Pemimpin Ideal Rote Ndao yang Peduli Maneleo

* Bab 3


Ba’a, Juni 2011, Alun-alun Kantor Bupati Rote Rote Ndao. Tonggak penting menandai perjalanan pemerintahan Kabupaten Rote Ndao di bawah kepemimpinan Bupati Drs. Leonard Haning MM. Pagi itu warga Rote Ndao menyaksikan pengukuhan Leonard (Lens) Haning menjadi Maneleo Ina Huk atau Maneleo Kehormatan Kabupaten Rote Ndao. Pengukuhan ini dilakukan oleh Sesepuh Tokoh Adat Rote Ndao, Soleman Zacharias.
Pengukuhan bupati sebagai maneleo ina huk ini dilakukan kepada Lens Haning dalam kapasitasnya sebagai Bupati Rote Ndao yang adalah pembina masyarakat adat di Kabupaten Rote Ndao. Pengukuhan ini juga demi memenuhi syarat agar Bupati Rote Ndao dapat mengukuhkan Badan Pengurus Forum Komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya Kabupaten Rote Ndao dan kecamatan se-Kabupaten Rote Ndao pada momen yang bersamaan (Majalah Online Rote-Ndao).
Lens Haning cukup berkepentingan atas pengukuhan dirinya sebagai Maneleo Ina Huk. Karena, dengan posisi tersebut, dalam kapasitasnya sebagai Bupati Rote Ndao, Lens Haning dapat mendorong dan mengajak keterlibatan aktif para maneleo dalam mendukung kegiatan pelayanan kemasyarakatan. Berkat kolaborasi dengan budaya lokal, dia berharap akan semakin menguatkan tekad untuk membawa Rote lebih baik lagi. Demi untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kesejahteraan bersama maka perlu dimulai dengan memperkuat simpul-simpul tali soliditas dan penyatuan komitmen di antara anak leo (metrotimor.com).


A.   Pemimpin Informal Maneleo
Dalam berbagai literatur yang ada (termasuk beberapa buku karya pemerhati masalah kebudayaan orang Rote-Ndao, Paul A. Haning), tidak terdapat istilah Maneleo Ina Huk. Tampaknya istilah Maneleo Ina Huk sengaja diciptakan sebagai upaya merapatkan organisasi para maneleo yang didirikan secara informal dan berperan secara fungsional.
Dalam artikelnya yang berjudul Budaya Politik Pembangunan Masyarakat Rote Ndao, Peran Maneleo Dalam Upaya Percepatan Pembangunan SDM di Rote Ndao yang dimuat blog Kompasiana, Jodian A. Suki menjelaskan bahwa Maneleo adalah sebutan kehormatan yang dapat diandalkan di tengah-tengah kelompok masyarakat Rote Ndao.
Kelebihan Maneleo, mengutip pendapat D.S.Ch. Manafe dalam tulisannya yang berjudul “Organisasi Sosial Ekonomi Orang Rote” pada Rote Ndao Pos Edisi 32/Thn I/Oktober 2002), bahwa maneleo merupakan orang yang dituakan dan dianggap mampu memimpin serta mengatur kepentingan para anggota ataupun rumpun marga/famili yang ada dalam Leo tersebut. Seorang maneleo bertanggung-jawab untuk mengatur kewajiban para anggota yang berkaitan dengan siklus kehidupan (kelahiran, perkawinan dan kematian) dan setiap persoalan yang dihadapi anggota Leo. Seorang Maneleo mempunyai kemampuan dan kewajiban untuk mendorong dan mempengaruhi warga masyarakat yang tergabung dalam organisasi yang dipimpinnya untuk melakukan sesuatu dalam bidang pembangunan. Sikap pengabdian seorang Maneleo secara total mesti diberikan kepada anggotanya. Maneleo adalah pemimpin informal yang berada di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin informal yang melayani penyelesaian persoalan ataupun kebutuhan orang lain dengan kasih. Karena itu, seorang Maneleo tidak boleh membatasi pelayanannya sebatas pada duit masuk kantong namun juga bagaimana menyejahterakan anggota Leo dan warga masyarakat yang lain.
Memperhatikan pendapat Manafe tersebut, sekalipun jabatan maneleo dianggap sekadar jabatan informal, tapi peranannya amat diperhitungkan di samping jabatan formal lembaga kemasyarakatan seperti ketua RT dan Ketua RW. Dan Bupati Lens Haning berusaha aktif melibatkan tokoh agama dan para maneleo dalam pengawasan terhadap kinerja para aparatur dan pejabat pemerintahan di jajaran Pemerintah Kabupaten Rota Ndao.
