Dipercaya Memimpin di Tengah Keterbatasan

 * Bab 4


KETIKA mengawali masa bakti 2007-2012 sebagai Bupati Halmahera Tengah mulai tanggal 23 Desember 2007, tugas berat langsung bertengger di pundak Al Yasin Ali. Yakni, memindahkan ibukota Kabupaten Halmahera Tengah dari ibukota lama di Soasio Tidore ke Weda sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 01 Tahun 2003 tentang Pemekaran Wilayah Kabupaten Halmahera Tengah. Dengan modal tekad yang kuat, tanggal 15 Januari 2008, secara resmi ibukota Kabupaten Halmahera Tengah berada di Kota Weda yang waktu itu sebagian besar wilayahnya masih berupa rawa-rawa pesisir pantai. Weda yang masih sebatas kampung kecil di tengah hutan di perairan Halmahera.
Tentu bukan hal mudah memindahkan pusat pemerintahan dari Soasio ke Weda yang masih sunyi sepi nyaris belum ada fasilitas pendukung yang memadai. Bangunan kantor bupati baru sebatas pondasi dan tiang-tiangnya saja. Boleh jadi, dengan anggaran yang memadai, pondasi dan tiang-tiang tersebut dapat secara cepat diwujudkan menjadi bangunan kantor yang representatif. Namun, memindahkan pusat pemerintahan tentu bukan sekadar memindahkan fisik perkantoran, harus pula memindahkan segenap aparatur sipil negara yang akan menjadi motor penggerak jalannya birokrasi pemerintahan. Aparatur pemerintah kabupaten harus rela berpindah ke wilayah sunyi, atau ulang-alik saban hari dari Soasio ke Weda.
Jelas bukan hal gampang pergi-pulang dari Soasio ke Weda kala itu. Perjalanan dari Ternate ke Weda masih lumayan berat medannya. Betapa beratnya medan perjalanan dari Sosio ke Weda bisa kita simak pengalaman seorang petualang bernama R. Heru Hendarto yang melakukan perjalanan dari Ternate ke Pulau Gebe lewat Weda.

Dari Ternate ke Sofifi (yang mulai Oktober 2010 resmi menjadi ibukota Provinsi Maluku Utara), sebagaimana ditulis oleh Heru Hendarto melalui website www.indobackpacker.com pada Desember 2007, dia dan rombongannya sepakat  harga Rp300.000 sewa speedboat ukuran kecil berkapasitas 12-14 orang. Setelah sekitar setengah jam dibanting-banting ombak melintasi selat antara Ternate dan Halmahera tibalah rombongan Heru di Pelabuhan Kota Sofifi yang saat itu sudah siap menjadi ibukota Provinsi Maluku Utara. Infrastruktur seperti jalan raya, kantor pemerintah dan penunjang lain tampak telah tersedia menunggu untuk segera ditempati waktu itu.
Rombongan melanjutkan perjalanan menuju Weda, yang di tahun 2007 itu memang tengah dipersiapkan untuk menjadi ibukota Kabupaten Halmahera Tengah. Rombongan kemudian menyewa Kijang Innova baru dengan harga Rp700.000 (bila penuh isi 7 penumpang @Rp100.000). Di Pelabuhan Sofifi, kendaraan ini dapat disewa dengan tujuan Subaim (Halmahera Timur), Tobelo (Halmahera Utara), Buli (Halmahera Timur), Weda (Halmahera Tengah) dan beberapa kota sekitar. Selain Innova, untuk medan yang lebih parah tersedia pula mobil L200 yang dimodifikasi baknya sehingga mampu menampung dua penumpang secara nyaman. Yang cukup mencengangkan, pagi itu juga terpajang Fortuner terbaru lengkap masih dengan plat nomor polisi putih dan siap melayani rute ke Buli. Kalau dipikir-pikir mobil-mobil yang di Jakarta termasuk kategori mewah itu, di Halmahera cuma “dihancur-hancurkan” saja untuk menaklukkan medan jalan yang amar berat, terutama pada musim hujan.
Di dalam Innova sewaan, Heru dan kawan-kawan merasa terguncang-guncang saat melewati jalanan provinsi yang rusak parah dan menyisiri pantai barat kaki Halmahera selama sekitar empat jam. Namun, bila dibandingkan dengan jalan darat menuju Kota Buli di Halmahera Timur, jalan ke Weda masih lebih baik. Jalan menuju Buli dua kali lebih parah karena harus menyeberangi sungai yang di saat pasang mustahil untuk dilintasi. Pemandangan pantai dan pulau–pulau yang tersaji di sebelah kanan sepanjang jalan menjadi obat lelah gara-gara terbanting-banting di mobil. Beberapa kali terdengar bunyi keras pertanda bagian bawah mobil sudah menghantam tanah dan batu jalanan.
