Pemerintahan dan Kepemimpinan di Rote Ndao

* Bab 7


Ihwal pemerintahan dan kepemimpinan di Pulau Rote ternyata memiliki akar sejarah yang lumayan panjang. Selain berakar jauh sebelum masa-masa kolonialisme Belanda di Bumi Indonesia, kultur kepemimpinan dan masyarakat Rote sangatlah menarik dan khas.
Rote memang sebuah pulau kecil. Justru lantaran kecil, cara para penghuninya berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar menjadi begitu unik. Berbicara tentang kolonialisme, orang acap bicara mengenai penindasan dan eksploitasi orang Eropa. Tapi, tatkala kita masuk pada detail sejarah, seringkali yang kita dapati adalah interaksi yang rumit dan saling mengeksploitasi antara pribumi dan para kolonialis.
Dibanding pulau tetangga, Timor, misalkan, jelas terlihat perbedaan bagaimana para penghuni kedua pulau ini berinteraksi dengan para pendatang Eropa yang mulai masuk pada abad awal 17. Kalau Timor mempunyai daerah pedalaman yang cukup luas dan terpencil untuk menarik diri mundur bilamana ada serangan pihak asing, maka Rote tidak mempunyai keistimewaan seperti itu. Determinasi geografis ini menjadi salah satu alasan mengapa para pemimpin di Timor cukup lama memilih jalan konfrontasi dan tarik mundur ke pedalaman. Sedangkan Rote yang luasnya hanya 1.255,39 Km2 ini tak mempunyai jalan lain selain bersekutu dan mengambil keuntungan dari orang Eropa.
Semula, memang, para penguasa Rote memilih jalan perang. Namun sejak pertengahan kedua abad 18 tidak ada lagi perlawanan senjata yang berarti di Rote. Sebagai gantinya, mereka menerima Kekristenan dan pendidikan Eropa untuk mencari jalan keluar dari perburuan budak yang gencar dilakukan Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), baru dihapuskan pada tahun 1818.
Kendati begitu, selama tiga abad berhubungan dengan bangsa Eropa, orang Rote tetap mampu mempertahankan kebudayaannya termasuk salah satu yang terpenting, sistem pemerintahan yang asli. Antropolog James Fox yang meneliti Rote sejak tahun 1960-an menyimpulkan bahwa “selama tiga ratus tahun Rote mempunyai salah satu dari sistem gelar yang paling stabil di Indonesia.”
Sistem pemerintahan asli Rote memang bertahan bukan saja sampai kemerdekaan RI. Bahkan, sampai dua dekade setelah kemerdekaan pun (cq. 1968), sistem pemerintahan asli Rote masih diberlakukan. Termasuk dalam sistem itu adalah tata cara pemilihan raja.
Nusak-nusak di Rote termasuk di antara yang pertama yang menjalin hubungan dengan orang Eropa --dalam hal ini dengan VOC. Bahkan jauh sebelum VOC datang, raja-raja Rote telah menjalin hubungan dengan Portugis dan oleh karena itu ekspedisi-ekspedisi penghukuman dari armada VOC di Kupang ke Rote pada awal-awal kontak VOC dengan Rote umumnya dilakukan atas kecurigaan bahwa raja-raja Rote bersekutu dengan pihak Portugis atau tidak menghormati kontrak yang telah dibuat.
Kontak pertama dilakukan VOC dengan Rote terjadi pada tahun 1653 dan kemudian para pejabat VOC menanda-tangani berbagai traktat kontrak yang direvisi secara terus-menerus dengan para manek-manek Rote di berbagai domain. Kontrak-kontrak itu antara lain terjadi pada tahun 1662, 1691, 1700, dan 1756.
Ciri utama hubungan Belanda-Rote ini adalah “penguasaan tidak langsung” yang berlangsung sejak kontrak pertama di abad 17 sampai dengan era kemerdekaan Indonesia. Dalam sistem ini, VOC (dan kemudian Kerajaan Belanda) hanya berhubungan dengan orang Rote melalui sistem pemerintahan tidak langsung yang didasarkan pada struktur formal yang sama selama berabad-abad.
Dalam menanda-tangani kontrak dengan berbagai nusak yang berbeda, para pejabat VOC secara konsisten mengakui seorang penguasa utama yang mereka sebut sebagai Regent dan seorang pejabat tambahan yang mereka sebut sebagai Regent Kedua (Tweede Regent). Belanda juga mengakui, namun tidak secara formal, mengangkat sejumlah ketua di setiap domain yang mereka beri gelar dalam bahasa Melayu, Temukun. Orang Rote sendiri menyebut penguasa utama sebagai ‘Manek’ dan penguasa kedua sebagai ‘Fettor’. Barulah pada abad 19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan istilah ‘Raja’ untuk para manek dan istilah ‘Fettor’ untuk penguasa kedua, namun terus memakai istilah ‘Temukun’ untuk para tua-tua. Sistem formal dengan tiga level gelar ini dipertahankan dengan hanya sedikit perubahan selama lebih dari tiga abad. Sebagai nusak yang diakui, masing-masing manek di setiap nusak mempunyai sistem pengadilan independen tersendiri. Mirip cerita Alkitab, para manek di Rote juga adalah hakim pemutus perkara tertinggi di nusaknya masing-masing. Fungsi seorang manek adalah mendengarkan perkara, memeriksa dan memberikan putusan sesuai dengan adat nusaknya. Antropolog terkenal Belanda F.A.E. van Wouden dalam pengamatannya terhadap para raja Rote mengutip sebuah peribahasa Rote yang berbunyi: “Ketika raja berbicara, bagaikan guntur yang bersahutan.”

A.   Historis Pemerintahan dan Kepemimpinan di Rote
Dalam setiap masyarakat, tak terkecuali masyarakat Thie dan Rote Ndao, mesti ada seorang tokoh yang tampil sebagai pemimpin. Mulanya pemimpin orang Thie disebut “mane la’i” atau “amak” (primus inter pares). Dia dibantu oleh seorang petugas keamanan yang disebut ”langga musu”.
Peranan dan fungsi amak/mane la’i terus berkembang. Kalau mula-mula hanyalah sebagai pelindung dan pengayom, kemudian fungsinya meluas. Segala aspek kehidupan kelompok menjadi tanggung-jawabnya. Pada tahap ini pemimpin kelompok mendapat gelar manek (raja).
Fungsi dan wewenang manek cukup luas, yaitu sebagai kepala kelompok, kepala wilayah atau kepala negara, dan kepala pemerintahan. Dia mengayomi rakyat, bertanggung-jawab atas kesejahteraan rakyat.
Dengan meluasnya fungsi pemimpin kelompok (manek) maka perlu penataan manajemen yang lebih baik dan pendelegasian wewenang yang teratur. Sebab itu, perlu dibentuk kelompok-kelompok kecil (berdasarkan keturunan). Di dalam tiap suku/leo diangkat seorang kepala suku (maneleo).
