* Bab 2
MANOKWARI. Sebuah kota
yang tidak akan dapat dilupakan dari memori seorang Thomas Alfa Edison Ondy
yang kini hidup di Biak Numfor. Lahir sampai menghabiskan masa remaja di
Manokwari jelas menorehkan kesan tersendiri di benak lelaki kelahiran 10
Oktober 1977 ini. Kedua orang-tuanya yang berprofesi sebagai guru tak lupa
menanamkan nilai-nilai religi pada diri seorang Thomas Ondy. Dan, Manokwari
memang kaya akan nilai-nilai religi.
Secara
etimologi, kata ”Manokwari” berasal dari bahasa Biak Numfor yang berarti
”Kampung Tua”. Karena, selain dikenal sebagai Kota Bersejarah di Papua dan
tempat dimulainya peradaban di Tanah Papua ketika pada tanggal 5 Februari 1855
Injil diberitakan pertama kali di sini oleh dua orang misionaris berkebangsaan
Jerman, masing-masing Carel Willem Ottow dan Johann Gotlob Geislerr, Manokwari
tercatat pula sebagai Kota Pemerintahan Tertua di wilayah Papua.
Ya peradaban
dan pengenalan agama (Kristen) Tanah Papua dimulai dari Manokwari, tepatnya
dari Pulau Mansinam. Dari catatan historis, pada awal Februari 1855 dengan
menumpang kapal Ternate yang dinakhodai Contantijn, dua orang Penginjil berkebangsaan
Jerman berhasil mendarat di Pulau Mansinam (Teluk Doreri). Lalu dari Pulau
Mansinam inilah kemudian kedua orang Penginjil tersebut memberitakan Injil ke
seluruh daratan Papua.
Kota Manokwari
pun termasuk kota pemerintahan tertua. Hal ini dapat dilihat pada catatan sejarah
hari jadi Kota Manokwari yang jatuh pada tanggal 8 November 1898. Hari jadi itu
dilatar-belakangi oleh peristiwa dibentuknya pos pemerintahan pertama di
Manokwari oleh Pemerintah Hindia Belanda, ketika Residen Ternate Dr. D. W.
Horst atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda melantik Tn. L. A. Van
Oosterzee pada hari Selasa tanggal 8 November 1898 sebagai Controleer Afdeling
Noord New Guinea (Pengawas Wilayah Irian Jaya Bagian Utara) yang waktu itu
masih termasuk wilayah Karesidenan Ternate. Tanggal 8 November inilah yang kemudian
ditetapkan sebagai hari jadi Kota Manokwari melalui Peraturan Daerah Nomor 16
Tahun 1995, dan berarti sampai dengan tahun 2016 ini, Kota Manokwari telah
berusia 118 tahun.
Tampak jelas,
Manokwari termasuk “Kampung Tua”. Denyut kehidupan di Manokwari sudah terasa
sejak jauh sebelum Republik Indonesia merdeka. Di masa Kolonial Belanda, untuk
memantapkan pemerintahan Hindia Belanda di wilayah Irian Jaya, dibentuklah pos
pemerintahan yang pertama berkedudukan di Manokwari. Manokwari menjadi embrio
pertama sejarah pemerintahan di wilayah Iran Jaya, dan selanjutnya disusul Fak-Fak. Kedua pos pemerintahan
tersebut masih langsung dibawahi oleh Keresidenan Maluku yang berkedudukan di
Ambon.
Di masa
kemerdekaan pun, Manokwari punya peran penting bagi jalannya pemerintahan
Republik Indonesia. Dalam kenyataan sejarah masa-masa awal kemerdekaan, daerah
Irian Jaya ternyata tetap dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Melalui
beberapa kali perjanjian, sampai dengan Konperensi Meja Bundar (KMB) pada tahun
1949 di Den Haag Negeri Belanda, Indonesia harus bersedia menerima pengaturan
sementara kedudukan Irian Barat (Iran Jaya) oleh Belanda untuk jangka waktu
satu tahun. Dan ketentuan ini ternyata tak dipatuhi oleh Pemerintah, di mana
Irian Jaya tetap tidak dikembalikan kepada Pemerintah Indonesia kendati telah
melewati masa satu tahun.
Perjuangan
mengambil kembali Irian Jaya tidak lantas berhenti. Dalam rentang waktu 1950
dan 1953, Pemerintah Republik Indonesia terus mendorong perundingan secara
bilateral dalam lingkungan ikatan Uni Indonesia – Belanda. Usaha–usaha tersebut
terbukti membawa hasil. Sejak tahun 1953 perjuangan Pembebasan Irian Barat
mulai dilakukan di forum–forum internasional, terutama PBB dan Forum
Solidaritas Asia-Afrika seperti Konferensi Asia–Afrika.
Namun usaha–usaha
diplomasi internasional tersebut ternyata tidak membawa hasil yang berarti. Pemerintah
Republik Indonesia mulai mengambil sikap yang keras terhadap Belanda. Muncul pembatalan
Uni Indonesia – Belanda pada tahun 1954 yang diikuti pembatalan secara sepihak
persetujuan KMB oleh Indonesia pada tahun 1956.
Selanjutnya, perjuangan
untuk mengembalikan Irian Jaya bertumpu pada kekuatan rakyat Indonesia sendiri.
Perjuangan yang dimotori oleh Kabinet Ali Satroamidjojo, Moh. Roem dan Idam
Chalid itu kemudian melahirkan Undang–undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Propinsi Irian Barat.