Dua jam perjalanan, rombongan singgah sebentar di depan Pelabuhan Desa Gita, Kecamatan Payahe, untuk sekadar istirahat meluruskan kaki yang pegal dan mengisi bahan bakar buat meneruskan perjalanan memotong ke timur dan seterusnya menuju ke Weda.
Tiba di Weda pukul 13.00, Heru dan kawan-kawan segera menuju pelabuhan perintis untuk mengejar kapal. Namun, berhubung saat itu Weda sedang dilanda kelangkaan bahan bakar, Heru kesulitan meneruskan perjalanan ke Pulau Gebe. Ada yang menawarkan sewa long boat menuju Patani yang berada di antara Weda dan Gebe namun harganya fantastis. Empat juta rupiah dan itu baru separuh perjalanan ke Pulau Gebe. Padahal, banderol normal maksimal Rp1,5 juta sudah sampai kawasan wisata Pulau Gebe nan eksotik.
Tidak hanya seputaran Weda atau jalan dari Sofifi ke Weda yang bermasalah. Secara umum infrastruktur jalan dan jembatan menjadi problematika yang mesti dihadapi dan diselesaikan oleh Bupati Al Yasin Ali. Lihat saja ketika itu jalan di Patani dan Pulau Gebe berlubang sana-sini, jembatan miring kiri-kanan. Jalan dipenuhi lumpur menyebabkan warga masyarakat Patani yang menggunakan sepeda motor harus mengeluarkan tenaga ekstra mendorong hingga ke badan jalan kering baru dikendarai. “Memprihatinkan memang,” ujar Awan, warga Patani.
Awan mengaku, warga yang menyeberang menggunakan kapal fery ke Patani Utara dan Timur tidak bisa membawa kendaraan. Sebab jalan ke arah pelabuhan fery bagai kubangan kerbau. Padahal jalur ini merupakan jalan alternatif dari Patani Timur ke pelabuhan fery. “Kami berharap bupati memperbaiki, agar warga masyarakat bisa menikmati hasil-hasil pembangunan,” pinta Awan.
Keterbatasan infrastruktur jalan dan jembatan tampak menjadi problem utama yang harus cepat-cepat dituntaskan oleh Bupati Al Yasin Ali. Karena, sesungguhnya Halmahera Tengah dilimpahi sumber daya alam yang potensial dikembangkan dan diandalkan buat meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat.

A.   Problem Pemindahan Ibukota Kabupaten
Seorang warga Halmahera Tengah menuliskan pandangannya yang menarik ihwal perpindahan ibukota Kabupaten Halmahera Tengah dari Soasio ke Weda melalui blog https://pulaugebe.wordpress.com yang rilis pada tanggal 15 November 2011. Si penulis mencoba melihat dan memandang proses perpindahan ibukota Halmahera Tengah dari Soasio ke Weda yang secara langsung telah berdampak terhadap perubahan struktur ujaran masyarakat Halmahera Tengah, baik yang terjadi pada tataran surface structure maupun dampak yang dihasilkannya pada aras deep structure, meminjam istilah yang dipopulerkan Noam Chomsky, seorang linguist kenamaan Amerika. Perubahan ujaran itu disoroti dari sudut pandang masyarakat tutur (speech-society) Patani, dengan pertimbangan bahwa si pemandang yang warga Halmahera Tengah ini adalah penutur asli bahasa Patani.
Secara kebahasaan, paling tidak ada dua catatan tentang perubahan yang dihasilkan dari perpindahan ibukota Halmahera Tengah: yakni perubahan deixis dan lexicon. Sebagai ilustrasi, dulu masyarakat Patani yang pergi ke Soasio (Tidore) -–dalam konteks pemerintahan-– mengatakan “Bo nnau na Torle fu”, tapi kini ujaran tersebut (tetap dalam terminologi pemerintahan) tidak akan terdengar lagi, karena telah direduksi menjadi “Bo nney na Were fu” sebagai akibat dari perpindahan tersebut.
