Membangun Masa Depan Rote Ndao Berbasis Kearifan Lokal

* Bab 6


Rote Ndao adalah kepulauan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terletak paling selatan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak tahun 2002, kepulauan ini berstatus kabupaten, dan diberi nama Kabupaten Rote Ndao dengan Ibukota di Ba’a, luas wilayah sekitar 1.731 km², dan jumlah penduduk pada tahun 2013 sebanyak 127.911 jiwa.
Nama “Rote Ndao” berasal dari nama dua pulau yang merupakan bagian dari wilayah ini, masing-masing Pulau Rote dan Pulau Ndao. Sebenarnya, ada 96 pulau di wilayah kabupaten ini, namun hanya enam pulau yang berpenghuni, masing-masing Pulau Rote, Pulau Usu, Pulau Nuse, Pulau Ndao, Pulau Landu, dan Pulau Do’o.
Kabupaten Rote Ndao terkenal dengan penduduknya, orang-orang Rote, yang akrab dengan wisata pantai, musik Sasando, dan topi adat Ti’ilangga. Mata pencaharian penduduknya cukup beragam, mulai dari berkebun, beternak, sampai nelayan lepas pantai. Namun perekonomian warga masyarakatnya lebih berpusat pada pohon lontar dan pembuatan gula nira, yang selama ini mampu memberikan keuntungan ekonomis lebih besar daripada apa yang diperoleh suku-suku lain di sekitarnya yang pertaniannya sudah mencapai titik jenuh.

Di wilayah Pulau Rote, prasarana fisik sudah lumayan tercukupi. Lain hal dengan keadaan di Pulau Ndao. Sejauh ini sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik di Pulau Ndao masih relatif terbatas. Kemudian kondisi lingkungan kurang terpelihara, sehingga kurang memenuhi persyaratan kesehatan, masih ada warga masyarakat yang belum memiliki WC. Di sini air bersih dan sanitasi masih jauh dari mencukupi, rata-rata air yang dikonsumsi itu masih terasa payau. Lalu keadaan perumahan nelayan umumnya masih jauh dari layak huni, keterampilan yang dimiliki penduduk pun terbatas pada pekerjaan  menangkap ikan, menenun, dan membuat kerajinan perhiasan. Pendapatan penduduk Ndao relatif rendah karena teknologi yang dimiliki tidak mendukung penangkapan ikan dalam skala besar. Kurangnya pengetahuan tentang pengolahan hasil tangkap menjadikan hasil tangkapan dipasarkan dalam keadaan mentah. Kebutuhan hidup sehari-hari seperti beras dan sayur-sayur masih diangkut dari pulau besar karena tidak dibudi-dayakan sendiri dengan alasan kondisi tanah yang didominasi pasir. Tidak adanya wadah buat menampung hasil tangkapan untuk diolah mengakibatkan hasil tangkapan nelayan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Sesungguhnya Ndao memiliki alam dan laut yang indah tapi belum optimal dimanfaatkan karena minimnya pengetahuan pengelolaan wisata bahari. Padahal, dekat dengan Nemberala dan Boa yang telah menjadi tempat kunjungan wisatawan domestik bahkan internasional.
Kendati kenyataan masyarakat Ndao masih relatif memprihatinkan namun sebenarnya wilayah ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Wilayah ini memiliki laut dan pantai yang indah, hasil laut yang melimpah, dan hampir semua wanita Ndao terampil menenun. Selain perikanan, orang Ndao juga punya kemampuan membuat perhiasan dari emas dan perak. Dan Desa Ndao/Oli merupakan ibukota Kecamatan Ndao.
Sebagai wilayah yang berada di tapal batas NKRI, sebenarnya tidaklah terlalu sulit akses menuju ke wilayah Kabupaten Rote Ndao. Sejauh ini, transportasi menuju Rote dapat menggunakan kapal laut atau feri dari Pelabuhan Teluk Kupang. Terdapat kapal cepat, namun jadwalnya hanya sekali dalam sehari. Selama dalam perjalanan, kapal feri melewati karamba dan tempat budidaya mutiara sambil dikawal lumba-lumba yang bercanda berloncatan di permukaan laut. Penerbangan perintis telah diperkenalkan dari Kupang ke Pulau Rote, namun jadwalnya belum tetap.
Ba’a, ibukota kabupaten, merupakan kota kecil, dan pelabuhan feri berdekatan dengan kantor pemerintahan. Apabila ingin menginap di tengah kota, pengunjung tidak perlu menggunakan jasa transportasi, kecuali membawa barang-barang yang banyak.
Cuaca di daerah ini sebagaimana daerah-daerah kepulauan lainnya cukup panas dan kering. Kesuburan tanahnya sangat rendah, yang disebabkan oleh bebatuan yang membangunnya, seperi batu gamping, batu karang, dan sedikit tanah pertanian yang subur. Namun demikian, beberapa jenis tanaman palawija masih cukup luas terkelola secara baik. Tanaman keras seperti kelapa, lontar, jambu mete, dan sejenisnya, dikelola dalam bentuk perkebunan.
Cuaca yang panas tersebut terkadang justru menjadi daya pikat para wisatawan asing untuk berjemur (sun bathing) di sepanjang pantai yang sangat indah. Dalam cuaca panas berhembus angin sejuk yang segar, sehingga tidak terus-menerus dalam kegerahan. Angin sejuk tersebut diperkirakan merupakan angin yang berasal dari Australia.
Dari segi potensi sumber daya alam, Badan Geologi telah menerbitkan peta geologi, dan melakukan penelitian-penelitian yang terperinci guna menginventarisasi sumber daya alam (energi dan mineral) yang kemungkinan ada. Minimal, Badan Geologi dapat menggunakan Kepulauan Rote Ndao sebagai laboratorium alam untuk penelitian dan dapat dikembangkan wisata alam (geowisata), yang sekaligus meningkatkan tujuan pemerintah untuk melestarikan obyek-obyek geologi berdasarkan peraturan pemerintah dalam menciptakan kawasan lindung geologi.
Sesungguhnya di balik potensi sumber daya alam yang relatif terbatas, Rote Ndao masih sangat mungkin dikembangkan. Rote Ndao memiliki sumber daya manusia dan sumber daya kultural yang lumayan potensial buat mendukung kemajuan dan kelancaran pembangunan. Ada sejumlah kearifan lokal yang diperkirakan mampu memberikan nilai tambah bagi Kabupaten Rote Ndao.