Peresmian
pembentukan Propinsi Irian Barat perjuangan dilakukan bertepatan dengan hari ulang
tahun kemerdekaan RI yang ke-39 pada tanggal 17 Agustus 1956, meliputi wilayah
Irian Barat yang masih diduduki Belanda dan Daerah Tidore, Oba, Weda dan Patani
yang berkedudukan di Soasiu dan pelantikan gubernurnya dilakukan pada tanggal
23 September 1956.
Pembentukan
Propinsi perjuangan ini dititik-beratkan atas dasar administrasi, dan mendapat
dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Untuk lebih mempertegas bahwa Irian
Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka
diberi kesempatan kepada rakyat Irian Barat ikut serta dalam pemerintahan. Dan pada
bulan Agustus 1956 Pemerintah Republik Indonesia mengangkat tiga orang anggota
DPR sebagai wakil dari rakyat Irian, masing-masing Silas Papare, Mohamad Padang
dan A.B. Karubuy. Namun demikian Propinsi Irian Barat perjuangan ini, walaupun
mempunyai aparatur pemerintahan berupa Gubernur Kepala Daerah, Dewan Pemerintah
dan jawatan–jawatan lainnya, tetap tinggal melempen sampai akhir hidupnya.
Perjuangan
untuk mengembalikan Irian Barat belum membawa hasil apa- apa, karena Belanda
secara menyolok mendirikan “Dewan Papua“ pada tanggal 5 April 1961 yang disusul
dengan pembentukan “Negara Papua Merdeka“ terlepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Terpaksalah Pemerintah
Indonesia meningkatkan konfrontasi militer. Hal ini memperlihatkan kesungguhan Pemerintah
Indonesia untuk membebaskan wilayah Irian Barat dari tangan Belanda dengan
kekuatan senjata. Tepat pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, selaku
Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Presiden Soekarno mengeluarkan Trikomando
Rakyat (Trikora). Dan, melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun
1969, Papua sah menjadi bagian dari NKRI.
Dalam rangka
persiapan pemekaran Wilayah Irian Jaya menjadi beberapa Propinsi pada Pelita IV
(1984-1989), Kota Manokwari telah ditetapkan sebagai Pusat Pembantu Gubernur
Wilayah II, yang meliputi Kabupaten Dati II Manokwari Sorong, Teluk Cendrawasih
dan Yapen Waropen.
Dipilihnya Kota
Manokwari sebagai Pusat Pembantu Gubernur Wilayah II, karena fakta sejarah di mana
Kota Manokwari merupakan kota pertama masuknya Injil di Irian Jaya dan juga
merupakan kota pemerintahan pertama di Irian Jaya.
A.
Menghabiskan
Masa Sekolah di Manokwari
Suasana
Manokwari tahun 1980-an jelas berbeda dengan Manokwari di tahun-tahun 1960-an
sampai 1970-an. Di tahun-tahun itu, orang-orang lokal sekitar Manokwari tampak
cukup aktif mewarnai denyut perekonomian kota yang kini menjadi ibukota
Provinsi Papua Barat itu. Hal ini bisa kita simak dari penuturan pasangan
suami-isteri Lambert Rumbino yang tinggal di wilayah Sanggeng sebagai dilansir
oleh blog https://kisahmanokwari.wordpress.com
pada akhir tahun 2011.
Saat itu,
seperti dituturkan Lambert Rumbino, Sanggeng
belum menjadi pusat perekonomian Manokwari seperti sekarang. Sanggeng di
tahun 1961–1963 masih sunyi. Masih banyak pohon besar dan kualitas jalan yang
tak terlalu baik di lorong–lorong rumah penduduk. Selain itu sarana dan
fasilitas transportasi sangat terbatas sehingga masih banyak orang yang
berjalan kaki ke mana–mana. Hanya beberapa kalangan orang Belanda yang memakai
mobil ataupun instansi dan lembaga tertentu yang mempunyai kendaraan roda empat
lainnya. Sisanya memakai sepeda namun
tidak terlalu banyak. “Cuma satu-dua saja
yang punya sepeda,” tutur Lambert Rumbino.
Pada masa itu,
walau Sanggeng belum menjadi pusat perekonomian
seperti sekarang, tapi sudah ada beberapa toko yang melayani kebutuhan
masyarakat. Toko–toko yang terdapat pada
masa itu hanya beberapa antara lain Toko Namian, Hongkong Store, dan Happy
Store . Pada perkembangannya, usai pemiliknya yang Cina Totok (Tionghoa asli
tanpa campuran) berganti setelah pergantian kekuasaan (1963-1969), Toko Happy
Store berganti nama menjadi Toko Sanggeng. Komoditas perdagangan yang dijual pada
masa itu antara lain barang–barang kelontongan seperti piring, gelas, peralatan
mencuci dan mandi, makanan dan minuman kalengan.
Bila warga
Manokwari ingin membeli pakaian atau kain, mereka pergi ke daerah kota di mana
terdapat beberapa toko. Pakaian pada masa itu tersedia di beberapa toko antara
lain di Toko Delima (dekat lapangan Borarsi pada masa kini) dan Toko Kaca
Miring (sekarang toko tersebut sudah dihancurkan padahal menjadi salah satu landmark kota Manokwari yang sangat
khas), serta Toko Peter di Fanindi (dekat SMPN 3 Manokwari). Selain toko yang
menjual pakaian di daerah kota, ada pula toko yang menyediakan jasa pemotretan.