Catatan pertama adalah perubahan deixis ‘nnau’ menjadi ‘nney’ yang merupakan pasangan deixis penanda arah (direction) yang beroposisi secara makna baik semantik ataupun pragmatik, serta implikasi yang menyertainya. Secara semantik, ‘nnau’ bermakna ‘ke (arah) laut’ dan secara geografis berarti ‘ke (arah) selatan’. Sedangkan dalam tataran pragmatik, ‘nnau’ tidak hanya bermakna arah dan jarak yang ‘jauh’ untuk dicapai tetapi juga bermakna ‘lama’ akibat tidak adanya sarana transportasi, yang memadai. Pelayaran PERINTIS adalah satu-satunya sarana transportasi laut yang membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh hari untuk bisa sampai ke ibukota kabupaten. Salah satu ekses yang ditimbulkan dari makna deixisnnau’ ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pelayanan publik pada masyarakat yang tersebar di wilayah Weda, Patani dan Gebe yang tidak memperoleh ‘sentuhan’ yang signifikan dibanding Oba yang secara geografis memang berdekatan dengan ibukota kabupaten saat itu.
Kini ‘nnaw’ telah berubah menjadi ‘nney’ yang secara semantik dan pragmatik juga mengalami perubahan makna. Sejatinya perubahan ini dapat pula diikuti dengan perubahan paradigma pelayanan yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat. Misalnya PLN untuk Banemo, Moreala dan Sibenpopo yang dijanjikan semasa Bupati Hasan Doa belum direalisasikan sehingga tiang-tiang listrik yang dipasang sekitar tahun 2004 itu sudah bertumbangan harus lebih diutamakan daripada pembelian KM Fagogoru. Atau memasukkan ustadz/ah Madrasah Diniyah Raodhatul Islam Banemo yang berdiri sejak 1942 itu ke dalam Daftar Honorer Daerah, agar madrasah yang merupakan “benteng” akhlak dan moral yang saat ini hampir “sekarat” tersebut bisa eksis kembali agar dapat memainkan perannya secara maksimal.
Catatan kedua, perubahan dari ‘Torle’ (Tidore) ke ‘Were’ (Weda), tidak hanya terjadi perubahan aspek leksikal dan lokalitas yang terjadi pada aras surface structure, namun juga berdampak secara psikologis dan kultural (deep structure). Ketika ibukota Halmahera Tengah masih di Tidore, hampir sebagian besar pegawai berbahasa Tidore di Kantor Bupati. Bila didekati dari hipotesa Sapir-Whorf, bahasa sebagai jendela untuk melihat dunia luar, sangat berkorelasi dengan model pelayanan ketika itu, di mana Oba yang sebagian besar penduduknya bisa berbahasa Tidore dan secara geografis bertetangga dengan Tidore lebih mendapat “sentuhan” ketimbang Weda dan Patani, apalagi Gebe yang secara geografis dan kultur sangat jauh dari Tidore.
Saat ini, ketika ‘Torle’ telah disubstitusi menjadi ‘Were’, pemerintah daerah harus bisa menghapus ‘dahaga’ yang dirasakan oleh masyarakat Halmahera Tengah selama ini dengan memberikan ruang yang seimbang kepada seluruh stakeholder pembangunan -–pemerintah, partai politik, pengusaha, masyarakat sipil, LSM, Ormas dan lembaga pers-– untuk berperan secara aktif dan partisipatif sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Jangan sampai ada stakeholder tertentu yang diberikan space yang luas dan leluasa sementara yang lainnya dikekang dan diintimidasi.
Dalam konteks Halmahera Tengah saat transisi, pemerintah daerah minimal harus (1) bisa membangun proses demokrasi yang kompetitif, partisipatif dan transparan, (2) bisa merumuskan perencanaan dan mengambil keputusan yang strategis, (3) bisa menemu-kenali dan meningkatkan potensi unggulan daerah, (4) bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang dapat menyerap angkatan kerja produktif guna menekan angka pengangguran dan kemiskinan, (5) bisa meningkatkan kemampuan daerah dalam memberikan public goods and services, (6) bisa melakukan pemerataan dalam pelayanan barang dan jasa ke kecamatan dan desa di seluruh wilayah Kabupaten Halmahera Tengah.
Halmahera Tengah perlu mengembangkan kultur politik yang polyarchal, yaitu sebuah kultur yang di sana memungkinkan segenap stakeholders melembagakan trust (saling percaya), memiliki toleransi terhadap perbedaan pandangan dan pilihan politik, serta memberi kesempatan masing-masing kalangan untuk mengekspresikan pandangannya buat kepentingan bersama. Dalam konteks ini perbedaan pandangan dan pilihan politik perlu dikelola dengan penuh kearifan, bukan sebagai upaya saling mengerdilkan dan mengebiri.