Kepala suku (maneleo) mendapat tugas dan wewenang untuk menata dan memimpin anggota sukunya. Maneleo memerintah sebuah wilayah desa tradisional yang mayoritas penduduknya adalah anggota sukunya. Setelah adanya pemerintahan Belanda, selain urusan adat, baik manek maupun maneleo, merangkap pula tugas-tugas negara atau negeri. Pada tahap ini maneleo disebut manesio (terjemahan harfiahnya raja sembilan, maksudnya mempunyai multifungsi). Beberapa maneleo/manesio diikordinir oleh seorang koordinator, disebut sio leik (temukung hoofd). Istilah temukung berasal dari seberang.
Di bawah maneleo terdapat kepala kampung (langgak atau mane nggorok). Kemudian di bawah kepala kampung terdapat lasin (setingkat RT). Setiap maneleoo mempunyai seorang penyalur berita (informasi) yang disebut mafadak. Beberapa kepala kampung (mane nggorok) dikoordinir oleh seorang koordinator yang disebut langga ina.
Manek dan fettor merupakan lembaga tertinggi negara. Figur kedua kelembagaan ini melambangkan ayah dan ibu dari rakyat. Manek adalah lambang laki-laki (ayah) dan fettor (feto) adalah lambang perempuan (ibu). Di tangan mereka terdapat kekuasaan dan kekerasan (boboto barakaik) sekaligus kasih dan kelembutan (susue-lalaik na kokoe-nanasik).
Hubungan penguasa dan rakyat bagaikan orang tua atau bapak dengan anak. Hubungan bapak-anak itu membuat penguasa benar-benar mencintai rakyat, sebaliknya rakyat pun mencintai dan patuh kepada penguasa.
Dalam perkara pidana adat, ada dua jabatan yang sangat penting, yaitu mane dombe dan mana nggero-fura. Mane dombe sebagai penuntut (sejenis jaksa) dan mana nggero-fura sebagai pemutus (sejenis hakim). Oleh karena tuntutan mane dombe laksana sebuah pisau (dombe/dope) tajam yang menusuk maka jabatan ini disebut mane dombe/dope (raja pisau). Sedangkan nggero fura asal kata dari nggero yang berarti memotong putus dan kata fura berarti memotong/mengiris menjadi lurus. Mena nggero fura bisa dirangkap oleh maneleo, bisa pula diangkat/ditunjuk dari tua adat yang adil dan ahli dalam masalah hukum adat.
Dari abad 18 sampai dengan pertengahan abad 20 dibentuk 12 Kepala Suku Koordinator (Sio Leik) dan 37 Nggorok (kampung). Setiap sio leik mengkoodinir dua atau tiga kepala suku. Suku-suku yang mendapat tugas sebagai sio leik itu ialah Mburala’e, Nelefeo, Nggaupandi, Tolaumbuk, Meoleok, Ndanafeo, Moiumbuk, Todefeo, Kekadulu, Mesafeo, dan Kanekatu.
Kemudian 37 kampung dimaksud (mulai dari ujung barat Thie) adalah Oeseli, Lelesur, Hurulai, Nasedanon, Oebou, Landu, Lalukoen, Otenggai, Okehendak, Kotabeuk, Oebitina, Oetefu, Oetaka, Mataboaoen, Oehandi, Roioen, Meoain, Oebafok, Oeno, Kokolo, Oebatu, Sunusa, Tekeme, Nggailai, Lekik, Oelau, Mbokak, Oelasin, Fau, Deranitan, Lutukok, Dolasi, Danggaoen, Oederas, Soruk, Nggauk,dan Soioer/Resinggun.
Bagan Pemerintahan Adat Masyarakat Rote/Thie (ambil dari buku Thie Mau halaman 79)
Dulu, pemerintahan di Rote-ndao –termasuk Nusak Thie—tidak bersifat warisan atas suku/keluarga tertentu. Siapa yang dianggap “pintar dan mampu mengayomi rakyat” diangkat menjadi pemimpin (manek) yang dalam ungkapan adat disebut “mana tada tena do mana lolo bote” atau “mane la’i”.
Setelah Nusak Thie diakui dan diberi status kerajaan oleh Pemerintah Belanda pada masa pemerintahan Raja Thie, Mesah Mbura (Suku Mburala’e), maka Suku Mburala’e dianggap sebagai pewaris tahta Kerajaan Thie dan didominasi oleh Dinasti Messakh, sehingga yang akan diangkat menjadi raja haruslah berasal dari suku raja (Suku Mburala’e/Messakh). Namun demikian, dalam sejarah perjalanan pemerintahan, ada juga raja yang diangkat dari suku lain. Hal ini terjadi pula di kerajaan-kerajaan lain di Rote-Ndao.
Dalam urusan pemerintahan Nusak Thie, Suku Boruanan mempunyai wewenang sebagai Dewan Legislatif dengan tugas utama mengontrol jalannya pemerintahan. Bila penguasa/raja tidak memenuhi ketentuan lagi dalam menjalankan tugasnya, maka Suku Boruanan wajib menyembelih seekor kuda jantan, diambilnya kaki depan sebelah kanan, dikeluarkan kukunya, lalu kaki kuda itu dikirim kepada raja yang dipandang tidak lagi memenuhi tugasnya. Hal ini disebut Ndara Fangga.
Setelah material itu diterima oleh raja, maka dia sadar bahwa dia tidak dipercayai dan tidak didukung lagi sebagai raja/penguasa dan dengan legowo dia segera mengundurkan diri. Untuk itu Suku Boruanan segera mengusahakan penggantinya. Cara atau tindakan untuk menyatakan aspirasi seperti itu adalah semacam mosi tidak percaya.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, kuat-tidaknya kedudukan raja tergantung dari Suku Boruanan. Jadi di satu pihak Suku Boruanan sebagai pengontrol/oposan, sedang di lain pihak sebagai partner/mitra pemerintah atau raja. Karena sebagai mitra penguasa pula, maka Suku Boruanan disebut sebagai “penopang kaki kursi”. Dikatakan, “Boruanan mana holu kadera ein.” Selama Suku Boruanan masih kuat menopang kaki kursi raja (holu kadera ein), maksudnya mendukung raja, maka raja tidak perlu merasa khawatir akan kedudukannya. Suku Boruanan mempunyai kewajiban, yaitu pada setiap kali pelantikan raja baru, mereka masing-masing bergilir menyiapkan seekor kerbau untuk acara pelantikan dan seekor kuda untuk acara ndara fangga (acara pengukuhan/pengesahan).
Kedudukan dan fungsi Suku Boruanan sebagai “dewan legislatif” mulai berlaku sejak adanya pemerintahan yang teratur dalam Nusak/Kerajaan Thie sampai dengan masa pemerintahan Raja Helo Ndu (Jonas Nikolas Messakh). Pada lain versi (F. Messakh – 92) bahwa sampai dengan masa pemerintahan Urai Ndu (Paulus Messakh). Sesudah itu peranan serta berbagai tata cara adat seperti itu mulai melonggar. Sementara dukungan politik dari Suku Boruanan masih tetap diperlukan dalam pengangkatan raja-raja baru.
Kuda dipakai sebagai alat pengesahan, yang disebut “ndara fangga”. Kuda yang akan disiapkan sebagai alat pengesahan itu disembelih, dagingnya akan dibagikan kepada fungsionaris adat dan/atau jika ada ikrar atau perdamaian antar-nusak maka kepada para pihak bersangkutan. Upacara ini disertai sumpah dan bila ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi.