Bahkan ada juga toko yang menjual sepeda sekalian menyediakan jasa perbaikan
sepeda (bengkel) seperti yang dibuat oleh Toko Manokwari (depan toko Peter).
Bilamana
kebutuhan lauk–pauk segar yang dicari, warga Manokwari harus pergi ke pasar
sayur dan ikan. Pada masa itu, pasar sayur dan ikan Manokwari terletak di
daerah Padarni, tepatnya di kawasan bawah depan Toko Intan Sakti Utama pada
masa kini, bersebelahan dengan kawasan OPSI (Organisasi Pedagang Seluruh
Indonesia). Pasar sayur dan ikan itu terletak di pinggir pantai di mana ada
sebuah kali yang lumayan besar yang mengalir dari arah Gunung Meja ke laut dan
biasanya dibuat para–para di sekitar kali itu. Di atas para–para kali itulah diletakkan tumpukan–tumpukan
ikan.
Pada masa itu,
yang menguasai penjualan komoditas sayur mayur dan buah–buahan adalah para
perempuan suku besar Arfak. Sangat
jarang ditemukan penjual sayur dari suku Papua daerah pesisir (orang Pante).
Menurut Lambert Rumbino, komoditas dagangan yang dijual perempuan Arfak pada
masa itu adalah sayur kangkung, ganemo (melinjo), petatas, keladi, pisang dan
juga buah–buahan seperti mangga (mangga kueni dan mangga telur) dan nanas.
Komoditas sayuran yang tidak terlalu banyak ditemukan adalah rica (cabe) dan
lemon. Pada masa ini juga belum dijual salah satu sayur khas Manokwari ‘Sayur
Garnison’ yang berupa campuran daun pepaya, daun petatas dan kadang–kadang
diselipkan daun kasbi (singkong).
Perempuan asli
pegunungan Arfak masa itu tidak berjualan ikan laut dan sagu. Pada masa itu,
ikan segar yang didominasi ikan cakalang dijual oleh para lelaki Papua dari
suku–suku pesisir. Umumnya merupakan ikan hasil pancingan dan menjala.
Sedangkan sagu didatangkan oleh para perempuan suku pesisir.
Berbicara tentang
komoditas dagangan dalam sektor perekonomian tentu saja juga berbicara ihwal
harga. Pada masa ini mata uang yang digunakan masih Gulden Belanda. Berdasarkan
penuturan Lambert Rumbino, harga barang pada masa itu antara lain Susu Kental
Manis seharga 75 cent/kaleng, Sardencis/Ikan sarden 75 cent/kaleng, Beras 70
cent/Kg. Produk makanan dan minuman kalengan semuanya didatangkan oleh
perusahaan yang bernama Nikimei (pada masa kini berubah menjadi PD Irian
Bhakti) dan merupakan produk impor langsung dari Singapura.
Tampak bahwa
orang-orang Papua cukup punya peran penting bagi denyut nadi perekonomian
Manokwari. Potret itu sedikit bergeser di tahun 1980-an. Pada era 198-an,
Pemerintah Republik Indonesia begitu gencar mendorong program transmigrasi,
termasuk ke wilayah Papua. Migrasi besar-besar mengalir ke Manokwari, Sorong,
Jayapura, Wamena, Nabire, Timika, hingga Merauke. Di semua wilayah, dari
kabupaten hingga kecamatan, bahkan kampung, pendatang menguasai pasar bahan
kebutuhan pokok hingga jaringan transportasi dan jasa.
Selain program
transmigrasi, kata Ketua Majelis Masyarakat Papua Provinsi Papua Barat Vitalis
Yumte, pembukaan akses ekonomi melalui pembangunan infrastruktur semakin
membuat pendatang berbondong-bondong datang. Akibatnya, masyarakat asli Papua
semakin tersingkir. Pembangunan di bidang ekonomi, terutama pasar, tidak
diikuti dengan pemberdayaan perekonomian masyarakat asli. Akibatnya, masyarakat
asli kalah bersaing dalam berdagang.
Melihat
perkembangan ekonomi Manokwari yang semakin dikuasai para pendatang, Demetreus
Ondy dan Nelly Rumbewas tak ingin anaknya yang bernama Thomas Alfa Edison Ondy
tergilas oleh zaman. Kedua orang tua Thomas Ondy itu lalu memasukkan Thomas ke
sekolah terbaik di Manokwari.
Ketika kalender
menunjuk angka 1983, Thomas Ondy waktunya masuk Sekolah Dasar (SD), Demetreus
mendaftarkan Thomas di SD YPPK Padma I Manokwari. Sebuah Sekolah Dasar (SD)
Swasta yang berlokasi di Jalan Brawijaya, Kota Manokwari. Sebuah sekolah dasar
swasta berbasis agama (Kristen) yang menerapkan disiplin dan pembentukan
karakter anak didik yang patuh, santun dan taat ibadah.
Lulus dari SD
YPPK Padma I Manokwari tahun 1989, Thomas melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri
2 Manokwari. SMP negeri yang berlokasi di Jalan Komodor Yos Sudarso, Manokwari,
itu termasuk sekolah favorit bagi para lulusan sekolah dasar yang ada di Manokwari.
