapa dipakai dalam hubungan pembicaraan langsung, sedangkan istilah menyebut dipakai bilamana membicarakan orang ketiga. Contoh istilah menyapa bagi ayah ialah bapak, istilah menyebut bagi ayah ialah ayah. Sapaan atau sebutan yang tidak pantas terlebih terhadap tipe kerabat yang angkatannya (derajat/dombenya) lebih tinggi dicap tidak sopan (ta malela hadak).
Para pakar antropologi mempergunakan 10 prinsip universal yang membedakan satu tipe atau kelas kerabat dari yang lain kerabat dengan istilah-istilah tertentu, antara lain prinsip percabangan, prinsip umur, prinsip polarity, dan lain-lain. Dalam bahasa Rote/Thie istilah-istilah yang dipergunakan sebagai berikut:
No
Bahasa Indonesia
Istilah menyapa (Rote)
Istilah menyebut (Rote)
1
Ayah
Papa
Ama
2
Ibu
Mama
Ina
3
Ayah Mertua
Papa
Ari Ama
4
Ibu Mertua
Mama
Ari Ina
5
Kakek Mertua
Kakek
Ari Ba’i
6
Nenek Mertua
Nenek
Ari Bei
7
Menantu Lelaki
Ana (Anak)
Monefeuk
8
Menantu Perempuan
Ana (Anak)
Fetofeuk
9
Ipar (laki-laki)
Ka’a/Fadi (Kakak/Adik)
Kera (lelaki dengan lelaki)
10
Ipar (perempuan)
Ka’a/Fadi (Kakak/Adik)
Hi’a (perempuan dengan perempuan)
11
Paman:
-saudara ayah
-saudara ibu

Papa
To’o

Ama
To’o
12   
Suami:
-       Saudara perempuan ayah
-       Saudara perempuan ibu

Papa Te’o


Papa Ti’i

Papa Te’o


Papa Ti’i
13   
Isteri sudara ayah
Isteri saudara ibu
Mama
Mama To’o
Mama
Mama To’o
14   
Bibi:
Saudara ayah
Saudara ibu

Te’o
Ti’i

Te’o
Ti’i
15   
Kakek
Ba’i/Papa Be’a
Ba’i/Papa Be’a
16   
Nenek
Bei/Mama Be’a
Bei/Mama Be’a

Kakak
Ka’a
Ka’a

Adik
Fadi
Fadi

Anak saudara lelaki
Anak
Anak

Anak saudara perempuan
Anak
Dadis (Sele)

Saudara sepupu
Ka’a/Fadi (Kakak/Adik)
Ka’a/Fadi (Kakak/Adik)

