Rote dan Orang Rote

* Bab 1


Syahdan. Ini kisah tentang muasal orang Rote yang konon katanya bercikal-bakal dari hilangnya Suku Israel di tanah Asia Barat sana. Suku Israel atau Yahudi yang mengembara ke mana-mana kaki melangkah lalu beberapa orang di antaranya berlabuh di sebuah pulau yang kini dikenal sebagai Pulau Rote.
Tersebutlah pada tahun 605 SM sekelompok suku dari Kerajaan Yehuda (Kerajaan Selatan) ditaklukkan dan diangkut ke pembuangan di daerah Media dan Persia (Iraq dan Iran). Saat Kerajaan Persia berkuasa, kekuasaannya meliputi Etiopia (Afrika) sampai ke India. Bahkan sejak tahun 722 SM, Kerajaan Israel (Kerajaan Utara) yang terdiri dari 10 suku telah lebih dulu diangkut oleh bangsa Asyur, kemudian disebar ke berbagai wilayah kebangsaan di daerah kekuasaan Asyur.
Lalu ketika bangsa Romawi menjajah Palestina dan Asia Tengah mulai tahun 63 SM sampai munculnya agama Kristen pada abad 1 Masehi, ketika itu jalan-jalan raya dibangun, sehingga memungkinkan bagi seseorang untuk mencapai seluruh bagian kerajaan ini secara mudah. Orang Israel pun tersebar hampir di semua kota dalam wilayah kekaisaran Romawi sebagai pedagang  dan pada era itu terjadi hubungan dagang yang sangat baik antara dunia Barat (Kerajaan Roma) dan dunia Timur (Kerajaan Tiongkok/China).

Pada masa menjadi bagian dari kekaisaran Roma inilah para pedagang bangsa Ibrani tiba di Maluku bersama mitra dagang kerajaan Roma (para pedagang bangsa China). Salah satu bukti kuat pengembaraan bangsa Israel sampai Maluku adalah pada abad ke-1 Masehi rempah-rempah dari Maluku pernah dijual di Yerusalem. Tepatnya pada tahun 33 M, beberapa orang wanita Yahudi (Maria Magdalena dan teman-temannya) membeli rempah-rempah di pasar Yerusalem untuk mengawetkan jenazah Yesus (Markus 16:1).
Kemungkinan lain orang Israel tiba di Maluku adalah pedagang-pedagang Israel itu datang sendiri ke Maluku setelah mengetahui jalan ke Maluku dari para pedagang bangsa China.
Dalam buku Sejarah Maluku karya Resley (halaman 19) dijelaskan bahwa kata Maluku berasal dari kata “Maloko” yang merupakan sebutan gelar bagi Kalano (kepala daerah) . Nah, kata “Maloko” ini menurut Resley berasal dari bahasa Ibrani. Sebutan bagi raja dalam bahasa Ibrani adalah “Melek” atau “Melekh”. Bentuk yang lebih kuno adalah “Maliki” (EKAMK II hal. 292), sehingga dalam Tambo Dinasti Tang di China (618-906) “Maluku” tercatat sebagai “Miliku” --yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan “Holing” (Kalingga) yang ada di sebelah barat.
Kata lain yang mirip dengan Maloko adalah “Molokh” --yaitu ilah yang disembah Bani Amon. Bentuk Ibrani dari nama ini ialah “Molek”. Dalam kitab suci Perjanjian Lama, Molek umumnya memiliki kata sandang (Imamat 18:21; 20:2-5, 2 Raja-raja 23:10, Yeremia 32:35). Kata “Molokh” pada ayat-ayat tersebut menyiratkan bahwa kata itu boleh jadi merupakan kata umum bagi orang yang memerintah (EKAMK II hal. 93). Dengan demikian, maka gelar Maloko yang dikenakan bagi seorang Kalano adalah berasal dari budaya dan bahasa Ibrani. Dan, dalam bahasa Ibrani, kata Molekh (Moloch) mengandung arti raja. Maloko kemudian disebut Maluku (Molokhus). Dan memang kepulauan Maluku artinya kepulauan raja-raja.
