* Bab
2
Dalam kehidupan di
dunia, manusia tidak bisa dilepaskan dari hubungan keluarga, di mana ia sebagai
manusia lahir di muka bumi sebagai anak dari pasangan ibu-bapak. Selanjutnya, setelah
dewasa dan menikah, si anak manusia ini akan ikut andil dalam proses adanya
terciptanya sebuah janin menjadi sosok manusia. Sehingga, dalam silsilah keluarga
muncul istilah anak, bapak-ibu, kakek-nenek, buyut, cicit dan seterusnya, di mana
setiap orang mengalami proses pergantian peran atau posisi secara berkesinambungan.
Saat sekarang sang cicit manjadi manusia yang paling muda usianya dalam
keluarga, namun pada suatu saat kelak akan menjadi kakek atau nenek yang secara
usia paling tua dalam keluarga tersebut.
Siapa dan dari garis
keturunan mana seseorang berasal biasanya dapat kita runut dari nama yang
disandangnya. Bila kita cermati, secara umum, nama adat orang Rote terdiri dari
dua kata (nama). Nama depan merupakan nama yang bersangkutan, sedangkan yang
kedua (terletak di belakang) adalah nama ayahnya. Jadi nama anak digabung
dengan nama ayah. Bila seseorang bernama Mbatu Lai, maka pasti namanya adalah
Mbatu, dan ayahnya bernama Lai. Jika ayah si Lai bernama Hani, maka nama
lengkap si ayah menjadi Lai Hani.
Nama-nama adat itu
boleh dikata menggambarkan mata rantai keturunan yang turun-temurun. Hal ini memudahkan untuk merunut silsilah dan
menghindari kesalahan garis keturunan. Untuk melacak nama atau garis keturunan
(silsilah), melalui tulisan atau tuturan nama adat jelas akan memberikan hasil
yang lebih baik. Sebaliknya, bila kita hanya melihat nama Serani akan sangat
sulit dilihat atau dirunut rangkaian silsilahnya.
A.
Arti
Penting Silsilah
Secara kamus, silsilah
mengandung arti asal-usul suatu keluarga berupa bagan; susur galur (keturunan).
Misalkan, menurut silsilahnya, si fulan berasal dari keluarga baik-baik. Silsilah juga
berarti catatan yang menggambarkan hubungan keluarga beranak-pinak sampai
beberapa generasi. Dapat pula sebagai sebuah garis atau ling penggambaran
hubungan antara keluarga asal dan keluarga-keluarga turunan dalam sebuah keluarga
besar.
Silsilah amatlah
penting karena akan memperjelas asal-usul suatu keluarga. Dari silsilah akan
terlihat sejarah turun-temurun sebuah keluarga. Sejarah memang perlu diketahui,
termasuk sejarah keturunan suatu suku atau bangsa. Lantaran betapa pentingnya
silsilah, Kitab Suci pun berisi sejarah dan sisilah para rasul dan nabi. Penuturan
ataupun pencatatan silsilah terdapat pada seluruh bangsa di dunia –baik yang telah
maju maupun yang sedang berkembang.
Setiap manusia
mempunyai silsilah (garis) keturunan, namun tidak semua orang mengetahui secara
pasti dan urutan silsilah garis keturunannya. Ada orang yang beruntung masih
mempunyai catatan garis keturunan beberapa generasi, mungkin bisa mencapai
tujuh generasi atau lebih. Tapi, tidak sedikit orang yang tidak paham siapa
orang-tuanya atau kakek-neneknya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh proses
kehidupan yang dijalani orang tersebut, baik karena faktor lingkungan atau
situasi yang terjadi pada saat itu, atau barangkali faktor internal
keluarganya.
Silsilah keluarga yang
masih terjaga dan tercatat secara baik dan utuh biasanya dimiliki oleh
keluarga-keluarga kerajaan/kraton beserta kerabat-kerabatnya. Namun tidak
sedikit orang biasa juga masih mempunyai catatan silsilah keluarga. Banyak
orang yang mempunyai silsilah keluarga tapi tidak tercatat atau didokumentasikan,
sehingga catatan garis keturunan hanya ada di dalam ingatan setiap anggota
keluarga. Dengan begitu seiring dengan wafatnya salah satu kerabat/generasi
tua, semakin luntur dan hilang garis keturunan, yang menyebabkan semakin
jauhnya hubungan keluarga dan hal ini cenderung memisahkan hubungan keluarga
dan famili sehingga seolah-olah menjadi orang lain.