Besan
Tidak ada istilah yang baku
Tidak ada istilah yang baku

Para isteri dari suami-suami yang bersaudara
Ka’a/Fadi (Kakak/Adik)
Mbala

Para suami dari isteri-isteri yang bersaudara
Ka’a/Fadi (Kakak/Adik)
Mbala

Seseorang berlaku sopan atau tidak sopan dapat dilihat atau diukur dari cara menyapa/menyebut sesuai dengan istilah-istilah seperti tersebut dalam tabel di atas. Misalkan seorang yang dalam status anak harus menyapa atau menyebut “papa/mama/te’o/ti’i/to’o” kepada tipe kerabat yang lainnya, yang status atau generasinya setingkat lebih tinggi, kendati yang berada pada status yang lebih tinggi itu umurnya lebih muda daripada yang berstatus anak.
Sesuai adat sopan santun, keluarga atau saudara laki-laki ibu disapa atau disebut to’o atau dalam bahasa Kupang disapa (disebut) om. Menyapa/mengebut keluarga/saudara laki-laki ibu dengan istilah to’o terasa lebih intim dan lebih spesifik daripada istilah sapaan/sebutan om. Istilah sapaan/sebutan to’o adalah istilah yang khas dalam hubungan kekeluargaan, sedang istilah om adalah istilah yang bersifat umum. Orang yang kurang memahami budaya Rote, keluarga/saudara laki-laki ayah juga disapa/disebut om, padahal sesuai adat seharusnya disapa (disebut) “bapa (papa)”. Sapaan atau sebutan itu meliputi ruang lingkup yang kandung maupun keluarga subklen, se-klen dan se-aliansi.
Menurut antropolog Kuntjaraningrat, dalam hampir semua suku bangsa di Indonesia, adat sopan santun yang menentukan kelakuan terhadap orang tua (bersifat amat dihormati), orang yang kurang tua (bersifat menghormat) dan orang lain (bersifat bebas).
Orang tua merupakan figur yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap anak. Begitu pula orang yang sudah tua pasti dihormati oleh setiap orang baik karena hubungan keluarga maupun bukan. Anak yang tidak menghormati, terlebih berkhianat, kepada orang-tuanya akan mendapat bencana. Bahkan menurut kepercayaan orang Rote-Ndao akan mati muda (mate sosoru).
Dalam budaya masyarakat Rote-Ndao, bukan orang tua (ayah-ibu dan mertua) saja yang sangat dihormati tapi kakak yang sulung pun dianggap seperti orang tua (ayah atau ibu) lalu dihormati. Dalam bahasa adat dikatakan “ka’a lole ama” (kakak bagaikan ayah). Bila ayah-ibu telah tiada (meninggal) maka kakak yang tertua berfungsi sebagai ayah-ibu.
Karena sapaan atau sebutan sangatlah dipentingkan, maka dalam menyapa/menyebut ataupun berelasi, setiap anggota keluarga harus mengenal dirinya, yaitu mesti tahu di mana posisi atau statusnya dan harus mengerti bagaimana posisinya. Seorang yang berada dalam status anak harus menyebut dan/atau menyapa orang yang lebih tinggi statusnya sesuai tata krama.
Demikian pula terhadap orang yang lebih tua dirasa tidaklah sopan jika dalam berelasi disapa namanya (istilah adatnya fi’i naden = cubit namanya). Untuk itu bagi yang dekat hubungannya, terlebih yang bersaudara kandung, yang sulung disebut “ka’a hu” –tanpa menyebut (fi’i) namanya. Bahkan bukan hanya merasa sungkan/segan menyebut langsung nama si orang tua/yang lebih tua namun anak/cucu yang diberi nama menurut mereka pun dirasa tidaklah sopan/dianggap kasar bilamana disapa namanya (fi’i naden).
Galibnya anak-anak menyapa/menyebut bersaudara laki-laki yang terdiri dari dua orang dengan istilah papa huk (bapak besar) dan papa anak (bapak kecil). Dalam bahasa Kupang, mereka itu disapa/disebut papa besa, papa tenga dan papa kici. Isteri-isteri mereka pun disapa/disebut mama huk/mama besa, mama ladak/mama tenga, dan mama anak/mama kici. Begitu pula terhadap oom/to’o disebut/disapa to’o huk (to’o besa), to’o ladak (to’o tenga), dan to’o anak (to’o kici). Terhadap isteri to’o: mama to’o huk (mama to’o besa), mama to’o ladak (mama to’o tenga), dan mama to’o anak (mama to’o kici).
Untuk ibu/paka sekeluarga, dalam menyapa, hanya disebut statusnya tanpa menyebut namanya, sedang dalam menyebut disebut dengan suatu istilah yang khas (khusus), misalkan bila atap rumahnya dibuat dari daun alang-alang maka disebut “Papa atau Mama Uma Fi” –maksudnya Bapak atau Ibu yang atap rumahnya dibuat dari alang-alang. Umumnya ciri khas rumah yang menjadi dasar sebutan.
Cara bersikap atau bertutur lainnya yang walaupun dirasakan cukup sopan namun dianggap kasar, misalkan si A (lebih tua atau statusnya sebagai orang tua) bertanya kepada si B, “Hendak ke manakah Anda?” Ada dua kemungkinan jawaban si B. Pertama: “Saya hendak ke ...” Dan kedua: “Saya hendak ke ...Papa/Mama/Kakak.”
Kendati dirasa sopan, jawaban pertama dianggap kurang halus. Jawaban yang lebih halus dan sopan adalah jawaban yang kedua, yaitu ditambah/diiringi dengan istilah sapaan seperti tersebut pada contoh.
Kini tampaknya nilai-nilai itu sudah agak longgar sehingga cara bertutur orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua tidak lagi bersifat menghormat. Apabila si orang muda merasa dirinya lebih hebat, misalkan karena lebih kaya atau lebih berpendidikan atau menyandang suatu jabatan yang tinggi.
Kendati terhadap orang lain atau orang sebaya bersifat bebas, namun hendaknya tata krama atau etika bergaul tetap ditegakkan. Dengan demikian keharmonisan dalam pergaulan tetap berjalan baik.

