Prolog
Kualitas pendidikan di
Provinsi Kalimantan Tengah masih rendah. Selain presentase lembaga pendidikan
yang masih sedikit dibanding dengan provinsi lain, tingkat kelulusannya juga
masih rendah. Ditambah lagi jumlah tenaga pengajar yang relatif sedikit.
Di beberapa daerah
pedalaman misalkan, hingga saat ini keberadaan tenaga pengajar masih sangat
sedikit. Hampir setiap sekolah di daerah kekurangan guru. Selain kekurangan
guru, persoalan lain di daerah pedalaman ialah kurang disiplin guru. Akibatnya,
penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar (pendidikan) terganggu dan menjadi
kendala tersendiri buat pengembangan anak didik di sana.
Padahal, Undang-Undang
(UU) No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah mengamanatkan
para penyelenggara pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensinya sehingga memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, dan terampil. Namun bukanlah langkah mudah untuk mewujudkan
amanat tersebut di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Secara geografis
Kalimantan Tengah terdiri dari hutan, sungai dan danau. Sungai merupakan urat
nadi transportasi masyarakat yang berada di daerah pedalaman dan hulu-hulu
sungai. Sedangkan prasarana jalan darat masih belum terlalu maksimal pembangunannya.
Akibat belum
terbukanya jalan darat secara maskimal, pelayanan di bidang pendidikan
mengalami keterlambatan dan hambatan. Padahal pelayanan pendidikan dasar bagi
anak-anak di daerah terpencil/terisolasi harus menjadi prioritas. Penyuluhan
juga harus gencar diberikan kepada warga masyarakat di tepi pantai dan daerah
pedalaman untuk memberikan nilai-nilai bahwa pendidikan itu penting bagi masa
depan anak-anak mereka. Keterisolasian dan keterpencilan merupakan masalah khas
bagi pelayanan pendidikan di Kalimantan Tengah.
Untuk kota-kota besar
seperti Sampit, Palangkaraya, Kuala Pembuang, atau Pangkalan Bun, kendala alam
tidaklah terlalu terasa. Sementara pada daerah-daerah pelosok dan pedalaman
kendala alam sangat terasa. Informasi sulit masuk karena jaringan internet relatif
terbatas.
Peningkatan mutu
pendidikan tidak bisa terlepas dari sarana, bukan mengemukakan alasan skeptis.
Tapi, minimal dengan adanya sarana yang memadai maka proses belajar-mengajar
akan lebih mudah. Kita tidak bisa melakukan perbaikan secara instan.
Kemudian jika kita
masuk ke area perkebunan sawit, masih banyak anak-anak yang enggan melanjutkan sekolah,
dengan berbagai alasan. Walau perusahaan perusahaan sawit tersebut menyediakan
fasilitas untuk belajar (sekolah dan bis sekolah).
Siraman rohani yang
notabene akan menjadi pondasi pembentukan karakter dan akhlak pun masih sangat
minim di area sawit. Banyak sekali keterbatasan sarana ( listrik misalnya yang
memang dibatasi) dan tenaga pengajar.
Sekolah-sekolah yang
ada di pelosok Kalimantan Tengah telah jelas menggambarkan keadaan yang serba
terbatas, mulai dari buku-buku
pembelajaran yang minim sampai kesenjangan antara Satuan Pendidikan (Satdik)
di perkotaan dan di pelosok seperti hitam dan putih.
Sejauh ini Kalimantan
Tengah menghadapi banyak persoalan di sektor pendidikan. Secara garis besar
mengerucut pada empat persoalan pokok:
·
Guru. Persoalan guru meliputi tingkat
kesejahteraan yang belum memadai, kualitas yang belum standar, dan persebaran
yang tidak merata.
·
Pembiayaan, beasiswa prestasi yang
bersumber dari APBN dan APBD provinsi sangat terbatas jumlahnya, dan belum bisa
menjangkau semua siswa berprestasi.
·
Sarana penunjang, bahan ajar (buku,
media pembelajaran/teknologi informasi dan alat laboratorium) belum optimal.
·
Proses belajar-mengajar, belum semua satuan
pendidikan memenuhi delapan Standar Nasional Pendidikan (Standar Isi, SKL,
Proses, Sarpras, Tenaga Pendidik dan Kependidikan, Pembiayaan, Pengelolaan, dan
Penilaian).
