Peran Cerita Rakyat Putri Junjung Buih dalam Pembentukan Karakter dan Jati Diri Generasi Muda



 Folklore atau cerita rakyat mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif, misalnya sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
James Danandjaja, penulis buku Folklor Indonesia Ilmu Gosip dan Dongeng, 1986.

Pada setiap cerita atau kisah benar-benar terdapat pelajaran bagi kita yang mau mengambil hikmah dan pesan moral yang tersirat dan tersurat. Baik cerita atau kisah nyata maupun cerita atau kisah-kisah fiksi –seperti dongeng, legenda, dan babad (riwayat).
Dari cerita atau kisah pula, kerapkali tersembul inspirasi atau langkah-langkah inspiratif. Tentu kita berharap memperoleh inspirasi positif dari sebuah kisah. Sebuah cerita atau kisah seringkali mengobarkan semangat mereka yang selalu dirundung kesulitan dalam menjalani kehidupan.
Dan juga dari cerita atau kisah, acapkali tersembunyi pesan sejarah atau perjalanan sebuah etnik, sebuah komunitas kultural atau riwayat kehidupan sosok-sosok yang menjadi panutan. Tidak sedikit kisah atau cerita yang kadang terserak begitu saja, setelah kita mampu merangkai atas dasar perjalanan waktu misalkan, terlihat gambaran sebuah kejadian sejarah panjang sebuah noktah kehidupan.
Lantas, apa saja pelajaran moral, inspirasi dan sejarah panjang yang terentang dari cerita rakyat Putri Junjung Buih –baik yang hidup dan berkembang di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah maupun Kalimantan Selatan? Dari cerita rakyat ini, minimal, kita dapat mengambil pelajaran tentang nilai gotong royong (makna kebersamaan), sikap kepataatan dan kepatuah kepada pemimpin, perjuangan keras untuk mencapai cita-cita, dan nilai kepahlawanatau keteladanan.
Mari kita simak satu per satu nilai dan sikap positif yang tersirat dan tersurat dari cerita rakyat Putri Junjung Buih.

A.  Nilai Gotong Royong dan Kebersamaan
Di mana letak pesan nilai gotong royong dan kebersamaan dari cerita rakyat Putri Junjung Buih? Bila kita simak secara cermat, dapat kita temukan penggalan cerita yang mendorong kita untuk senantiasa bekerja secara bersama-sama manakala menghadapi satu pekerjaan besar. Mari kita simak penggalan cerita Putri Junjung Buih versi Banjar dimaksud:
“ ...Setelah Empu Jatmika wafat, keduanya menjalankan perintah sang ayah. Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di daerah Ulu Banyu. Pada malam terakhir pertapaannya, terdengarlah suara merdu dari dalam air yang mengisyaratkan agar Lambung Mangkurat menyediakan 40 jenis kue dan makanan beserta iring-iringan dayang yang berpakaian serba kuning. Selain itu, suara yang diyakini berasal dari Junjung Buih itu meminta untuk dibuatkan mahligai yang dikenal dengan nama mahligai Puteri Junjung Buih yang tiang-tiangnya terbuat dari Baung Batulis dan alasnya berupa kain pamintan yang dibuat oleh 40 dara. Pamintan mengandung makna kain permintaan (sasirangan).
Setelah mendengar suara Junjung Buih itu lewat, Lambung Mangkurat cepat-cepat pulang untuk menginformasikan kepada para punggawa Kerajaan Negara Dipa ihwal syarat-syarat yang diajukan oleh Putri Junjung Buih untuk menjadi putri raja. Lambung Mangkurat memerintah semua orang berbagi pekerjaan. Empat batang pohon Baung Batulis sakti diambil dari Gunung Batu Piring. Mahligai yang besar dibangun oleh empat orang  patih yang tiangnya bertulis sakti. Selembar kain lenggundi kuning yang panjangnya tujuh meter yang diolah oleh empat puluh gadis perawan sudah dikerjakan semuanya. Berkat dikerjakan secara bersama-sama maka mahligai kain langgundi selesai dikerjakan sehari semalaman, sangat pantas sesuai dengan keinginan Putri Junjung Buih.
Setelah permintaan Junjung Buih dikabulkan, keluarlah buih yang besar dan bercahaya. Dari sana keluar seorang puteri cantik jelita bernama Puteri Junjung Buih yang kemudian menjadi Raja Negara Dipa...”
