Masa Sekolah di Manokwari dan Memulai Karir Pamong di Sarmi

* Bab 2


MANOKWARI. Sebuah kota yang tidak akan dapat dilupakan dari memori seorang Thomas Alfa Edison Ondy yang kini hidup di Biak Numfor. Lahir sampai menghabiskan masa remaja di Manokwari jelas menorehkan kesan tersendiri di benak lelaki kelahiran 10 Oktober 1977 ini. Kedua orang-tuanya yang berprofesi sebagai guru tak lupa menanamkan nilai-nilai religi pada diri seorang Thomas Ondy. Dan, Manokwari memang kaya akan nilai-nilai religi.
Secara etimologi, kata ”Manokwari” berasal dari bahasa Biak Numfor yang berarti ”Kampung Tua”. Karena, selain dikenal sebagai Kota Bersejarah di Papua dan tempat dimulainya peradaban di Tanah Papua ketika pada tanggal 5 Februari 1855 Injil diberitakan pertama kali di sini oleh dua orang misionaris berkebangsaan Jerman, masing-masing Carel Willem Ottow dan Johann Gotlob Geislerr, Manokwari tercatat pula sebagai Kota Pemerintahan Tertua di wilayah Papua.
Ya peradaban dan pengenalan agama (Kristen) Tanah Papua dimulai dari Manokwari, tepatnya dari Pulau Mansinam. Dari catatan historis, pada awal Februari 1855 dengan menumpang kapal Ternate yang dinakhodai Contantijn, dua orang Penginjil berkebangsaan Jerman berhasil mendarat di Pulau Mansinam (Teluk Doreri). Lalu dari Pulau Mansinam inilah kemudian kedua orang Penginjil tersebut memberitakan Injil ke seluruh daratan Papua.

Kota Manokwari pun termasuk kota pemerintahan tertua. Hal ini dapat dilihat pada catatan sejarah hari jadi Kota Manokwari yang jatuh pada tanggal 8 November 1898. Hari jadi itu dilatar-belakangi oleh peristiwa dibentuknya pos pemerintahan pertama di Manokwari oleh Pemerintah Hindia Belanda, ketika Residen Ternate Dr. D. W. Horst atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda melantik Tn. L. A. Van Oosterzee pada hari Selasa tanggal 8 November 1898 sebagai Controleer Afdeling Noord New Guinea (Pengawas Wilayah Irian Jaya Bagian Utara) yang waktu itu masih termasuk wilayah Karesidenan Ternate. Tanggal 8 November inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Manokwari melalui Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1995, dan berarti sampai dengan tahun 2016 ini, Kota Manokwari telah berusia 118 tahun.
Tampak jelas, Manokwari termasuk “Kampung Tua”. Denyut kehidupan di Manokwari sudah terasa sejak jauh sebelum Republik Indonesia merdeka. Di masa Kolonial Belanda, untuk memantapkan pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Irian Jaya, dibentuklah pos pemerintahan yang pertama berkedudukan di Manokwari. Manokwari menjadi embrio pertama sejarah pemerintahan di wilayah Iran Jaya, dan selanjutnya  disusul Fak-Fak. Kedua pos pemerintahan tersebut masih langsung dibawahi oleh Keresidenan Maluku yang berkedudukan di Ambon.
Di masa kemerdekaan pun, Manokwari punya peran penting bagi jalannya pemerintahan Republik Indonesia. Dalam kenyataan sejarah masa-masa awal kemerdekaan, daerah Irian Jaya ternyata tetap dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Melalui beberapa kali perjanjian, sampai dengan Konperensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 di Den Haag Negeri Belanda, Indonesia harus bersedia menerima pengaturan sementara kedudukan Irian Barat (Iran Jaya) oleh Belanda untuk jangka waktu satu tahun. Dan ketentuan ini ternyata tak dipatuhi oleh Pemerintah, di mana Irian Jaya tetap tidak dikembalikan kepada Pemerintah Indonesia kendati telah melewati masa satu tahun.
Perjuangan mengambil kembali Irian Jaya tidak lantas berhenti. Dalam rentang waktu 1950 dan 1953, Pemerintah Republik Indonesia terus mendorong perundingan secara bilateral dalam lingkungan ikatan Uni Indonesia – Belanda. Usaha–usaha tersebut terbukti membawa hasil. Sejak tahun 1953 perjuangan Pembebasan Irian Barat mulai dilakukan di forum–forum internasional, terutama PBB dan Forum Solidaritas Asia-Afrika seperti Konferensi Asia–Afrika.
Namun usaha–usaha diplomasi internasional tersebut ternyata tidak membawa hasil yang berarti. Pemerintah Republik Indonesia mulai mengambil sikap yang keras terhadap Belanda. Muncul pembatalan Uni Indonesia – Belanda pada tahun 1954 yang diikuti pembatalan secara sepihak persetujuan KMB oleh Indonesia pada tahun 1956.
Selanjutnya, perjuangan untuk mengembalikan Irian Jaya bertumpu pada kekuatan rakyat Indonesia sendiri. Perjuangan yang dimotori oleh Kabinet Ali Satroamidjojo, Moh. Roem dan Idam Chalid itu kemudian melahirkan Undang–undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat.