Menurut Resley, kata “Alifuru” yang merupakan sebutan bagi orang yang pertama kali mendiami Maluku bukan berasal dari bahasa Arab (Alif). Sebab jauh hari sebelum pengaruh Arab (Islam) masuk ke Maluku pada pertengahan abad ke-14, sudah ada bangsa yang mendiami Kepulauan Maluku yang penyebarannya dimulai dari Nusa Ina dan Halmahera yang mana disebut oleh antropolog A.H. Keane, F.J.P. Sachese dan O.D. Tauren dengan sebutan suku bangsa “Alfuros”.
Kata Alfuros ini sangatlah tidak mungkin diambil dari kata Alifuru, sekalipun kata ini menunjuk pada pengertian manusia mula-mula. Sebab bila kata Alifuru ini dikaitkan dengan kata Maloko, Baeleu, dan Seniri, serta budaya kepala suku, yaitu Alluf, maka sangatlah tidak cocok.
Kata Alif muncul setelah masuknya bangsa Arab ke Maluku. Tetapi sebelum itu, kata Alfuros ini menunjuk kepada nama suku bangsa yang telah ditemukan oleh para ahli, yaitu “ALUNE” yang ada baik di Nusa Ina (Seram) maupun Halmahera yang memiliki budaya atau sistem pemerintahan “ALLUF” --yaitu kepemimpinan berada di tangan “kepala kaum/kepala suku”. Budaya ini mula-mula diterapkan oleh bangsa “Edom”: yaitu keturunan Esau, saudara Yakub (Israel) anak Ishak, di Maluku disebut mata rumah (kepala kaum), kepala Soa dan kepala suku.
Dalam pengertian bahasa Ibrani, Alluf adalah Panglima, pemimpin (Kamus Singkat Ibrani-Indonesia halaman 11). Juga mengandung pengertian kepala-kepala kaum di Edom yang di kemudian hari disebut “Raja” (Kejadian 36:19, 31)
Pada bagian akhir dari bukunya, Resley mengatakan bahwa mayoritas orang Maluku adalah merupakan keturunan dari Suku Gad, suku Israel yang telah disangka hilang dan tak dapat ditemukan lagi. Inilah satu-satunya suku yang tidak memiliki perwakilan di Israel saat ini. Terbukanya pintu gerbang emas (golden gate) serta terpenuhinya nubuat kedatangan Kristus yang kedua kalinya untuk memerintah dunia dari Yerusalem hanya terpenuhi jika kedua belas suku telah berkumpul di Tanah Zion (Israel), yang mana termasuk di dalamnya adalah Suku Gad, yang pada akhirnya diistilahkan Resley dengan sebutan Yahudi Alfuros.
Orang-orang Yahudi Alfuros (dari Suku Gad), sebagian menyebar ke bagian barat, menyinggahi Pulau Rote dan menetap di Rote bagian timur di suatu daerah yang dinamai Beluba dan di bagian barat daya Thie.
Dengan alur sejarah tersebut, para tokoh adat di Rote selalu menyebut Pulau Seram dan Tidore sebagai tempat asal nenek moyang orang Rote. Para leluhur tersebut datang secara bergelombang. Kisah para leluhur orang Rote ini tidak terlepas dari kisah tiga bersaudara, masing-masing Belu Mau, Sabu Mau, dan Ti Mau.
Belu Mau menetap di Belu setelah menyinggahi Pulau Rote. Di Rote Timur, Belu Mau memberi nama daerah itu ‘Beluba’ sekarang bernama Bilba. Di Beluba (Bilba) pada zaman kolonial Belanda sudah pernah terbentuk satu kerajaan kecil bernama Kerajaan Beluba dengan Rajanya berjulukan ‘Mane Kaiyoe” dari Suku Kaiyoe. Belu Mau kemudian berlayar lagi ke Pulau Timor dan dialah yang menjadi nenek moyang orang Belu sampai sekarang.