Orang Rote memang telah lama mengenal keberadaan maneleo. Terutama berkaitan dengan sistem kemasyarakatan orang Rote yang disebut dengan istilah Nusak. Sebagai sistem kemasyarakatan, nusak merupakan sebuah daerah hukum yang bersendi pada hubungan daerah, di mana di dalamnya terdiri dari sekumpulan warga masyarakat satu garis keturunan yang dipimpin oleh Manek (raja) dan seorang Fettor sebagai pendamping.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Rote, selain ada pemimpin dan pendamping yang disebut Fettor, terdapat pula simbol-simbol lain yang diberikan kepada individu-individu tertentu sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Terdapat misalkan Langgak (kepala kampung) dan Lasin (semacam ketua RT).
Hal ini merupakan perwujudan dari upaya untuk membangun dan mengatur kehidupan bermasyarakat melalui sebuah sistem kemasyarakatan adat yang baik dengan sistem sosial yang terintegrasi.

B.    Maneleo dalam Ketata-negaraan Masyarakat Rote
Selain unsur-unsur pemerintahan adat yang meliputi maneleo dan segenap perangkat di bawahnya, terdapat pula lembaga-lembaga lainnya dalam kehidupan tata negara tradisional masyarakat Rote, seperti mane dombe/dope (raja pisau [harfiah]: jaksa adat), mana ke atau mana nggero fura (hakim adat), mane dae langgak (kepala pertanahan), mane raraa/lalaa (pengurus kompleks persawahan), mane mok (penegak hukum dalam bidang perkebunan, perladangan), mana horo/mana hopu papadak (penegak hukum dalam bidang pengairan, kelautan, kehutanan, dan tanaman umur panjang), mana helo (pujangga/ahli silsilah/penyair), dan mana kila oe (pengatur pembagian air).
Dalam keseharian masyarakat Rote, bila terjadi sengketa atau kasus berbau kriminal, penuntutan perkara dilakukan oleh mane dombe. Pejabat ini disebut raja pisau karena tuntutannya bagaikan pisau tajam yang menikam. Dari tuntutan hukum mane dombe, selanjutnya pemberian vonis atau hukuman berada di tangan hakim adat yang disebut mana ke atau mana nggero fura. Arti ke atau nggero adalah memenggal dan arti fura ialah menyayat menjadi lurus atau rata. Setelah dipotong atau dipenggal maka harus disayat menjadi rata atau lurus sehingga tampak indah. Dalam hal ini, walaupun tuntutan jaksa sangat menusuk perasaan, namun diharapkan hakim bertindak atau berlaku adil sehingga mendatangkan kepuasan kepada warga yang bersengketa atau tersangkut perkara kriminal. Ada lagi Mana horo  yang bertugas menentukan sanksi bagi oknum yang melanggar ketentuan yang berhubungan dengan bidang tugasnya.     
Kemudian, dalam tata kehidupan sistem pertanian, orang Rote mengenal Mane dae langgak yang biasa bertugas menentukan jadwal penanaman pada saat musim hujan. Tidak hanya sebatas itu, Mane dae langgak juga dapat tampil sebagai saksi ahli dalam sengketa pertanahan. Ia lebih mengetahui historis setiap jengkal tanah dalam nusak.
Masih dalam tata kehidupan sistem pertanian, dikenal pula Mane raraa/lalaa yang mengemban tugas mengawasi tanaman padi dalam kompleks persawahan, menentukan sanksi bagi pemilik hewan yang merusak tanaman padi, menentukan tinggi pagar di kompleks persawahan, dan lain-lain. Lalu ada Mane mok yang diberi kewenangan menentukan tinggi pagar kebun/ladang dan sawah yang tidak terdapat dalam kompleks persawahan. Juga menentukan sanksi bagi pemilik hewan yang merusak tanaman di sawah/ladang dan kebun. Ditambah lagi unsur Mana kila oe yang diberi tugas mengurus pendistribusian air kepada pemilik sawah. Jaminannya berupa padi pada saat panen.
Dalam hal prosesi kematian, ada Mana helo yang biasanya menghadiri kematian orang-orang tua dan orang-orang terhormat untuk mengisahkan silsilah dari mendiang dalam gaya bernyanyi (helo). Juga mengucapkan syair-syair yang berhubungan dengan kematian serta syair-syair yang bernuansa hiburan bagi keluarga mendiang. 
Kendati terkesan main tunjuk sosok yang menempati atau mengemban tugas-tugas tersebut, sesungguhnya sistem demokrasi (lebih tepatnya musyawarah) juga telah dikenal dan telah dipraktikan oleh orang Rote Ndao sejak dulu kala. Biasanya untuk mengambil suatu keputusan dilakukan dalam musyawarah guna mencapai mufakat bulat. Peserta musyawarah terdiri dari para pejabat atau fungsionaris adat dan tetua adat (lasi hadak).
Di Rote Ndao, suku-suku/klen (leo) tertentu pun berfungsi sebagai dewan legislatif yang tugasnya adalah mengangkat raja dan menurunkan raja bilamana melakukan sesuatu kesalahan yang mendasar dalam menjalankan tugasnya. Seperti di Nusak Ba’a, sebagai dewan legislatif adalah suku-suku Ene, Modok, Nggi dan Felama. Lalu di Nusak Thie, terdapat empat suku yang berfungsi sebagai dewan legislatif, yaitu Todefeo, Nalefeo, Mesafeo, dan Ndanafeo. Gabungan keempat suku ini kemudian disebut “Leo Boru Anan”.