Peresmian pembentukan Propinsi Irian Barat perjuangan dilakukan bertepatan dengan hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-39 pada tanggal 17 Agustus 1956, meliputi wilayah Irian Barat yang masih diduduki Belanda dan Daerah Tidore, Oba, Weda dan Patani yang berkedudukan di Soasiu dan pelantikan gubernurnya dilakukan pada tanggal 23 September 1956.
Pembentukan Propinsi perjuangan ini dititik-beratkan atas dasar administrasi, dan mendapat dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Untuk lebih mempertegas bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka diberi kesempatan kepada rakyat Irian Barat ikut serta dalam pemerintahan. Dan pada bulan Agustus 1956 Pemerintah Republik Indonesia mengangkat tiga orang anggota DPR sebagai wakil dari rakyat Irian, masing-masing Silas Papare, Mohamad Padang dan A.B. Karubuy. Namun demikian Propinsi Irian Barat perjuangan ini, walaupun mempunyai aparatur pemerintahan berupa Gubernur Kepala Daerah, Dewan Pemerintah dan jawatan–jawatan lainnya, tetap tinggal melempen sampai akhir hidupnya.
Perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat belum membawa hasil apa- apa, karena Belanda secara menyolok mendirikan “Dewan Papua“ pada tanggal 5 April 1961 yang disusul dengan pembentukan “Negara Papua Merdeka“ terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terpaksalah Pemerintah Indonesia meningkatkan konfrontasi militer. Hal ini memperlihatkan kesungguhan Pemerintah Indonesia untuk membebaskan wilayah Irian Barat dari tangan Belanda dengan kekuatan senjata. Tepat pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Presiden Soekarno mengeluarkan Trikomando Rakyat (Trikora). Dan, melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969, Papua sah menjadi bagian dari NKRI.
Dalam rangka persiapan pemekaran Wilayah Irian Jaya menjadi beberapa Propinsi pada Pelita IV (1984-1989), Kota Manokwari telah ditetapkan sebagai Pusat Pembantu Gubernur Wilayah II, yang meliputi Kabupaten Dati II Manokwari Sorong, Teluk Cendrawasih dan Yapen Waropen.
Dipilihnya Kota Manokwari sebagai Pusat Pembantu Gubernur Wilayah II, karena fakta sejarah di mana Kota Manokwari merupakan kota pertama masuknya Injil di Irian Jaya dan juga merupakan kota pemerintahan pertama di Irian Jaya.

A.   Menghabiskan Masa Sekolah di Manokwari
Suasana Manokwari tahun 1980-an jelas berbeda dengan Manokwari di tahun-tahun 1960-an sampai 1970-an. Di tahun-tahun itu, orang-orang lokal sekitar Manokwari tampak cukup aktif mewarnai denyut perekonomian kota yang kini menjadi ibukota Provinsi Papua Barat itu. Hal ini bisa kita simak dari penuturan pasangan suami-isteri Lambert Rumbino yang tinggal di wilayah Sanggeng sebagai dilansir oleh blog https://kisahmanokwari.wordpress.com pada akhir tahun 2011.
Saat itu, seperti dituturkan Lambert Rumbino, Sanggeng  belum menjadi pusat perekonomian Manokwari seperti sekarang. Sanggeng di tahun 1961–1963 masih sunyi. Masih banyak pohon besar dan kualitas jalan yang tak terlalu baik di lorong–lorong rumah penduduk. Selain itu sarana dan fasilitas transportasi sangat terbatas sehingga masih banyak orang yang berjalan kaki ke mana–mana. Hanya beberapa kalangan orang Belanda yang memakai mobil ataupun instansi dan lembaga tertentu yang mempunyai kendaraan roda empat lainnya.  Sisanya memakai sepeda namun tidak terlalu banyak.  “Cuma satu-dua saja yang punya sepeda,” tutur Lambert Rumbino.
Pada masa itu, walau Sanggeng belum menjadi pusat perekonomian  seperti sekarang, tapi sudah ada beberapa toko yang melayani kebutuhan masyarakat.  Toko–toko yang terdapat pada masa itu hanya beberapa antara lain Toko Namian, Hongkong Store, dan Happy Store . Pada perkembangannya, usai pemiliknya yang Cina Totok (Tionghoa asli tanpa campuran) berganti setelah pergantian kekuasaan (1963-1969), Toko Happy Store berganti nama menjadi Toko Sanggeng. Komoditas perdagangan yang dijual pada masa itu antara lain barang–barang kelontongan seperti piring, gelas, peralatan mencuci dan mandi,  makanan  dan minuman kalengan.
Bila warga Manokwari ingin membeli pakaian atau kain, mereka pergi ke daerah kota di mana terdapat beberapa toko. Pakaian pada masa itu tersedia di beberapa toko antara lain di Toko Delima (dekat lapangan Borarsi pada masa kini) dan Toko Kaca Miring (sekarang toko tersebut sudah dihancurkan padahal menjadi salah satu landmark kota Manokwari yang sangat khas), serta Toko Peter di Fanindi (dekat SMPN 3 Manokwari). Selain toko yang menjual pakaian di daerah kota, ada pula toko yang menyediakan jasa pemotretan. Bahkan ada juga toko yang menjual sepeda sekalian menyediakan jasa perbaikan sepeda (bengkel) seperti yang dibuat oleh Toko Manokwari (depan toko Peter).