Tentu permintaan Putri Junjung Buih yang sakti mandra guna itu mustahil bisa dipenuhi Lambung Mangkurat seorang diri. Dia pun mengerahkan segenap punggawa Kerajaan Negara Dipa untuk bekerja secama bersama-sama guna memenuhi permintaan Putri Junjung Buih. Ya, hanya lewat bekerja bersama yang dalam pemahaman budaya kita biasa dikenal gotong royong.
Gotong royong memiliki akar kultural yang sangat kuta dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Gotong royong, menurut pakar ilmu filsafat dari Universitas Indonesia M. Nasroen, merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar falsafah Indonesia.
Sikap gotong royong mengandung pemahaman bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Gotong royong juga bermakna suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuan masing-masing.
Gotong royong bukanlah pameo asing di negeri ini. Sudah sejak dulu para leluhur kita menjadikannya sebagai budaya bangsa. Wujudnya bisa dalam bentuk kerja bakti membangun sarana umum, membersihkan lingkungan, tolong menolong saat pesta pernikahan atau upacara adat, dan bahkan tolong menolong saat terjadi bencana alam. Biasanya bentuk pertolongan yang diberikan berupa bahan makanan, uang, dan tenaga.
Namun, akibat derasnya arus globalisasi menjadikan aktualisasi dari pameo tersebut terseret jauh dari kehidupan masyarakat saat ini. Gotong royong menjadi asing untuk disaksikan keberadaannya saat ini. Kita perlu jujur dan tidak lagi berpura-pura menutup mata pada kenyataan hari ini, bahwa gotong royong telah menjadi “budaya langka”.
Benarkah demikian? Lantas, dimanakah ia kini berada? Mengapa nilai luhur yang pernah menjadi jati diri bangsa kini menjadi asing di negerinya sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita awali dengan membahas subyek dari topik ini terlebih dulu, yaitu manusia. Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani, berpendapat bahwa, sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia senantiasa saling membutuhkan satu sama lain guna mewujudkan keselarasan hubungan antar-sesama anggota masyarakat lainnya. Artinya, di dalam setiap diri manusia pasti terdapat jiwa sosial, atau naluri saling membutuhkan satu sama lain. Dari urusan lahir hingga urusan liang lahat, manusia tidak bisa mengurusnya seorang diri. Hal inilah yang menjadi fitrah dari setiap manusia sebagai individu sekaligus mahluk sosial. Dengan begitu, paham individualisme yang selalu melihat segala hal dari kacamata ‘aku’, atau menonjolkan ego pribadi tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai mahluk sosial.
Kembali ke pemahaman gotong royong. Seiring berjalannya waktu, pasca kemerdekaan Indonesia, semangat kebersamaan seolah terpinggirkan, dikucilkan atau disudutkan hanya kepada penduduk di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat kota. Seolah istilah gotong royong menjadi “frasa kampungan” bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kota. Masyarakat kota cenderung mengandalkan dinas kebersihan untuk urusan kebersihan atau satpam/hansip untuk urusan keamanan lingkungan. Gotong royong seolah hanya cocok diterapkan di wilayah perkampungan. Sedangkan masyarakat kota tidak perlu lagi menerapkan kebersamaan model gotong royong.
Salah satu penyebabnya adalah adanya miskonsepsi dari sebuah istilah populer “modernisasi”. Istilah modernisasi sepatutnya membantu tercapainya tujuan bersama, bukan melahirkan para individualis yang hanya selalu mengedepankan ego sesaat mereka. Apakah itu ego dalam bentuk mengejar kepuasan materi, seksual dan gengsi (posisi/jabatan), pastinya ketiga hal itu tidak akan pernah terpuaskan. Ibarat menyiram bara api dengan minyak tanah yang hanya akan membuat api semakin mem besar, seperti itulah karakter para manusia individualis mengejar tujuan hidupnya yang tidak pernah terpuaskan.
Manusia yang belajar dari pengalaman hidupnya pasti akan menemukan bahwa hidup bermasyarakat secara damai dan penuh keselarasan merupakan suatu kebutuhan yang kemudian akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Mengutip pendapat Umar Kayam di majalah Prisma Nomor 3 Th XVI 1987 bahwa sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak, ketika pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, maka pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap sesamanya.