Raja-raja Rote Ndao tidak memanfaatkan jabatannya untuk mengikis rakyat. Biaya perkara yang dipungut pun karena hakim adat adalah berbentuk majelis maka akan dibagi oleh majelis sendiri untuk masing-masing anggota majelis.

B.    Pemimpin-pemimpin Masa Silam
Dalam menata dan mengayomi warga masyarakat Thie, terdapat beberapa moyang yang merupakan pemimpin masyarakat/mane la’i/manek/raja. Berikut ini sejarah hidup para raja serta beberapa tokoh yang telah berjasa –baik bagi daerah maupun bangsa Indonesia.
·         Saku Nara
Pada mulanya suatu komunitas genealogis dipimpin oleh seorang senior yang disebut mane la’i atau amak. Pemimpin kelompok yang berjenis kelamin perempuan disebut ina lia, sedang induk kerbau yang menurunkan sekawanan kerbau disebut ina la’i. Arti la’i adalah yang pokok, yang utama.
Setelah adanya kelompok/organisasi masyarakat Thie, yang merupakan Mane La’, berturut-turut antara lain Ti Mau (moyang pertama), Ma Radi, Mota Nata, Ranggo Mota, Tola Mesah, Le’e Lumu, dan Resi Kiki. Sebenarnya mulai dari Tola Mesah, Le’e Lumu dan Resi Kiki, ciri-ciri pemerintahan yang teratur sebagai suatu “negara” sudah tampak.
Pemerintahan yang teratur dalam Nusak Thie, mulai dari moyang Saku Nara (Suku Taratu). Saku Nara ditetapkan sebagai manek dan memerintah mulai dari tahun 1565 sampai 1600.
Saku Nara mengayomi masyarakat atau bala-rakyatnya dengan penuh ketekunan. Dia telah menyusun dan menata pemerintahan daerah secara baik, termasuk menetapkan Hukum Kekeluargaan (Hukum Perkawinan). Pada masa pemerintahannya, masyarakat Thie dibagi atas dua bagian (dua suku besar), yaitu Suku Sabarai dan Suku Taratu. Sedangkan keturunan Busa Tola yang tetap tinggal di Pulau Landu diberi hak otonom oleh Saku Nara. Dengan begitu Pulau Landu merupakan daerah otonomi dari Nusak Thie.
Isteri Saku Nara bernama Feo Henu, anak dari Henu Etu (Raja Dengka). Bantuan sang isteri sangat besar bagi Saku Nara dalam menata dan mengayomi masyarakat Thie. Moyang Suku Su’a dan Le’e pada suatu masa terpisah dari masyarakat Thie yang lainnya dan tinggal di sekitar wilayah Dengka. Lantas pada suatu saat berkatalah Feo Henu kepada suaminya (Saku Nara), “O kiri eim dele-dele te hara dasim ta, ma besi habom denggu-denggu te de’a kolam ta, de ela Su’a no Le’e leo nai kada hatahori nusa-namon” –maksudnya, Saku Nara adalah manek yang sangat terkenal tetapi seolah mulutnya terkatup sehingga dia membiarkan keturunan Suku Su’a dan Suku Le’e tinggal di negeri orang.
Kata-kata si isteri dalam bentuk puisi itu sangat menusuk hati sang suami (Saku Nara), lalu dia segera bergegas pergi menjemput kembali keturunan Suku Su’a dan Suku Le’e dari Dengka. Namun ada yang tertinggal dan membentuk sebuah suku, yaitu Suku Ndau.
·         Lunggi Helo
Lunggi Helo berasal dari Suku Tolaumbuk, memerintah dari tahun 1600 sampai dengan tahun 1625, berkedudukan di Inggurak. Masalah pertanian (irigasi dan persawahan) sangat diperhatikan oleh raja ini. Bersama dengan Moi Longgo (moyang Suku Moianan), dia membuat embung-embung atau bendungan Dano Tua. Kini bendungan itu mengairi ratusan hektar sawah.
Menurut Uit het Contract Boek (1700: 188), anak Lunggi Helo yang bernama Tola Lunggi adalah Gemachtigde (Agent, Komisi) di Nusak Thie.
·         Pandi Tule
Pandi Tule memerintah dari tahun 1625 sampai tahun 1638, berkedudukan di Inggurak. Dia berasal dari Suku Bibimane. Dalam laporan VOC/Belanda juga mengatakan bahwa dia berasal dari Suku Bibimane dan memerintah pada tahun 1660. Sesudah manek ini maka mahkota kerajaan beralih dari Suku Bibimane ke Suku Mburalae. Untuk menghargai suku ini, ditentukan bahwa Suku Bibimane bebas dari neue manek dan nenea manek. Lantaran ketentuan itu disertai dengan suatu sumpah adat (ndara fangga), bila ada anggota dari suku ini menangani pertanian suku raja maka tanaman akan mati.
Pada masa lalu rakyat berkewajiban mengerjakan sawah ladang raja (neue manek). Begitu pula setiap hari khususnya pada malam hari, sejumlah lelaki yang telah dewasa (yang telah mendapat pengenaan pajak) secara bergilir mengawasi atau menjaga keamanan keluarga raja (nenea manek).
·         Mbura La’e
Mbura La’e adalah moyang yang pertama dari Suku Mburala’e. Data mengenai raja ini tidak banyak diketahui oleh para manahelo. Dia memerintah sekitar tahun 1638 sampai tahun 1639. Menurut laporan VOC, dia memerintah dari tahun 1673 sampai 1674. Dalam laporan itu dikatakan bahwa dia adalah anak dari raja La’e Foeh, sedangkan namanya Pulokama.
·         Mesah Mbura
Mesah Mbura adalah anak dari Mbura La’e, memerintah dari tahun 1639 sampai dengan tahun 1657. Sementara itu menurut koleksi Pusat Dokumentasi Kerajaan-kerajaan Indonesia, Vlaardingen, bahwa Mesah Mbura memerintah dari tahun 1678 sampai tahun 1694. Dia berkedudukan di Inggurak. Masalah keamanan dan pertanian sangat diperhatikan oleh raja ini. Pada masa pemerintahannya, Belanda memasuki Rote. Terdapat dua versi mengenai anak-anak lelaki dari Mesah Mbura. Versi pertama mengatakan bahwa anak-anak Mesah Mbura adalah Nale Mesah, Mbura Mesah, dan Moi Mesah. Kemudian versi kedua menyebutkan bahwa anak-anak Mesah Mbura adalah Nale Mesah, Mbura Mesah dan Pah Mesah.
·         Hani Henu
 Hani Henu adalah anak dari Henu La’e (Suku Henula’e). Menurut laporan VOC yang terdapat di Perpustakaan Nederland, bahwa dia memerintah sampai dengan tahun 1698. Sedangkan sumber lain mengatakan bahwa dia memerintah dari tahun 1657 sampai dengan tahun 1660.
·         Moi Mesah
Moi Mesah (anak dari Mesah Mbura) memerintah dari tahun 1660 sampai dengan tahun 1665, berkedudukan di Inggurak. Menurut Soh (dengan mengutip catatan VOC Belanda), bahwa raja ini memerintah dari tahun 1697 sampai dengan tahun 1698.