Bilamana kebutuhan lauk–pauk segar yang dicari, warga Manokwari harus pergi ke pasar sayur dan ikan. Pada masa itu, pasar sayur dan ikan Manokwari terletak di daerah Padarni, tepatnya di kawasan bawah depan Toko Intan Sakti Utama pada masa kini, bersebelahan dengan kawasan OPSI (Organisasi Pedagang Seluruh Indonesia). Pasar sayur dan ikan itu terletak di pinggir pantai di mana ada sebuah kali yang lumayan besar yang mengalir dari arah Gunung Meja ke laut dan biasanya dibuat para–para di sekitar kali itu. Di atas para–para  kali itulah diletakkan tumpukan–tumpukan ikan.
Pada masa itu, yang menguasai penjualan komoditas sayur mayur dan buah–buahan adalah para perempuan suku besar Arfak.  Sangat jarang ditemukan penjual sayur dari suku Papua daerah pesisir (orang Pante). Menurut Lambert Rumbino, komoditas dagangan yang dijual perempuan Arfak pada masa itu adalah sayur kangkung, ganemo (melinjo), petatas, keladi, pisang dan juga buah–buahan seperti mangga (mangga kueni dan mangga telur) dan nanas. Komoditas sayuran yang tidak terlalu banyak ditemukan adalah rica (cabe) dan lemon. Pada masa ini juga belum dijual salah satu sayur khas Manokwari ‘Sayur Garnison’ yang berupa campuran daun pepaya, daun petatas dan kadang–kadang diselipkan daun kasbi (singkong).
Perempuan asli pegunungan Arfak masa itu tidak berjualan ikan laut dan sagu. Pada masa itu, ikan segar yang didominasi ikan cakalang dijual oleh para lelaki Papua dari suku–suku pesisir. Umumnya merupakan ikan hasil pancingan dan menjala. Sedangkan sagu didatangkan oleh para perempuan suku pesisir.
Berbicara tentang komoditas dagangan dalam sektor perekonomian tentu saja juga berbicara ihwal harga. Pada masa ini mata uang yang digunakan masih Gulden Belanda. Berdasarkan penuturan Lambert Rumbino, harga barang pada masa itu antara lain Susu Kental Manis seharga 75 cent/kaleng, Sardencis/Ikan sarden 75 cent/kaleng, Beras 70 cent/Kg. Produk makanan dan minuman kalengan semuanya didatangkan oleh perusahaan yang bernama Nikimei (pada masa kini berubah menjadi PD Irian Bhakti) dan merupakan produk impor langsung dari Singapura.
Tampak bahwa orang-orang Papua cukup punya peran penting bagi denyut nadi perekonomian Manokwari. Potret itu sedikit bergeser di tahun 1980-an. Pada era 198-an, Pemerintah Republik Indonesia begitu gencar mendorong program transmigrasi, termasuk ke wilayah Papua. Migrasi besar-besar mengalir ke Manokwari, Sorong, Jayapura, Wamena, Nabire, Timika, hingga Merauke. Di semua wilayah, dari kabupaten hingga kecamatan, bahkan kampung, pendatang menguasai pasar bahan kebutuhan pokok hingga jaringan transportasi dan jasa.
Selain program transmigrasi, kata Ketua Majelis Masyarakat Papua Provinsi Papua Barat Vitalis Yumte, pembukaan akses ekonomi melalui pembangunan infrastruktur semakin membuat pendatang berbondong-bondong datang. Akibatnya, masyarakat asli Papua semakin tersingkir. Pembangunan di bidang ekonomi, terutama pasar, tidak diikuti dengan pemberdayaan perekonomian masyarakat asli. Akibatnya, masyarakat asli kalah bersaing dalam berdagang.
Melihat perkembangan ekonomi Manokwari yang semakin dikuasai para pendatang, Demetreus Ondy dan Nelly Rumbewas tak ingin anaknya yang bernama Thomas Alfa Edison Ondy tergilas oleh zaman. Kedua orang tua Thomas Ondy itu lalu memasukkan Thomas ke sekolah terbaik di Manokwari. 
Ketika kalender menunjuk angka 1983, Thomas Ondy waktunya masuk Sekolah Dasar (SD), Demetreus mendaftarkan Thomas di SD YPPK Padma I Manokwari. Sebuah Sekolah Dasar (SD) Swasta yang berlokasi di Jalan Brawijaya, Kota Manokwari. Sebuah sekolah dasar swasta berbasis agama (Kristen) yang menerapkan disiplin dan pembentukan karakter anak didik yang patuh, santun dan taat ibadah.
Lulus dari SD YPPK Padma I Manokwari tahun 1989, Thomas melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 2 Manokwari. SMP negeri yang berlokasi di Jalan Komodor Yos Sudarso, Manokwari, itu termasuk sekolah favorit bagi para lulusan sekolah dasar yang ada di Manokwari. Tanpa aral lintang yang berarti, Thomas Ondy dapat diterima sebagai siswa dan menyelesaikan pendidikan menengah pertama tepat waktu.