E.    Larangan Inses
Pembagian masyarakat Thie ke dalam dua bagian bertujuan agar mereka tidak bersusah-payah mencari jodoh sampai ke tempat yang jauh atau sampai ke nusak lain. Pun demikian dengan dibentuknya suku-suku kecil di dalam masing-masing dua suku besar agar memudahkan segala urusan karena telah ada pendelegasian wewenang kepada kepala-kepala suku (maneleo).
Dalam adat perkawinan dikenal istilah Musu Nok dan Feto Nak. Suku yang sesuai dengan hukum adat bisa kawin/mengawini disebut Musu Nok (lawan suku atau versus). Sedangkan suku yang di dalamnya sesuai hukum adat terdapat pembatasan jodoh disebut Feto Nak. Jadi Sabarai adalah versus dari Tarati. Juga sebaliknya.
Suku besar Sabarai terdiri dari Leo Ina Huk dan Leo Anak. Sedangkan suku besar Taratu terdiri dari Leo Kekadulu dan 11 suku yang lainnya. Atas kesepakatan Suku Sabarai, antara Leo Ina Huk dan Leo Anak saling mengambil jodoh. Begitu pula antara Suku Kekadulu dan 11 suku yang lain saling mengambil jodoh, selain dari Suku Musu Nok.
Sementara itu Suku Leo Landu mengurus dirinya sendiri atau otonom. Sebab itu, dalam perkawinan, ia bebas mengambil jodoh dari mana saja.
Meskipun secara ilmiah para morang orang Rote-Ndao belum mengerti genetika tapi mereka telah mengetahui bahwa perkawinan dalam lingkup keluarga akan mendatangkan bencana serta berbagai akibat buruk lainnya. Dengan demikian, mereka telah menyusun undang-undang untuk mencegah perkawinan saudara. Lembaga ataupun hukum adat yang telah dibuat oleh para moyang ini kiranya dipertahankan dan dilestarikan. Kita berterima-kasih kepada para leluhur karena jika tidak dibuat (ditinggalkan) undang-undang seperti itu, maka masyarakat kita seperti orang Samaria yang banyak keturunannya menderita berbagai gangguan genetika lantaran mereka kawin dalam keluarga (in breeding). Walaupun mereka sudah hidup lebih dari 2.500 tahun, namun jumlah mereka sampai dengan tahun 1997 hanya sebanyak 400 orang (Awward: 1997).
Dalam adat perkawinan dari berbagai suku bangsa di dunia ini terdapat larangan perkawinan atau inses atau dalam bahasa medisnya disebut kongsanguitas, yaitu perkawinan antar-dua individu yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Selain dari larangan perkawinan inses, orang Rote mengenal pula perkawinan yang disebut Nisak dan Tia Lai (Tia Lai khusus di Dengka). Sebaliknya ada juga jenis perkawinan yang diingini oleh masyarakat adat dan dianggap ideal, yaitu Tuti Kalikek dan Helu Barta.
Inses. Perkawinan inses terdiri dari tiga jenis, yaitu, pertama, Mane Oen. Mane oen adalah parallel coussin pihak ayah. Keluarga mane oen meliputi ruang lingkup keluarga sekandung, se-subklen, se-klen dan se-aliansi. Lelaki-wanita keturunan dari mane oen (pihak bapa) disebut feto nak. Pergaulan antara lelaki dan wanita feto nak sangatlah sungkan serta tidak akan berbicara vulgar atau menunjukkan sikap yang tidak senonoh di antara mereka. Dirasakan betapa indah dan mesranya rasa kekeluargaan, bila antara lelaki dan wanita se-klen atau se-aliansi itu saling menyapa atau menyebut dengan istilah “na” (saudara laki-laki) atau “feto” (saudara perempuan). Sapaan atau sebutan seperti itu (feto atau na) memberi makna yang dalam sebagai pernyataan rasa keintiman/kemesraan dalam kekeluargaan, sekaligus merupakan isyarat untuk menjauhi hubungan seksual. Pelanggaran atas larangan kawin jenis ini disebut telutae atau sao feto nak.
Larangan kawin dalam hubungan mane oen atau feto nak dilindungi Hukum Perkawinan Adat Nusak Thie. Pelanggaran atas larangan kawin karena feto-nak, dulu sanksinya adalah dirajam, tapi pada saat diresmikannya suku-suku kecil itu pada sekitar tahun 1790, ditentukan sebagai berikut: Sanksi rajam dihapus; Sebagai substitusi dari sanksi rajam, si lelaki harus menanggung atau memberikan seekor kuda (kini bisa kerbau) untuk majelis adat, disebut tati telutae; Si wanita memberikan sebuah sarung adat untuk majelis adat; dan Bagi yang berhubungan cinta dibatalkan.
Setelah sanksi diselesaikan, perkawinan dibatalkan. Bila sudah ada anak, maka anak termasuk milik ibu atau masuk suku ibu. Anak semacam ini disebut ana telutae atau ana bai. Gelar sinis bagi orang yang melakukan perbuatan telutae adalah “ndi’i do mukuk” (telinga puntung). Digelar atau dianggap sebagai telinga puntung (kudung), karena orang yang daun telinganya kecil atau kudung, agak sulit mendengar, termasuk sulit dalam mendengarkan nasehat-nasehat yang baik.      