·         Nale Mesah
Nale Mesah (Suku Mburala’e) memerintah dari tahun 1665 sampai dengan tahun 1690. Pada masa pemerintahan raja ini, Thie mengalami dua peristiwa sejarah yang mengerikan. Pertama, atas restu Nale Mesah, Nale Sanggu (panglima perang) menaklukkan dan memusnahkan kerajaan dan rakyat Ndana pada sekitar tahun 1680. Kedua, pada tahun 1681, kerajaan Thie, Oenale dan Dengka di bawah komando panglima perang Nale Sanggu dan Lere Tasi menyerang kerajaan Termanu dan Lelain karena kedua kerajaan ini selalu menyerang Thie, Oenale dan Dengka. Lantaran Termanu merupakan sekutu dari Kompeni (Belanda), maka Kompeni menganggap hal ini sebagai suatu ancaman langsung kepadanya, lalu mengirim sebuah ekspedisi dari Kupang yang terdiri dari 26 tentara, 500-600 orang Timor dari negara/kerajaan Kupang, Amabi, dan Sonbai untuk membantu Termanu. Ketiga kerajaan itu (Thie, Oenale dan Dengka) diserang habis-habisan. Terjadilah penggal-memenggal kepala antara kedua belah pihak. Oleh karena kekuatan musuh (Termanu dan kawan-kawan) terlalu besar, para pejuang dan rakyat (tua-muda, lelaki-perempuan dan anak-anak) lari bersembunyi ke dalam gua-gua. Namun gua-gua itu dibakar/diasapi sehingga banyak penduduk yang mati lemas.
Setelah aman, kapal-kapal Belanda yang kembali ke Kupang membawa serta tawanan perang yang terdiri dari 96 orang lelaki, 158 orang perempuan, dan 181 anak-anak. Mereka dijadikan budak. Sebagai tambahan Thie harus membayar 100 budak dan 8 kati emas, Dengka 75 budak dan 75 kati emas, sedangkan Oenale dibebaskan dari denda karena kehilangan 2/3 dari penduduknya (Fox, 1996: 135).
Kemudian masalah ini disampaikan oleh ketiga kerajaan tersebut kepada Gubernur Jenderal di Batavia lalu Gubernur Jenderal memberikan suatu surat peringatan kepada raja-raja Timor yang telah turut memerangi ketiga kerajaan Rote itu dan menyalahkan mereka sebagai phak yang bertanggung-jawab atas peristiwa tersebut. Lebih lanjut Gubernur Jenderal mengatakan dalam suratnya bahwa Kompeni tidak bermaksud menyusahkan hidup rakyat tetapi berkeinginan agar semua rakyat harus hidup dalam kedamaian dan ketenangan.
Walaupun Kerajaan Dengka menjalin persahabatan dengan Thie, namun Raja Dengka selalu merasa khawatir akan kekuatan Thie di bawah pimpinan pahlawan-pahlawan Nale Sanggu (Suku Kona) dan Lere Tasi (Suku Le’e). Kedua panglima perang ini yang memimpin tentara gabungan Thie, Oenale dan Dengka waktu ketiga kerajaan ini diserbu oleh Termanu dan sekutunya.
Raja Dengka berpikir bahwa dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh Thie, pasti sekali kelak Thie akan menyerang Dengka. Untuk itu Raja Dengka mencari jalan agar kedua panglima ini disingkirkan.
Dalam persahabatan yang berkedok itu, Raja Dengka menyarankan kepada Raja Thie (Nale Mesah) supaya kedua oknum itu harus dimusnahkan dengan dalih bahwa bila dibiarkan pasti kelak mereka akan mengadakan kudeta. Nale Mesah tidak menyadari akal bulus Raja Dengka itu lantas mengabulkan saran raja tersebut. Kedua panglima perang itu dituduh dengan berbagai tuduhan yang tidak berdasar dan kemudian diadu-domba oleh Raja Nale Mesah, lalu mereka berdua terlibat dalam suatu perkelahian yang sengit.
Keduanya saling membunuh, akibatnya keduanya gugur bersamaan. Sewaktu mereka hendak menghembuskan nafas yang penghabisan, masing-masing bersumpah sebagai berikut:
-       Nale Sanggu: “Setiap orang Thie yang terlalu pintar/berpangkat tinggi akan mati muda.”
-       Lere Tasi: “Setiap orang Thie yang terlalu berani dalam peperangan akan mati muda.”
Oleh karena Raja Nale Mesah suka menuruti pendapat dan/atau ajakan orang lain kendati berbahaya, maka dia dijuluki “Mane Nau Mesan” (raja yang mau-mau saja). Maksudnya hanya membebek saja. Sebab itu, rakyat menggelar unjuk rasa lalu dia diganti oleh adiknya yang bernama Mbura Mesah.
·         Mbura Mesah
Raja ini (Suku Mburala’e) memerintah dari tahun 1690 sampai dengan tahun 1729. Mula-mula berkedudukan di Kokolo, kemudian pada sekitar tahun 1691 ibukota dipindahkan ke Fiulain. Perpindahan ini dilakukan lantaran Thie masih terus mendapat serangan dari Termanu dan Dengka.
Pada masa pemerintahan Nale Mesah, musuh bebuyutan Thie hanyalah Termanu, tapi pada masa pemerintahan raja ini (Mbura Mesah), musuh Kerajaan Thie bertambah lagi, yakni Kerajaan Dengka. Raja Dengka tidak lagi merasa khawatir atas kekuatan Thie karena dua panglima perang (Nale Sanggu dan Lere Tasi) telah tiada.
Pada masa pemerintahannya terjadi pula peristiwa sejarah yang mengerikan bagi Kerajaan Thie, bahkan dalam sejarah Rote. Kerajaan Termanu kembali menyerang Thie pada tahun 1690 lantas menawan sejumlah orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Para tawanan ini diperlakukan seperti kerbau untuk merencah sawah. Yang tidak kuat atau tidak berdaya lagi ditusuk pantatnya dengan rotan. Di Termanu ada tempat bernama “Mbau Mbeli” yang artinya tusuk/tikam pantat.
Kemudian Thie dan Baa mengadakan serangan balasan. Pasukan Thie di bawah komando panglima perang Pandi Mbao (Suku Nggaupandi) bergabung dengan pasukan Bau lalu menyerang Termanu. Dengan gigih mereka menyerang musuh sehingga sebagian besar tawanan diloloskan kembali. Kampung-kampung yang bernama Hoi Ledo dan Ingufao, dibakar habis-habisan sehingga sampai kini ada ungkapan “afu lua hoi ledo, ma a’i na’a ingufao”.   
Mengingat Termanu merupakan sekutu yang paling baik buat Belanda sehingga jangan sampai terjadi campur tangan dari Belanda seperti apa yang terjadi pada masa pemerintahan saudaranya (Nale Mesah), maka setelah Termanu dihancurkan cepat-cepat Mbura Mesah mengambil hati dan berbuat jasa baik kepada Belanda. Karena itu Belanda tidak menaruh dendam, malahan pada tahun 1726 dia dianugerahi sebuah piala perak dari VOC dan bertuliskan “Poura Messa, Radja van Thie, 1726”. Di sini Mbura ditulis Poura. Kemudian beliau dibaptis di Kupang. Raja ini berjasa pula dalam memperbaiki serta melanjutkan pembangunan embung-embung/bendungan Dano Tua pada tahun 1700.