Lepas dari SMP Negeri 2 Manokwari tahun 1992, Thomas Ondy bertekad melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Manokwari.  SMA yang beralamat di Jalan Palapa Reremi, Manokwari Barat, itu merupakan sekolah unggulan di Manokwari. Bersyukur, Thomas Ondy bisa diterima masuk SMA Negeri 1 Manokwari yang mengusung visi “Beriman, Unggul dan Berwawasan Lingkungan” tersebut.
Lebih bersyukur lagi bagi Thomas Ondy bahwa SMA Negeri 1 Manokwari mengemban sejumlah misi yang mencerahkan. SMA Negeri 1 Manokwari mengemban misi-misi:
·         Menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
·         Menjalin kerjasama yang harmonis antar-warga sekolah dan lingkungan masyarakat.
·         Memberdayakan tenaga pendidik dan kependidikan yang memenuhi standar.
·         Menumbuhkan inovasi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat menunjang pengembangan profesionalisme.
·         Memberdayakan seluruh komponen sekolah dan mengoptimalkan sumber daya sekolah dalam mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.
·         Menanamkan kedisiplinan melalui budaya bersih, budaya tertib, dan budaya kerja.
·         Menyelengarakan administrasi sekolah yang akuntabel dengan memanfaatkan teknologi.
·         Membangun kesadaran seluruh civitas akademik SMAN 1 Manokwari tentang pentingnya pemeliharaan dan penyelamatan lingkungan hidup serta peduli terhadap lingkungan hidup.
·         Mendorong seluruh civitas akademik SMAN 1 Manokwari untuk berkampanye ihwal pentingnya pemeliharaan dan penyelamatan lingkungan hidup dalam berbagai kesempatan dan berbagai kondisi.
·         Menjadi model pengelolaan sekolah berbasis lingkungan hidup.
·         Berperan serta dalam upaya pelestarian lingkungan serta mencegah perusakan lingkungan sebagai bagian dari pendidikan lingkungan hidup.
Berkat ketekunan dan disiplin belajar, Thomas Ondy berhasil lulus dari SMA Negeri 1 Manokwari pada tahun 1995. Saatnya keluar dari Manokwari untuk menimba ilmu yang lebih banyak dan tingkatan yang lebih tinggi lagi.

B.    Kuliah dan Berorganisasi di Jayapura
Thomas Ondy bertekad melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dia tidak ingin sekadar bermodal ijazah SMA untuk menjalani rentang kehidupan yang masih panjang membentang. Namun begitu tekadnya sederhana saja, dia ingin punya pengetahuan yang cukup untuk tetap mampu berperan penting dalam denyut perekonomian di kampung halamannya.
Sebab itu, berbekal ijazah SMA Negeri 1 Manokwari, Thomas Ondy merantau ke Jayapura untuk menimba ilmu ekonomi dan bisnis di ibukota Provinsi Papua tersebut. Pilihannya pun langsung fokus, yakni mendaftarkan diri agar diterima sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ottow Geissler Jayapura.
Di tahun 1995 itu, STIE Ottow Geissler yang berdiri pada 5 Februari 1981 tersebut menyelenggarakan Program Studi Manajemen. Program studi yang merupakan cikal-bakal STIE Ottow Geissler itu merentang visi: menjadikan program studi manajemen yang bermutu dan diminati.
Untuk itu, STIE Ottow Geissler mengusung misi-misi: Melaksanakan dan mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan Tri Panggilan Gereja melalui pengelolaan Program Studi Manajemen; Menghasilkan secara sinerjik Sarjana Ekonomi Manajemen yang menguasai IPTEK dan memiliki daya saing yang tinggi; Mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmu manajemen yang relevan dan bermutu; Mempersiapkan mahasiswa untuk kelak menjadi wirausahawan yang handal; Mempersiapkan mahasiswa menjadi calon pemimpin masa depan yang kritis, kreatif, inovatif dan etis; Membangun dan mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan.
Pilihan tempat kuliah yang tepat bagi Thomas Ondy. Tidak sekadar pengembangan ilmu ekonomi semata. Di STIE Ottow Gessler, dia pun punya kesempatan luas menjawab panggilan gereja. Sebab itu, sembari kuliah, dia aktif pula berorganisasi lewat wadah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Bahkan, di tahun 2002-2004 dia sempat dipercaya menjadi Sekretaris Badan Pengurus Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jayapura.
Thomas Ondy menikmati betul berorganisasi di GMKI. Dia berusaha mematangkan diri di organisasi yang mengusung misi "Jadilah Berhikat Berjalanlah Pada Jalan Kebenaran di Tengah-Tengah Jalan keadilan" (Amsal 8:1-21) tersebut. Sebuah misi suci yang memberi manfaat bagi sesama.