Catatan silsilah tidak
hanya penting buat sebuah keluarga. Penting pula bagi sebuah komunitas, ras,
suku dan bahkan bangsa. Betapa pentingnya silsilah bagi kelangsungan sebuah
bangsa, sampai-sampai di Amerika Serikat terdapat badan khusus yang menangani
silsilah, termasuk bertugas melacak silsilah-silsilah yang kabur. Di Jawa,
silsilah orang Jawa ditulis dalam buku Stamboom
Jawa. Setiap suku atau bangsa tentu mengetahui silsilah suku atau
bangsanya, secara tertulis ataupun dalam bentuk hafalan.
Mengutip pendapat
Mubyarto (1991: 57) bahwa sentimen yang didasarkan pada persamaan leluhur acap
menjadi faktor penting bagi terciptanya kohesi sosial. Sehingga, cerita rakyat
di berbagai daerah di Indonesia menggambarkan perjuangan-perjuangan yang
menelusuri ceritera tanah tumpah darahnya. Salah satu cabang dari Ilmu
Antropologi, yakni Antropologi Ragawi --khususnya Paleo Antropologi—juga
berkembang atas dasar dorongan yang sama, yakni penelusuran akan nenek moyang
atau leluhur umat manusia yang tersebar di seluruh muka bumi ini.
Tidak ada terminologi
yang baku dalam bahasa Rote tentang kata atau istilah silsilah. Kendati begitu
dapat diterjemahkan dengan kata “tutui
tititi nonosik” (sejarah keturunan). Sedangkan untuk yang menuturkan
silsilah disebut “tui ba’i”.
Di Rote, setiap nusak
(eks kerajaan) memiliki buku yang berisi catatan atau dokumen silsilah
masing-masing keluarga atau klen. Pada masa pemerintahan Belanda di Rote Ndao,
khususnya di Thie, di bawah koordinasi beberapa gezahgeber dan juga pendeta (hulpprediker),
antara lain hulpprediker van der
Misen dan Hasselhoofd, Inlandsleraar St. J. Merukh, menyusun silsilah
masyarakat Thie dengan bantuan beberapa narasumber, dimulai tahun 1907, dan
terakhir pada tahun 1932. Terdapat pula beberapa dokumen atau naskah lainnya,
yaitu yang dimiliki oleh J.N.S. Messakh dan Es Pandi.
Di Thie, narasumber
yang banyak mengetahui silsilah tiap klen (leo) adalah Semuel Ndun. Silsilah
yang disusun oleh St. J. Merukh dan juga yang lain-lain, sumber utamanya adalah
Semuel Ndun. Namun, menurut Paul A. Haning, penulisan silsilah oleh Merukh dan lain-lain
sampai dengan tahun 1932 itu ternyata terdapat beberapa mata rantai yang putus
dari beberapa ranting (teidalek)
dalam beberapa klen (leo). Yang
lengkap adalah leo Mburala’e, Tolaumbuk, Todefeo, Nalefeo dan beberapa klen
lain.
Bahwa hampir setiap orang
Rote memiliki dua nama, masing-masing nama adat (daerah) dan nama asing yang
dikutip dari Alkitab atau nama orang Barat. Telah disinggung di awal bab ini,
bahwa nama adat seseorang terdiri dari nama yang bersangkutan digandeng dengan
nama ayahnya. Bila telah menjadi Kristen, maka nama Serani yang bersangkutan
digandeng dengan nama keluarganya (fam). Sebelum menjadi penganut agama Kristen,
nama isteri tetap digandeng dengan nama adat ayahnya, dan tatkala telah masuk
Kristen, lalu nama isteri digandeng dengan nama keluarga (fam) suami. Tapi,
bilamana menuturkan silsilah maka nama isteri digandeng dengan nama ayahnya.