·         Foeh Mbura
Foeh Mbura alias Benyamin Mesah adalah anak dari Mbura Mesah, dilahirkan di Kokolo (ibukota Kerajaan Thie) kira-kira tahun 1680. Dia menjadi raja menggantikan ayahnya dan memerintah dari tahun 1729 sampai 1746, berkedudukan di Fiulain (ibukota baru). Bersaudara dengan Pandi Mbura (laki-laki), Nuku Mbura (laki-laki) dan Ndo’i Mbura (perempuan) yang kawin dengan Ndi’i Hu’a (Raja Lole). Versi lain menyebutkan bahwa Foeh Mbura bersaudara pula dengan Pa Mbura. Isteri dari Foeh Mbura ialah Ria Be, adik dari Be Poli (Raja Bilba) dan mendapatkan satu-satunya anak (lelaki) yaitu Henu Foeh (meninggal dalam usia yang masih muda) dan tiga anak perempuan.
Raja Foeh Mbura mempunyai satu ide yang paling gemilang dalam menata dan mensejahterakan rakyat-masyarakat Thie khususnya dan Rote umumnya. Idenya itu ialah “sangga ndolu sio do tungga lela falu” (mencari hikmat dan kedamaian serta kesejahteraan hidup). Tempat tujuan atau dambaannya ialah Betawi/Batavia yang oleh orang Rote disebut Matabi.
Pada tahun 1730 berangkatlah Foeh Mbura bersama rombongannya yang berjumlah 27 orang, termasuk Raja Lole (Ndi’i Hu’a), Raja Lelain (Ndara Naong) dan Raja Baa (Tou Dengga Lilo). Dari Thie turut serta wakil dari hampir semua leo (klen) yang terdapat di Nusak Thie, antara lain Pandi Mbura (saudara dari Foeh Mbura yang mewakili Suku Mburalae), Mbate Mio (Moiumbuk), Nafi Toulo/Lon (anak dari Tou Lo Nale yang bersama Sangguana Nale dibunuh di Ndana) mewakili Suku Kona, Resi Boru (Suku Bibimane), Tule Fatu (Suku Tolaumbuk), Mina Mbaru (Suku Musuhu), Henu Helo (Suku Langgalodo), Semu Lolo (Suku Kanaketu), Landa Laifoi (Suku Kolek) dan Foi Soru (Suku Su’a). Catatan: setelah sampai di Sabu, Pandi Mbura tidak mau melanjutkan perjalanan lalu tinggal bersama saudaranya Nuku Mbura yang telah lebih dulu bertualang di Belu dan kemudian ke Sabu dan menetap di sana.
Pada waktu itu fettor adalah Pandi Ndao (dari suku/leo Todefeo) tidak pergi dan ditunjuk sebagai raja ad interim. Sebagai gantinya, Pandi Ndao menunjuk Mbate Moi mewakilinya sekaligus mewakili rumpun suku (leo) Moianan dan/atau Taratu untuk mendampingi raja. Setelah kembali dari Batavia, jabatan fettor dari leo Todefeo kepada leo Moiumbuk secara turun-temurun dan mulai dijabat oleh Mbate Moi.
Di Batavia, sebagian anggota rombongan diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan selama dua tahun, sedang sisanya disuruh pulang lebih dulu. Yang pulang lebih dulu, menurut legenda, ada yang mengendarai hewan laut, antara lain Mina Baru mengendarai buaya, Semu Lolo dan Foi Soru mengendarai ikan hiu, serta Landa Laofoi mengendarai ikan lada. Sesudah mengikuti pendidikan, lima orang dibaptis, masing-masing Foeh Mbura (Benyamin), Mbate Moi (Yohanis), Nafi Toulo/Lon (Natanel), Tule Fatu (Daniel) dan Resi Boru (Matias). Menurut sumber lain bahwa Foeh Mbura dibaptis bersama ayahnya sebelum di ke Betawi.
Setelah kembali (1732), Foeh Mbura mulai menerapkan semua ilmu/teknologi dan agama kepada rakyat Rote. Karena belum ada gedung khusus untuk kegiatan pendidikan dan kegiatan agama, maka Istana dipakai sebagai tempat sekolah dan gereja. Rakyat Rote mengatakan bahwa beliau membawa “manggaledok ma manggadilak soa neu nusa Rote” (membawa cahaya cemerlang bagi rakyat Rote).
Untuk melancarkan kegiatan pendidikan dan agama maka Foeh Mbura meminta tenaga guru dan pendeta lalu Kompeni mengirim guru-guru serta pendeta (Herman Sanders Zijlsma) ke Fiulain (Thie).
Dapat ditambahkan bahwa baru saja Foeh Mbura dan rombongannya berangkat (1730), tentara gabungan Termanu, Korbafo, Dengka dan Oenale menyerang Thie, Loleh, Baa dan Lelain pada tahun itu pula (Fox, 1996: 196). Raja Thie ad interim (Pandi Ndao) memerintahkan lima orang panglima perang Thie memimpin pasukan Thie untuk bergabung dengan pasukan dari Lole, Baa dan Lelain buat menangkis serangan tersebut. Akhirnya musuh berhasil dikalahkan. Kelima panglima perang itu adalah Moka Laka (Suku Musuhu), Ndu Mbeda (Suku Kolek), Tule Tole (Suku Bibimane), Lenggu Soru (Suku Kekadulu) dan Tidoama Koli Oe (Suku Su’a).
Hubungan Foeh Mbura dengan ketiga raja seperti di muka sangat akrab karena antara mereka terdapat hubungan perkawinan. Saudara perempuan Foeh Mbura (Ndo’i Mbura) kawin dengan Ndi’i Hu’a, serta tiga orang puterinya –Doana Foeh kawin dengan Tou Dengga Lilo, Hu’aana Foeh kawin dengan Ndara Naong, serta Sutaana kawin dengan Sou Lai (panglima perang Lole).
Ndi’i Hu’a (Raja Lole) tinggal di puncak Gunung Mando di bagian selatan Nusak Lole/Kuli. Bila ada sesuatu peristiwa penting maka Ndi’i Hu’a dan Foeh Mbura saling memberikan berita isyarat bunyi tembakan meriam. Bahkan beritanya pada saat mereka meminum laru pun mereka saling memberi isyarat dengan menembakkan meriam.