Tidak hanya belajar misi suci di GMKI, Thomas Ondy juga berlajar nilai-nilai nasionalisme dari GMKI. Maklum, GMKI merupakan salah satu organisasi yang punya kontribusi cukup berarti bagi perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Sekadar pengetahuan catatan historis, kelahiran GMKI diawali dengan terbentuknya Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV op Java) tanggal 28 Desember 1932 di Kaliurang, Yogyakarta, dengan adanya campur tangan dari Ir C. L. Van Doorn, seorang ahli kehutanan yang mempelajari aspek sosial ekonomi khususnya pertanian dan memperoleh gelar Doktor di bidang ekonomi serta Dominee di bidang theologia.
Kedatangan keduanya ke Indonesia pada tahun 1921 bertujuan untuk membina pelayanan kerohanian di kalangan mahasiswa dan kehadirannya tidak terlepas dari upaya Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia (World Student Christian Federation). Awal pelayanan Van Doorn dimulai dengan kunjungannya ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi di Jawa, lantaran pada saat itu perguruan tinggi baru ada di Pulau Jawa saja.
Tahun 1910-1924 didirikan sekolah dokter (STOVIA) di Batavia dan perguruan tinggi lainnya di Bandung, Bogor, dan Surabaya. Tahun 1923 Van Doorn memulai pelayanan langsung pada pelayanan mahasiswa bersama J. Leimena, seorang mahasiswa kedokteran STOVIA di Jakarta.
Pelayanan dimulai dari persekutuan PA, kebaktian dan diskusi-diskusi. Tahun 1924 terbentuklah organisasi Christelijke Studenten Vereenging op Batavia (Batavia CSV). Konferensi I dilaksanakan di Bandung dan menetapkan agar setiap tahun diadakan konferensi sejenis dan ditetapkan di Jl. Kebon Sirih 44 Jakarta yang menjadi markas dan pusat kegiatan mahasiswa anggota CSV op Batavia.
Memenuhi keputusan Konferensi Bandung, lalu Konferensi Pemuda Kristen Indonesia II diadakan di Padalarang tahun 1927, ke-III di Bandung tahun 1928, ke-IV tahun 1929, ke-V di Merbabu tahun 1930, ke-VI tahun 1931, dan ke-VII di Kaliurang, Yogyakarta tahun 1932. Pada konferensi Pemuda Kristen Indonesia ke-VII tahun 1932 tersebut wakil-wakil dari CSV Surabaya, CSV Bandung dan kelompok Hofdate Batavia membentuk suatu CSV gabungan dengan nama Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV op Java). Ketua Umumnya adalah Dr. J. Leimena, Sekretaris Ir. C. L. Van Doorn dan Bendahara Tan Tjei Soei dan naskah penggabungan CSV-CSV tersebut ditanda-tangani pada tanggal 28 Desember 1932.
Peristiwa penting lain berhubungan dengan kelahiran CSV op Java adalah kedatangan Jhon Mort dan Rugrers tahun 1926 di Jakarta sebagai Sekjen World Student Christian Federation (WSCF), untuk berdialog dengan mahasiswa-mahasiswa Kristen Indonesa dan menghadiri Konferensi Pemuda Kristen yang diselenggarakan di Bandung 18-19 Februari 1926. Pada konferensi itu DR. Kramer dari Badan Penterjemah Alkitab memberikan ceramah dengan topik Peranan Pemuda Kristen dalam Pergerakan Nasional.
Perkembangan dari CSV op Java ini dapat dilihat dari dilaksanakannya Konferensi GMK-GMK se-Asia di mana CSV op Java sebagai tuan rumah pada tahun 1933 di Citeureup (Bogor) dan pada konferensi inilah CSV op Java diterima sebagai Coresponding Member oleh WSCF. Jumlah anggota CSV op Java dalam kurun waktu 1930-an sekitar 90 orang. Kendati kecil, CSV op Java mampu meletakkan dasar bagi pembinaan mahasiswa Kristen yang dilanjutkan oleh GMKI.
Masuknya Jepang ke Indonesia mengakhiri eksitensi CSV op Java secara struktural dan organisatoris, karena pendudukan Jepang melarang kegiatan-kegiatan organisasi yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, CSV tidak ada lagi sejak tahun 1942. Sepanjang sejarahnya CSV op Java dipimpin oleh Ketua Umum Dr. J. Leimena (1932-1936) dan (1939-1942), dan Mr. Khow (1936-1939), Sekretaris oleh Ir. C. L. Van Doorn (1932-1936) dan Sutjipto (1936-1942).
Namun begitu pertemuan terselubung masih sering berlangsung diantara anggotanya di Jakarta. Hari Doa Mahasiswa masih dilakukan di STT Jakarta dan setiap pekan tetap diadakan Bibblekring (Belajar Alkitab) yang dipimpin Sutjipto, Sekjen CSV op Java periode 1936-1942.
Akhir tahun 1945, sesaat setelah Negara kita merdeka, mahasiswa Kristen yang kuliah di Fakultas Hukum, Kedokteran, Teknik, dan Theologia berkumpul di Jalan Pegangsaan Timur 27 (STT Jakarta) membentuk wadah Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) dipimpin Pengurus Pusat, Dr. J. Leimena. Karena Leimena sebagai Menteri Muda Kesehatan, tugasnya sebagai Pengurus Pusat PMKI diserahkan kepada Dr. O. E. Engelen.