Tanpa aral lintang yang berarti, Thomas Ondy dapat diterima sebagai siswa dan
menyelesaikan pendidikan menengah pertama tepat waktu.
Lepas dari SMP
Negeri 2 Manokwari tahun 1992, Thomas Ondy bertekad melanjutkan pendidikan
menengah atas di SMA Negeri 1 Manokwari. SMA yang beralamat di Jalan Palapa Reremi,
Manokwari Barat, itu merupakan sekolah unggulan di Manokwari. Bersyukur, Thomas
Ondy bisa diterima masuk SMA Negeri 1 Manokwari yang mengusung visi “Beriman,
Unggul dan Berwawasan Lingkungan” tersebut.
Lebih bersyukur
lagi bagi Thomas Ondy bahwa SMA Negeri 1 Manokwari mengemban sejumlah misi yang
mencerahkan. SMA Negeri 1 Manokwari mengemban misi-misi:
·
Menanamkan keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
·
Menjalin kerjasama
yang harmonis antar-warga sekolah dan lingkungan masyarakat.
·
Memberdayakan tenaga
pendidik dan kependidikan yang memenuhi standar.
·
Menumbuhkan inovasi
dalam kehidupan sehari-hari yang dapat menunjang pengembangan profesionalisme.
·
Memberdayakan seluruh
komponen sekolah dan mengoptimalkan sumber daya sekolah dalam mengembangkan
potensi peserta didik secara optimal.
·
Menanamkan
kedisiplinan melalui budaya bersih, budaya tertib, dan budaya kerja.
·
Menyelengarakan
administrasi sekolah yang akuntabel dengan memanfaatkan teknologi.
·
Membangun kesadaran
seluruh civitas akademik SMAN 1 Manokwari tentang pentingnya pemeliharaan dan
penyelamatan lingkungan hidup serta peduli terhadap lingkungan hidup.
·
Mendorong seluruh
civitas akademik SMAN 1 Manokwari untuk berkampanye ihwal pentingnya
pemeliharaan dan penyelamatan lingkungan hidup dalam berbagai kesempatan dan
berbagai kondisi.
·
Menjadi model
pengelolaan sekolah berbasis lingkungan hidup.
·
Berperan serta dalam
upaya pelestarian lingkungan serta mencegah perusakan lingkungan sebagai bagian
dari pendidikan lingkungan hidup.
Berkat
ketekunan dan disiplin belajar, Thomas Ondy berhasil lulus dari SMA Negeri 1
Manokwari pada tahun 1995. Saatnya keluar dari Manokwari untuk menimba ilmu
yang lebih banyak dan tingkatan yang lebih tinggi lagi.
B.
Kuliah
dan Berorganisasi di Jayapura
Thomas Ondy
bertekad melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Dia tidak ingin sekadar
bermodal ijazah SMA untuk menjalani rentang kehidupan yang masih panjang
membentang. Namun begitu tekadnya sederhana saja, dia ingin punya pengetahuan
yang cukup untuk tetap mampu berperan penting dalam denyut perekonomian di
kampung halamannya.
Sebab itu,
berbekal ijazah SMA Negeri 1 Manokwari, Thomas Ondy merantau ke Jayapura untuk
menimba ilmu ekonomi dan bisnis di ibukota Provinsi Papua tersebut. Pilihannya
pun langsung fokus, yakni mendaftarkan diri agar diterima sebagai mahasiswa
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ottow Geissler Jayapura.
Di tahun 1995
itu, STIE Ottow Geissler yang berdiri pada 5 Februari 1981 tersebut
menyelenggarakan Program Studi Manajemen. Program studi yang merupakan
cikal-bakal STIE Ottow Geissler itu merentang visi: menjadikan program studi
manajemen yang bermutu dan diminati.
Untuk itu, STIE
Ottow Geissler mengusung misi-misi: Melaksanakan dan mengembangkan Tri Dharma
Perguruan Tinggi dan Tri Panggilan Gereja melalui pengelolaan Program Studi
Manajemen; Menghasilkan secara sinerjik Sarjana Ekonomi Manajemen yang
menguasai IPTEK dan memiliki daya saing yang tinggi; Mengembangkan
pemikiran-pemikiran ilmu manajemen yang relevan dan bermutu; Mempersiapkan
mahasiswa untuk kelak menjadi wirausahawan yang handal; Mempersiapkan mahasiswa
menjadi calon pemimpin masa depan yang kritis, kreatif, inovatif dan etis;
Membangun dan mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan.
Pilihan tempat
kuliah yang tepat bagi Thomas Ondy. Tidak sekadar pengembangan ilmu ekonomi
semata. Di STIE Ottow Gessler, dia pun punya kesempatan luas menjawab panggilan
gereja. Sebab itu, sembari kuliah, dia aktif pula berorganisasi lewat wadah Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Bahkan, di tahun 2002-2004 dia sempat
dipercaya menjadi Sekretaris Badan Pengurus Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI) Jayapura.
Thomas Ondy
menikmati betul berorganisasi di GMKI. Dia berusaha mematangkan diri di
organisasi yang mengusung misi "Jadilah Berhikat Berjalanlah Pada Jalan
Kebenaran di Tengah-Tengah Jalan keadilan" (Amsal 8:1-21) tersebut. Sebuah
misi suci yang memberi manfaat bagi sesama.