Di Thie, bila seorang raja melakukan suatu kesalahan dalam jabatannya sehingga tidak lagi didukung oleh rakyat maka Leo Boru Anan menyembelih seekor kuda jantan. Lalu Leo Boru Anan mengambil kaki depan sebelah kanan dan dikeluarkan kukunya. Kaki kuda yang tak lagi berkuku itu lantas dikirim kepada raja yang dipandang tidak lagi didukung oleh rakyatnya. Tata cara ini disebut “ndara fangga” (kuku kuda).
Setelah sinyal kaki kuda tak berkuku itu diterima oleh raja, maka sang raja sadar bahwa dia tidak dipercayai dan tidak didukung lagi oleh rakyat. Kemudian, dengan legowo sang raja mengundurkan diri lantas diganti oleh yang lain. Tindakan itu adalah semacam mosi tidak percaya.
Secara filosofis kuku kuda (ndara fangga) dianggap sebagai alas kaki yang kukuh bagi kuda untuk berjalan dan menginjak. Bila telah dikeluarkan kukunya maka si kuda tidak berdaya lagi. Begitu pula bagi seorang penguasa, dia tidak kuat lagi berjalan (maksudnya tidak kuat lagi menjalankan kekuasaan) dan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menginjak (maksudnya tidak mampu lagi menghukum) karena telah dicopot otoritasnya.
Di satu pihak Leo Boru Anan tersebut sebagai pengontrol (oposan), sedang di lain pihak juga sebagai pelindung kekuasaan dan/atau mitra pemerintah. Dalam bahasa adat dikatakan “Boru Anan mana holu kadera ein” (Boru Anan yang memeluk kaki kursi). Selama Leo Boru Anan mendukung kepemimpinan raja, maka raja tidak perlu merasa khawatir akan kedudukannya.
Pemahaman atas ketata-negaraan orang Rote Ndao sudah demikian tinggi sejak masa silam. Selain pembagian/pemisahan kekuasaan, orang Rote Ndao juga sudah menerapkan sistem otonomi.  Kerajaan Thie misalkan, terdiri dari 26 suku/klen; mereka masing masing mendiami sebuah wilayah/desa tradisional (nggorok/ngolok/korok). Dari ke-26 klen itu, sebuah klen (disebut Leo Landu), tinggal di sebuah pulau kecil (Pulau Landu), di sebelah selatan Pulau Rote. Pada masa pemerintahan Raja Thie (Saku Nara: 1565-1600 M), suku tersebut diberi hak otonomi. Sedang ke-25 klen yang lainnya itu terpayungi dalam sebuah hukum adat, yaitu Hukum Adat Masyarakat Thie. Jadi dari segi pemerintahan, Leo Landu termasuk nusak/kerajaan Thie, tapi ia tidak terpayungi dalam hukum adat nusak/kerajaan Thie; ia mengurus dirinya sendiri. Kepala Suku Leo Landu, disebut Mane Landu (Raja Landu). Selain daerah otonomi Pulau Landu, menurut DR. J. J. Fox, sejak tahun 1720-an Pulau Ndao (Kerajaan Ndao) telah diperlakukan sebagai salah satu daerah kekuasaan politik yang semi otonom dari orang Rote.
Pada masa lalu, terminologi “otonomi” belum diketahui atau dimengerti oleh warga masyarakat Rote Ndao. Namun praktik ketata-negaan tersebut mengindikasikan bahwa mereka telah menerapkan sistem otonomi melampaui zaman mereka.
Khusus bidang eksekutif atau pemerintahan berlaku strata pada umumnya seperti pada susunan berikut (hierarki turun), mulai dari manek (raja), fetor (wakil raja), maneleo/manesio (kepala suku), langgak (kepala kampung), lasin (sejenis RT), lalu rau inggu (rakyat). Namun pada tahun 1940-an, pernah ditambah dua bidang, sehingga lapisannya menjadi berikut: manek, fetor, sio leik (kepala suku koordinator), maneleo/manesio, langga ina (kepala kampung koordinator), langgak, lasin, dan rau inggu (rakyat). Maneleo/manesio adalah satu figur dengan multifungsi.

C.   Gaya Kepemimpinan Negeri Tiilangga
Kosa kata “Tiilangga” tidak lagi asing di telinga warga masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), bahkan Indonesia. Terlebih lagi bagi warga masyarakat di wilayah terselatan kepulauan Indonesia, Rote-Ndao. Kata tersebut tidak hanya selalu ada dalam benak orang Rote, namun sudah meresap hingga alam bawah sadar mereka. Tidak mengherankan bila mereka akan sangat bangga setiap kali mengucapkannya. Dengan menyebut kata “Tiilangga”, pikiran kita langsung mengarah pada topi tradisional orang Rote. Topi itu unik (tidak hanya) dari segi bentuknya tapi juga makna filosofisnya.