Kini banyak orang Rote
yang memakai nama artis, baik artis nasional maupun artis Barat. Bahkan nama
Jawa pun telah diabadikan. Nama dari Alkitab dan nama Barat atau nama artis itu
umumnya diabadikan untuk orang Kristen dan disebut nama Serani. Namun nama adat
(daerah) bisa pula diteguhkan menjadi nama Serani setelah ada pembaptisan. Nama
adat dan nama Alkitab/Barat juga bisa digabung. Jadi nama Serani dapat berupa
nama adat dan nama Alkitab/Barat. Nama adat ataupun kombinasi nama adat dan
nama Alkitab/Barat yang dijadikan nama Serani jumlahnya relatif kecil.
Umumnya nama keluarga
terdiri dari nama adat, tapi ada pula yang memakai nama Alkitab atau nama
Barat. Selain dari nama adat, nama Serani seseorang digabung dengan nama
keluarga. Dalam menuturkan silsilah, nama adat lebih cocok untuk dipergunakan
karena merupakan mata rantai sehingga rangkaiannya lebih jelas jika
dibandingkan dengan mempergunakan nama
Serani yang berasal dari Alkitab atau nama Barat. Gabungan nama diri
(adat) dan nama keluarga tidak bisa dipergunakan dalam menuturkan silsilah
karena akan membingungkan.
Untuk lebih
memperjelas pemahaman itu, dapat dicontohkan beberapa silsilah berikut:
·
Bila seseorang bernama Loti Boru maka
pasti nama sebenarnya orang itu adalah Loti dan nama ayahnya Boru. Seandainya
ayah si Loti dikatakan/diperkirakan bernama Manafe Fatu maka tentu terdapat
kekeliruan dari nama si ayah tersebut. Nama
depan si ayah seharusnya Boru, misalkan Boru Henu.
·
Jika seseorang bernama Daud dan ayahnya
bernama Abraham, maka akan digabung menjadi Daud Abraham. Hal ini membingungkan
lantaran pasti orang menyangka bahwa Abraham adalah nama keluarga, padahal nama
ayah. Untuk menghindari kekeliruan dalam menuturkan sisilah maka para manahelo
memakai nama adat (gabungan nama anak dan ayah).
·
Bila seseorang menyandang nama Mery Mesah
maka nama yang bersangkutan adalah Mery (nama Serani), sedangkan nama
keluarganya Mesah.
·
Kalau seseorang bernama Petrus Adu Hani
Koamesah, maka Petrus adalah nama Serani (Alkitab), Adu Hani sebagai nama adat,
dan Koamesah adalah nama keluarga.
Tujuan mempelajari
sejarah dan asal-usul keluarga antara lain untuk:
·
Mengetahui perkembangan populasi suatu
keluarga/suku dari masa ke masa.
·
Agar tidak keliru dalam menyapa
dan/atau menyebut.
·
Mengetahui asal-usul termasuk latar
belakang seseorang.
·
Dengan mengetahui hubungan kekeluargaan
akan terpupuk rasa kekerabatan.
·
Supaya jangan terjadi kekeliruan dalam
mengambil jodoh (pasangan hidup).
·
Mengetahui peran seorang moyang bagi
keluarga dan sesama pada masa hidupnya.
Setiap genealogi
merupakan suatu urutan nama yang teratur sesuai dengan nama seseorang leluhur
dan berlanjut dalam suatu garis langsung ke nama keturunannya (yang laki-laki)
yang terakhir atau ke nama seseorang yang menokohi genealogi tersebut. Tokoh
atau leluhur yang menurunkan suatu genealogi (komunitas), baik komunitas etnis,
subetnis maupun klen, disebut ba’i kise.
Pada umumnya, silsilah
dituturkan secara turun-temurun oleh orang tua pada saat-saat santai atau pada
suatu momen yang khusus/penting. Selain itu, sesuai adat, dituturkan pada saat
upacara kematian atau pada saat ritual rumah baru atau upacara hus. Pada
momen-momen seperti ini penutur silsilah haruslah orang yang profesional dalam
bidang silsilah ataupun dalam bidang sastra/syair (bini). Oknum semacam ini
disebut manahelo.
Sesuai dengan
fungsinya, terdapat tiga jenis manahelo,
yakni Manahelo Ba’i, (penutur
silsilah-mengisahkan silsilah dengan suara nyaring yang berirama); Manahelo Bini (penutur syair –
mengucapkan bini dengan suara nyaring yang berirama); dan Manahelo Kebak (penyanyi solo pada tarian lingkaran/kebalai).