Keadaan masyarakat Rote serta visi-misi Foeh Mbura seperti tersebut di muka dilukiskan dalam syair (bahasa/dialek Thie) sebagai berikut:
Inggu mana songgo nitu ma nusak mana tanggu mula
De tetun ta nai Rote daen ma teman ta nai Kale oen
Falu inar haradoi besekudu ma ana-mar kurudo beletani
Te hu mauak neu ba’in ma manalek neu aman
Ba’i tingga nala tonda ufan ma ama daka nala balu baun
Fo balun Sangga Ndolu
Ba’i leko la neu langgan ma ama pale uli neu ikon
De ara tuku la kukuru ma ara pale uli titidi
De sida epor reu nduku Jabadiu daen
Ma lena rir reu losa Matabi oen
Ba’i tati neni Bau Koli ma ama lo’o neni Tui Sina
Ba’i fuan neu balun lain ma ama ndaen neu tondan lain
Ba’i nenin nduku Rote daen ma ama nenin losa Kale oen
De sele Bau neu dano ma tande Tui neu le
De Baru don nasengga dano ma Tui okan nandoro le
Bali basa dae Rote ma ndule basa oe Kale
De mboko danor ramahena ma mboe ler rakabani
Boe te mboko dano ta, te ana-mar
Ma mboe le ta, te falu inar
Bau Koli ta, te Susura Malalaok
Ma Tui Sina ta, te Malelak
De Bau Sodak ana dadi ma Tui Ladak ana mori
De ana-mar reu tai ndulen ma falu inar reu eko feon
De hambu ndolu soin, ndolu mana sefa dae
Ma hambu lela falun, lela mana toli oe
De manggaledok mori nai dae rote ma malelak dadi nai oe Kale
Dadi neu nemehendak ma taon neu nekebanik
Losa faik ia dalen ma nduku ledok ia tein
(Terjemahan bebasnya kurang-lebih: Dahulu kala para nenek moyang penyembah berhala serta bodoh sehingga tidak ada kesempurnaan di bumi [Rote]. Hal itu menyebabkan manusia merintih dan cemas. Tetapi beruntunglah para moyang menaiki biduk mereka lalu menuju Batavia. Lalu mereka memotong pohon Bau dan menebang pohon Tui kemudian dimuat dalam biduk lalu kembali ke Rote. Setelah sampai, pohon Bau ditanam di pinggir danau dan pohon Tui ditikam di pinggir sungai. Lalu Bau berdaun rimbun menaungi danau dan akar pohon Tui menjorok sepanjang kali. Kemudian datanglah udang untuk berlindung dan datanglah mboko untuk bernaung. Lalu menjadi harapan bagi udang dan mboko. Tetapi bukan udang dan mboko melainkan yatim piatu dan balu duda. Dan bukan pohon Bau dan pohon Tui tetapi kesejahteraan dan pengetahuan. Semua itu menjadi pegangan hidup sampai saat ini.)
Tentang Foeh Mbura dan saudara-saudaranya, menurut versi Sabu yang ditulis oleh Riwu Kaho (2005: 16), bahwa Foeh Mbura, Pandi Mbura, dan Nuku Mbura adalah orang Sabu. Di Sabu mereka disebut/dikenal dengan nama Poe Bura, Padi Bura, dan Nuku Bura. Nuku Bura sebagai pemimpin masyarakat Habba.
Sekitar tahun 1690-1700 terjadi konflik antara Kerajaan Thie dan Kerajaan Oenale, Dengka, Korbafo dan Termanu. Karena permintaan bantuan dari Thie kepada kerabatnya di Sabu, maka Nuku Bura mengirim Poe Bura dan Padi Bura ke Rote untuk membantu Nusak (Kerajaan) Thie. Sesudah perang, Padi Bura/Pandi Mbura kembali ke Sabu, sedangkan Poe Bura/Foeh Mbura menetap di Thie.
Ketiga bersaudara itu adalah anak dari Mbura Mesah. Bersama Pah Mbura (saudara mereka), ketiganya lahir di Kokolo. Karena selalu mendapat serangan dari Kerajaan Termanu, maka ibukota sekaligus masyarakat Thie berpindah ke Fiulain, sementara Foeh Mbura masih kecil.
Penyerangan terhadap Kerajaan Thie oleh keempat kerajaan itu berlangsung pada tahun 1730. Sedangkan menurut Riwu Kaho, penyerangan itu terjadi sekitar tahun 1690 sampai 1700.
Memang pada tahun 1690 Termanu menyerang Thie, tapi saat itu Dengka dan Oenale masih bersahabat dengan Thie. Kemudian baru Dengka dan Oenale berseberangan dengan Thie. Bila betul ada permintaan dari Thie sesuai dengan versi Riwu Kaho, maka menurut versi Fox terjadi pada tahun 1730 dan yang meminta bantuan adalah Raja Thie ad interim (Pandi Ndao) kepada Nuku Mbura di Sabu.
·         Toukay Pah
Toukay Pah alias Daniel Toukay Pah (Suku Mburala’e) memerintah pada tahun 1747 sampai dengan 25 Januari 1749 dengan ibukota Fiulain. Keturunan Toukay Pah disebut Tou Kay Tein –mereka memakai fam Pandi. Toukay Pah bersaudara dengan Besiu Alu Pah. Terdapat dua versi mengenai ayah mereka. Versi pertama mengatakan bahwa ayah mereka adalah Pah Mesah. Sedangkan versi kedua (St. J. Merukh dan Soh) bahwa ayah mereka adalah Pah Mbura (salah seorang saudara dari Foeh Mbura).
Raja ini cukup memperhatikan agama dan pendidikan. Dan juga pertanian. Pada mulanya kegiatan pendidikan dan kegiatan ibadah tertempat di satu lokasi/bangunan saja, yaitu di sekolah, kemudian pada masa pemerintahan raja ini gedung gereja sudah dibuat secara terpisah dari sekolah.
·         Mbura Toukay
Mbura Toukay alias David Mbura Toukay (anak dari Toukay Pah) memerintah dari tahun 1749  sampai tahun 1771 dengan ibukota Danoheo. Dia melanjutkan rencana pembangunan yang telah dibuat oleh ayahnya, terutama pertanian, agama dan pendidikan. Karena pendeta Hermanus Sanders Zijlsma berpindah, raja ini meminta lagi pendeta lalu dikirim pendeta Waarmoed ke Danoheo.
·         Besi Alu Pah
Besi Alu Pah alias Bastian Mbura Mesah (saudara dari Toukay Pah) memerintah dari tahun 1771 sampai tahun 1783.   

C.   Pengaruh Belanda dan Jepang
Setelah 300-an tahun relatif tak berubah, dalam dekade-dekade awal abad 20, di bawah kebijakan “intesifikasi kekuasaan”, Pemerintah Kolonial Belanda berusaha merasionalisasi struktur nusak dan sistem gelar para penguasa Rote. Tapi rupanya sistem yang sudah bertahan lama selama berabad-abad itu sulit diubah. Jika pulau-pulau lain di Residensi Timor dan Pulau-pulaunya yang sebelumnya mempunyai hubungan yang sangat kurang dengan Belanda, telah menjadi sasaran perubahan secara mendasar, program rasionalisasi ini di Rote berhasil ditolak dan diselepekan. Inilah ironinya: pulau yang selama berabad-abad sudah dipenetrasi oleh Belanda justru mampu mempertahankan sistem pemerintahannya yang asli, sementara pulau lain yang kurang mendapat penetrasi justru menjadi sasaran perubahan luar biasa di awal abad 20.