Kegiatan PMKI sebenarnya tidak jauh berbeda dengan CSV op Java, di antaranya adalah diskusi-diskusi dan Penelaahan Alkitab, dengan suasana Revolusi yang pada saat itu mempengaruhi kehidupan PMKI, yang tercermin dari sebagian besar anggota PMKI memihak perjuangan republik dan hal ini merupakan warisan Pimpinan CSV op Java yang memihak pada solidaritas perjuangan kebangsaan Indonesia.
Tidak lama setelah PMKI, pada awal tahun 1946 muncul organisasi Kristen yang baru yaitu Christelijke Studenten Vereeniging (CSV) dengan cabang-cabang di kota Bogor, Bandung, dan Surabaya. Pada hakekatnya pembentukan CSV baru bukanlah menandingi PMKI, CSV Baru ini lebih berorientasi pada “Pemerintah Pendudukan Belanda”.
Berawal dari kehadiran Pdt. Boland melayani di Gereja Kristen Pasundan, pada waktu itu pimpinan PMKI berpendapat bahwa mahasiswa yang memihak Belanda juga perlu dilayani secara rohani. Sebab itu, Pdt. Boland diminta mengemban tugas terbentuknya CSV Baru.
Berikutnya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1947 di Den Haag, Belanda, berhasil menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda, salah satu keputusannya adalah Pembentukan Indonesia Serikat. Hal ini berarti perbedaan pendapat PMKI dan CSV perlu diselesaikan. Setelah melalui tahapan pembicaraan akhirnya pada 9 Februari 1950 bertempat di kediaman Dr. J. Leimena (Jalan Teuku Umar 36 Jakarta) kedua organisasi mahasiswa Kristen --PMKI dan CSV-- dipersatukan dengan nama GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), yang sesuai dengan pergerakan-pergerakan mahasiswa Kristen lainnya yang bergabung dengan WSCF, dan yang disepakati untuk sementara waktu Dr. J. Leimena diangkat sebagai Ketua Umum sampai diadakannya Kongres I GMKI di Sukabumi (Desember 1950) buat memilih Pengurus Umum GMKI.
Perjalanan GMKI di masa awal Republik Indonesia cukup berarti di ranah perjuangan. Demikian pula di masa pembangunan kini. Thomas Ondy yang sempat aktif di GMKI Jayapura pada rentang waktu 2002-2004 pun berusaha membawa kiprah organisasi GMKI penuh arti bagi warga Jayapura khususnya dan Papua pada umumnya. Begitu asyiknya berorganisasi, baru tahun 2004 Thomas Ondy menyelesaikan pendidikan tinggi di STIE Ottow Geissler yang berkampus di Jalan Perkutut, Kotaraja, Jayapura itu.

C.   CPNS dan PNS di Sarmi
Lulus dari STIE Ottow Geissler, Thomas Ondy tidak langsung pulang kampung ke Manokwari. Dia memilih melamar sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Bersyukur, pergulatannya dari CPNS sampai PNS di Sarmi, dia memperoleh teladan pada Bupati Sarmi Drs. Eduard Fonataba, M.Si.
Sekadar catatan, Bupati Sarmi, Eduard Fonataba, merupakan bupati di Provinsi Papua yang memperoleh tiga penghargaan Museum Rekor Indonesia (Muri). Pertama, Fonataba dianggap memecahkan rekor membangun rumah paling banyak untuk rakyat. Kedua, dia punya catatan membeli truk paling banyak untuk rakyat. Dan ketiga, dia melakukan kunjungan kerja paling sedikit ke luar daerah.
Atas penghargaan yang diterimanya pada Agustus 2010 itu Fonataba tak menganggap istimewa penghargaan tersebut.  “Sebab, yang saya lakukan adalah kewajiban seorang pemimpin daerah,” kata pria kelahiran 6 Oktober 1951 tersebut.
“Untuk menjalankan amanat rakyat itu, waktunya terbatas. Saya sadar, tidak semua orang mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin. Karena itu, waktu yang ada saya gunakan untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat,” tuturnya.
Fonataba mulai memimpin Kabupaten Sarmi pada 2005. Nama Sarmi diambil dari huruf depan suku-suku di sana, yakni Sobe, Airmati, Rumbuway, Manirem, dan Isirawa. Sarmi adalah kabupaten baru di Papua, hasil pemekaran Kabupaten Jayapura pada 2003. Mulai 2003-2005, Fonataba menjadi penjabat bupati. Baru pada 2005, dia secara resmi menjadi bupati.
Jadi, bapak empat anak tersebut adalah bupati pertama di kabupaten tersebut. Awal-awal menjadi kabupaten baru, kondisi Sarmi masih sangat memprihatinkan. Dari Kota Jayapura menuju Sarmi, saat itu belum ada jalan darat. Bilamana hendak pergi ke Sarmi, maka seseorang harus menggunakan pesawat udara atau kapal laut.
Namun, kini Sarmi sudah berkembang. Perjalanan dari Kota Jayapura menuju Sarmi sudah bisa ditempuh lewat jalur darat. Waktu tempuhnya 6-7 jam. Fonataba menceritakan pengalamannya ketika dipercaya sebagai Penjabat Bupati Sarmi pada 2003. Kala itu, 330 di antara 365 hari dalam satu tahun selalu dia habiskan di tempat tugas.