Banyak orang yang
tidak mengetahui silsilah nenek moyangnya. Yang terbanyak hanya mengetahui
sampai pada kakek yang terakhir. Bahkan ada yang sampai tidak mengenal
kakek-neneknya. Hal ini terjadi lantaran (mungkin) orang tua tidak pernah
bertutur tentang muasal keturunan. Ada pula yang sengaja tidak mau menuturkan
atau sengaja menghilangkan sejarah keturunannya karena terjadi konflik
antar-keluarga atau juga oleh sebab ada lembaran hitam dalam sejarah keturunan
mereka. Dan dapat terjadi gara-gara ketidak-harmonisan hubungan keluarga.
Dalam menuturkan
silsilah, hanyalah anak lelaki yang dituturkan secara turun temurun dan
bilamana tuturan sampai pada salah seorang anak/lelaki yang tidak punya
keturunan (tidak punya anak lelaki) maka manahelo mengatakan “Ia lakasumba sai boak do lakapado no meak,
de ela ia neu ia ma mbeda ia neu ia” (Ini adalah buah lontar yang tidak
bertunas dan buah kelapa yang tak berisi, maka itu biarkan ini di sini dan
simpan ini di sini). Maksudnya, karena tidak ada anak lelaki maka silsilahnya
tidak dilanjutkan. Sedangkan bila hanya ada anak perempuan, maka silsilahnya
tidak dilanjutkan tapi manahelo hanya mengatakan “Ana bonggi nala kada ana inakara” (dia hanya mendapatkan anak-anak
perempuan).
Selain untuk mencari
teman hidup (sangga tatain), tujuan
perkawinan orang Rote juga untuk memperoleh anak, terutama anak laki-laki. Anak
laki-laki lah yang kelak melanjutkan generasi ayah. Jika tidak ada anak
laki-laki maka pasti sang ayah, pun sanak kerabat, merasa prihatin karena tidak
ada yang melanjutkan generasi yang bersangkutan. Bagi yang tidak mempunyai anak
lelaki, namanya dituturkan hanya selama yang bersangkutan masih hidup. Bila
telah meninggal dunia maka satu atau dua generasi kemudian namanya hapus/hilang
dari penuturan silsilah. Alkitab mengatakan pula, “Bila tidak ada anak lelaki
maka hapuslah/hilanglah nama ayah” (Bilangan 27:4).
B.
Moyang
Orang Rote
Menurut penuturan
beberapa narasumber manahelo (Semuel Ndun dan Thomas Siokain), orang Rote
berasal dari Sera Sue do Dae/Dai Laka (Seram). Moyang yang berasal dari Seram
bernama Dae Dini, bersama isteri dan dua orang anaknya lelaki –Deta Dae dan
Mbaki-Mbaki Dae.
Dari Deta Dae, 13
generasi kemudian tiba pada Fai Ani. Lantas moyang ini (Fai Ani) beranak Ne Fai
dan Loakina Fai. Mereka masih bertualang di Pulau Timor. Baru kemudian
anak-anak Fai Ani dan Loakina Fai berpindah (secara bergelombang) ke Rote.
Ne Fai memiliki empat
orang anak, masing-masing Rote Nes (Lote Nes), Bara Nes, Keo Nes, dan Lino Nes.
Keempatnya hijrah ke Pulau Rote sekitar tahun 400-450 Masehi. Rote Nes, Lino
Nes dan Bara Nes menempati ujung timur Pulau Rote. Sedangkan Keo Nes menempati
bagian barat Rote (Ndao). Beberapa keturunan dari moyang Rote Nes mempergunakan
atau mengabadikan nama moyangnya itu dan dari nama itu kemudian muncul nama
Pulau Rote.
Keturunan Loakina Fai
juga hijrah ke Rote. Dari moyang ini, beberapa generasi kemudian tiba pada Sai
Paliku. Lalu Sai Paliku beranak-pinak Nggenggo-Nggenggo Sain dan Hie-Hie Sain.