Di sisi lain, hubungan emosional, budaya dan bahasa yang mengikat masyarakat Giman (Gane), Were (Weda), Poton (Patani), Mobon (Maba) dan Geb (Gebe), bahkan Mara (Makian) dalam Lembaga Fagogoru, yang merupakan hasil konsensus para leluhur yang mendiami wilayah Halmahera yang membentang dari bagian selatan hingga ke bagian timur, harus dijadikan modal sosial (social capital) dalam mengelola dan menjalankan roda pemerintahan di Halmahera Tengah sehingga tidak hanya memberikan manfaat terhadap masyarakat Halmahera Tengah, tapi dapat pula dirasakan oleh masyarakat sekitar.

B.    Optimisme Kelimpahan SDA yang Mesti Difasilitasi
Halmahera Tengah dapat dikatakan merupakan wilayah yang kelimpahan sumber daya alam (SDA). Kelimpahan itu tampak di antaranya pada sumber daya kelautan seperti ikan, udang, teripang, kerang dan beraneka ragam ikan hias, serta sumber kelautan lainnya yang bernilai ekonomis. Sumber daya kelautan ini mesti dikelola secara baik agar dapat menghasilkan pendapatan buat warga masyarakat. Di sektor perkebunan juga melimpah, namun rakyat kesulitan memasarkan hasil-hasilnya lantaran keterbatasan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, pelabuhan serta sarana dan prasarana lainnya.
Potensi sumber daya hutan di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah pun tidak kalah menarik, seperti kayu, rotan, damar, tanaman hias dan berbagai jenis hewan yang dapat dikonsumsi dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Potensi ini harus dikelola dan difasilitasi secara baik agar dapat maksimal mendatangkan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya.
Sumber daya mineral yang mengisi perut bumi Halmahera Tengah seperti Nikel, Cromit, Emas, Asbes, Pasir Besi, Pasir Kuarsa, Batubara, Batu Kapur dan Batu Mulia, merupakan kekayaan alam yang mempunyai nilai ekonomis tinggi pula. Pemanfaatan potensi ini harus difasilitasi secara baik supaya mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga masyarakat Halmahera Tengah.  Mineral Logam berupa Bijih Nikel dan Cromit dapat dijumpai di daratan Pulau Gebe, dan Pulau Fau Kecamatan Pulau Gebe. Kedua jenis mineral logam tersebut sudah diolah dan diekspor ke luar negeri. Bahkan, untuk kelangsungan kegiatan, perusahaan diwajibkan  membangun Pabrik Pengolahan Bijih Nikel (Smelter) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang MINERBA tahun 2009. Pembangunan Smelter tersebut terdiri dari empat tungku besar dan satu tungku mini, di mana dua tungku besar sudah dapat berproduksi dan lainnya masih terus dikerjakan. Dapat menyerap tenaga kerja rata-rata per tungku sebanyak 150 orang. Berkat keberadaan smelter tersebut, tambang nikel di Pulau Gebe dapat beroperasi kembali sebagai penyedia bahan baku utama smelter, dan ikut menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Selain bahan baku utama bijih nikel, dibutuhkan pula mineral Batubara dan Batu Kapur sebagai bahan campuran dalam proses peleburan Bijih Nikel di pabrik.
Bijih Nikel juga ditemukan di daratan Halmahera Tengah yaitu di sekitar Pegunungan Damuli Kecamatan Patani Timur,  di wilayah Kampumg Yeisowo Kecamatan Patani, di perbukitan wilayah Desa Sibenpopo Kecamatan Patani Barat, di wilayah Desa Sagea Kecamatan Weda Utara, di sebagian besar wilayah Desa Lelilef Kecamatan Weda Tengah dan Pulau Sayafi Kecamatan Patani Utara. Bahkan dari struktur geologinya diperkirakan penyebaran bijih nikel ini dapat ditemukan di sekitar wilayah Kecamatan Weda Timur.
Mineral Batubara dapat ditemukan di sekitar Pegunungan Damuli, di mana penyebarannya mencakup wilayah Kecamatan Patani Timur dan Patani Barat. Selain itu terdapat mineral-mineral lainnya seperti Emas, Pasir Besi, Batu Kapur dan Batu Mulia. Terindikasi adanya penyebaran mineral Bauksit yang ditemukan di wilayah Sil Kecamatan Maba Selatan, perbatasan antara wilayah Kecamatan Maba Selatan dan Patani Timur (Desa Sakam).
Mineral Logam lainnya seperti Asbes terdapat di wilayah Desa Lelilef Kecamatan Weda Tengah, sedangkan Pasir Kwarsa ditemukan di wilayah Desa Gemia Kecamatan Patani Utara.