Hal tersebut menjelaskan bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang mendambakan keselarasan berujung perdamaian, bukan kekerasan berujung perpecahan seperti yang kerap terjadi hari ini. Berdasarkan pengalamannya, akhirnya manusia memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya dibutuhkan upaya bekerja bersama orang lain, atau upaya interaksi yang dibatasi oleh koridor tatanan yang berlaku pada masyarakat di lingkungan tempatnya menetap.
Namun kenyataan membuktikan bahwa hari ini telah terjadi kebekuan spiritual yang menyebabkan hubungan kasih antara sesama manusia menjadi dingin. Apabila kebekuan spiritual tersebut tidak segera dicairkan, maka budaya kekerasan akan senantiasa mewarnai hidup dan kehidupan manusia seterusnya. Hal itu akan terus terjadi selama masih ada sekumpulan manusia yang menyampaikan kebenaran versi golongannya masing-masing, terlebih dengan cara memaksa. Sehingga friksi berujung konflik pasti akan terus terjadi.
Jika hal yang demikian terus terjadi, lantas ke manakah fitrah manusia yang katanya “mahluk sosial” dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi? Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda, berbangsa-bangsa, bersuku-suku untuk saling mengenal? Perihal ini, ada beberapa pendapat yang dikemukakan para pakar untuk menjawab persoalan ini, di antaranya adalah pakar antropologi, Koentjaraningrat. Beliau menjelaskan bahwa seringkali yang menjadi faktor pemicu konflik adalah adanya unsur pemaksaan paham/keyakinan suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya. Biasanya, unsur pemaksaan ini terjadi karena adanya pola pikir sempit atau “fanatisme buta” para penganutnya yang menjadikan mereka lupa memaknai istilah “mahluk sosial”.
Mari kita kembali menjunjung prinsip dan nilai kegotong-royongan dalam keseharian. Dengan membaca cerita rakyat semacam Putri Junjung Buih, kepekaan sipiritual kita akan terasah. Dan ada penguatan kembali sikap dan nilai itu dalam diri kita masing-masing.
Kita harus kembali merenungkan pemikiran “Bapak Bangsa” Soekarno perihal cita-citanya untuk mewujudkan sebuah bangsa yang menjadikan gotong royong sebagai jati dirinya sebagaimana amanat beliau menjelang kelahiran bangsa Indonesia. “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Alangkah hebatnya Negara Gotong-Royong!” tegas Soekarno di depan peserta sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945 di Jakarta.
Adanya persamaan beban yang dirasakan bersama-sama adalah embrio sifat solidaritas yang akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan antara sesama anak bangsa. Beratnya beban yang dipikul tidak akan lagi terasa berat ketika diselesaikan secara gotong royong. Alhasil, permasalahan seberat dan sesulit apapun pasti akan mampu diselesaikan dengan cara ini. Kekuatan inilah yang pernah menjadikan bangsa Nusantara sebagai bangsa yang disegani oleh bangsa lain, terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.
Gotong royong adalah sebuah sarana untuk mempersatukan berbagai macam perbedaan. Karena memang persatuan dan kesatuan merupakan syarat utama yang menentukan kuat-tidaknya sebuah bangsa mampu bertahan dalam percaturan bangsa-bangsa di dunia, yang juga menentukan apakah bangsa Indonesia mampu berada di atas segala bangsa. Berbagai macam perbedaan yang ada pada teritorial suatu bangsa sepatutnya dapat disatukan melalui penyatuan visi dan misi yang berlandaskan kebenaran universal, dan hal tersebut sudah menjadi komposisi utama Pancasila.