Untuk mempertahankan posisi mereka, para penguasa Rote hanya melakukan sebuah perubahan di permukaan. Pada 31 Oktober 1928, para manek Rote ramai-ramai menyerahkan hak mereka akan gelar ‘Radja’ dan menyetujui penunjukan seorang bangsawan Rote dari keturunan Fettor, Joel Simon Kedoh, sebagai seorang pejabat sementara “Radja Rote”. Inilah untuk kali pertama dan terakhir Rote mempunyai seorang “Radja” tunggal. Joel Simon Kedoh sebenarnya adalah seorang bintang pelajar Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar yang dianggap cakap menjadi raja bagi seluruh pulau kecil ini.
Dengan melakukan ini sebenarnya mereka mengakali Belanda. Mereka tetap mempertahankan hak untuk memerintah domain mereka dengan gelar “Manek” yang sebenarnya adalah sinonim bahasa Rote untuk “radja”. Bahkan orang Rote menyebut raja yang baru terpilih itu sebagai “manek kisek” yang merupakan pujian sekaligus ejekan. Kata ‘Kisek’ dalam bahasa Rote bisa berarti ‘tunggal’ tapi juga berarti ‘tersendiri’ atau ‘menyendiri’. Dengan menyebut ‘manek kisek’ dapat berarti raja tunggal namun bisa pula berarti raja yang tersendiri atau raja yang menyendiri alias raja yang dicuekin.
Perubahan yang diprakarsai Belanda ini juga merupakan keuntungan bagi beberapa penguasa dari domain yang lebih kecil yang beberapa dekade sebelumnya telah digabungkan ke domain yang lebih besar, karena mereka memperoleh kembali posisi ‘tradisional’ mereka.
Dengan perubahan ini, kendati ada seorang raja yang berkedudukan di Ba’a, Rote tetap terbagi menjadi 18 domain (nusak) dengan setiap nusak diperintah oleh seorang Manek, seorang Fettor, dan sejumlah Temukun. Dan di sini untuk kali pertama Temukun disebut dengan bahasa Rote “Maneleo”. Seluruh Raja-raja Rote tergabung dalam sebuah dewan yang di sebut Raad van Landshoofden untuk membantu sang pejabat Raja Rote dalam memerintah.
Ketika sang Raja Rote meninggal saat pendudukan Jepang dia tidak digantikan. Sistem tradisional ini berlanjut selama pendudukan Jepang dan setelah kembalinya Belanda. Mengapa Belanda kembali ke Rote?
Kisahnya, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan untuk sementara wilayah Negara Republik Indonesia yang dibagi dalam 8 provinsi. Setiap Provinsi dibagi lagi atas wilayah Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Setiap gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Wilayah Swapraja Rote-Ndao dan Swapraja Sabu-Raijua yang semula disatukan dalam Onder Afdeling Rote-Sabu berada dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil dan wilayah Keresidenan Timor dan daerah penaklukannya.
Tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 23 November 1945, Pemerintah RI menetapkan UU No. 1 Tahun 1945. UU ini mengatur antara lain wilayah kerja perangkat Pemerintah di mana sebuah  provinsi dipimpin oleh seorang Gubernur, Karesidenan dipimpin oleh Residen, Kabupaten dipimpin oleh Bupati, Kotapraja dipimpin oleh  Wali Kota, Kewedanan dipimpin oleh  Wedana dan Kecamatan (Onder Distrik) dipimpin oleh Asisten Wedana (Camat). Sayangnya UU ini hanya berlaku di Yogyakarta dan tidak berlaku di daerah lain yang masih diduduki oleh Belanda --termasuk wilayah Rote-Sabu.
Sebab itu, pada tahun 1946, pemerintah Hindia Belanda menempatkan kembali pejabatnya yaitu seorang Controleur di Ba’a. Pemerintahan Swapraja Rote-Ndao tetap bertugas seperti biasa sampai meninggalnya pejabat Raja Rote, Joel Simon Kedoh, pada tanggal 31 Agustus 1948. Pada tahun 1949 terjadilah penyerahan Kedaulatan kepada Pemerintan RI sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Secara de facto penyerahan kedaulatan di daerah Timor terjadi pada tanggal 29 September 1949 antara Residen Ver Hoef dan H.A. Koroh sebagai kepala daerah Timor.
Pada tahun 1950 wilayah ex Onder Afdeling Rote-Sabu ditetapkan menjadi satu wilayah setingkat Kewedanan (Distrik) yang dipimpin oleh seorang Kepala Pemerintahan Setempat (KPS). Zelf Bentuur Rote yang dibentuk berdasarkan ZBR 1938 diubah namanya menjadi Swapraja Rote-Ndao mengalami kekosongan kekuasaan karena meninggalnya pejabat Raja Rote pada tahun 1948. Selanjutnya di Swapraja Rote-Ndao dibentuk suatu badan yang bersifat Kolegial yang disebut Dewan Pemerintahan Daerah Sementara Swapraja Rote-Ndao (DPS Swapraja Rote-Ndao) yang terdiri dari beberapa raja yang bertugas pada 1948-1958.
Berdasarkan UU No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II Kupang, wilayah Swapraja Rote-Ndao digabungkan dengan Swapraja Sabu-Raijua, Kota Kupang, Swapraja Kupang, Swapraja Amarasi, Swapraja Fatleu, Swapraja Amfoang menjadi daerah Swatantra Tingkat II Kupang dengan Ibukota Kupang.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur NTT tertanggal 28 Februari 1962 dan tanggal 9 Juni 1962, Wilayah Swapraja Rote-Ndao dimekarkan menjadi tiga wilayah Kecamatan yaitu: Rote Timur, Rote Tengah dan Rote Barat. Periode ini merupakan masa transisi yang sulit bagi orang Rote. Banyak orang belum mempercayai pemerintahan Indonesia, dan oleh karena walaupun sudah ada camat, raja-raja tetap memerintah. Perkara-perkara masih diputuskan oleh raja kendati telah ada pengadilan negeri di Ba’a. Dalam periode inilah dikenal raja-raja terakhir dari Rote. Karena sejumlah raja diangkat menjadi camat, pengganti mereka segera pula diangkat. Karena ini merupakan masa transisi, para raja terakhir ini ada yang dipilih oleh rakyat, ada pula yang hanya dipilih oleh para temukun.

D.   Suksesi-Regenerasi Wajar Bagi Orang Rote
Orang Rote memiliki pandangan yang khas mengenai pergantian kepemimpinan. Dalam banyak komunitas lain, suksesi seringkali ditandai dengan intrik-intrik politik, persekongkolan, bahkan tidak jarang terjadi kudeta dan pertumpahan berdarah.
Pandangan orang Rote mengenai pergantian kepemimpinan dapat kita amati dari puisi lisan mereka yang disebut Bini. Seluruh komunitas Rote mengenal nyanyian dengan bahasa ritual formal yang disebut Bini. Khazanah Bini seringkali mengungkap dasar-dasar kebudayaan Rote. Bini berikut ini mengungkapkan sebuah filosofi penting orang Rote dalam interaksi sosial yang formal, khususnya pandangan mereka tentang suksesi kepemimpinan.