Sumber kekayaan alam yang melimpah ini kalau tidak mampu untuk dikelola secara baik maka akan semakin jauh dari harapan/impian untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Halmahera Tengah.

C.   Momentum Kepindahan Ibukota Provinsi Maluku Utara
Tahun 2007, seorang petualang bernama Heru Hendarto mengungkapkan bahwa infrastruktur seperti jalan raya, kantor pemerintah dan penunjang lain di Kota Sofifi tampak telah tersedia menunggu untuk ditempati. Namun baru pada Agustus 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meresmikan perpindahan ibukota Provinsi Maluku Utara dari Ternate ke Sofifi. Perpindahan itu ditandai dengan penanda-tanganan prasasti oleh Presiden SBY di Lapangan Ngaralamo, Kelurahan Salero, Kecamatan Kota Ternate Utara, Kota Ternate.
Turut hadir dalam acara itu beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, antara lain Menko Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, Menko Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.
Maluku Utara diresmikan menjadi provinsi terpisah dari Maluku pada 12 Oktober 1999 melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 dan beribu-kota di Sofifi, Kecamatan Oba Utara. Wilayah itu terletak di Bukit Gozale, poros Pulau Halmahera, yang berjarak tempuh sekitar 1 jam menggunakan kapal cepat dari Pulau Ternate.
Karena keterbatasan infrastruktur, ibu kota sementara ditempatkan di Kota Ternate yang padat penduduk. Setelah pembangunan yang berlangsung cukup lama, baru tahun 2010 Sofifi mampu menghadirkan fasilitas kantor gubernur, DPRD,  kejaksaan tinggi, kepolisian daerah, serta kantor-kantor dinas pemerintah provinsi. Yang sedikit merepotkan di awal kepindahan ibukota provinsi Maluku Utara itu, para pegawai negeri yang rata-rata menetap di Pulau Ternate setiap hari harus naik kapal cepat dengan ongkos Rp30.000 sekali jalan untuk sampai di kantor mereka.
Selain meresmikan perpindahan ibu kota ke Sofifi, Presiden sekaligus meresmikan sekitar 20 proyek infrastruktur gedung-gedung pemerintah provinsi yang telah selesai dibangun di Sofifi.
Pada acara itu, Kepala Negara sekaligus menyaksikan penyerahan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tahun 2010 oleh beberapa bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada perwakilan debitur.
Bank BRI menggelontorkan KUR senilai Rp56,15 miliar untuk 5.636 debitur di Provinsi Maluku Utara, Bank BNI sebesar Rp31,981 miliar untuk 244 debitur, Bank BTN senilai Rp9,286 miliar untuk 61 debitur, Bank Mandiri Rp12,45 miliar untuk 42 debitur, dan Bank Maluku senilai Rp25 miliar untuk 1.660 debitur.
Pada acara itu pula secara simbolis Presiden menyerahkan bantuan berupa paket wirausaha sarana produksi budidaya rumput laut senilai Rp4,4 miliar untuk 610 pembudidaya rumput laut masing-masing sebesar Rp6,5 juta. Pun paket sektor pertanian berupa ayam, kambing, sapi, dan kakao senilai Rp11,7 miliar, serta dana bantuan sosial untuk pengembangan koperasi senilai Rp1,625 miliar untuk 34 kelompok usaha mikro dan koperasi.
Presiden juga menyerahkan bantuan langsung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2010 untuk Provinsi Maluku Utara senilai Rp118,08 miliar. Bantuan yang diterima Gubernur Maluku Utara itu terdiri dari PNPM Mandiri pedesaan di tujuh kabupaten meliputi 78 kecamatan sebesar Rp109,25 miliar dan PNPM Mandiri perkotaan untuk dua kabupaten meliputi 14 kecamatan sebesar Rp7,64 miliar. Selain itu, juga PNPM Mandiri daerah tertinggal dan khusus di lima kabupaten pada 20 kecamatan senilai Rp1,19 miliar.
Kepindahan ibukota Provinsi Maluku Utara dari Ternate ke Sofifi mulai Agustus 2010 itu memberikan hikmah dan berkah tersendiri bagi Al Yasin Ali yang ketika itu masih menjabat Bupati Halmahera Tengah periode 2007-2012. Minimal, perjalanan dari Ternate ke Sofifi semakin mudah. Tidak hanya sebatas itu, peningkatan status Sofifi menjadi ibu kota provinsi jelas akan membuka peluang bagi penambahan jalan-jalan provinsi yang menghubungkan berbagai wilayah kabupaten di Pulau Halmahera –termasuk Kabupaten Halmahera Tengah.