Si bungsu, Ti Mau, berlayar ke barat dan menetap di Rote barat daya. Daerah itu kemudian diberi nama Nusak Thie. Sedangkan Sabu Mau meneruskan perjalanannya dan menetap di Pulau Sawu.
Para leluhur menyebut Pulau Rote sebagai Pulau Kale, dengan julukan Nusa Ne do Lino, artinya negeri tenang dan damai. Di masa silam Rote juga dikenal dengan sebutan “Lolo Neo Do Tenu Hatu”. Sebagian yang lain menyebutnya dengan nama “Nes Do Male” atau “Lino Do Nes” yang berarti pulau nan sunyi tak berpenghuni.
Keterkaitan erat antara orang Maluku dan orang Rote juga terungkap dalam sebuah acara bertajuk Melanesian Cultural Festival yang berlangsung di Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 28 Oktober 2015 lalu. Tampil sebagai pembicara pada festival tersebut tiga tokoh yang mewakili tiga disiplin ilmu, yakni arkeolog, ahli linguistik, dan ahli pendekatan genetika.
Dari sisi pendekatan arkeologi bahwa terdapat tiga lapisan migrasi. Pertama, sejak 100.000 ribu tahun lalu, di mana terjadi proses pendudukan dunia ini. Seluruh penduduk dunia ini berasal dari Afrika, sebagaimana yang antara lain ditulis dalam buku Out of Eden, The peopling of the World oleh Stephen Oppenheimer. Manusia modern itu melintasi India, sampai ke gugusan Indonesia, dan tersebar ke Australia dan terus ke Pasifik.
Kemudian sejak 60.000 tahun lalu, terjadi migrasi dari Taiwan ke Asia Tenggara dan Selatan. Gelombang manusia ini dinamai Mongoloid. Penduduk Mongoloid ini dominan terdapat di bagian barat dan tengah Indonesia: Sulawesi, Jawa, Borneo dan Sumatera.
Kedua gelombang migrasi tersebut mempertemukan empat kompleks Ras besar Melanesia, masing-masing Polinesia, Micronesia, Austronesia dan Mongoloid. Penamaan Melanesia karena profil dan struktur manusianya yang hitam dan berambut keriting. Penamaan Polinesia, lantaran kawasan kepulauan yang banyak, dan disebut Oceania oleh sebab pulau-pulau yang kecil.
Benang merah dari pendekatan arkeologi menyebutkan bahwa Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maluku merupakan kawasan Austronesia. Kepulauan Alor di NTT memiliki unsur Melanesia karena hitam dan keriting.
Dari pendekatan linguistik memunculkan benang merah bahwa hanya terdapat dua rumpun bahasa di Indonesia sampai ke Pasifik. Pertama, adalah kelompok bahasa-bahasa di Austronesia dan kelompok bahasa Papua. Tidak ada kategori bahasa-bahasa Melanesia.
Dan dari pendekatan genetik, dengan metode DNA dan Y Cromosom, ditemukan antara lain bahwa masyarakat Sumba, Sabu dan Rote memiliki DNA yang sama dengan orang Aborigin di Australia Barat, Arnhemland.
Atas dasar pendapat tiga pakar tadi, Phil Karel Erari, rohaniawan asal NTT, menyimpulkan bahwa NTT dan Maluku termasuk kawasan Austronesia, terkecuali Kepulauan Alor yang memiliki unsur Budaya Melanesia.

A.   Asal Nama Rote
Lalu bagaimana asal-muasal nama Rote melekat pada pulau nan sunyi dan damai itu? Nama atau sebutan Rote berawal dari kedatangan pedagang-pedagang Portugis dan kegiatan misionaris di Indonesia sejak tahun 1512 hingga 1605 Masehi.