1. Lole faik ia dalen
2. Ma lada ledok ia tein na
3. Lae: tefu ma-nggona lilok
4. Ma huni ma-lapa losik.
5. Tefu olu heni nggonan
6. Ma huni kono heni lapan,
7. Te hu bei ela tefu okan
8. Ma huni hun bai.
9. De dei tefu na nggona seluk
10. Fo na nggona lilo seluk
11. Ma dei huni na lapa seluk
12. Fo na lapa losi seluk.


Pada hari yang baik ini
Dan pada saat yang baik ini (mataharinya) Mereka berkata: Tebu itu memiliki pelepah emas
Dan pisang memiliki bunga tembaga. Pelepah tebu itu jatuh
Dan bunga pisang rontok,
Yang masih tinggal hanya akar tebu
Dan juga batang pisang.
Tetapi tebu itu berpelepah kembali Pelepahnya emas lagi
Dan pisang itu berbunga lagi
Bunganya tembaga lagi.

Bagi orang Rote, pergantian (regenerasi) pemimpin merupakan sebuah proses yang wajar dan alamiah. Regenerasi itu akan berlangsung secara damai bila memenuhi dua kondisi: (a) generasi muda mengakui jasa pendahulunya (Tebu itu memiliki pelepah emas//Dan pisang memiliki bunga tembaga), tetapi sebaliknya (b) generasi yang lebih tua pun dituntut untuk percaya pada kemampuan generasi penggantinya (yang pelepahnya emas lagi//bunganya tembaga lagi).
Perhatikan konsep “tetapi” dalam ungkapan tersebut. Ungkapan ini menunjukkan pentingnya saling memberikan penghormatan, yang muda terhadap yang tua dan yang tua terhadap yang muda. Jadi, tuntutan itu tidak saja diberikan kepada kaum muda untuk menghormati yang lebih tua (seperti dalam masyarakat yang masih berciri feodalistik).

E.    Rote dalam Bingkai Otonomi
Semula wilayah Rote Ndao merupakan bagian dari Wilayah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Kupang yang dibentuk berdasarkan Undang - Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1655).
Kemudian sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor Pem.66/1/2 tanggal 28 Februari 1962 dan Nomor Pem.66/1/22, tanggal 5 Juni 1962, wilayah Rote Ndao dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah Pemerintahan Kecamatan, masing-masing Kecamatan Rote Timur dengan pusat pemerintahan di Eahun, Kecamatan Rote Tengah dengan pusat pemerintahan di Baa dan Kecamatan Rote Barat dengan pusat pemerintahan di Oelaba.
Pada tahun 1963, sesuai dengan tingkat perkembangan yang ada, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor Pem.66/1/32, tanggal 20 Juli 1963, tentang Pemekaran Kecamatan maka Wilayah Pemerintahan yang berada di Rote Ndao dimekarkan menjadi 4 (empat) Wilayah Kecamatan, yaitu :
·         Kecamatan Rote Timur beribu-kota di Eahun
·         Kecamatan Rote Tengah beribu-kota di Baa
·         Kecamatan Rote Barat beribu-kota di Busalangga
·         Kecamatan Rote Selatan beribu-kota di Batutua
Setelah berjalan 4 (empat) tahun, terjadi pemekaran wilayah Rote Ndao menjadi 8 (delapan) kecamatan. Pemekaran ini berkaitan dengan adanya aspirasi masyarakat untuk membentuk Kabupaten Otonom bagi Rote Ndao. Sebagaimana diketahui, untuk memenuhi persyaratan pembentukan satu Daerah Kabupaten, minimal harus didukung oleh 6 (enam) buah Kecamatan Administratif. Sebab itu, 4 (empat) kecamatan yang telah ada di Pulau Rote Ndao dimekarkan lagi menjadi 8 (delapan) kecamatan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor Pem.66/1/44 tanggal 1 Juli 1967 dan Keputusan Nomor Pem.66/2/71, tanggal 17 Juli 1967, yakni:
·         Kecamatan Rote Timur dengan pusat Pemerintahan di Eahun.
·         Kecamatan Pantai Baru dengan pusat Pemerintahan di Olafulihaa.
·         Kecamatan Rote Tengah dengan pusat Pemerintahan di Feapopi.
·         Kecamatan Lobalain dengan pusat Pemerintahan di Baa.
·         Kecamatan Rote Barat Laut dengan pusat Pemerintahan di Busalangga.
·         Kecamatan Rote Barat Daya dengan pusat Pemerintahan di Batutua.
·         Kecamatan Rote Selatan dengan pusat Pemerintahan di Daleholu.
·         Kecamatan Rote Barat dengan pusat Pemerintahan di Nemberala.
Karena situasi keuangan negara tidak memungkinkan sehingga pembentukan Kabupaten Otonom Rote Ndao belum dapat diwujudkan, sebagai jalan keluar untuk memenuhi tuntutan aspirasi masyarakat, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur mengeluarkan Surat Keputusan Nomor Pem.66/2/4 tanggal 11 April 1968 agar wilayah Rote Ndao dibentuk sebagai Wilayah Koordinator Schap dalam wilayah hukum Kabupaten Daerah Tingkat II Kupang dan menunjuk D.C. Saudale sebagai Bupati diperbantukan di Wilayah Koordinator Schap Rote Ndao dengan Keputusan Guberur Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor Pem. 66/2/21, tanggal 1 Juli 1968.
Sesuai perkembangan bidang pemerintahan, pada tahun 1979 terjadi perubahan status Wilayah Koordinator Schap Rote Ndao menjadi wilayah pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao. Perubahan status ini didasarkan pada Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 25 tahun 1979 tanggal 15 Maret 1979, tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao, yang telah disahkan pula oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Menteri Dalam Nomor 061.341.63-114 tertanggal 8 April 1980.
Adapun para pejabat yang pernah memimpin di Wilayah Koordinator Schap Rote Ndao ataupun di Wilayah Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao adalah sebagai berikut :
·         Periode 1968-1974 adalah D. C. Saudale - Koordinator Schap Rote Ndao.
·         Periode 1974-1977 adalah Drs. R. Chandra Hasyim - Koordinator Schap Rote Ndao.
·         Periode 1977-1984 adalah Drs. G. Th. Hermanus - Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
·         Periode 1984 - 1988 adalah DRS. G. Bait - Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
·         Periode 1988 - 1994 adalah Drs. R. Izaac - Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
·         Periode 1994 - 2001 adalah Benyamin Messakh, BA - Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
·         Periode 2003 - 2008 adalah Christian Nehemia Dillak, SH - Bupati Rote Ndao.
Sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat, pada tahun 2000 muncul keinginan kuat dari masyarakat Rote Ndao --baik yang berada di Wilayah Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao maupun dukungan dari orang Rote yang berada di Kupang dan di Jakarta-- yang mengusulkan agar Wilayah Pemerintahan Pembantu Bupati Rote Ndao ditingkatkan menjadi Kabupaten definitif. Usulan tersebut didukung dengan adanya pernyataan sikap dari 300 Tokoh masyarakat, Tokoh adat mewakili masyarakat dari 19 Nusak, kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, melalui Pemerintah Kabupaten Kupang (sebagai Kabupaten Induk).

Atas dasar usulan tersebut, setelah melalui pengkajian dan mekanisme pembahasan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, pada tanggal 10 April 2002, Pemerintah Pusat dan DPR RI menetapkan Undang - Undang Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Rote Ndao di Propinsi Nusa Tenggara Timur.  (*)

Komentar