B.  Membantu atau Menolong Sesama Manusia
Pelajaran yang juga menarik dari cerita rakyat adalah nilai dan sikap membantu sesama –baik yang membutuhkan maupun yang tidak membutuhkan. Hal ini terlihat dari penggalan cerita rakyat Putri Junjung Buih versi Ketapang seperti berikut:
“...Kisah menjadi menarik ketika datang rombongan Prabu Jaya dari Kerajaan Majapahit. Prabu Jaya mempunyai tujuh orang bersaudara. Enam orang saudaranya berniat jahat pada Prabu Jaya dengan memberikan racun ke dalam makanannya. Akibat makanan yang tercampur racun tersebut, Prabu Jaya menderita penyakit kulit gatal-gatal. Niat jahat saudara-saudara Prabu Jaya terus menguat. Mereka meminta Prabu Jaya diasingkan keluar dari kerajaan dengan berlayar mencari tempat yang lebih baik bagi kehidupannya. Tanpa syakwasangka, dia menuruti apa yang dikehendaki saudara-saudaranya. Dalam pelayarannya, sampailah dia pada suatu tempat yang sekarang dikenal Kuala Kandang Kerbau. Di tempat ini pula perahu Prabu Jaya berlabuh.
Di Kuala Kerbau kemudian Prabu Jaya melanjutkan kehidupannya dengan menuruti kata hati dan apa yang digemarinya. Salah satu kegemaran Prabu Jaya adalah menjala ikan. Alkisah, pada saat menjala, jalanya tersangkut di dasar sungai. Prabu Jaya lalu turun ke dalam sungai. Sontak, seketika itu, kulitnya dijilat oleh ikan paten dan ikan belang ulin. Merasa agak geli, dia lantas berusaha kembali ke darat. Sampai di atas darat, dia menemukan sebuah gondam yang berisikan rambut panjang tersangkut di dalam jalanya.
Dengan niat baik, Prabu Jaya mencari pemilik rambut panjang tersebut. Dia pun menyusuri sungai yang bayak ditumbuhi daun kumpai. Tibalah dia pada suatu tempat kediaman Ranga Sentap. Seketika itu dia melihat seorang wanita yang berada di dalam buih yang banyak, seorang wanita bisa berada di dalam gumpalan buih. Prabu Jaya melihat wanita itu juga mempunyai penyakit yang sama seperti dirinya, kulit gatal-gatal. Lalu dipanggilnya ikan paten dan ulin belang untuk menjilati kulit wanita itu yang gatal-gatal. Sontak, sembuhlah Dayang Putung dan berubah menjadi nama Junjung Buih...”
Membantu yang membutuhkan seperti tercermin pada sikap Prabu Jaya yang melihat Dayang Putung yang mengalami penyakit sama yang pernah dialami tentulah sikap yang amat mulia. Prabu Jaya membagi pengalamannya kepada Dayang Putuh yang kemudian berganti nama Junjung Buih. Memang, membagi atau berbagi tidaklah semata-mata berupa material, bisa pula berupa imaterial –seperti pengalaman dan nasehat.
Di era modern saat ini, sikap berbagi antara satu sama lain atau disebut saling berbagi boleh jadi menjadi kata yang asing untuk didengar dan diperbincangkan. Semangat berbagi sudah mulai luntur di kalangan setiap orang di zaman modern yang berteknologi canggih saat ini. Berbagi merupakan perwujudan diri sejati manusia sebagai kodrat ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat yang dalam kesehariannya acapkali harus saling berbagi antara individu yang satu dan yang lainya atau bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Berbagi berarti memberi, yang pastinya semua itu mengandung nilai-nilai luhur yang perlu untuk diteladani dan dihayati oleh setiap manusia demi menciptakan masyarakat yang bersahaja dan saling berbagi kepada sesama. Nilai berbagi dimiliki oleh setiap manusia yang diciptakan Tuhan. Karena, sikap saling berbagi telah dipelopori oleh Tuhan yang dengan setia memelihara dan memberikan kehidupan kepada semua makhluk ciptaan-Nya mulai dari kita terbangun dari tidur sampai saat kita terlelap kembali. Semua itu diberikan secara cuma-cuma.
Sudah beberapa tahun belakangan ini bangsa Indonesia dan bahkan dunia mengalami berbagai bencana yang banyak menelan korban jiwa dan harta benda, mulai dari gempa bumi, longsor, banjir, bahkan letusan gunung berapi yang mengakibatkan kerusakan. Dari peristiwa yang telah terjadi akhir-akhir ini, kita dapat membayangkan apa jadinya bila setiap orang tidak mau berbagi. Tentu akan makin banyak orang menderita yang kurang mendapatkan perhatian atas apa yang telah menimpanya.