Tidak hanya
belajar misi suci di GMKI, Thomas Ondy juga berlajar nilai-nilai nasionalisme
dari GMKI. Maklum, GMKI merupakan salah satu organisasi yang punya kontribusi
cukup berarti bagi perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Sekadar
pengetahuan catatan historis, kelahiran GMKI diawali dengan terbentuknya
Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV op Java) tanggal 28 Desember
1932 di Kaliurang, Yogyakarta, dengan adanya campur tangan dari Ir C. L. Van
Doorn, seorang ahli kehutanan yang mempelajari aspek sosial ekonomi khususnya
pertanian dan memperoleh gelar Doktor di bidang ekonomi serta Dominee di bidang
theologia.
Kedatangan keduanya
ke Indonesia pada tahun 1921 bertujuan untuk membina pelayanan kerohanian di
kalangan mahasiswa dan kehadirannya tidak terlepas dari upaya Federasi
Mahasiswa Kristen Sedunia (World Student
Christian Federation). Awal pelayanan Van Doorn dimulai dengan kunjungannya
ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi di Jawa, lantaran pada saat itu
perguruan tinggi baru ada di Pulau Jawa saja.
Tahun 1910-1924
didirikan sekolah dokter (STOVIA) di Batavia dan perguruan tinggi lainnya di
Bandung, Bogor, dan Surabaya. Tahun 1923 Van Doorn memulai pelayanan langsung pada
pelayanan mahasiswa bersama J. Leimena, seorang mahasiswa kedokteran STOVIA di
Jakarta.
Pelayanan
dimulai dari persekutuan PA, kebaktian dan diskusi-diskusi. Tahun 1924
terbentuklah organisasi Christelijke Studenten Vereenging op Batavia (Batavia
CSV). Konferensi I dilaksanakan di Bandung dan menetapkan agar setiap tahun
diadakan konferensi sejenis dan ditetapkan di Jl. Kebon Sirih 44 Jakarta yang
menjadi markas dan pusat kegiatan mahasiswa anggota CSV op Batavia.
Memenuhi
keputusan Konferensi Bandung, lalu Konferensi Pemuda Kristen Indonesia II
diadakan di Padalarang tahun 1927, ke-III di Bandung tahun 1928, ke-IV tahun
1929, ke-V di Merbabu tahun 1930, ke-VI tahun 1931, dan ke-VII di Kaliurang,
Yogyakarta tahun 1932. Pada konferensi Pemuda Kristen Indonesia ke-VII tahun
1932 tersebut wakil-wakil dari CSV Surabaya, CSV Bandung dan kelompok Hofdate
Batavia membentuk suatu CSV gabungan dengan nama Christelijke Studenten
Vereeniging op Java (CSV op Java). Ketua Umumnya adalah Dr. J. Leimena,
Sekretaris Ir. C. L. Van Doorn dan Bendahara Tan Tjei Soei dan naskah
penggabungan CSV-CSV tersebut ditanda-tangani pada tanggal 28 Desember 1932.
Peristiwa
penting lain berhubungan dengan kelahiran CSV op Java adalah kedatangan Jhon
Mort dan Rugrers tahun 1926 di Jakarta sebagai Sekjen World Student Christian
Federation (WSCF), untuk berdialog dengan mahasiswa-mahasiswa Kristen Indonesa
dan menghadiri Konferensi Pemuda Kristen yang diselenggarakan di Bandung 18-19
Februari 1926. Pada konferensi itu DR. Kramer dari Badan Penterjemah Alkitab
memberikan ceramah dengan topik Peranan Pemuda Kristen dalam Pergerakan
Nasional.
Perkembangan
dari CSV op Java ini dapat dilihat dari dilaksanakannya Konferensi GMK-GMK
se-Asia di mana CSV op Java sebagai tuan rumah pada tahun 1933 di Citeureup (Bogor)
dan pada konferensi inilah CSV op Java diterima sebagai Coresponding Member
oleh WSCF. Jumlah anggota CSV op Java dalam kurun waktu 1930-an sekitar 90
orang. Kendati kecil, CSV op Java mampu meletakkan dasar bagi pembinaan
mahasiswa Kristen yang dilanjutkan oleh GMKI.
Masuknya Jepang
ke Indonesia mengakhiri eksitensi CSV op Java secara struktural dan
organisatoris, karena pendudukan Jepang melarang kegiatan-kegiatan organisasi
yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, CSV tidak ada lagi
sejak tahun 1942. Sepanjang sejarahnya CSV op Java dipimpin oleh Ketua Umum Dr.
J. Leimena (1932-1936) dan (1939-1942), dan Mr. Khow (1936-1939), Sekretaris
oleh Ir. C. L. Van Doorn (1932-1936) dan Sutjipto (1936-1942).
Namun begitu
pertemuan terselubung masih sering berlangsung diantara anggotanya di Jakarta.
Hari Doa Mahasiswa masih dilakukan di STT Jakarta dan setiap pekan tetap
diadakan Bibblekring (Belajar Alkitab)
yang dipimpin Sutjipto, Sekjen CSV op Java periode 1936-1942.
Akhir tahun
1945, sesaat setelah Negara kita merdeka, mahasiswa Kristen yang kuliah di Fakultas
Hukum, Kedokteran, Teknik, dan Theologia berkumpul di Jalan Pegangsaan Timur 27
(STT Jakarta) membentuk wadah Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI)
dipimpin Pengurus Pusat, Dr. J. Leimena. Karena Leimena sebagai Menteri Muda
Kesehatan, tugasnya sebagai Pengurus Pusat PMKI diserahkan kepada Dr. O. E.