Walaupun topi ini sudah terkenal, tapi sejauh ini belum ada sumber lisan atau tertulis yang benar-benar mengulas tentang asal nama itu. Yang kita tahu, sekarang semua orang sudah menyebutnya Tiilangga. Dengan berbagai dialek bahasa Rote, sebutan terhadap topi ini pun berbeda-beda. Selain sebutan yang ada sekarang, ada yang menyebutnya “Solangga” (Lole), “Solo” (Dengka-Dela-Oenale), dan “Siilaka” (Bilba-Ringgou). Sementara dialek-dialek di bagian tengah Rote hanya menghilangkan ucapan salah satu bunyi (huruf) /g/. Karena memang dialek-dialek tersebut tidak memiliki gugus konsonan itu. Jika diteliti secara baik, maka akan didapati perbedaan antara sebutan “Tiilangga” dan sebutan-sebutan lainnya.
Tidak semua sebutan mengindikasikan atau menggambarkan bentuk yang sama seperti Tiilangga yang dimaksud, terlebih lagi maknanya. Sekadar contoh, dialek Lole yang menyebut “Solangga” ternyata tidak berarti Tiilangga, melainkan berarti topi pada umumnya. Sebab itu, untuk mengindikasikan Tiilangga yang dimaksud, orang Lole menyebutnya “Solangga doo lindik” yang berarti topi yang terbuat dari daun tuak dan berdinding. Dilihat dari sudut pandang tersebut, kita bisa bilang bahwa Lole tidak punya Tiilangga. Demikian pula halnya dengan sebutan-sebutan pada dialek-dialek lain di Rote.
Dari segi bentuk atau model pun ada perbedaan dari satu daerah ke daerah lainnya di Rote. Sekitar tahun 1980-an hingga awal 1990-an, model anyaman dengan daun lontar disayat halus (doo lutu) adalah “gaya” Thie. Sedangkan sayatan daun lontar yang agak lebar (doo sela) adalah “gaya” Dengka. Sementara itu, di bagian timur Rote, orang menggunakan topi model lain. Topi itu sejenis Tiilangga namun punya antena yang lebih pendek dan lekukan yang berbeda pula. Dan di Lole, orang menyebutnya solangga dae duluk yang artinya topi orang Rote Timur. Berbeda dengan daerah lain di bagian tengah hingga timur Rote, bagian barat seperti Dela dan Oenale memproduksi topi jenis lain yang sama sekali berbeda dengan Tiilangga. Topi tersebut tidak memiliki antena dan bulat melingkar, mirip topi koboi. Ini pun sebagai bukti bahwa Dela-Oenale tidak punya Tiilangga. Sementara daerah lain agak kabur dalam keterampilan menganyam topi. Namun perbedaan itu tidak perlu diperdebatkan, apalagi dipermasalahkan.
Kembali ke jenis Tiilangga yang hingga kini digunakan secara luas. Makna di balik Tiilangga pun belum benar-benar dikaji. Dari berbagai sumber, terutama sumber lisan, bahwa Tiilangga bukan hanya menggambarkan kehidupan sosial masyarakat tapi juga pola kepemimpinan menurut budaya Rote. Tiilangga sendiri terbuat dari daun pohon lontar. Pohon lontar adalah pohon kehidupan orang Rote.
Topi itu kemudian tidak sekadar dipakai sebagai penutup kepala, tapi sebagai mahkota. Mahkota kehidupan. Bagian yang paling unik dan selalu menjadi pusat perhatian adalah antena. Antena ini konon sebagai simbol penerima informasi dari berbagai arah. Kemudian, lekukan-lekukan topi yang unik bukan untuk memperindah model topi itu, melainkan menciptakan ruang atau lapisan ruang di bagian dalam topi. Ruang yang berlapis itu bisa digunakan untuk menyimpan sesuatu, termasuk menyimpan informasi apa pun dan dalam bentuk apa saja. Artinya, ruang di dalam topi melengkapi fungsi antena.
Antena dibuat dengan melekuk daun lontar dari bawah ke atas hingga terbentuk seperti sebuah tiang. Jumlah lekukan pun tidak asal-asalan. Pada umumnya, antena memiliki sembilan lekukan. Lekukan pertama di bagian dasar agak besar dan secara bertahap mengecil ke puncaknya. Angka “9” merupakan angka “keramat” dalam budaya Rote. Orang Rote menganggap segala sesuatu menjadi sempurna dengan “sembilan” (sio).
Kesembilan lekukan pada antena Tiilangga menggambarkan sembilan strata sosial pada masyarakat Rote. Lekukan terkecil paling atas menggambarkan rakyat (kekuasaan terkecil) dan lekukan terbesar pada dasar antena menggambarkan kekuasaan terbesar (raja). Sementara lekukan lain sebagai simbol strata lain, seperti fetor, tamukun, langgak, manedope, maneleo, daelanggak, dan manemok.