Kedua, Feto Oen. Larangan kawin karena feto oen (parallel coussin pihak ibu) adalah larangan kawin bagi anak-anak dari ibu-ibu yang bersaudara baik se-ayah ataupun se-kakek. Bila ada yang melanggar, tidak dikenakan sanksi lantaran tidak termasuk dalam Hukum Perkawinan Adat Nusak Thie, tapi diselesaikan secara magis religius. Kini larangan kawin jenis ini telah longgar.
Ketiga, Hanas. Perkawinan hanas (panas), yaitu perkawinan: 1) Antara anak dan ayah/ibu atau paman dengan keponakan; 2) Berhubungan semenda yaitu menantu dengan mertua dan orang tua tiri dengan anak tiri; 3) Antara saudara seibu; dan 4) Berhubungan sesusuan.
Pelaku-pelaku pada butir 1 dan 2 seperti tersebut di atas dijuluki “mandapai” –karena pada zaman dulu Mandapai Ledo berselingkuh/kawin dengan keponakannya yang bernama Mbeka Ina Bulan. Selanjutnya, kendati perkawinan antara seorang laki-laki dan anak perempuan saudara perempuannya baik sekandung maupun sepupu (to’o dengan dadis/sele perempuan) berdasarkan adat/hukum dibolehkan namun dianggap tidak pantas.
Menurut masyarakat adat, perbuatan telutae dan hanas adalah dosa, najis, dan haram, yang pasti mendatangkan bencana dan aib bagi mereka yang bersangkutan dan keturunan mereka, maupun bagi kaum kerabat mereka. Dulu, selain dari hukuman rajam, mereka juga dikucilkan dari masyarakat dan dilarang melaksanakan tugas-tugas spiritual. Menurut Prof. Kuntjaraningrat, dari banyak suku bangsa di dunia, perbuatan inses dihukum mati atau dibuang.
Nisak. Membunuh adalah perbuatan yang mendatangkan dosa ataupun bencana, sehingga sebenarnya hal itu harus dihindari. Namun bila terjadi pembunuhan maka perbuatan itu disebut nisak. Bila terjadi pembunuhan di antara suku-suku musu nok, maka selain mendatangkan bencana bagi keturunan dari mereka yang saling mengawini, juga menimbulkan dendam kesumat antara suku-suku yang bersangkutan.
Guna mencegah bencana yang kelak menimpa serta untuk meredam dan menghilangkan rasa dendam maka diadakan sumpah tidak saling mengambil jodoh turun-temurun antara suku-suku yang bersangkutan.
Pembatasan jodoh karena nisak terdapat antara rumpun Suku Moianan dan Suku Henulae, Suku Manedato dan Suku Su’a, Suku Musuhu dan Suku Henula’e. Bila terdapat pelanggaran atas larangan kawin jenis ini maka akan diselesaikan secara magis religius, sesudah mereka diperkenankan membentuk rumah tangga. Larangan kawin jenis ini pun kini telah longgar.
Tuti Kalikek. Tuti kalikek atau tuti tali e’ (sambung ikat pinggang) adalah perkawinan cross coussin, yaitu antara anak dari laki-laki dan perempuan yang bersaudara, baik sekandung maupun sefamili atau sesuku.
Meskipun ada adat tuti kalikek namun perkawinan semacam ini jarang terdapat pada anak-anak dari lelaki-perempuan yang sekandung. Terbanyak pada anak-anak dari lelaki-perempuan bukan sekandung.
Barta dan Lango Bano. Kawin gantung atau dalam bahasa Rote disebut barta atau helu barta, yaitu suatu perjanjian adat untuk mengawinkan anak-anak tertentu di kemudian hari, setelah mereka dewasa. Hal ini umumnya terjadi pada hubungan cross coussin. Sesuai dengan perjanjian, setelah mereka yang bersangkutan dewasa, dilaksanakan syarat-syarat adat lantas dikawinkan. Tidak akan dikenakan sanksi bila salah satu pihak membatalkan perjanjian.
Selain dari itu, bila sepasang anak lelaki-wanita yang walaupun bukan dalam hubungan cross coussin tapi jika lahir bersamaan waktu, maka dapat pula diadakan perjanjian oleh orang tua kedua belah pihak untuk kelak dikawinkan setelah mereka dewasa. Upacara merestui secara adat seperti itu disebut lango bano do so sera. (*)







Komentar

  1. Teks di atas 90 % diambil buku karangan Paul A. Haning, yang berjudul "Rote Ndao Rangkaian Terselatan Zamrud Katulistiwa". Yang sangat disesalkan ialah penulis tidak menyebut sumber/kutipan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan (teks) di atas bagian dari buku berjudul "Todefeo Punya Cerita" karya Lens Haning yang diterbitkan pada Desember 2016. Maaf kalau membuat pak paul merasa keberatan. Salam.

      Hapus

Posting Komentar