Penghasil Singkong No.1 Nasional, Bagaimana Nasib Petani Lampung?

Berbicara tentang pertanian di Indonesia bukan hanya berbicara tentang produksi beras sebagai makanan pokok saja, tetapi sudah mencakup seluruh komoditas makanan pokok untuk mewujudkan katahanan pangan. Salah satunya adalah singkong yang menjadi bahan substitusi beras sebagai makanan dan juga sebagai komoditas bahan industri untuk membuat tepung tapioka. Dalam produksi singkong tidak terlepas dari peran petani yang selalu berusaha memenuhi target produksi yang dibutuhkan oleh pasar. Akan tetapi peran petani untuk mencapai target kebutuhan produksi, tidak diimbangi dengan kesesuaian harga singkong di pasaran. Di Kabupaten Lampung Timur misalnya komoditas singkong (ubi kayu) menjadi komoditas andalan untuk meningkatkan perekonomian, dikarenakan lahan kering di daerah ini lebih luas dibandingkan lahan basah. Sehingga akan sangat sulit jika masyarakat mengganti dengan komoditas lain. Banyak petani yang mengeluhkan bahkan menjerit dengan adanya kemerosotan harga singkong di pasaran, pasalnya harga tersebut tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang telah dilakukan. Tak hanya di Lampung Timur, beberapa daerah lainnya seperti di Kabupaten Lampung Tengah dan Mesujiyang menjadi sentra komoditas singkong juga mengeluhkan anjloknya harga singkong.

Menurut data produksi singkong Lampung berdasarkan data BPS pada angka ramalan I tahun 2016 diperkirakan sebesar 7,82 juta ton.  Produksi tersebut,menempati peringkat pertama nasional dengan luas panen 298.299 hektar dengan melibatkan 497.165 petani dan harga normal yang biasanya diterima oleh petani yaitu Rp 1300 – 1600.  Namun kondisi saat ini petani singkong mengalami kerugian karena harga singkong yang hanya Rp 800,00, bahkan pada September 2016 harga singkong anjlok mencapai Rp 500 – 750, 00 yang artinya menurun 50% dari harga sebelumnya yaitu Rp 1300 – 1600,00.
Menjadi suatu pertanyaan besar “mengapa hal ini bisa terjadi?”, lalu bagaimana kesejahteraan petani dengan kondisi ini?
Jika kita bertanya bagaimana hal ini bisa terjadi, salah satu penyebabnya adalah pembukaan keran impor singkong dari Vietnam sebagai bahan tapioka, sehingga ketersediaan singkong di pasaran berlimpah.  Selain itu pabrik – pabrik yang memproduksi tapioka lebih memilih membeli singkong impor karena harganya bersaing.  Selain faktor pembukaan impor tersebut penyebab lainnya adalah besarnya impor tapioka dari Thailand dan pengaruh perekonomian global, dan suplai lokal yang terlalu banyak.  Jika berbicara tentang kesejahteraan petani maka akan sangat jauh dari kata sejahtera, karena dengan kondisi ini petani sangat merugi karena biaya produksi saja tidak tertutupi.
Langkah yang seharusnya kita lakukan, terutama bagi pemerintah yaitu dengan menghentikan impor singkong dan tapioka, karena suplai dari lokal yang berlebih belum terserap dengan sepenuhnya.  Peningkatan produk disverivikasi yang dikelola oleh BUMD.  Pengaktifan kembali pabrik – pabrik tingkat daerah yang dapat mengolah hasil pertanian tertentu, sehingga biaya produksidapat di tekan.  Penentuan pasar khusus untuk pasca panen seluruh komoditas pertanian sehingga harga pasar dapat stabil.
Oleh: Dina Pertiwi (Sesmen Kementrian Sosial Politik BEM U KBM Unila)

Komentar