Kendati tidak terlalu besar, dalam lima tahun pertama pemerintahannya, Bupati Halmahera Tengah Al Yasin Ali mengalokasikan anggaran lebih dari Rp60 miliar untuk pembangunan infrastruktur jalan. Setiap tahun Dinas Pekerjaan Umum –lembaga pemerintah yang bertanggung-jawab menggarap proyek jalan—selalu tercatat sebagai dinas dengan anggaran paling besar.
Tentu saja, anggaran sebesar itu masih jauh dari cukup. Bupati Al Yasin menegaskan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki seluruh jalan di wilayahnya bisa mencapai Rp500 miliar. “Kami tidak punya anggaran sebesar itu,” tandasnya. 
Untuk menutupi kekurangan anggaran pembangunan dan perawatan jalan di wilayahnya, Bupati Al Yasin berusaha sebaik-baiknya memanfaatkan momen kepindahan ibukota Provinsi Maluku Utara. Dari sepanjang 455 km ruas jalan di kabupaten itu, sekitar 56% didukung oleh ruas jalan nasional dan status jalan provinsi, sebagai akses ke wilayah Kabupaten Halmahera Tengah dari berbagai penjuru masuk. Keberadaan jalan-jalan itu menjadikan daratan Weda kini yang semakin gampang dijangkau.
Telah lama pula Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah mengusulkan ke Pemerintah Pusat untuk membangun jalan Weda-Patani dan baru tahun 2015 dianggarkan. “Usulan itu sudah lama kami ajukan ke Pemerintah Pusat yakni Kementerian PU, melalui Bappeda Provinsi. Meski demikian, kami juga senantiasa melakukan pengawalan dan lobi-lobi dengan pihak Direktorat Jenderal Bina Marga,” kata suami dari Ketua Tim Penggerak PKK Halmahera Tengah, Mutiara T. Yasin, ini.
Selama ini Patani merupakan gerbang penghubung Provinsi Papua Barat dengan Provinsi Maluku Utara. Tapi, selama ini pula, perjalanan dari Patani ke Weda dan sebaliknya harus menyusuri laut dengan kapal fery lantaran jalan darat sangat sulit dilalui.
Tidak hanya jalan yang mampu dibangun, Bupati Al Yasin pun berhasil menyulap dua pertiga dataran rawa pesisir Weda menjadi kota nan indah. “Atas ridho Tuhan kita manusia hanya bisa berusaha, menyelesaikan satu urusan kemudian mengerjakan urusan yang lain. Selanjutnya hanya kepada Allah jua kita berharap,” tegas Al Yasin.
Benar apa yang dikatakan Bupati Al Yasin. Kini, perjalanan ke Weda semakin mudah. Dari Ternate kita bisa langsung naik kapal cepat ke Sofifi dan dilanjutkan melalui jalan darat yang relatif mulus. Sepanjang perjalanan kita bisa menikmati alam Halmahera yang kaya rayuan kelapa dan tiap saat dapat meminggirkan kendaraan bermotor untuk sekadar mampir warung meninkmati segarnya kelapa muda.
Bangunan Kantor Bupati yang semula hanya berupa pondasi dan tiang-tiang kini pun tampak representatif berdiri kokoh di salah satu sudut Kota Weda. Beberapa kawasan komersil yang dilengkapi bangunan rumah toko (ruko) juga mulai terlihat menggeliat. Para pedagang cukup antusias menggelar barang dagangannya di tempat-tempat yang telah ditetapkan.
“Awal pemindahan aktivitas ibukota Halmahera Tengan dari Soasio ke Weda tahun 2008, saat itu di Kota Weda tidak ada perkantoran yang bisa digunakan sebagai tempat aktivitas pemerintahan. Bahkan saya terbilang nekad mengarahkan ratusan PNS untuk beraktivitas di Weda dengan kondisi semacam itu," tutur Yasin sekali waktu sembari menambahkan ketika itu Kantor Bupati mengontrak pada salah satu bangunan kantor kecamatan.   

D.   Mengatasi Persoalan Keterbatasan Pasokan Listrik
Persoalan yang juga lumayan berat menggelayuti pundak Bupati Al Yasin Ali ketika mulai memimpin Kabupaten Halmahera Tengah adalah keterbatasan pasokan listrik. Warga masyarakat setempat nyaris terbiasa menghadapi listrik byar-pet sampai 5-6 kali dalam sehari. Tentu sangatlah mengganggu kenyamanan berusaha di wilayah yang cukup potensial destinasi wisatanya itu.