Engelen.
Kegiatan PMKI
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan CSV op Java, di antaranya adalah
diskusi-diskusi dan Penelaahan Alkitab, dengan suasana Revolusi yang pada saat
itu mempengaruhi kehidupan PMKI, yang tercermin dari sebagian besar anggota
PMKI memihak perjuangan republik dan hal ini merupakan warisan Pimpinan CSV op
Java yang memihak pada solidaritas perjuangan kebangsaan Indonesia.
Tidak lama
setelah PMKI, pada awal tahun 1946 muncul organisasi Kristen yang baru yaitu
Christelijke Studenten Vereeniging (CSV) dengan cabang-cabang di kota Bogor, Bandung,
dan Surabaya. Pada hakekatnya pembentukan CSV baru bukanlah menandingi PMKI,
CSV Baru ini lebih berorientasi pada “Pemerintah Pendudukan Belanda”.
Berawal dari
kehadiran Pdt. Boland melayani di Gereja Kristen Pasundan, pada waktu itu
pimpinan PMKI berpendapat bahwa mahasiswa yang memihak Belanda juga perlu
dilayani secara rohani. Sebab itu, Pdt. Boland diminta mengemban tugas
terbentuknya CSV Baru.
Berikutnya Konferensi
Meja Bundar (KMB) tahun 1947 di Den Haag, Belanda, berhasil menyelesaikan
pertikaian Indonesia-Belanda, salah satu keputusannya adalah Pembentukan
Indonesia Serikat. Hal ini berarti perbedaan pendapat PMKI dan CSV perlu
diselesaikan. Setelah melalui tahapan pembicaraan akhirnya pada 9 Februari 1950
bertempat di kediaman Dr. J. Leimena (Jalan Teuku Umar 36 Jakarta) kedua
organisasi mahasiswa Kristen --PMKI dan CSV-- dipersatukan dengan nama GMKI
(Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), yang sesuai dengan pergerakan-pergerakan
mahasiswa Kristen lainnya yang bergabung dengan WSCF, dan yang disepakati untuk
sementara waktu Dr. J. Leimena diangkat sebagai Ketua Umum sampai diadakannya
Kongres I GMKI di Sukabumi (Desember 1950) buat memilih Pengurus Umum GMKI.
Perjalanan GMKI
di masa awal Republik Indonesia cukup berarti di ranah perjuangan. Demikian
pula di masa pembangunan kini. Thomas Ondy yang sempat aktif di GMKI Jayapura
pada rentang waktu 2002-2004 pun berusaha membawa kiprah organisasi GMKI penuh
arti bagi warga Jayapura khususnya dan Papua pada umumnya. Begitu asyiknya
berorganisasi, baru tahun 2004 Thomas Ondy menyelesaikan pendidikan tinggi di
STIE Ottow Geissler yang berkampus di Jalan Perkutut, Kotaraja, Jayapura itu.
C.
CPNS
dan PNS di Sarmi
Lulus dari STIE
Ottow Geissler, Thomas Ondy tidak langsung pulang kampung ke Manokwari. Dia
memilih melamar sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kabupaten Sarmi,
Provinsi Papua. Bersyukur, pergulatannya dari CPNS sampai PNS di Sarmi, dia
memperoleh teladan pada Bupati Sarmi Drs. Eduard Fonataba, M.Si.
Sekadar
catatan, Bupati Sarmi, Eduard Fonataba, merupakan bupati di Provinsi Papua yang
memperoleh tiga penghargaan Museum Rekor Indonesia (Muri). Pertama, Fonataba
dianggap memecahkan rekor membangun rumah paling banyak untuk rakyat. Kedua,
dia punya catatan membeli truk paling banyak untuk rakyat. Dan ketiga, dia
melakukan kunjungan kerja paling sedikit ke luar daerah.
Atas penghargaan
yang diterimanya pada Agustus 2010 itu Fonataba tak menganggap istimewa
penghargaan tersebut. “Sebab, yang saya
lakukan adalah kewajiban seorang pemimpin daerah,” kata pria kelahiran 6
Oktober 1951 tersebut.
“Untuk
menjalankan amanat rakyat itu, waktunya terbatas. Saya sadar, tidak semua orang
mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin. Karena itu, waktu yang ada saya
gunakan untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat,” tuturnya.
Fonataba mulai
memimpin Kabupaten Sarmi pada 2005. Nama Sarmi diambil dari huruf depan
suku-suku di sana, yakni Sobe, Airmati, Rumbuway, Manirem, dan Isirawa. Sarmi adalah kabupaten baru di
Papua, hasil pemekaran Kabupaten Jayapura pada 2003. Mulai 2003-2005, Fonataba
menjadi penjabat bupati. Baru pada 2005, dia secara resmi menjadi bupati.
Jadi, bapak
empat anak tersebut adalah bupati pertama di kabupaten tersebut. Awal-awal
menjadi kabupaten baru, kondisi Sarmi masih sangat memprihatinkan. Dari Kota
Jayapura menuju Sarmi, saat itu belum ada jalan darat. Bilamana hendak pergi ke
Sarmi, maka seseorang harus menggunakan pesawat udara atau kapal laut.