Dalam sebuah kisah digambarkan, satu waktu di awal tahun 1500-an, di sebelah timur laut Pulau Rote muncul kapal-kapal Portugis yang berlabuh. Pada saat itu awak kapal bertemu salah seorang penduduk setempat dan bertanya, “tempat apakah ini?” Dan dengan tidak mengerti apa yang dimaksud awak kapal, orang tersebut menjawab dengan menyebut namanya sendiri, “Rote.” Agaknya sama-sama tidak mengerti, awak kapal Portugis memahami jawaban tersebut sebagai nama pulau.
Bermula dari peristiwa tersebut pulau yang sekarang menjadi satu daerah otonom kabupaten dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu dikenal dengan nama Rote. Pembenaran dari cerita tentang asal mula nama Rote didukung dengan adanya penduduk asli yang terdapat di Rote Timur, yang juga memiliki marga “Rote”. Dalam sebuah arsip pemerintahan Hindia Belanda, Pulau Rote ditulis dengan nama “Rotti” atau “Rottij”.
Sejauh ini belum dapat dipastikan asal-usul sesungguhnya masyarakat dan nama Rote. Membutuhkan satu kajian yang lebih lanjut, mendalam dan komprehensif.
Selain versi tali-temali asal-muasal orang Rote dari Suku Isreal yang hilang sebagaimana tertulis di awal bab ini, lewat penuturan syair yang dibawakan oleh para tetua adat, digambarkan bahwa Pulau Rote yang semula tidak berpenghuni itu kemudian didiami oleh sebuah kelompok suku yang menurut legenda berasal dari tanah atas atau Lain Do Ata (sebelah utara).
Dalam sumber lain dikatakan juga bahwasanya penduduk pertama yang mendiami Pulau Rote adalah berasal dari Ceylon, sekarang dikenal dengan nama Sri Lanka. Hal ini disampaikan berdasarkan fakta tentang kesamaan nama-nama tempat, pola kekerabatan antara orang Rote dan Ceylon, serta cara-cara orang Ceylon dalam hal menyadap lontar untuk memperoleh nira.
Jika benar penduduk pertama yang mendiami Pulau Rote adalah benar mereka yang berasal dari Ceylon, maka kemungkinan awal kedatangan mereka bersamaan dengan dominasi imigran-imigran dari utara. Hal ini bermula ketika Dinasti Chola yang saat itu memperluas daerah kekuasaannya, di mana mereka menganeksasi Ceylon serta pulau-pulau lain di sekitarnya. Dan pada tahun 1025 Masehi mereka menyerbu Kerajaan Sriwijaya di Sumatera lalu Semenanjung Melayu pada tahun 1068 sampai 1069 Masehi. Setelah dominasi tersebut mulailah wilayah Asia Tenggara diserbu oleh imigran-imigran dari utara, di mana India dan Ceylon menjadi sumber pengaruh budaya.

B.    Sistem Sosial Nusak (Kerajaan)
“Nusa Lote, Nusa Fua Funi, Nusa Ndalu Sita”. Sebuah ungkapan kesayangan orang Rote yang hingga kini selalu didengungkan untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran atau tanah asal mereka. Kata “Nusa” berasal dari kata “Nusak”.
Kata “Nusak” memiliki beberapa makna. Nusak dapat bermakna pulau, sehingga orang Rote menyebut Pulau Rote sebagai Nusa Lote dan Pulau Ndao sebagai Nusa Ndao. Nusak juga bisa berarti negeri atau negara.
Di Pulau Rote, kata Nusak merujuk pada wilayah kekuasaan independen yang disebut kerajaan. Dulu, di Rote terdapat 19 kerajaan sehingga orang menyebut wilayah-wilayah itu sebagai Nusak, misalnya dari bagian timur Rote terdapat Nusak Ringgou, Nusak Landu, Nusak Beluba, Nusak Diu, dan seterusnya hingga wilayah kerajaan di paling barat pulau Rote, yakni Nusak Dela.