Bentuk dan nilai-nilai berbagi tentunya saja tidak sebatas materi semata, melainkan berupa pemikiran ataupun sarana lain yang dapat menunjang kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi. Ada berbagai cara bagi kita umat manusia untuk dapat saling berbagi kepada sesama, seperti rela berkorban, meluangkan waktu dan perhatian, atau turun langsung membantu korban di lokasi bencana alam.
Sikap rela berkorban merupakan wujud nyata dari sikap solidaritas kita terhadap sesama. Hal ini dapat dilihat dari sikap kita yang tidak mementingkan kepentingan pribadi melainkan kepentingan bersama untuk menolong sesama yang membutuhkan pertolongan. Sikap rela berkorban dapat saja diberikan dalam wujud kepedulian terhadap alam dan sekitarnya.
Sikap kita untuk meluangkan waktu dan perhatian juga membawa manfaat positif yang sangat luas bagi mereka yang mengalami kesusahan. Dengan keluangan waktu kita, mereka akan merasa diperhatikan oleh orang di sekitarnya yang rela melakukan semuanya tanpa pamrih. Hal ini dapat terlihat dari sikap dan tindakan kita yang mau meninggalkan kesibukan dan meluangkan waktu untuk berada di antara mereka yang kesusahan dan membutuhkan bantuan.
Alangkah indahnya hidup ini bila kita sebagai makhluk ciptaan-Nya dapat saling berbagi dan saling memberi kepada mereka yang membutuhkan. Kita juga pastinya menginginkan kehidupan yang bahagia dengan saling memperhatikan dan mensejahterkaan kehidupan sesama.

C.  Nilai Kepatuhan dan Ketaatan kepada Pemimpin
Di mana sebenarnya pesan moral bahwa setiap rakyat (yang dipimpin) harus mematuhi dan menaati apa yang diperintahkan oleh sang pemimpin? Cerita rakyat Putri Junjung Buih memang tidak secara gamblang menyebutkan pesan tersebut. Pesan tersebut setidaknya dapat kita baca dari penggalan kisah Putri Junjung Buih versi Banjar sebagaimana berikut:
“ ...Suatu waktu bermimpilah Lambung Mangkurat. Dalam mimpinya, dia berjumpa dengan ayahnya, Empu Jatmika, yang memberi petunjuk agar mencarikan calon suami raja di seberang lautan, yakni Kerajaan Majapahit. Lalu diutuslah seorang pengawal ke Majapahit. Sesampainya di sana, Maha Patih Majapahit mengatakan dia memiliki anak tapi tidak sempurna fisiknya. Orang-orang menyebutnya Raja Bulat Bulaling. Namun, demi menjalankan perintah, Raja Bulat Bulaling tetap dibawa ke Negara Dipa.
Setiba di Muara Banjar, Puteri Junjung Buih memperoleh kabar bahwa calon suaminya hampir tiba di kerajaannya. Karena sang Puteri menginginkan calon suami yang sakti, yang tidak kalah saktinya dengan dirinya, Puteri Junjung Buih lalu mengutus seekor naga untuk menghalau air agar kapal rombongan Raja Bulat Bulaling kandas.
Di tengah kebingungan para pengawal istana, Raja Bulat Bulaling memerintahkan agar melemparkan dirinya ke dalam air agar dirinya dapat membunuh naga yang menyurutkan air sungai. Pengawal pun menuruti perintahnya. Selama berhari-hari Raja Bulat Bulaling berada di dalam air. Konon waktu itu turun bidadari dari langit yang berdoa atas keselamatan Raja Bulat Bulaling dengan cara menari. Tarian ini dikenal dengan tarian Baksa Kambang.
Akhirnya, dari dalam air muncul seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dia adalah Raja Bulat Bulaling yang telah berubah wujud. Dia dikenal dengan nama Suryanata (Raja Matahari). Puteri Junjung Buih mengakui kesaktian Suryanata dan bersedia diperisteri...”
Apa jadinya bila para pengawal istana tidak menuruti perintah Raja Bulat Bulaling? Boleh jadi rombongan tidak akan sampai di Kerajaan Negara Dipa dan Putri Junjung Buih merana. Ada kalanya, di tengah kebingungan anak buah, seorang pemimpin harus langsung turun tangan.
Dalam kehidupan kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan, salah satu kewajiban rakyat adalah taat kepada pemimpin. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa ketaatan merupakan sendi asas tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya.
Jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya, maka roda pemerintahan akan lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan.
Namun begitu, ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak tanpa ada batasan. Ketaatan harus diberikan kepada pemimpin, selama sang pemimpin tidak menyimpang dari konstitusi yang berlaku. Bila sang pemimpin tidak lagi mentaati konstitusi, maka tidak ada ketaatan bagi dirinya.
Sebagai rakyat, kita dilarang mengikuti atau mentaati pemimpin-pemimpin yang inkonstitusional, korup, nepotis, serta banyak melakukan pelanggaran hukum. Memang, sebagai rakyat, kita wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila kita diperintah untuk melenggar hukum. Apabila kita diperintah untuk melanggar hukum, maka kita tidak wajib mendengar dan taat.
Bahkan, sebagai rakyat kita wajib mengingatkan pemimpin yang tidak konstitusionil dan melanggar hukum. Hendaknya kami tidak menentang kekuasaan penguasa, kecuali bila kita melihat kekufuran yang terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Taat kepada pemimpin dapat dikatakan hukumnya wajib karena hal-hal berikut:
·         Sebagai bentuk taat pada ketentuan yang disepakati dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan kenegaraan.
·         Menghindari bahaya. Ketidak-patuhan terhadap pimpinan isa menyebabkan bahaya, di antaranya sulitnya mencapai tujuan baik sebuah penyelenggaraan pemerintahan, membuka pintu-pintu perselisihan dan perpecahan, hilangnya wibawa pimpinan, urusan tidak teratur dan menjadi cerai berai.
·         Pemimpin diangkat untuk ditaati. Kita ingat kalimat bijak bahwa jika tiga orang bersafar maka hendaknya salah seorang dari mereka menjadi amir (pemimpin). Pemimpin safar saja wajib ditaati, demikian juga pemimpin dari kumpulan manusia lainnya untuk mencapai suatu tujuan.

D.  Hidup Perlu Perjuangan
Yang tidak kalah penting dari pesan moral cerita rakyat Putri Junjung Buih adalah nilai perjuangan untuk menggapai cita-cita. Tentang sebuah perjuangan untuk menggapai sesuatu, kemauan atau keinginan tersebut dapat kita runut dari penggalan kisah Putri Junjung Buih versi Banjar berikut:
“...Demikian pula Raja Tua khusyuk berdoa. Dia berdoa di Candi Agung, di luar Kota Amuntai. Setelah sekian lama berdoa, dia pulang ke Amuntai. Dalam perjalanan pulang, dia melewati sebuah sungai. Tampak olehnya seorang bayi perempuan yang sangat cantik terapung-apung di atas sungai, tepat di atas buih. Padmaraga menghentikan perjalanannya. Kemudian Raja Tua memerintahkan pada Datuk Pujung (tetua istana) untuk mengambil bayi di atas buih tersebut. Raja Tua ingin menyelamatkan bayi itu dan menjadikannya sebagai anak asuh.
Datuk Pujung segera mendekat ke tempat buih yang di atasnya terbaring bayi perempuan itu. Datuk Pujung berusaha mengambil bayi itu. Tetapi, buih terus bergerak mengombang-ambingkan si jabang bayi. Rupanya bayi itu sangat susah didekati. Kemudian secara tiba-tiba bayi itu berbicara kepada Datuk Pujung. Bayi tersebut bersedia ikut Raja Tua asalkan permintaannya dipenuhi.
Semua orang yang mendengar terheran-heran. Bagaimana mungkin ada seorang bayi yang bisa bicara.
Datuk Pujung terperanjat. Ketika bayi itu berkata bahwa dirinya akan ikut ke istana dengan Raja Tua asalkan diberi selembar kain dan selimut yang selesai ditenun dalam waktu setengah hari. Selain itu, bayi tersebut juga ingin dijemput oleh empat puluh wanita cantik. Permintaan bayi itu disampaikan kepada Raja Tua. Raja Tua segera memerintahkan untuk mencari empat puluh wanita cantik dan mengumumkan sayembara untuk menenun kain dan selimut dalam waktu setengah hari.
Banyak orang yang mengikuti sayembara. Tetapi belum ada yang dapat menyelesaikan tenunan dalam waktu setengah hari. Sampai kemudian, datanglah seorang perempuan bernama Ratu Kuripan. Ratu Kuripan mampu menyelesaikan tugasnya menenun selembar kain dan selimut dalam waktu setengah hari. Hasilnya pun sangat mengagumkan.