Dukungan dari berbagi
pihak jelas sangat dibutuhkan, guna meningkatkan mutu pendidikan di Kalimantan
Tengah ini. Terutama peran-serta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, lembaga
swadaya masyarakat, pelaku industri yang banyak tersebar di Kalimantan Tengah
yang bersedia menggelontorkan dananya buat perkembangan pendidikan warga
masyarakat di sekitarnya, sampai dorongan orang tua yang terus-menerus agar anak
didik bersemangat melanjutkan sekolah sampai jenjang tertinggi.
Memantik
Kepedulian Merajut Kebersamaan
Jauh sebelum saya
menjadi Bupati Seruyan, benak saya sudah terpanggil untuk memberi solusi atas
persoalan sektor pendidikan di Kalteng. Ketika melihat jumlah sekolah dan guru
yang amat terbatas, saya membuka sekolah swasta SMA Miftahussalam dan Sekolah
Menengah Perkebunan di Pembuang Hulu. Bahkan, saya sempat menjadi kepala
sekolah merangkap guru di sana. Saya pikir, untuk mengembangkan sekolah itu
tidak bisa dilakukan seorang diri karena akan menghadapi keterbatasan dana, relasi
dan komunikasi.
Lalu saya teringat
pada nilai-nilai 5K yang merupakan isi kongkret Karakter/Identitas Uluh
Kalteng, yaitu Kritis, Konstruktif,
Kebersamaan, Konstitusional, dan Kesantunan. Saya tidak berpanjang-panjang mengkaji
kelima K yang berangkat dari kearifan lokal yang menjiwai orang Dayak tersebut.
Saya cukup membahas K yang yang ketiga, yakni Kebersamaan. Kebersamaan sebagai
salah satu solusi mengatasi persoalan pendidikan di Kalteng.
Saya memahami Kebersamaan
ini dari berbagai sudut. Dari sudut cara kerja, Kebersamaan jelas menolak
kultus individu, otoritarianisme, metode pengambilan keputusan semata-mata dari
atas (top-down), tanpa melakukan
penelitian dan mendengar masukan dari orang lain. Kebersamaan itu lebih mengutamakan
kekuatan kolektif, mampu dan pandai mendengar, dan menjadi murid dulu sebelum tampil
sebagai guru. Dengan kata lain, Kebersamaan berarti menerapkan metode
demokratis yang di masyarakat Dayak masa silam dikenal dengan istilah pumpung.
Kendati lebih
memperlihatkan kekuatan kolektif, Kebersamaan itu tidak berarti menenggelamkan potensi
individu. Cerminan terpusat dari kebersamaan ini dalam budaya Kaharingan
(Dayak) seperti tertuang dalam ungkapan “hatumuei
lingu nalata” (saling mengembarai pikiran dan perasaan satu dan yang lain).
Dari sudut langgam
kerja atau hidup, kebersamaan berarti menyatukan diri, bersandar dan percaya
pada massa. Penyatuan dan penyandaran serta kepercayaan pada massa begini dilakukan
untuk bersama-sama mewujudkan agar bumi menjadi tempat hidup anak manusia
secara manusiawi dengan kualitas yang tak henti meningkat. Melalui penyatuan,
penyandaran dan kepercayaan pada massa maka pilihan politik ditetapkan. Gaya
hidup dan kerja pun tidak menjadi gaya atau lagak seorang raja, lagak seorang
“tuan” atau “bossy” (bergaya majikan). Kebersamaan juga melahirkan gaya kerja
yang tak kenal susah payah, dan mencoba selalu berdiri paling depan dalam
kesulitan, menikmati hasil paling belakang. Dengan kebersamaan ini, orang-orang
berkarakter mendorong satu yang lain untuk berlomba-lomba menjadi anak manusia yang manusiawi.
Kemudian dari sudut esensi
atau filsafat budaya, kebersamaan mengandung pengertian “satu untuk semua,
semua untuk satu” --di mana terdapat hubungan saling topang dan rasuk antara
individu dan kolektif (masyarakat adat) seperti terdapat dahulu di bétang atau huma haï (rumah besar). Kebersamaan mengandung pengertian keadilan,
kesetaraan dan kejujuran. Tanpa keadilan, kesetaraan dan kejujuran tidak akan
ada kebersamaan. Karena itu dalam masyarakat Dayak dahoeloe, dusta dinilai sebagai aib besar. Kebersamaan secara
politik adalah metode pengelolaan kehidupan bermasyarakat.