Ini semua memiliki makna yang menarik bila dikaji dari berbagai sudut pandang. Antena yang tegak berdiri melambangkan tegaknya jiwa kepemimpinan orang Rote. Namun sebagaimana filosofi orang Rote bahwa sekuat apapun seorang pemimpin, tidak akan bertahan tanpa dukungan yang baik (leo mae palani manatati batu o ela nggeo dea dei).
Bagian Tiilangga berbentuk bundar dan melebar namun memiliki “dinding” melukiskan dukungan yang luas dengan kekuatan pertahanan yang kuat terhadap sebuah kebersamaan. Hal ini searah dengan filosofi bentuk pulau Rote, yakni bagian timur sebagai kepala, bagian barat sebagai ekor, bagian utara dan selatan sebagai sayap pertahanan (misalnya nusak Thie disebut tada muri do lene kona).
Lalu, apa implikasinya buat kita? Setiap orang pasti memiliki sudut pandang tersendiri dalam memaknai Tiilangga. Hal yang paling menakjubkan adalah Tiilangga digunakan sebagai atap Kantor Bupati Rote-Ndao. Sebuah kebanggaan tersendiri. Multi-pride. Kita telah bangga dengan Tiilangga, lalu kita dibuat tambah bangga dengan adanya Kantor Bupati yang menggunakan Tiilangga sebagai “topi”nya. Selain itu, area perkantoran Kabupaten Rote-Ndao diberi nama “Bumi Tiilangga”.
Rote-Ndao tidak hanya secara geografis paling selatan dari kepulauan Indonesia, tapi sejarah mencatatnya sebagai wilayah persebaran terakhir dari kebudayaan Melayu di Nusantara. Artinya, Rote-Ndao menjadi sebuah “negeri” yang patut diperhitungkan. Semua karena “Tiilangga”.
Bupati Rote Ndao Lens Haning telah memahami benar filosofi Bumi Tiilangga. Bahkan, dia memantik rasa bangga orang Rote akan Tiilangga. Ya, Tiilangga yang menggambarkan simbol-simbol strata sosial-kemasyarakatan, seperti fetor, tamukun, langgak, manedope, maneleo, daelanggak, dan manemok.
Dengan semangat Tiiilangga pula, pada tanggal 21 Mei 2016, Bupati Rote Ndao Lens Haning mengukuhkan Maneleo Koordinator Suku Sabalae. Sebagai Bupati, Lens membutuhkan keterlibatan kepala suku atau maneleo dalam mendukung kegiatan pelayanan masyarakat. Kolaborasi itu diharapkan mampu membawa kesejahteraan masyarakat Pulau Rote Ndao.
Selama ini, kata Lens, Koordinator Suku Sabalae telah menunjukkan adanya semangat kebersamaan untuk bersatu mewujudkan kesejahteraan. “Hal baik yang biasa dilakukan turun-temurun patut dilestarikan untuk menambah kekayaan budaya daerah dan bangsa. Tidak boleh lupa perhatikan pendidikan generasi muda di suku ini,” pesan Lens Haning kepada Maneleo Koordinator Suku Sabalae.

D.   Gaya Kepemimpinan Demokratis
Lens Haning telah memberi contoh bagaimana memperlakukan para maneleo dalam bingkai kepemimpinannya di era otonomi daerah. Dia memberdayakan para maneleo untuk ikut aktif mengawal jalannya pemerintahan formal. Langkah Lens Haning memberi contoh itu cukup menarik di zaman kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Langkah yang tetap selaras dengan model kepemimpinan demokratis yang digadang-gadang cocok dengan kearifan lokal –tak terkecuali kearifan lokal orang Rote.
Ya, kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Ada delapan teori kepemimpinan, salah satu adalah Gaya Kepemimpinan Demokratis.
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin yang demokratis biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi (masyarakat). Pemimpin menempatkan dirinya sebagai pengontrol, pengatur dan pengawas dari organisasi tersebut dengan tidak menghalangi hak-hak bawahannya untuk berpendapat. Dia juga berfungsi sebagai penghubung antar-departemen dalam suatu organisasi. Organisasi yang dibuat dengan teori demokratis ini pun memiliki suatu kelebihan, di mana setiap tugas dan wewenang dari pengurus organisasi tersebut diatur sedemikian rupa, sehingga jelas bagian-bagian tugas dari masing-masing pengurus, yang mana nantinya tidak akan terjadi campur tangan antar-bagian dalam organisasi tersebut. Pembagian tugas ini juga sangat efisien dan efektif bila diterapkan dalam suatu organisasi di mana tujuan utama dari organisasi adalah tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.