Selanjutnya dari
Nggenggo-Nggenggo Sain, 20 generasi kemudian tiba pada Lea Nggaba. Lantas dari Lea
Nggaba muncul keturunan antara lain Liti Leang (penemu gong) dan Batu Leang
(penemu tambur). Sementara itu dari Hie-Hie Sain, 10 generasi berselang tiba
pada Meda Tema. Berikutnya, Meda Tema menurunkan Mu Mai Meda dan Oka Meda.
C.
Silsilah
Mu Mai Meda
Moyang Mu Mai Meda
beranak Paku Maka Mu, kemudian Paku Maka Mu memiliki anak Pala Paku. Berikutnya
Pal Paku mempunya tujuh orang anak, antara lain Lai Pala dan Niru Pala.
Lai
Para
memiliki beberapa anak lelaki, di antaranya:
·
Baerama Lain. Dia memiliki anak Bula
Baerama. Dari Bula Baerama muncul Loma Bulan. Loma Bulan beranak: Lilo Loma
yang beranak Tou Dengga Lilo dan seterusnya (Baa/Ene); Kule Loma (Diu Lelenuk);
dan Keturunan Paisama Loma à Pao
Pasiama à Landa Pao à Timu Landa à Mau Timu (Suku Kolek di Lelesur –
Dasioen).
·
Makarenda Lain. Sebelas generasi
kemudian dari Makarenda Lain tiba pada Osekama Kilo. Lalu Osekama Kilo punya
anak Pua Osekama (Baa/Suku Modok), Lai Osekama (sebagian Suku Kolek), dan
Langga Osekama (sebagian Suku Sandi-Daisoen, Lelesur).
·
Sera/Sela Lain. Dia menurunkan Lilo
Seran dan Mboe Dai Seran. Selanjutnya Lilo Seran menurunkan sebagian Suku Kasu
(Lole) dan sebagian Suku Kekadulu (Thie). Keturunan Mboe Dai Seran
berturut-turut Lee Mboi Dai Ã
Longgo Lee à Telu Longgo à Loa Telu à Dai Loa. Lantas Dai Loa beranak Mobe
Dai dan Sera Dai. Mboe Dai menurunkan sebagian dari Suku Mboe Teik (Dengka),
sedangkan Sera Dai beranak dua orang anak lelaki, masing-masing Leto Seran dan
Soroba Seran. Lalu Leto Seran beranak Roi Leto. Roi Leto tidak memiliki anak
lelaki. Kebetulan ada tiga orang bersaudara berasal dari Sabu, yaitu Dini Miha,
Ti Miha, dan Donde Miha. Di Rote, ketiga bersaudara ini dikenal dengan nama
Dini Misa, Ti Misa dan Donde Misa. Roi Leto mengadopsi Ti Misa sebagai anaknya
dan masuk ke Suku Le’e. Keturunan Dini Misa ada pula yang masuk ke Suku Le’e
dan ada yang masuk Suku Tasioe (Dengka). Dan keturunan Donde Misa terdapat yang
masuk Suku Mbae (Oenale) dan ada lagi yang masuk Suku Fia (Oepao).
Ketiga
bersaudara tersebut bersaudara pula dengan Ie Miha, Bobo Miha, Dida Miha, dan
Rohi Miha. Mereka tetap tinggal di Sabu. Ayah mereka bernama Miha Ngara.
Sementara
itu Soroba Seran kawin dengan Koa Tande lalu melahirkan Pupuk Soroba. Pupuk
Soroba inilah yang menciptakan alat musik sasando. Dia tidak meninggalkan
keturunan.
Niru
Pala.
Delapan generasi kemudian dari Niru Pala tiba pada Mau Ndole. Selanjutnya Mau
Ndole beranak:
·
Ti Mau, ke Rote (Thie).
·
Belu Mau, ke Belu/Tetun.
·
Savu (Hau) Mau, ke Sabu.
·
Rote Mau, ke Rote (Bilba).
·
Lihu (He) Mau, ke Semau.
·
Suki Mau, ke Ndao.
·
Folo Mau, juga ke Ndao.
·
Siri Mau, ke Ambon (versi Riwu Kaho).