Selain itu, kata “Nusak” juga merujuk pada daerah di mana raja menetap. Kita mendapati beberapa tempat yang dinamai Nusak Lain, seperti di Termanu dan Ba’a. Tapi juga karena daerah-daerah tersebut berada di tempat ketinggian, misalnya Fe’opopi di Termanu dan Nusak Lain di Ba’a. Pemilihan wilayah ketinggian sebagai tempat tinggal raja karena alasan keamanan, sehingga tidak mudah mendapat serangan musuh.
Tidak hanya itu, di setiap kerajaan terdapat tempat khusus untuk pelaksanaan persidangan atau pengadilan. Tempat itu pun disebut Nusak. Di situlah tempatnya raja dan para anggota dewan menggelar berbagai penyelesaian kasus hukum, yang disebut Dede’a Nusak. Dalam persidangan, biasanya yang hadir adalah raja yang disebut Manek, Fettor dan beberapa perangkat adat lainnya yang berperan dalam diskusi tentang adat-istiadat (hadak). Selain itu, terdapat juga Maneleo. Walaupun tidak memiliki posisi resmi dalam persidangan, namun Maneleo memiliki pengaruh yang sangat diperhitungkan.
Sebagai sistem kemasyarakatan, nusak memang merupakan sebuah daerah hukum yang bersendi pada hubungan daerah, dimana di dalamnya terdiri dari sekumpulan masyarakat seketurunan yang dipimpin oleh Manek (raja) dan seorang Fettor sebagai pendamping.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Rote selain ada pemimpin dan pendamping yang disebut Fettor, terdapat pula simbol-simbol lain yang diberikan kepada individu-individu tertentu sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Hal ini merupakan perwujudan dari upaya untuk membangun dan mengatur kehidupan bermasyarakatnya melalui sebuah sistem hukum-kemasyarakatan yang baik melalui sistem sosial yang terintegrasi. Dikatakan bahwa kesatuan hidup manusia dalam kerangka hubungan sosial menghasilkan suatu kerangka dasar kehidupan yang berkait dengan aspek konsep, perilaku dan wujud nyata dari sebuah tatanan kebersamaan.
 Adalah political institutions, sebuah pranata budaya dalam sebuah masyarakat yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok. Adapun macam-macam peran dan fungsinya antara lain adalah sebagai berikut: Mane Songgo (bagian kerohanian), Mane Dope (hakim), Mane Dae Langgak (mengurusi bagian pertanahan dan pertanian), Mane Lala (penegak hukum bagian persawahan), Langga Mok (penegak hukum dalam bidang pertanian/ ladang dan kebun), Mane Holo (penegak hukum dalam bidang kelautan, hutan, dan tanaman di dalam kampung), Langgak (kepala kampong), Lasin (semacam RT). Di persidangan, semua elemen masyarakat memiliki perwakilan; raja hingga masyarakat awam.
Sistem kemasyarakatan yang dibangun di Rote lewat setiap nusak memberikan sebuah bangunan yang kokoh dalam keselarasan kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut tidak lepas dari konsep kepemimpinan nusak-nusak di Rote, dimana hubungan antara pemimpin (raja) dan rakyat terdapat sebuah komitmen untuk saling menghormati dan menjaga antara keduanya. Dalam sebuah ungkapan adat terdapat sebuah konsep tentang hubungan antara pemimpin dan rakyatnya yang berbunyi “Tungga Manaparenda Dean”, yang memiliki arti keharmonisan dalam kehidupan, di mana pemimpin sebagai penguasa selalu berdiri di depan dan rakyat sebagai pengikutnya di belakang sang pemimpin mengikuti jejak sang pemimpin. Meski demikian masyarakat Rote tetap menjunjung tinggi sebuah demokrasi dan hak asasi. Setiap kesalahan baik dari masyarakat maupun pemimpin tetap dikoreksi dan yang salah tetap akan mendapatkan sebuah sangsi, di mana semua orang di mata hukum adalah sama. Seperti halnya bila seorang raja mendapat mosi tidak percaya oleh rakyatnya, maka ia harus mengundurkan diri. Dalam Nusak Thie misalnya, menurut hukum adat bila seorang Raja dikirimi sejenis material, seperti daging/ kaki seekor kuda, maka sudah barang tentu Raja yang pada saat itu memimpin harus mundur. Hal ini merupakan sebuah simbol ketidakpercayaan rakyat pada Raja tersebut.