Dalam upaya
mengembangkan dan memajukan dunia pendidikan tidaklah dapat dilepaskan dari
prinsip dan nilai Kebersamaan. Kebersamaan pemerintah daerah
(kabupaten/kota/provinsi), lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi,
pelaku usaha/industri, dan orang tua peserta didik. Kebersamaan itu untuk satu
komitmen menerapkan sistem pendidikan yang lebih efektif dan efisien.
Terwujudnya sumber
daya insani yang berkualitas di Kalteng memerlukan suatu sistem kerja sama para
pemangku kepentingan sektor pendidikan yang mampu meningkatkan kemampuan
profesional guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dengan begitu pendidikan
dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat dan memberikan hasil peserta
didik yang bermutu.
Di tengah keterbatasan
anggaran pemerintah kabupaten, saya berusaha merangkul pelaku usaha (swasta)
untuk ikut aktif dalam upaya meningkatkan kualitas tenaga didik dan kekurangan
fasilitas sekolah. Di tahun 2015-2016 saya berusaha menggandeng Medco
Foundation. Bersama dengan Medco Agro,
Medco Foundation mendesain sebuah program peningkatan mutu pendidikan yang
disesuaikan dengan kondisi di wilayah Kabupaten Seruyan. Untuk mengembangkan
kemampuan para guru Sekolah Dasar di Seruyan Tengah, berbagai kegiatan dalam
program ini akan diorientasikan pada pengembangan soft skill dan kompetensi pembelajaran.
Program yang
disepakati pada tanggal 27 Januari 2015 ini dilakukan secara berkesinambungan
selama tahun 2015-2016. Hal ini agar sasaran-sararan yang diinginkan, yaitu
peningkatan kapasitas dan kompetensi para guru Sekolah Dasar di sana, dapat
dicapai. Fasilitator dari berbagai kalangan, yang mempunyai keahlian dalam
bidang pendidikan, turut serta mendukung program ini. Pemerintah Kabupaten
Seruyan langsung menurunkan aparatur Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga.
Di tengah keterbatasan
dana pemerintah (daerah), program ini sangat membantu pembangunan bidang
pendidikan di Kabupaten Seruyan yang merupakan kabupaten pemekaran dari
Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Kotawaringin Timur. Program peningkatan mutu pendidikan hasil
kerja sama pemerintah kabupaten dengan pelaku usaha swasta ini sangat
bermanfaat. Saya berharap program ini bisa menjadi pelopor kegiatan corporate social responbility
perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan yang banyak beroperasi di
Kalimantan Tengah umumnya dan Kabupaten Seruyan khususnya.
Selain kegiatan
pengembangan kapasitas dan kompetensi tenaga pendidik, Pemkab seruyan dan Medco Foundation juga mendorong program
penyediaan akses baca bagi siswa dan warga masyarakat. Bentuknya adalah distribusi majalah dinding
di sekolah-sekolah dan penyediaan perpustakaan bergerak bernama “Gerai Pustaka
Keliling” yang ditujukan untuk masyarakat.
Kegiatan penyediaan akses baca ini diharapkan akan membantu meningkatkan
minat baca siswa dan masyarakat, yang
pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan masyarakat di Kabupaten Seruyan.
Untuk memperjelas dan
keseriusan komitmen para pelaku usaha (swasta dan BUMN) dalam partisipasi
pembangunan pendidikan, pemerintah daerah bisa saja merumuskan peraturan daerah
dan sejenisnya untuk mengikat komitmen tersebut. Sekadar contoh, komitmen
tersebut dapat dijadikan semacam prasyarat bagi perusahaan-perusahaan yang akan
menanamkan modalnya di daerah ini.
Belajar dari
Pemerintah Jepang yang sukses membangun sektor pendidikan, bahwa pembangunan bidang
pendidikan harus dilakukan secara serius, berkelanjutan, dan terus-menerus
disempurnakan. Dengan adanya peraturan yang mengikat, program kerja sama pemkab
dan swasta itu dapat berlangsung secara kontinyu (terus menerus) dan
disempurnakan. Bila di masa lalu, misalkan, banyak perusahaan pemegang HPH yang
ditarik dana reboisasi namun tak jelas penggunaannya, maka ke depan, pemerintah
(kabupaten/kota dan provinsi) bisa memberlakukan dana sejenis terhadap
perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Kalteng dengan peruntukan partisipasi
membangun sumber daya insani.