Sejarah hidup Suki Mau
dan Folo Mau tidak begitu dikenal oleh banyak manahelo. Sementara yang paling
banyak dikenal oleh para manahelo adalah Ti Mau, Belu Mau, Savu Mau, kemudian
Rote Mau dan Lihu (He) Mau. Moyang-moyang ini terlahir dan besar di Pulau Timor
(Gunung Lakaan), baru kemudian berpisah (bertualang).
Yang berpisah lebih
dulu adalah Rote Mau, ke Rote bagian Nusak Bilba. Menyusul berselang Suki Mau
dan Folo Mau. Suki Mau ke beberapa tempat. Dia beranak Ami Suki lalu Ami Suki
beranak Ndao Ami. Moyang ini (Ndao Ami) menempati Pulau Ndao.
Ada yang mengatakan
bahwa moyang pertama orang Ndao adalah Dhao Mau. Sebaliknya narasumber lain
menyebutkankan bahwa moyang pertama adalah seperti yang tersebut di atas (Suki
Mau). Waktu itu Folo Mau mengarungi laut di sebelah selatan Amfoang, dia
tenggelam. Lokasi tenggelamnya Folo Mau itu disebut Laut Pen Folo. Namun Folo
Mau ternyata selamat dari kecelakaan itu lantas melanjutkan pelayaran dan
akhirnya sampai pula di Ndao. Di Ndao, dia disebut Folo Manu. Dan nama ritual
Nusak Ndao adalah Ndao Nuse do Folo Manu.
Terakhir barulah Ti
Mau, Belu Mau, Savu Mau dan He Mau bertualang. Dari Gunung Lakaan, keempat moyang
itu mula-mula ke Larantuka. Selanjutnya dari Larantuka, He Mau ke Pulau Semau,
dan tiga saudaranya yang lain (Ti Mau, Savu Mau dan Belu Mau) kembali ke Timor dan
tinggal di Suai Kamanasa/Belu. Kemudian ketiganya ingin berpisah lagi.
Sebelum Ti Mau, Belu
Mau dan Savu Mau berpisah, mereka bersumpah. Adapun isi sumpah mereka:
·
Pertama, keturunan mereka tidak boleh
berkelahi atau bermusuhan. Bila ada yang melanggar sumpah itu maka bagi yang
lebih dulu melakukan pelanggaran akan binasa/mati.
·
Kedua, keturunan mereka tidak boleh
kawin mawin.
Sumpahan butir pertama
masih ada pengaruhnya sampai sekarang. Para pengamat sosial mengatakan bahwa
kekerabatan lintas etnis seperti tersebut perlu dipertahankan demi mengeliminir
konflik-konflik sosial antara para pihak yang bersangkutan. Sedangkan sumpahan
butir kedua sudah sejak lama dilanggar.
Sesudah bersumpah,
mereka pun berpisah. Savu Mau ke Pulau Sabu lalu menurunkan sebagian penduduk
Sabu. Sebagian penduduk Sabu lainnya adalah keturunan dari seorang moyang yang
bernama Kika Ga. Kika Ga berasal dari India (Detaq 1973: 7 dan Riwu Kaho 2005:
3). Menurut Kana (1983: 105) bahwa moyang itu adalah Haw Ga.
Belu Mau tinggal di
Tetun/Belu lantas menurunkan sebagian penduduk Tetun. Belu Mau beranak Bata
Belu, kemudian Bata Belu beranak Ole Bata. Ole Bata beranak Sai Ole, Sai Ole
beranak Nggenggo Sai dan seterusnya.
Dari Suai Kamanasa,
moyang Ti Mau berpindah ke Amfoang lalu tinggal di sebuah gunung yang kemudian
gunung itu dikenal dengan nama Gunung Ti Mau, sesuai dengan moyang ini. Selanjutnya
dari Gunung Ti Mau, moyang ini berpindah lagi ke Rote, lalu mendarat di
pelabuhan Namo Linok atau Ifa Lima (Landu/Rote Timur) dan tinggal di Karafao.
Menurut perkiraan Paul
A. Haning, atas dasar pada perbandingan/urutan generasi (silsilah), ke-8
bersaudara itu dilahirkan pada sekitar akhir abad ke-12 Masehi atau sekitar
awal abad ke-13 Masehi.
He Mau dikenal dengan
beberapa nama, selain nama He Mau, ada yang menyebut nama Lihu atau juga Soi.