Bayi di atas buih itu pun dapat diambil dan diangkat anak oleh Raja Tua...”

Kodrat hidup adalah berjuang. Ketika lahir manusia disebut hidup karena bernafas, apabila tidak bernafas maka disebut mati. Ketika masih kecil ia tak menghiraukan apapun. Sebab, ia hanya tahu bermain, dan bermain adalah kesenangannya. Ketika memasuki usia dewasa, manusia mulai memenuhi kewajibannya sebagai orang dewasa yaitu bekerja. Apabila kita menyalahi kodrat dengan tidak bekerja, maka kita akan dicap tidak seperti manusia dan dianggap seperti anak kecil. Itulah kodrat perjuangan yang tidak bisa dipungkiri. Manakala melawan kodrat tersebut, kita melawan apa yang telah ditetapkan Tuhan sejak awal menciptakan makhluk hidup bernama manusia.
Mengapa manusia harus hidup. Karena, itulah hakekat yang telah ditetapkan dari awal oleh Tuhan. Sebab itu, manusia harus menjalani kehidupannya. Entah susah, entah miskin, entah hidup dalam keluarga yang kacau (broken home), entah lahir dengan banyak kekurangan. Apapun keadaannya, kita tetap dilahirkan untuk hidup. Sebab itu, kita harus menjalaninya dengan perjuangan sepenuh hati.
Jika kita memilih jalan putus asa dan menyia-nyiakan kehidupan, maka kita menyalahi kodrat. Sampai-sampai kita akan disebut bodoh dan tidak berguna. Bagaimanapun keadaan kita, hanya satu pilihan yang tersedia, mentaati kodrat yang telah ditetapkan yaitu berjuang. Berjuang untuk menjalani hidup ini, berjuang untuk hidup berkecukupan di dalam kemiskinan, berjuang untuk bahagia di dalam keluarga yang retak, berjuang untuk bersyukur atas pekerjaan yang pas-pasan, dan berjuang untuk belajar jika tidak bisa melakukan banyak pekerjaan. Itulah pilihan-pilihan yang bisa kita lakukan.
Kita bisa melihat orang-orang yang hidupnya menyalahi kodrat yang ditetapkan Tuhan. Mereka hidup sengsara dan tertikam karena kesalahan yang diibuatnya sendiri. Karena mereka tidak mau berjuang untuk kehidupan mereka, karena mereka tidak mau memperbaiki kehidupan mereka sendiri. Mereka lebih senang menikmati hidup ini, mereka lebih senang menuruti hawa nafsu tanpa memperhatikan apa yang telah ditetapkan untuk hidup di dunia ini. Berjuanglah untuk mengubah apa yang telah terjadi, jika tidak kita hanya membuang-buang waktu untuk hidup sia-sia.
Umur dewasa belum tentu pikirannya dewasa pula. Itulah pepatah yang kerap kita dengar. Namun kedewasaan adalah kodrat yang telah digariskan untuk hidup di dunia yang fana ini. Bila tidak dewasa maka kita akan dicemooh oleh tetangga dan orang-orang sekeliling. Sebab itu, mari kita berjuang untuk dewasa. Berjuanglah untuk mengubah sikap, berjuanglah untuk mengubah karakter, berjuanglah untuk mengubah pikiran. Sebab, kita tidak punya pilihan lain, meskipun hal itu sulit dilakukan. Kika kita keras berjuang, maka pasti akan menuai hasil yang menggembirakan. Berjuanglah, meskipun sangat sulit untuk bersikap dewasa. Bila kita rendah hati dan mau belajar, kita pasti tidak akan kecewa terhadap hidup ini. Tak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan itu sendiri.
Sebagai seorang pelajar misalkan, maka kodratnya adalah belajar. Sebab itu, kita harus berjuang untuk belajar lebih baik baik. Jika tidak kita tidak mau belajar maka akan kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah. Berjuanglah seperti Ratu Kuripan yang menenun selembar kain dan selimut yang selesai dalam waktu setengah hari dan menjadikan Raja Tua berhasil menyelamatkan bayi Junjung Buih. (*)

Komentar