Tidak hanya dengan
swasta tentunya kerja sama pembangunan sumber daya insani. Bisa pula dengan merangkul
badan usaha milik negara (BUMN), perguruan tinggi, lembaga profesi, dan orang
tua peserta didik. Sejauh ini organisasi profesi seperti Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan (LPMP) telah bersedia memberikan bantuan buat melatih dan
meningkatkan kemampuan dan keahlian profesi guru –terutama untuk guru-guru di
wilayah terpencil dan perbatasan.
Menarik juga
dipikirkan program “Guru Gratis” yang mewajibkan para lulusan sarjana
pendidikan mengajar di daerah-daerah pedalaman. Kalau toh program ini sulit
diwujudkan, saya berpikir untuk mengambil langkah kebijakan menyekolahkan
anak-anak muda dari wilayah pedalaman dan terpencil sampai kuliah kependidikan
dengan biaya pemerintah daerah. Selesai kuliah, mereka langsung diterjunkan
membangun kampung halaman. Dengan begitu tak ada persoalan sebagaimana yang
lazim dihadapi oleh tenaga-tenaga siap pakai yang didatangkan dari wilayah
Jawa. Banyak tenaga kependidikan dan kesehatan yang dikirim pemerintah pusat merasa tidak nyaman mengabdi di daerah
pedalaman. Mereka sekadar menunggu menghabiskan waktu wajib kerja, setelah itu
balik lagi ke daerah asal.
Dengan “mencetak”
tenaga-tenaga kependidikan yang putera asli daerah, ke depan Kalimantan tidak
kesulitan mengembangkan identitas diri masyarakat Kalimantan sesuai pribadi
asli suku bangsa Dayak. Nilai-nilai kearifan lokal Dayak cukup banyak yang
dapat dijadikan pondasi untuk membentuk manusia-manusia Kalimantan yang bermartabat,
elok, religius, kuat, amanah, dan harmonis (Berkah). Arti kata, reformasi
pendidikan Kalimantan haruslah berangkat dari nilai-nilai lokal.
Kita dapat belajar
dari bangsa Jepang di era Restorasi Meiji (1868-1912). Pada masa itu, reformasi
pendidikan merupakan salah satu agenda utama modernisasi negara Jepang. Sebagai
awal modernisasi, Jepang membentuk beberapa misi khusus yang dikirim ke luar
negeri. Misi-misi ini mengunjungi beberapa negara di Eropa, Amerika Serikat,
dan juga Asia. Para pemimpin Jepang ini yang kebanyakan dari golongan samurai,
pergi mempelajari peradaban Barat termasuk sistem pendidikannya.
Melalui reformasi,
pendidikan di Jepang lebih fokus untuk pembentukan identitas diri masyarakat
Jepang sesuai pribadi asli bangsa Jepang. Mulai 1990, reformasi pendidikan
menghasilkan kebijakan yang mendukung pengembangan life long learning.
Tak dimungkiri lagi
reformasi pendidikan di Jepang merupakan salah satu kunci keberhasilan negara
ini baik di bidang ekonomi, teknologi, dan industri. Negara jiran kita,
Malaysia, di era PM Mahathir Muhammad melalui kebijakan Look to East pada 1980-an secara terang-terangan mengaku
mengadaptasi model sistem pendidikan Jepang. Di era 1980-an, Malaysia banyak
mengirimkan mahasiswanya belajar di Indonesia. Dan, ironisnya, kini banyak
mahasiswa Indonesia yang harus belajar ke Malaysia karena negeri jiran ini
mengalami kemajuan pesat di sektor pendidikan.
Kembali ke pendidikan
di Kalimantan, dalam hal sarana-prasarana, saya berusaha mendorong peran serta
perusahaan-perusahaan operator telekomunikasi membuka jaringan komunkasi
seluler dengan membangun BTS (Base
Tranceiver Stations) di
wilayah-wilayah yang selama ini tak bersinyal. Perusahaan telekomunikasi
seperti PT Telkomsel tentu tidak dapat berjalan sendiri. Sebab, BTS membutuhkan
aliran listrik dan penjagaan keamaan dari berbagai gangguan. Kalau toh PLN
belum mampu memasok listrik sampai pedalaman, sekarang sudah banyak listrik
tenaga surya yang mudah dipasang di mana saja. Soal keamanan, ada jejaring
TNI-Polri yang punya ujung tombak sampai garis depan.