Gaya kepemimpinan demokratis berciri: Wewenang pimpinan tidak mutlak, yaitu keputusan pimpinan bisa dipengaruhi oleh masukan dari bawahan, bukan sebagai bentuk interverensi, dalam hal ini lebih ditekankan dari asas musyawarah. Kemudian pimpinan melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan. Tidak semua keputusan bergantung pada pimpinan semata. Bawahan memiliki wewenang untuk membuat keputusan, namun masih berada dalam batas kewajaran.
Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan. Setiap keputusan yang diambil tidak hanya berasal dari pimpinan mutlak, namun telah dimusyawarahkan terlebih dahulu bersama bawahannya.
Kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan. Komunikasi berlangsung timbal balik. Komunikasi antara pimpinan dan bawahan berlangsung secara baik, tanpa adanya rasa takut atau canggung karena jabatan.
Pengawasan dilakukan secara wajar. Pemimpin tidak melakukan pengawasan kegiatan secara over atau over protective, sehingga tidak ada tekanan pada bawahan saat melakukan kegiatannya, bawahan pun menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan atasannya.
Prakarsa datang dari pimpinan maupun bawahan. Pemrakarsa dari suatu kegiatan yang bermanfaat bagi organisasi (masyarakat) tersebut tidak hanya berasal dari pimpinan, bawahan pun diberikan hak yang seluas-luasnya untuk memprakarsai sesuatu yang berdampak positif bagi organisasi tersebut. Banyak kesempatan bagi bawahan untuk mengeluarkan pendapat. Bawahan bebas untuk berpendapat sesuai dengan asas demokrasi.
Tugas diberikan bersifat permintaan. Tugas yang diberikan pimpinan bisa berasal dari permintaan bawahan yang tentunya berdampak positif bagi organisasi/masyarakat tersebut.
Pujian dan kritik seimbang. Pimpinan dan bawahan tidak selalu saling memuji atau mengkritik, kedua-duanya berjalan seimbang sesuai dengan kebutuhan organisasi tersebut.
Pimpinan mendorong prestasi bawahan. Kesetiaan bawahan secara wajar. Bawahan tidak bersifat sebagai budak yang selalu manut pada atasannya, tapi bawahan tetap memiliki rasa hormat yang tinggi pada atasannya.
Memperhatikan perasaan bawahan. Pemimpin bersikap mengayomi kepada bawahan, sehingga pemimpin mengerti apa masalah yang ada pada bawahan. Dengan begitu pemimpin bisa mengambil kebijakan dengan segera.
Suasana saling percaya, menghormati dan menghargai. Suasana yang selalu harmonis dalam lingkungan organisasi. Tanggung jawab dipikul bersama. Kelebihan yang paling utama, yaitu saling bekerja sama dalam mencapai tujuan organisasi.
Selain model kepemimpinan yang demokratis, Rote Ndao ke depan juga membutuhkan pemimpin yang baik dan bijaksana. Kepemimpinan memang sesuatu yang dapat dipelajari sehingga dapat dilaksanakan spontan dan otomatis sepanjang waktu. Para pemimpin, misalnya, dapat segera membuat beberapa keputusan penting mengenai sebuah masalah, sementara orang lain masih dalam tahap menganalisis masalah.
Banyak orang bertanya-tanya bagaimana caranya para pemimpin bisa mengetahui kiat membuat keputusan terbaik, dalam kondisi di bawah tekanan? Proses pengambilan keputusan terkadang didasari oleh pengalaman panjang menghadapi beragam situasi yang berbeda-beda. Selain itu, proses ini juga dipengaruhi tipe kepribadian, serta kegagalan yang tidak terprediksi.
Proses ini adalah kemampuan memahami dan mengenali dampak dan akibat dari sebuah situasi, baik yang terjadi pertama kali maupun berulang. Para pemimpin yang sukses memang memiliki naluri mengambil keputusan. Karena mereka telah berulang kali melakukannya, mereka menjadi kebal terhadap tekanan dan amat intuitif dalam proses pengambilan keputusan yang paling penting dan strategis.
Inilah mengapa para eksekutif senior sering bilang, mereka mengandalkan “firasat” dalam mengambil keputusan sulit dalam waktu cepat. Untuk menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana haruslah mampu melakukan sejumlah langkah saban hari;
·         Membuat orang lain nyaman untuk terus terang. Kita sering melihat pemimpin yang terasa “seram” karena titel dan kekuasaan mereka. Nah, pemimpin yang sukses mampu mengalihkan perhatian terhadap diri mereka, dan mendorong orang lain untuk menyuarakan pendapat. Mereka jagoan dalam membuat orang lain nyaman untuk terus terang dan berbagi pandangan. Para pemimpin sukses justru mampu menciptakan suasana yang ramah dan akrab.
·         Mengambil keputusan. Pemimpin sukses adalah pengambil keputusan yang ahli. Mereka bisa melakukannya dengan memfasilitasi dialog, agar para kolega dapat meraih kesimpulan strategis, atau mereka bisa melakukannya sendiri. Mereka fokus “membuat sesuatu terwujud” sepanjang waktu — sebuah pengambilan keputusan yang menyuburkan kemajuan organisasi/masyarakat. Para pemimpin sukses tidak membuang-buang waktu pada masalah yang mengganggu momentum. Mereka tahu caranya mengambil 30 keputusan dalam 30 menit.