Begitu pula ada yang menyebut bahwa He Mau adalah perempuan dengan buah dada
yang panjang.
D.
Silsilah
Oka Meda
Delapan belas generasi
berselang setelah Oka Meda sampai lah pada Bula Kai. Bula Kai punya banyak anak
lelaki, di antaranya Batola Bulan (menempati Bokai, menurut legenda karena dia
mendapat kutukan dewa laut maka keturunannya tersebar). Patola Bulan menurunkan
anak Sa Patola. Kemudian Sa Patola memiliki tiga orang anak, masing-masing Ndu
Sa, Langga Sa dan Lai Sa.
Menurut legenda, Ndu
Sa diterbangkan oleh burung elang ke Thie. Waktu itu keturunan Ti Mau sudah ada
di Nusak Thie/Pulau Landu. Dia sebaya dengan Resi Kiki (abad ke-14 Masehi). Di
Thie, ketika membakar ladang, dia turut terbakar, yang tersisa tinggal
kepalanya dalam keadaan hidup lantas diterbangkan pulang oleh seekor burung
elang dan diletakkan di atas meja Raja Ndana. Di Ndana, dia tidak disebut Ndu
Sa melainkan disebut Loli-Loli Sa. Arti kata loli-loli adalah berbaring atau
berguling-guling. Air liur si tengkorak terlangkahi oleh puteri Raja Ndana
lantas sang puteri mengandung. Ia melahirkan seorang anak laki-laki lantas
dinamakan Landu Loli-Loli. Sebagian Suku Sandi (Sandi daehuk – Mbelaoen) adalah
keturunan dari anak/oknum tersebut.
Sedangkan Langga Sa
memperoleh tiga keturunan. Pertama, Sorofai Langga yang sejumlah keturunannya
terdapat di Bokai. Kedua, Lai Langga. Dari Lai Langga lahir Lunggi Lain yang
selanjutnya beranak Bola Lunggi, dan Bola Lunggi beranak Kale Bola (menempati
Bokai). Dan ketiga, Tadi Langga yang kemudian turun-temurun ke Lelain (Suku
Tadi).
Keturunan dari Lai Sa
tersebar ke Korbafo (Suku Tananggoe), Lole (sebagian Suku Hadebonggama/Anakai),
Dengka (Suku Bo’ai), Ndao (sebagian Suku Aputeti), dan Thie (Suku Meoleok –
mulai dari moyang Meo Nara; dia sebaya dengan moyang Tode Boru/Todefeo, abad
ke-17 Masehi).
E.
Silsilah
Rumpun Marga Dengka
Dengka merupakan salah
satu dari 19 nusak (kerajaan) di Rote Ndao dengan julukan “Oe Luat do Laba Oe“ dan nama ejekan “Dengka Tafa Na’ak“ (Orang Dengka yang dimakan pedang). Dalam
perjalanannya sebagai sebuah kerajaan, tercatat raja-raja Dengka:
* Tongah Kotek (1854 –
1858).
* Adoe Tongah (1859 –
1890).
* Paulus Adoe Toenggah
(1891 – 1903).
* Alexander Toenggah
(1904 – 1906).
* Alexander Paulus
Toenggah (1907 – 1911).
Suku-suku di Dengka
termasuk dalam rumpun Elomuli, Takatein, Ndau, Ambik dan Balaoli. Adapun
penyebaran marga-marga dari masing-masing rumpun, menurut catatan Guru Besar
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Yusuf Leonard Henuk, sebagai
berikut :
Dari rumpun Elomuli
tercatat:
(1). Elo (Raja): Elo,
Lete, Laasar, Henuhanu, Abidano, Mba’u, Lani, Laasai, Mengge, Ndo’i, Ndao.
(2). Fando: Fek, Polo,
Adu, Mole, Baik, Fanggitani, Henuk, Tasi, Ufi, Nafi.
(3). Tasioe: Saduk,
Henuk, Poik, Mba’u, Detanelu, Nafi, Foes, Baluk, Nggonggoek, Nggoek, Pa’a.
(4). Luna: Lulupoy,
Luna, Ambi, Bessie.