Dengan jejaring
komunikasi yang cukup, penyelenggaraan pendidikan dapat berlangsung lancar.
Guru-guru yang ada tetap bisa terus mengasah diri tanpa harus datang jauh-jauh
ke ibukota provinsi atau ibukota kabupaten hanya untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan.
Jelas langkah
memanfaatkan jejaring komunikasi untuk memajukan pendidikan tidak gampang.
Butuh perubahan pola pikir (mindset)
para pengambil kebijakan. Selain itu, kesejahteraan guru di pedalaman
betul-betul mesti terjamin. Jangan sampai mereka digelayuti beban pikiran mencari
kerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. dengan income dan tingkat kesejahteraan yang
memadai, profesi guru tidak akan lagi berada pilihan akhir anak-anak muda yang
mau masuk kuliah. Kita bisa mencontohkan pemerintah daerah lain yang telah
memberikan insentif khusus kepada guru agar mereka nyaman dan optimal bekerja.
Epilog
Pada dasarnya pendidikan
adalah suatu upaya memberdayakan potensi yang dimiliki manusia untuk menjadi
khalifah di muka bumi guna mewujudkan pengabdian kepada Allah SWT. Manusia yang
berpendidikan dan berpengetahuan diharapkan mampu mengemban amanah sebagai
kalifah, bukan manusia yang membuat kerusakan di muka bumi.
Dengan potensi yang
dimiliki, manusia hanya perlu melakukan stimulasi untuk membangkitkan apa yang
telah diberikan Allah SWT. Sebagai makhluk sosial, manusia hanya dapat
mengembangkan potensinya secara baik bilamana dibantu orang lain. Di sinilah
perlunya mengedepankan prinsip kejamaahan dan campur tangan negara (masyarakat)
dalam proses pendidikan, dalam proses memaksimalkan potensi diri manusia.
Pasal 31 UUD RI 1945 menegaskan
bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu ditegaskan pula bahwa negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Kewajiban pemerintah
dan pemerintah daerah juga ditegaskan dalam pasal 11 UU Nomor 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas, yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib pula menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan
bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Kemudian dengan adanya
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan pendidikan
merupakan salah satu bidang yang turut diotonomikan. Dengan model otonomi,
setiap daerah Kabupaten/Kota dan provinsi, mengelola sistem pendidikan secara
lebih mandiri.
Dalam hemat saya,
landasan yuridis untuk mengelola sistem pendidikan yang kini masuk ranah
otonomi sudah lebih dari cukup. Tinggal bagaimana kita memaksimalkan potensi (masyarakat)
yang ada di daerah. Misalkan ketika kita melihat perkebunan begitu banyak di
wilayah Kalteng, terbersit di benak saya untuk mendirikan SMK Perkebunan. Dalam
jalinan kerja sama saling menguntungkan dengan perusahaan perkebunan, kita akan
mendapatkan tenaga-tenaga lokal yang terampil di sektor perkebunan. Ke depan,
kita bisa membuka SMK pertambangan. Bahkan, kalau memungkinkan membuka
pendidikan tinggi level diploma yang lulusannya benar-benar dibutuhkan. Saya
teringat bagaimana BUMN PT Industri Kereta Api (Inka) bersedia mengucurkan dana
untuk mendirikan Akademi Teknologi Kereta Api untuk mencetak tenaga-tenaga
terampil di bidang perkereta-apian.
Dengan terus serius
membangun kemitraan dan membuka jejaring dengan pelaku-pelaku usaha di Kalteng,
kita pun tidak akan kesulitan memperoleh tenaga-tenaga terampil yang memang
berasal dari wilayah terdekat. Tenaga-tenaga yang tidak dihinggapi gegar
budaya.
Kiranya sedikit
gagasan sederhana dalam tulisan ini dapat menjadi kontribusi untuk memperkaya
ide-ide dari segenap peserta seminar nasional bertema “Reformulasi Pendidikan
Untuk Kalteng Berkah dan Berkemajuan. Dengan begitu saya berharap dari forum
ini akan lahir rumusan yang tepat buat pengembangan dan peningkatan kualitas
pendidikan di Kalteng. (*)
Komentar
Posting Komentar