Dalam estafet kepemimpinan, konsep pewarisan kerajaan di Rote tidak mengenal istilah putra mahkota, yang ada adalah Ana Manek atau anak raja. Namun anak raja tidak secara otomatis bakal jadi raja. Dalam Nusak di Rote, raja dipilih oleh rakyat berdasarkan kemampuannya, dan bukan ditentukan oleh pewaris selanjutnya sebagaimana yang terjadi dalam konsep putra mahkota. Dalam sebuah sifat sistem pelapisan masyarakat, konsep pemilihan raja oleh masyarakat Rote dikenal dengan istilah open social stratification, adalah suatu sistem di mana setiap warga masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik pada sebuah tahapan lapisan, dan sebaliknya bagi mereka yang dirasa tidak mampu akan turun pada lapisan yang bawah.
Tahun 1605 ekspansi Belanda masuk ke Indonesia yang ditandai dengan direbutnya benteng Portugis di Ambon pada tahun 1605 dan pendirian Batavia di Jakarta di bawah pimpinan J. P. Coen pada tahun 1619. Ini menjadi tonggak awal dari sebuah usaha pemerintahan Belanda yang telah menduduki sebagian besar wilayah Indonesia untuk memperluas daerah kekuasaannya, tidak terkecuali dengan Rote. Keberadaan pemerintahan Belanda di Rote mempengaruhi tatanan masyarakat yang ada sebelumnya. Atas inisiatif pemerintahan Belanda kala itu dibentuklah kerajaan-kerajaan mini di Rote berdasarkan Nusak-nusak yang ada.
Kebijakan pemerintah Belanda dengan politik divide et impera yang kemudian mengubah tatanan kehidupan masyarakat Rote dari kesatuan adat menjadi kerajaan, merupakan sebuah siasat dari upaya pemerintahan Belanda dalam hal untuk mempermudah penguasaan dan pengaturan atas daerah jajahan ataupun target jajahan. Nusak yang sebelumnya merupakan sebuah kesatuan yang dibagi berdasarkan masyarakat seketurunan beralih menjadi kesatuan wilayah (teritorial).
Tabel 1.1 Nusak di Rote Sebelum Sistem Swapraja Dihapus (1958)
Nusak
Raja Terakhir
Ibukota
Tala’E
M. Saudale
Seda
Kika
Th. Malilak
Sotihu
Bokai
M. Dope
Nusakdale
Lelenuk
J.S. Daik
KakaEk
Diu
S. Ch. Manafe
O’ebau
Bilba/Beluba
M. Lenggu
O’ebuka
O’epao
J. Sjioen
Batu’idu
Ringgou
N. Daud
E’ahun
Landu
J.M.W. Johanis
Daeurendale
Korbafo
Ch.P. Manubulu
Sua/Ulafulihaa
Termanu
E.J.I Amalo
Feopopi
Ba’a
I.D. Pandie
Menggelama
Lelain
S.J. Besie
O’esamboka
Thie
J.A. Messakh
O’ebafok
Dengka
Ch. H. Tungga
O’elaba
O’enale
H.H. Lenggu
Boamon
Dela
A.   Ndoen
Nemberala
Loleh
S.P.J. Dillak
Danolain
Ndao
F. Baoen
Lendeiki

Pembentukan wilayah teritorial ini merupakan titik balik perubahan tatanan hidup masyarakat Rote menuju sebuah tatanan hidup yang lebih terbuka. Tatanan hidup yang sebelumnya bersifat tribal menjadi sebuah adat normatif yang semakin bervariasi dan bersifat kompleks. Kehidupan masyarakat yang bersifat tribal tersebut, yaitu masyarakat yang terbatas, kecil dan tertutup, berubah menjadi masyarakat etnik terbuka.