(5). Todak: Adu,
Manuain, Eohndolu, Ndolueoh, Ndolu, Ledo, Sa’u, Fanggi, Donggi, Pandi, Henuk,
Bute, Tobo, Nuiek, Mba’u, Pou, Langga, Moihana, Nafi, Ndun.
(6). Boluk: Eoh,
Hanas, Foeh, Ndun, Adu, Bolu, Sula, Lona, Bandi, Nale, Henudelas, Fili, Sela,
Haninuna, Koten, Medi.
(7). Busaleok
(MboEtik): FoEs, Modok, Nasa, Bulu, Mboe, Ndun, Ndolu, Manu, Sula, Mone,
Nggili, Lona, Helo, Fua, Neu, Ufi, Landak.
(8). Leoanak : Nafi,
Suek, Iani, Hele, Adam.
(9). Mbau Umbuk :
Henuhili, Modok.
Lalu dari rumpun Takaten
terdapat nama-nama keturunan:
(1). Heniteik (Raja
II): Tungga, Elimanafe, Ndaomanafe, Manafe, Pah, Bunda, Ndun, Saudila, Nggili,
Tongge, Mbor, Kana.
(2). Mbuiteik: Sula,
Ndunfoes, Bessie, Hilli, Koten, Talak, Duli, Langge, Muda, Sodak, Lusi, Do’a,
Dae, Se’ik, Moi, Dethan, Sely, Foeh, Adu, Ufi, Binloe, Dale.
(3). Sa’uteik: Soluk,
Ndun, Tallo, Bulu, Loak, Mbuik, Sa’a, Lalai, Moy, Fanggi, Nggili, Lusi.
(4). Laniteik: Ndun,
Kiu, Adulenggu.
(5). Leolu (fetor):
Nolu, Manu, Lau, Saduk, Adu, Pah, Lete, Mba’u, Kilak, Mo’e, Dethan, Busu,
Fafok, Fek, Nafi, Lolo, Seuk.
(6). Bo’ai: Dano,
Ledo, Lusi, Sula, Modok, Foeh.
(7). Mba’uleok: Ndolu,
Mbau, Solo, Seli, Mbuik, Polo, Henuk, Pah, Poy, Fanggi, Hilli, Ndun, Lesik.
(8). Leseleok: Molak,
Lesik, Tali.
(9). Nubuteik: Lilo,
Nggili, Ndolu.
(10). Sa’iteik: Sain,
Suek, Lu.
(11). Mangi: Mbuik,
Salu, Luik, Dethan, Kanu, Nanuk, Sa’u, Pah, Lani, Sula, Aduba’o, Modok, Henuk,
Mone.
Sementara itu Ndau
(Mbalu), Ambik (Menda) dan Balaoli menjadi suku yang berdiri sendiri tidak
tergabung dalam kelompok besar tersebut. Suku Balaoli menurunkan Mandas, Menda,
Naluk, Taek, dan Ndun. (*)
tolong diperjelas silisilah secara detail karena judulnya silisilah dan isinya sudah diuraikan tetapi terputus-putus bagaimana sebuah sejarah tetapi isinya terputus-putus..maaf untuk refrensi
BalasHapusmemang tidak mudah mencari referensi ihwal sejarah orang rote, sumber tertulis relatif terbatas. dan tulisan di atas sudah relatif minimal. salam.
HapusKALAU DI ROTE ADA MARGA ATAU FAM SERAH YA.........
BalasHapusTidak ada yang terkenal di rote hanya saudale dan dethan soalnya keturunan raja
HapusFam enang kok tidak ada ya?
BalasHapusFam enang kok tidak ada ya?
BalasHapusdi rumpun marga Dengka rumpun Takaten baris 2 , Mbui Teik keturunakan ke 7 ada Henuk tapi tidak ada?
BalasHapusSeharusnya marga DONGGI itu masuk dalam tasiok bukan todak .. maaf sekedar masukan
BalasHapusJudulnya : Silsila orang Rote, Isinya belum mewakili orang rote umumnya. Saran : Rote 19 nusak(kerajaan) sebaiknya duduk bersama utusan 19 nusak rumuskan sejarah dan silsilah orang rote secara utuh agar bisa jadi bahan pembelajaran bagi generasi berikutnya. maaf.
BalasHapus