Namun, kini
Sarmi sudah berkembang. Perjalanan dari Kota Jayapura menuju Sarmi sudah bisa
ditempuh lewat jalur darat. Waktu tempuhnya 6-7 jam. Fonataba menceritakan
pengalamannya ketika dipercaya sebagai Penjabat Bupati Sarmi pada 2003. Kala
itu, 330 di antara 365 hari dalam satu tahun selalu dia habiskan di tempat
tugas.
“Sebagai daerah
baru, kalau pemimpin tidak ada di tempat, sangat sulit membangun kepercayaan
rakyat. Dengan selalu berada di tempat, bila ada masalah, maka pemimpin bisa
langsung memecahkannya,” kata lulusan Magister Manajemen Universitas Hasanuddin
pada 2002 itu.
Soal gagasan
pembangunan rumah untuk rakyat, Fonataba menjelaskan bahwa ide tersebut
sebenarnya datang dari istrinya, Amelia Waromi. “Dia (sang istri) selalu setia
mendampingi saya berkeliling dari satu desa ke desa lain,” papar dia.
Suatu ketika,
Fonataba bersama istrinya melewati Kali Waskei di Kampung Bagaserwar. Saat itu
malam hari, sekitar pukul 19.30 waktu setempat. “Kami melihat warga kampung itu
pulang dari kebun yang berjarak sekitar 7 kilometer dengan berjalan kaki,”
paparnya. Ketika itulah istri Fonataba mengusulkan pembangunan rumah di dekat
kebun warga tersebut. “Sejak saat itu, mulai 2006 dianggarkan pembangunan rumah
rakyat bertipe 36 sebanyak seratus unit,” papar dia.
Sebanyak 50
rumah dibangun di Kampung Bagaserwar dan 50 unit lagi didirikan di Kampung
Kasukue. Rumah-rumah tersebut dibangun di atas tanah adat masyarakat setempat.
Yang menentukan lokasi pembangunan rumah itu adalah ondoafi (tokoh adat) dan
kepala kampung. Dengan begitu, diharapkan tidak ada masalah di kemudian hari.
Diceritakan,
setiap rumah itu diberi dua tempat tidur, lampu solar cell, dan sumur. “Setelah rumah jadi, kami melihat anak-anak
belajar di rumah masing-masing di bawah cahaya lampu dari solar cell tersebut. Sungguh kami terharu saat itu. Sebab, di
tengah hutan yang sebelumnya gelap, kini mereka mulai merasakan sedikit
kemajuan,” tutur penerima penghargaan Satyalencana Pembangunan pada 2009
tersebut.
Dari situlah,
pada 2007 dianggarkan lagi pembangunan lebih dari 600 rumah rakyat. Kemudian, pada 2008 juga
dibangun lebih dari 600 unit rumah itu.
Akhirnya, pada 2010 telah dibangun 2.499 rumah rakyat. “Untuk satu kali tahun
anggaran, biaya (pembangunan rumah rakyat) sekitar Rp80 miliar dari Dana Alokasi
Umum (DAU). Untuk satu unit rumah, dianggarkan Rp120 juta. Ada pula yang Rp140
juta, bergantung tingkat kesulitan daerah. Namun, sekarang transportasi darat
sudah lancar sehingga anggaran rata-rata untuk per unit rumah Rp100 juta,”
terang alumnus IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) pada 1987 tersebut.
Rumah-rumah itu
dibangun di pinggir jalan. Tujuannya, agar rakyat mudah mengakses alat
transportasi untuk memasarkan hasil kebun. Jarak rumah yang satu dengan lainnya
sekitar 100 meter. Halaman rumah digunakan untuk menanam bunga. Tanah di
samping kanan atau kiri rumah dimanfaatkan untuk menanam ubi-ubian dan sayuran.
Selain itu, lahan di belakang rumah digunakan untuk berkebun.
Setelah warga masyarakat
mempunyai rumah dan kebun yang sudah menghasilkan, harus ada alat transportasi
untuk memasarkan hasil kebun tersebut. Karena itu, harus ada truk. “Kami mulai
mengadakan program bantuan truk ke kampung-kampung pada 2007. Kemudian,
menyusul pengadaan truk pada 2008, 2009, dan 2010. Karena itu, sekarang telah
ada 48 truk,” jelas dia.
Pada dua tahun
pertama, Pemkab Sarmi masih memberikan bantuan untuk perawatan truk itu. Namun,
pada tahun ketiga, pemerintahan di daerah tersebut sudah berjalan sendiri.Tiga
hari truk-truk tersebut digunakan untuk memasarkan hasil kebun ke Kota Sarmi dan
Jayapura. Kemudian, tiga hari sisanya, truk dimanfaatkan untuk mencari uang.
Dengan begitu, masyarakat bisa membeli solar, membayar sopir, dan membiayai
perawatan truk. “Memang berat. Tetapi, sekarang sudah ada tiga kampung yang
mampu beli truk lagi,” ungkap dia.
Di wilayah Kabupaten
Sarmi, awalnya ada 58 kampung. Kemudian, ada pemekaran sehingga menjadi 86
kampung. Yang mendapatkan bantuan truk itu adalah kampung-kampung induk.
Ihwal
penghargaan ketiga dari Muri karena termasuk pejabat yang melakukan kunjungan
kerja paling sedikit ke luar daerah, dia menganggapnya biasa saja. Selama lima
tahun menjadi bupati, dia mengatakan hanya empat kali melaksanakan kunjungan
dinas ke luar daerah. Seluruh tujuan kunjungan itu adalah Jakarta. “Bahkan, dua
tahun saya tidak pergi ke Jakarta, yaitu 2008 dan 2010,” tegas penerima
penghargaan Satyalencana Karya Bhakti Praja Nugraha pada 2010 tersebut.