Masyarakat Rote tidak hanya terbagi berdasarkan Nusak yang ada melainkan juga terbagi oleh berbagai macam suku yang terdapat dalam setiap Nusak, masing-masing dari Nusak tersebut memiliki klasifikasi tersendiri mengenai pembagian suku-sukunya. Dalam Nusak Thie misalkan, yang terdiri dari 25 suku, di mana dari ke-25 suku tersebut terbagi lagi atas dua kelompok suku besar yaitu Suku Sabarai dan Suku Teratu.
Adapun pembagian kelompok-kelompok masyarakat di Rote selain pembagian berdasarkan Nusak dan suku yang ada, terdapat pula pembagian kelompok masyarakat yang disebut dengan istilah Leo dan Teidalek. Leo adalah sekelompok masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga batih yang lahir dari satu keturunan tertentu, sedangkan Teidalek atau juga yang dikenal dengan istilah Uma Isi adalah orang yang lahir dari satu kandungan.
 Jauh sebelum masuknya agama Kristen di Rote, masyarakat Rote mengenal sebuah kepercayaan tradisional yang disebut Halaik atau Dinitiu. Baik Halaik maupun Dinitiu merupakan kepercayaan yang bersifat animisme dan dinamisme, yaitu sebuah kepercayaan tentang keberadaan penguasa tertinggi alam semesta yang disebut Lamatuak atau Lamatuan (Yang Maha Agung/ Kuasa).
 Seiring dengan masuknya pengaruh agama Kristen di Rote, secara perlahan pemeluk kepercayaan ini mulai berkurang. Hal ini dikarenakan masyarakat Rote yang ada pada masa itu, secara bertahap mulai memeluk agama Kristen yang masuk bersamaan dengan ekspansi pemerintahan Belanda. Kepesatan perkembangan agama Kristen di Rote tidak dapat dipisahkan dengan sosok Raja FoE Mbura, yang memiliki peran penting dalam membantu penyebaran agam Kristen di Rote. FoE Mbura adalah anak dari Raja Thie yaitu Mbura Messa. Mbura Messa adalah Raja pertama yang memeluk agama Kristen, yang setelah dibaptis pada tahun 1726 berubah nama Yeremias Messakh. Pada tahun 1729 Raja FoE Mbura dibantu oleh orang Bugis-Makassar, membuat sebuah perahu yang digunakan untuk berlayar ke Batavia dengan misi untuk mempelajari agama Kristen dan Pendidikan.

C.   Strata Sosial Orang Rote
Dalam budaya Rote, terdapat dua strata sosial dalam sistem kemasyarakatan, yakni kelas bangsawan dan masyarakat biasa. Kelas bangsawan termasuk raja dan fettor beserta keluarganya yang disebut “Mane ana”. Sedangkan kelas masyarakat biasa disebut “Laus”.
Strata sosial dalam masyarakat adalah fakta yang tidak perlu dipertanyakan. Strata tersebut terbentuk secara alamiah dan lahiriah. Apapun situasinya, miskin atau kaya, orang yang lahir dari keturunan bangsawan akan menyandang status bangsawan. Pun demikian orang yang lahir dari keturunan orang biasa atau kaum awam. Kaum bangsawan biasanya identik dengan orang yang punya kekuasaan dan kekayaan. Namun jika ada keturunan bangsawan yang miskin, maka bisa saja hal yang sama terjadi pada kaum awam. Kaum awam yang kaya tetap sebagai orang biasa atau kaum awam walaupun, misalnya, mereka membuat acara pernikahan yang bagus dan pesta yang besar, atau bahkan perilakunya seperti bangsawan. Tak seorang pun yang dari keturunan kaum awam dapat mengangkat dirinya menjadi bangsawan. Untuk kaum bangsawan, terdapat gradasi status dalam hal garis keturunan. Walaupun berlaku dalam hitungan abad, pada keturunan tertentu mereka bisa tidak lagi menjadi bangsawan.