Dalam perjalanan pengabdiannya di Halmahera Tengah, Al Yasin berjanji mulai 2017 masyarakat di 10 kecamatan di kabupaten itu sudah bisa menikmati pelayanan dari PLN (Perusahaan Listrik Negara). "Hal ini sesuai dengan visi-misi menjadikan Halmahera Tengah terang. Saat ini beberapa kecamatan mulai dipasang jaringan, di antaranya Kecamatan Patani dan Kecamatan Weda Utara," kata Al Yasin sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara awal Desember 2016.
Sedangkan wilayah Weda Timur, lanjutnya, mulai dipasang tahun 2017. "Saya targetkan, pada akhir masa jabatan saya seluruh wilayah di Halmahera Tengah sudah dialiri listirk," tandasnya.
Dia menambahkan, untuk Pulau Gebe sudah dilakukan perbaikan jaringan, sebab jaringan yang masuk ke rumah warga sebelumnya merupakan peninggalan PT Antam. Perluasan jaringan di Pulau Gebe akan sampai di Desa Umera, sedangkan di Pulau Yoi diberikan bantuan listrik tenaga surya oleh pemerintah daerah.
"Jaringan yang ada di Gebe merupakan peninggalan PT Antam sehingga PLN meminta sebelum diserahkan seluruh jaringan harus sesuai dengan standar PLN dan saat ini kami sudah lakukan perbaikan," kata Bupati Al Yasin.
Selain perbaikan dan pemasangan jaringan baru, Pemkab Halmahera Tengah  memberikan bantuan mesin di PLN Patani dan PLN Weda. Bantuan yang diberikan berupa satu unit mesin dengan kapasitas 500 KVA untuk Patani dan dua unit mesin masing-masing berkapasitas 500 KVA di Weda.
Bupati juga menyatakan, untuk mengatasi krisis listrik di Kecamatan Pulau Gebe, Pemkab Halteng bekerja sama dengan PT Antam. "Kami masih menunggu penyelesaian, sebab CSR yang tersisa kurang lebih Rp8 miliar  seluruhnya dialokasikan untuk perluasan jaringan listrik di Pulau Gebe," kata Bupati sembari menambahkan, "Ini menjadi tanggung jawab PT Antam bagi warga masyarakat lingkar tambang guna mengatasi masalah kebutuhan listrik bagi masyarakat."
Melengkapi janji Bupati Al Yasin Ali, Kepala PLN Weda, Risdam, menyatakan, selain dua unit mesin dari Pemkab Halmahera Tengah, pihaknya juga telah mendatangkan dua unit mesin berkapasitas masing-masing 500 KVA dan saat ini telah ada empat mesin baru yang segera beroperasi sehingga keluhan warga masyarakat terkait pemadaman listrik dapat teratasi.
Risdam menambahkan bahwa dua unit mesin dari Pemkab Halmahera Tengah telah dioperasikan dan dua unit mesin dari PLN dalam waktu dekat difungsikan sambil menunggu bangunan baru PLN yang sedang dikerjakan.

E.    Tetap Fokus pada Visi-Misi dan Strategi Pembangunan
Di tengah keterbatasan infrastruktur, buat membangun dan menyejahterakan warga masyarakat Kabupaten Halmahera Tengah, Bupati Al Yasin berusaha tetap dan terus fokus pada visi Kabupaten Halmahera Tengah 2012-2017, yakni “Pembangunan Halmahera Tengah Berkelanjutan Menuju Kesejahteraan”.
Makna dan arti visi tersebut antara lain:
* Pembangunan, artinya usaha yang dilaksanakan untuk memenuhhi kebutuhan warga masyarakat Halmahera Tengah, termasuk dalam mengakses segala kebutuhan kehidupan sehari-hari secara nyata dan dapat dijangkau, tanpa diskriminasi, serta terjaminnya rasa aman dan nyaman bagi warga masyarakat untuk berusaha dan berpartisipasi dalam meningkatkan taraf hidup yang lebih sejahtera dan bermartabat.
* Berkelanjutan, artinya pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Halmahera Tengah adalah terus dilakukan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.