Itu tentu
sangat berbeda dengan bupati-bupati lain di Papua, yang sangat sering pergi ke
Jakarta. Bahkan, di antara mereka, ada bupati yang selalu menghabiskan weekend
di Jakarta. Seringnya, para bupati tersebut pergi ke Jakarta dengan alasan
melobi pemerintah pusat.
Mengapa tidak
melobi pemerintah pusat seperti bupati lain? Secara tegas, Fonataba menyatakan,
sekarang lobi tidak diperlukan lagi. Sebab, aturan sudah jelas. “DAU dan DAK (Dana
Alokasi Khusus) sudah jelas. Jadi, tidak ada begitu-begitu lagi. Dulu, boleh
begitu. Tapi, sekarang mereka (pemerintah pusat) melihat hasil kerja kami.
Kalau kami kerja baik dan laporan dikirim secara rutin, DAU dan DAK pasti
ditetapkan. Jadi, untuk apa sebenarnya ke Jakarta,” ucap dia sembari
menambahkan, “Kalau semua bupati datang, lalu dikasih arahan, itu kan hanya
bersifat seremonial. Lebih baik melihat kesulitan rakyat.”
Selama beberapa
tahun mengabdi sebagai staf, mulai dari CPNS sampai PNS, di Kabupaten Sarmi,
Thomas Ondy berusaha belajar pada kebijakan dan keteladanan yang melekat pada
diri Bupati Sarmi Eduard Fonataba.
D.
Peroleh
Jabatan di Mamberamo Raya
Terasa cukup
banyak belajar pada diri Bupati Sarmi Eduard Fonataba, tahun 2007 muncul
peluang bagi Thomas Ondy untuk meningkatkan tapak karirnya. Tahun itu,
Kabupaten Sarmi mengalami pemekaran. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2007 yang
disahkan pada tanggal 15 Maret 2007, Kabupaten Sarmi dimekarkan menjadi
Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Waropen dan Kabupaten Sarmi sebagai induk.
Mamberamo Raya
termasuk kabupaten yang kaya sumber daya alam. Nama "Mamberamo" konon
berasal dari bahasa Dani –-mambe yang berarti "besar" dan ramo
berarti "air". Suku Dani dan beberapa suku terasing lainnya bermukim
di lembah sungai yang kaya akan keanekaragaman hayati ini. Jika dilihat dari
udara, Sungai Mamberamo mudah dikenal karena ukurannya yang besar, berwarna
coklat, banyak mempunyai kelokan (meander)
serta danau tapal kuda (oxbow lake)
sebagai hasil perpindahan alur sungai. Kedalaman sungai bisa mencapai lebih
dari 10 meter dan debit airnya mampu mencapai 5.500 m³/detik.
Anak-anak
Sungai Tariku berasal dari ketinggian di atas 4.000 m pada Pegunungan Nassau
atau Pegunungan Tengah Papua. Beberapa aliran anak sungai tampak mempunyai arah
timur barat yang nampaknya mengikuti struktur lipatan (lembah subsekuen) pada
pegunungan tersebut, sehingga pola sub-trellis dan dendritik banyak berkembang
di wilayah ini yang juga merupakan zona patahan Derewo. Di bawah Gunung
Gulumbulu (4.041 m) terdapat pertemuan beberapa anak sungai (Delo dan Hitalipa)
yang membelok ke utara dan setelah 50 km baru masuk ke Sungai Tariku yang
mengalir ke timur pada dataran lakustrin. Gunung tersebut konon merupakan land mark atau tapal batas antara
wilayah Suku Moni di bagian barat dan Suku Dani di bagian timur. Sungai Van
Daalen merupakan salah satu anak sungai besar yang berada di bagian timur dan
titik pertemuannya dengan Sungai Tariku tidak jauh dari batas wilayah Kabupaten
Mamberamo Raya.
Dibandingkan
dengan Sungai Tariku, Sungai Taritatu banyak di-supply oleh anak-anak sungai yang berasal baik dari Pegunungan
Nassau maupun Pegunungan Foya. Pada wilayah ini pola dendritik banyak
berkembang di sisi utara dan sebagian Sub-trellis dan dendritik dari sisi
selatan. Diperkirakan potensi debit air tanah yang keluar dari pegunungan
Foja-Rouffaer adalah 19.801 x 106 m3/tahun untuk akuifer tidak tertekan
(unconfined) sedangkan untuk akuifer tertekan (confined) sebesar 889 x 106
m3/tahun (ESDM, 2004; Murdiyarso dan Kurnianto, 2008). Sebuah potensi yang
sangat layak untuk dikembangkan.
Di tahun 2007,
berkat pengalaman kerja di Kabupaten Sarmi, Thomas Ondy langsung ditugaskan
menjadi Sekretaris Pribadi Bupati Mamberamo Raya. Dan tahun 2008 menapak
jenjang karier yang lebih tinggi ketika menerima tugas sebagai Kepala Bagian
Keuangan Kabupaten Memberamo Raya dalam masa kepemimpinan Bupati Demianus Kyeuw
Kyeuw SH, MH. (*)
Komentar
Posting Komentar