·         Komunikasikan target. Pemimpin sukses juga ahli komunikasi. Dan ini sungguh terasa ketika mereka sedang berbicara mengenai “target kerja”. Mereka mengingatkan kolega mereka tentang nilai-nilai organisasi dan target — memastikan visi mereka benar-benar dapat dipahami dan diterjemahkan dalam langkah nyata. Pemimpin yang baik adalah yang sering mengomunikasikan harapan dia kepada bawahannya. Dengan begitu, bawahan jadi bisa fokus dan tetap berjalan sesuai jalur. Prosedur sederhana yang dia lakukan — yakni menyampaikan harapan — terbukti meningkatkan kinerja bawahan dan membantu bawahan mengetahui siapa saja di antara bawahan yang tidak mampu memenuhi standar.
·         Menantang orang untuk berpikir.  Pemimpin sukses memahami kemampuan serta kelemahan kolega mereka. Mereka menantang kolega untuk berpikir, dan membantu mereka untuk lebih mengembangkan kemampuan. Jenis pemimpin seperti ini amat piawai dalam mendorong perkembangan pegawai, sehingga orang tidak mudah terlena serta terus tumbuh. Jika Anda tidak berpikir, Anda berarti tidak belajar hal yang baru. Jika Anda tidak belajar, berarti Anda tidak berkembang — dan lama-lama Anda akan jadi tidak penting di pekerjaan.
·         Dapat diandalkan.  Pemimpin sukses membiarkan dirinya diatur oleh kolega. Perhatikan: diatur, bukan dikendalikan. Pemimpin membuktikan diri dapat diandalkan sehingga para bawahan jadi yakin bahwa mereka akan dibantu ketika dalam kesulitan. Dengan membimbing dan mendukung pegawai, sikap dapat diandalkan juga menunjukkan bahwa bos tidak cuma peduli dengan kariernya, tapi juga karier pegawai.
·         Memberi contoh.  Memberi contoh terdengar gampang, tapi kenyataannya banyak pemimpin yang gagal pada hal yang satu ini. Nah, pemimpin sukses memberi dan melaksanakan contoh yang mereka berikan. Mereka tahu bahwa mereka diamati oleh bawahan. Sebab itu, pemimpin harus berusaha menjaga satunya kata dengan perbuatan.
·         Mengukur dan menghargai kinerja. Pemimpin hebat selalu punya “denyut” terhadap kinerja bisnis dan orang-orang yang bekerja keras. Mereka tidak hanya memperhatikan angka-angka, tapi juga secara aktif menghargai kerja keras orang —apa pun hasil akhirnya. Pemimpin sukses tidak pernah sebelah mata memandang pegawai yang bekerja keras “karena memang sudah seharusnya”.
·         Senantiasa memberi masukan. Pemimpin sukses selalu memberi masukan kepada bawahan dan juga mau menerima masukan. Caranya? Dengan menciptakan suasana kerja yang penuh rasa saling percaya. Mereka sendiri sudah memahami betapa pentingnya masukan, sejak awal karier mereka dulu.
·         Bongkar-pasang tim dengan benar. Para pemimpin hebat tahu benar kemampuan dan keahlian bawahan. Sehingga, mereka sangat cermat dalam menentukan “formasi pemain”. Mereka mengetahui pegawai mana yang harus ditugaskan untuk mengatasi situasi tertentu.
·         Bertanya dan mencari nasihat. Pemimpin sukses melemparkan pertanyaan dan mencari nasihat setiap waktu. Dari luar, mereka sepertinya tahu segalanya. Tetapi dari dalam, mereka sebenarnya haus pengetahuan dan selalu mencari cara mempelajari hal baru karena mereka ingin meningkatkan kemampuan mereka dengan nasihat orang lain.
·         Mengatasi masalah, tanpa menunda. Pemimpin sukses segera mengatasi masalah langsung ke akarnya. Mereka tidak menunda-nunda masalah. Kalau ada masalah, mereka juga tidak kabur. Mereka tahu bahwa orang bisa maju bila melakukan hal yang orang lain tidak suka.
·         Energi dan perilaku positif. Pemimpin sukses menciptakan budaya kerja yang positif sehingga para bawahan termotivasi bekerja. Mereka disukai dan dihargai. Mereka tidak mau momentum terganggu oleh kegagalan.
·         Menjadi guru. Banyak pegawai mengeluh, bos mereka tidak mau lagi mengajari mereka. Pemimpin sukses tidak pernah berhenti mengajari bawahannya, sebab mereka sendiri juga haus pengetahuan. Pemimpin sukses akan meluangkan waktu untuk membimbing kolega mereka serta mendukung pegawai yang memang terbukti mampu untuk maju.