Kedua strata ini (bangsawan dan awam) saling melengkapi, seperti sebuah anak panah yang tidak lengkap tanpa busur. Karena itu, orang Rote memiliki ungkapan "Tanek lamakokoun ela ai hunun dei" (pedang yang tajam tidak akan dicabut untuk perang tanpa pegangannya).
Dalam kehidupan masyarakat Rote, orang kaya memiliki prestise tersendiri. Inilah yang membuat orang Rote biasanya juga memperhitungkan orang kaya sebagai sebuah status. Dalam perkembangan berikutnya, orang Rote mengenal tiga strata, yakni kaum bangsawan, kaum awam, dan orang kaya. Orang kaya di sini biasanya berasal dari kaum awam dan bisa berlaku seperti bangsawan. Orang kaya dianggap sebagai orang-orang yang dikaruniai sesuatu. Kekayaan dan keberuntungan (ua nalek) merupakan hadiah dari Tuhan yang tidak dapat dipisahkan dari nasib atau kekuatan seseorang. Orang kaya diperlakukan seperti bangsawan sepanjang kekayaan mereka masih ada. Jika mereka bisa membayar belis yang mahal maka mereka bisa menikahi perempuan dari kaum bangsawan atau keturunan raja. Pendapat mereka juga dihargai dalam diskusi atau pengadilan. Kehadiran mereka di pesta sangat diharapkan. Namun, orang kaya tidak bisa membentuk sebuah strata. Kehidupan mereka sebagai orang kaya cenderung menjerumuskan mereka ke dalam perilaku boros. Walaupun mereka bisa menikah dengan anak perempuan dari keturunan bangsawan, karena mampu membayar belis yang tinggi, namun mereka tidak berhak meminta belis yang tinggi bilamana kelak anak perempuan mereka menikah. Gara-gara perilaku yang boros, mereka kembali menjadi orang biasa tatkala kehabisan harta. Dalam hal ini, orang kaya memang memiliki status sosial tapi lebih cocok disebut “prestise”.
Orang Rote memaknai prestise/status berdasarkan relasi, seperti kelas atau golongan, keturunan, kekayaan, politik, pengetahuan, dan kemampuan verbal. Faktor-faktor inilah yang membuat mereka tidak mudah terpisahkan satu sama lain.
Status sangat penting bagi kaum bangsawan daripada kaum awam. Di tiap Nusak, terdapat dua suku bangsawan, yakni Manek dan keturunannya dan Fetor beserta keturunannya. Suku dari keturunan raja menempati status tertinggi. Dengan status ini, keturunan raja dibedakan dengan keturunan kaum bangsawan lainnya. Seorang bangsawan dalam sukunya bisa diketahui dari garis keturunannya. Seorang kaum awam dikenal dari sukunya. Yang membedakan kaum bangsawan dan kaum awam adalah prestise dan harga diri anak perempuan dari kaum bangsawan. Di sinilah harga belis menjadi penting di Rote. Belis menunjukkan peringkat atau prestise dari garis keturunan dan suku itu.
Berbicara mengenai strata sosial di Rote, maka tidak terlepas dari satu strata lain yang disebut hamba atau budak (ata). Namun dalam tradisi Rote, strata ini tidak fundamental. Istilah hamba, yakni ata, sangat erat dengan istilah hata yang berarti harta. Ini menunjukkan bahwa para hamba waktu itu masuk dalam kategori yang tidak mendapat pembagian harta. Orang Rote mengenal hamba sebagai status yang paling rendah. Orang suruhan yang bekerja keras tapi tidak mendapat pembagian. Kemungkinan besar, hal inilah yang menginspirasi orang Rote hingga melahirkan ungkapan “tungga-sangga leo ata, deifo mu’a –minu leo manek” (mencari nafkah seperti hamba baru makan minum seperti raja).  (*)






Komentar