* Kesejahteraan, artinya pembangunan dilaksanakan dengan tujuan utama untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik, dengan dukungan pemerataan pendapatan, terpenuhinya kebutuhan dasar serta kemudahan masyarakat untuk dapat mengakses kebutuhannya sebagai usaha untuk mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Untuk mewujudkan visi pembangunan Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012-2017 tersebut, Bupati Al Yasin Ali juga berusaha disiplin mengembangkan beberapa misi pembangunan berikut:
·         Halmahera Tengah yang terang
Misi ini bertumpu pada usaha untuk membuka akses penerangan, tidak hanya wilayah perkotaan tapi juga daerah-daerah pedesaan dan pelosok wilayah Halmahera Tengah. Misi ini memberi isyarat bahwa faktor penerangan menjadi kebutuhan mendasar bagi warga masyarakat Halmahera Tengah dalam melakukan berbagai aktivitasnya, sehingga dengan terpenuhinya kebutuhan penerangan ini, diharapkan dapat mendorong kreativitas sekaligus mendorong inovasi-inovasi bagi masyarakat Halmahera Tengah. Indikator paling nyata dari misi ini adalah terpenuhinya kebutuhan penerangan sebagai bagian untuk meningkatkan usaha yang dilakukan warga masyarakat.
·         Halmahera Tengah yang kuat
Misi ini menekankan pada upaya membangun kekuatan lokal baik ekonomi, sosial, budaya, politik maupun kemasyarakatan dalam konteks pembangunan. Membangun Halmahera Tengah yang kuat tentu lebih menekankan pada kemampuan produktivitas masyarakat serta kalangan dunia usaha yang saling bersinergi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tentunya ditunjang dengan political will Pemerintah Daerah berupa regulasi-regulasi yang saling mendukung. Halmahera Tengah yang kuat membutuhkan transformasi sikap dan perilaku semua pemangku kepentingan yang lebih inovatif dan kreatif dalam mencoba dan menghimpun sumber-sumber daya untuk percepatan dan peningkatan insfrastruktur yang ada.
·         Halmahera Tengah yang sehat
Upaya mewujudkan misi ini tentu memerlukan sebuah integrasi manajemen pembangunan yang betul-betul terfokus capaiannya. Tantangan pembangunan Kabupaten Halmahera Tengah ke depan lebih kompleks sehingga membutuhkan inovasi-inovasi baru yang lebih terarah dan dilakukan berdasarkan kemampuan manajerial pengelolaan pembangunan secara menyeluruh, terutama aspek kesehatan sebagai hal yang paling mendasar dan dibutuhkan oleh warga masyarakat Halmahera Tengah. Hal ini membutuhkan kemampuan dan kapasitas lokal yang andal berbasis kemampuan sumber daya manusia profesional di bidang kesehatan.
·         Halmahera Tengah yang lancar
Penekanan misi ini pada upaya mensinergikan proses keberlanjutan hasil-hasil pembangunan yang selama ini telah dicapai. Hasil pembangunan yang telah dirintis oleh para pendahulu, terutama keberhasilan membangun infrastruktur dan suprastruktur, telah menjadi modal dasar dalam membentuk social capital (modal sosial) secara berkelanjutan. Kelancaran program-program pembangunan perlu dikembangkan dan dijaga agar terjadi sinergitas yang mampu mewujudkan capaian-capaian pembangunan, terutama dalam peletakan dasar, sehingga grand design pembangunan jangka menengah tetap dalam tataran perwujudan rasa dan harapan untuk lebih mendaya-gunakan segala potensi yang telah tersedia. Kelancaran pembangunan dapat diimplementasikan dengan bekerjanya semua lini pemerintahan, termasuk dengan terbukanya akses bagi warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Karena itu, kelancaran dalam sebuah pembangunan perlu diletakkan dalam bingkai demokrasi, tidak diskriminatif, sehingga nilai pembangunan dapat dirasakan oleh segenap lapisan warga masyarakat Halmahera Tengah.
·         Halmahera Tengah yang cerdas

Misi ini mengartikan bahwa pembangunan Halmahera Tengah harus mampu menciptakan kesejahteraan pada semua aspek kehidupan, sehingga upaya pencapaian sebagai daerah yang berpengaruh di Maluku Utara dapat diraih. Salah satu metode yang ditempuh adalah menumbuhkan institusi-institusi pengembangan SDM, melalui berbagai kebijakan yang mendorong tumbuhnya kecerdasan sosial di tengah masyarakat. SDM merupakan kunci penting dalam mendorong pembangunan yang lebih bermartabat. Sebab itu, lembaga-lembaga pendidikan di Halmahera Tengah harus dan terus didorong, tidak hanya pada level paling bawah namun juga mengupayakan lembaga pendidikan tinggi yang disesuaikan dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki Halmahera Tengah. Melalui lembaga pendidikan inilah, tidak hanya anak-anak Halmahera Tengah yang berprestasi dididik, tapi juga aparatur birokrasi guna mengembangkan kemampuan keterampilan dan pengetahuan buat menunjang kinerja pemerintahan di masa depan. (*)

Komentar