“Sebagai daerah baru, kalau pemimpin tidak ada di tempat, sangat sulit membangun kepercayaan rakyat. Dengan selalu berada di tempat, bila ada masalah, maka pemimpin bisa langsung memecahkannya,” kata lulusan Magister Manajemen Universitas Hasanuddin pada 2002 itu.
Soal gagasan pembangunan rumah untuk rakyat, Fonataba menjelaskan bahwa ide tersebut sebenarnya datang dari istrinya, Amelia Waromi. “Dia (sang istri) selalu setia mendampingi saya berkeliling dari satu desa ke desa lain,” papar dia.
Suatu ketika, Fonataba bersama istrinya melewati Kali Waskei di Kampung Bagaserwar. Saat itu malam hari, sekitar pukul 19.30 waktu setempat. “Kami melihat warga kampung itu pulang dari kebun yang berjarak sekitar 7 kilometer dengan berjalan kaki,” paparnya. Ketika itulah istri Fonataba mengusulkan pembangunan rumah di dekat kebun warga tersebut. “Sejak saat itu, mulai 2006 dianggarkan pembangunan rumah rakyat bertipe 36 sebanyak seratus unit,” papar dia.
Sebanyak 50 rumah dibangun di Kampung Bagaserwar dan 50 unit lagi didirikan di Kampung Kasukue. Rumah-rumah tersebut dibangun di atas tanah adat masyarakat setempat. Yang menentukan lokasi pembangunan rumah itu adalah ondoafi (tokoh adat) dan kepala kampung. Dengan begitu, diharapkan tidak ada masalah di kemudian hari.
Diceritakan, setiap rumah itu diberi dua tempat tidur, lampu solar cell, dan sumur. “Setelah rumah jadi, kami melihat anak-anak belajar di rumah masing-masing di bawah cahaya lampu dari solar cell tersebut. Sungguh kami terharu saat itu. Sebab, di tengah hutan yang sebelumnya gelap, kini mereka mulai merasakan sedikit kemajuan,” tutur penerima penghargaan Satyalencana Pembangunan pada 2009 tersebut.
Dari situlah, pada 2007 dianggarkan lagi pembangunan lebih dari 600  rumah rakyat. Kemudian, pada 2008 juga dibangun lebih dari 600 unit  rumah itu. Akhirnya, pada 2010 telah dibangun 2.499 rumah rakyat. “Untuk satu kali tahun anggaran, biaya (pembangunan rumah rakyat) sekitar Rp80 miliar dari Dana Alokasi Umum (DAU). Untuk satu unit rumah, dianggarkan Rp120 juta. Ada pula yang Rp140 juta, bergantung tingkat kesulitan daerah. Namun, sekarang transportasi darat sudah lancar sehingga anggaran rata-rata untuk per unit rumah Rp100 juta,” terang alumnus IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) pada 1987 tersebut.
Rumah-rumah itu dibangun di pinggir jalan. Tujuannya, agar rakyat mudah mengakses alat transportasi untuk memasarkan hasil kebun. Jarak rumah yang satu dengan lainnya sekitar 100 meter. Halaman rumah digunakan untuk menanam bunga. Tanah di samping kanan atau kiri rumah dimanfaatkan untuk menanam ubi-ubian dan sayuran. Selain itu, lahan di belakang rumah digunakan untuk berkebun.
Setelah warga masyarakat mempunyai rumah dan kebun yang sudah menghasilkan, harus ada alat transportasi untuk memasarkan hasil kebun tersebut. Karena itu, harus ada truk. “Kami mulai mengadakan program bantuan truk ke kampung-kampung pada 2007. Kemudian, menyusul pengadaan truk pada 2008, 2009, dan 2010. Karena itu, sekarang telah ada 48 truk,” jelas dia.
Pada dua tahun pertama, Pemkab Sarmi masih memberikan bantuan untuk perawatan truk itu. Namun, pada tahun ketiga, pemerintahan di daerah tersebut sudah berjalan sendiri.Tiga hari truk-truk tersebut digunakan untuk memasarkan hasil kebun ke Kota Sarmi dan Jayapura. Kemudian, tiga hari sisanya, truk dimanfaatkan untuk mencari uang. Dengan begitu, masyarakat bisa membeli solar, membayar sopir, dan membiayai perawatan truk. “Memang berat. Tetapi, sekarang sudah ada tiga kampung yang mampu beli truk lagi,” ungkap dia.
Di wilayah Kabupaten Sarmi, awalnya ada 58 kampung. Kemudian, ada pemekaran sehingga menjadi 86 kampung. Yang mendapatkan bantuan truk itu adalah kampung-kampung induk.
Ihwal penghargaan ketiga dari Muri karena termasuk pejabat yang melakukan kunjungan kerja paling sedikit ke luar daerah, dia menganggapnya biasa saja. Selama lima tahun menjadi bupati, dia mengatakan hanya empat kali melaksanakan kunjungan dinas ke luar daerah. Seluruh tujuan kunjungan itu adalah Jakarta. “Bahkan, dua tahun saya tidak pergi ke Jakarta, yaitu 2008 dan 2010,” tegas penerima penghargaan Satyalencana Karya Bhakti Praja Nugraha pada 2010 tersebut.