·         Memperkokoh hubungan. Pemimpin yang sukses tidak berfokus mempertahankan “kerajaannya” — justru sebaliknya, mereka mengembangkan wilayah dengan memperkokoh hubungan yang saling menguntungkan. Pemimpin sukses berbagi hasil kesuksesan untuk menciptakan momentum dengan mereka yang ada di sekeliling.
·         Menikmati tanggung jawab. Pemimpin sukses memang menyukai jadi pemimpin. Bukan karena kekuasaan yang didapat, tapi karena dampak bermanfaat yang bisa mereka ciptakan. Bila Anda sudah meraih posisi senior, ini berarti Anda harus melayani orang lain dan Anda baru bisa melakukannya bila benar-benar menyukai pekerjaan. Pada akhirnya, pemimpin sukses akan mampu mempertahankan keberhasilan langkah-langkah tadi dapat membantu mereka meningkatkan nilai organisasi, dan di saat yang bersamaan mengurangi risiko.
Model kepemimpinan demokratis dengan sosok pemimpin (formal) yang baik dan bijaksana diharapkan akan mampu menjalin kerja sama dengan para pemimpin informal yang potensial semacam maneleo di Rote Ndao. Pemimpin formal yang bijak akan bijak pula memberdayakan potensi dan kearifan lokal yang menghampar di hadapannya. Dan prinsip-prinsip demokrasi dengan merangkul pemimpin informal itu telah diterapkan oleh Lens Haning.
Namun, masa jabatan Lens Haning sebagai Bupati Rote Ndao tidaklah abadi. Tahun 2018 Lens harus mengakhiri pengabdiannya. Dia tidak bisa lagi mencalonkan kembali, karena sudah dua periode memangku jabatan Bupati Rote Ndao.  Para maneleo tidak ingin model kepemimpinan demokrasi plus peran para maneleo terputus bila Lens turun tahta.
Sebab itulah, mendekati masa akhir tugas (jabatan) Bupati Rote-Ndao, pada Juni 2016 lalu, para maneleo yang ada di Kabupaten Rote ndao berbondong-bondong dan bersama-sama melamar (memohon) Paulina Haning-Bullu (istri Lens Haning) untuk dibakal-calonkan menjadi penerus Lens Haning. Ini sudah fakta. Sebagai pemimpin informal, para maneleo secara sadar telah memasuki ranah politik praktis. Tentu saja tidak ada pasal dan ayat aturan yang melarang mereka.
Menanggapi aspirasi dan permohonan para maneleo tersebut, Paulina Haning-Bullu berujar:
“Menurut saya, sah-sah saja karena mereka punya hak asasi, punya aspirasi, saya tidak membatasi mereka. Saya bilang ke mereka, ‘Sesungguhnya, sebenarnya, saya cukup capek mendampingi Bapak kurang lebih sampai 10 tahun, namun kalau itu keinginan kalian, saya akan tampung dan pertimbangkan. Tapi, kita harus saling mendoakan kita sehat, kita kuat, kita satu hati, satu pikiran untuk bekerja. Jika kita punya keinginan seperti ini maka kita harus kerja’.
Kerja di sini, dalam arti, kalau kita punya keinginan seperti ini (menjadikan saya sebagai pengganti Bapak Lens), kita harus menginformasikannya dari mulut ke mulut sejak awal atau sejak sekarang hingga pada saatnya nanti. Jika hanya saya yang berusaha, tidak mungkin bisa saya lakukan, saya tidak mampu berjalan sendiri. Namun bila ada dukungan dari masyarakat, maka pasti kita akan mampu dan kita bisa berhasil sesuai keinginan masyarakat itu sendiri.
Di lain sisi, sebenarnya saya agak berat untuk menyanggupi permintaan mereka, karena saya tahu kemampuan saya. Saya sudah mengakui ke masyarakat bahwa saya tidak semampu Bapak Lens. Namun saya juga berpikir, saya membaca Al Kitab yang berisi ‘Tuhan memilih orang yang tidak punya kemampuan, tetapi Tuhan memilih orang yang punya akal budi dan punya hati nurani untuk melayani rakyat’. Itu yang saya jadikan motivasi dan merupakan prinsip. Jadi kemampuan itu akan ditambahkan pada saat kita membutuhkan, di saat itu Tuhan ada.
Oleh sebab itu, pada saat masyarakat menginginkan saya, saya bilang kepada mereka, ‘Jika kalian datang melamar saya untuk memposisikan saya sebagai pengganti Bapak Lens, mari kita satu hati, satu pikir, satu kata, satu kerja, satu tujuan untuk membangun Rote. Harus mempunyai dukungan yang kuat, karena untuk menjadi seorang Bupati bukan hanya berdasarkan kepintaran, kemampuan dan kekayaan, tapi juga dilihat bagaimana aspirasi masyarakat itu sendiri. Jika mereka benar-benar menginginkan saya, maka dukunglah, bekerjalah.”
(*)



Komentar