Itu tentu sangat berbeda dengan bupati-bupati lain di Papua, yang sangat sering pergi ke Jakarta. Bahkan, di antara mereka, ada bupati yang selalu menghabiskan weekend di Jakarta. Seringnya, para bupati tersebut pergi ke Jakarta dengan alasan melobi pemerintah pusat.
Mengapa tidak melobi pemerintah pusat seperti bupati lain? Secara tegas, Fonataba menyatakan, sekarang lobi tidak diperlukan lagi. Sebab, aturan sudah jelas. “DAU dan DAK (Dana Alokasi Khusus) sudah jelas. Jadi, tidak ada begitu-begitu lagi. Dulu, boleh begitu. Tapi, sekarang mereka (pemerintah pusat) melihat hasil kerja kami. Kalau kami kerja baik dan laporan dikirim secara rutin, DAU dan DAK pasti ditetapkan. Jadi, untuk apa sebenarnya ke Jakarta,” ucap dia sembari menambahkan, “Kalau semua bupati datang, lalu dikasih arahan, itu kan hanya bersifat seremonial. Lebih baik melihat kesulitan rakyat.”
Selama beberapa tahun mengabdi sebagai staf, mulai dari CPNS sampai PNS, di Kabupaten Sarmi, Thomas Ondy berusaha belajar pada kebijakan dan keteladanan yang melekat pada diri Bupati Sarmi Eduard Fonataba.

D.   Peroleh Jabatan di Mamberamo Raya
Terasa cukup banyak belajar pada diri Bupati Sarmi Eduard Fonataba, tahun 2007 muncul peluang bagi Thomas Ondy untuk meningkatkan tapak karirnya. Tahun itu, Kabupaten Sarmi mengalami pemekaran. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2007 yang disahkan pada tanggal 15 Maret 2007, Kabupaten Sarmi dimekarkan menjadi Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Waropen dan Kabupaten Sarmi sebagai induk.
Mamberamo Raya termasuk kabupaten yang kaya sumber daya alam. Nama "Mamberamo" konon berasal dari bahasa Dani –-mambe yang berarti "besar" dan ramo berarti "air". Suku Dani dan beberapa suku terasing lainnya bermukim di lembah sungai yang kaya akan keanekaragaman hayati ini. Jika dilihat dari udara, Sungai Mamberamo mudah dikenal karena ukurannya yang besar, berwarna coklat, banyak mempunyai kelokan (meander) serta danau tapal kuda (oxbow lake) sebagai hasil perpindahan alur sungai. Kedalaman sungai bisa mencapai lebih dari 10 meter dan debit airnya mampu mencapai 5.500 m³/detik.
Anak-anak Sungai Tariku berasal dari ketinggian di atas 4.000 m pada Pegunungan Nassau atau Pegunungan Tengah Papua. Beberapa aliran anak sungai tampak mempunyai arah timur barat yang nampaknya mengikuti struktur lipatan (lembah subsekuen) pada pegunungan tersebut, sehingga pola sub-trellis dan dendritik banyak berkembang di wilayah ini yang juga merupakan zona patahan Derewo. Di bawah Gunung Gulumbulu (4.041 m) terdapat pertemuan beberapa anak sungai (Delo dan Hitalipa) yang membelok ke utara dan setelah 50 km baru masuk ke Sungai Tariku yang mengalir ke timur pada dataran lakustrin. Gunung tersebut konon merupakan land mark atau tapal batas antara wilayah Suku Moni di bagian barat dan Suku Dani di bagian timur. Sungai Van Daalen merupakan salah satu anak sungai besar yang berada di bagian timur dan titik pertemuannya dengan Sungai Tariku tidak jauh dari batas wilayah Kabupaten Mamberamo Raya.
Dibandingkan dengan Sungai Tariku, Sungai Taritatu banyak di-supply oleh anak-anak sungai yang berasal baik dari Pegunungan Nassau maupun Pegunungan Foya. Pada wilayah ini pola dendritik banyak berkembang di sisi utara dan sebagian Sub-trellis dan dendritik dari sisi selatan. Diperkirakan potensi debit air tanah yang keluar dari pegunungan Foja-Rouffaer adalah 19.801 x 106 m3/tahun untuk akuifer tidak tertekan (unconfined) sedangkan untuk akuifer tertekan (confined) sebesar 889 x 106 m3/tahun (ESDM, 2004; Murdiyarso dan Kurnianto, 2008). Sebuah potensi yang sangat layak untuk dikembangkan.

Di tahun 2007, berkat pengalaman kerja di Kabupaten Sarmi, Thomas Ondy langsung ditugaskan menjadi Sekretaris Pribadi Bupati Mamberamo Raya. Dan tahun 2008 menapak jenjang karier yang lebih tinggi ketika menerima tugas sebagai Kepala Bagian Keuangan Kabupaten Memberamo Raya dalam masa kepemimpinan Bupati Demianus Kyeuw Kyeuw SH, MH. (*)

Komentar