A.   Bangga Akan Identitas Diri
Di dalam kehidupan bersama, setiap manusia mempunyai ciri-ciri khusus yang biasa kita sebut dengan istilah identitas atau jati diri bangsa yang melekat di dalam diri seseorang. Identitas seseorang pada dasarnya merupakan suatu bentuk tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari yang mengarah pada suatu retorika hidup di dalam melahirkan suatu karakter jiwa sebagai pembentuk jati diri seseorang. Identitas setiap manusia sangat ditentukan oleh ruang hidupnya yang secara alami akan berkulturasi dan membentuk ciri khas atau karakter khas dalam norma kehidupan. Identitas meliputi nilai, norma, dan simbol ekspresi sebagai ikatan sosial guna membangun solidaritas dan kohevisitas sosial yang digunakan untuk menghadapi kekuatan luar yang menjadi simbol ekspresi yang memberikan pembenaran bagi tindakan pada masa silam, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila seseorang atau suatu masyarakat tidak mempunyai keterikatan terhadap etnisnya dan dengan jati dirinya sebagai masyarakat dan bangsa, maka pribadi ataupun bangsa tersebut akan kehilangan arah atau pegangan dari terpaan arus globalisasi dari luar yang semakin dominan. Agar mampu bertahan dari arus globalisasi, di dalam pribadi atau bangsa tentu perlu mempunyai identitas atau jati diri sendiri. Selain itu, untuk lebih memperkuat daya tahan, perlu pula ada semacam kebanggaan terhadap identitas atau jati diri etnis, bangsa atau komunitas sejenis.
Kendati kata identitas sangat populer dan sangat disukai penggunaannya --terutama di dalam bidang politik dan percaturan antar bangsa-- namun demikian konsep identitas yang dikaitkan dengan etnisitas sangat bermacam-macam. Tidak jarang identitas tersebut sebenarnya kadang-kadang berupa stereotip-stereotip baik yang positif maupun negatif dari suatu etnis. Identitas etnis melekat di dalam etnis itu sendiri, etnisitas tersebut sekaligus menunjukkan suatu identitas etnis (Tilaar, 2007: 16).
Terkait identitas etnis, pada dasarnya kelompok etnis mempunyai enam sifat sebagai berikut (Tilaar, 2007: 6): 1. Memiliki nama yang khas yang mengidentifikasikan hakikat dari satu masyarakat; 2. Memiliki suatu mitos akan kesatuan nenek moyang. Mitos tersebut biasanya terdapat ide dalam kesamaan asal-usul dalam waktu dan tempat tertentu sehingga kelompok tersebut membentuk suatu kekeluargaan yang fiktif; 3. Kelompok tersebut mempunyai ingatan historis yang sama atau dengan kata lain mempunyai memori masa silam yang sama seperti para pahlawan, kejadian-kejadian tertentu di dalam hari-hari peringatan suku-suku tersebut; 4. Kelompok tersebut memiliki suatu kesatuan elemen-elemen budaya seperti agama, adat istiadat, dan bahasa; 5. Kelompok tersebut terikat dengan suatu tanah tumpah darah, baik secara fisik maupun sekadar sebagai keterikatan simbolik terhadap tanah leluhur seperti pada kelompok-kelompok diaspora; dan 6. Memiliki suatu rasa solidaritas dari penduduknya.
Sebagai kelompok etnis, orang-orang Rote adalah orang yang bangga akan diri mereka sendiri, tegas, dan bersemangat (Fox, 1986:164). Mereka tidak meniru-niru dan tidak berasimilasi dengan kelompok-kelompok lain di NTT melainkan dengan kelompok yang mereka anggap lebih tinggi kebudayaannya. Pakaian adat sebagai tanda pembeda identitas orang Rote sangat khas dan menunjukkan pengaruh Portugis abad ke-17 dan Gujarat abad ke-18. Jika pakaian adat kaum pria suku-suku di Indonesia Timur mengenakan ikat kepala, orang Rote memakai topi daun lontar lebar seperti sombrero yang mereka tiru dari topi orang Portugis abad ke-17.
Motif kain celup ikat tradisional mereka merupakan gabungan motif-motif asli dengan disain patola yang diambil dari kain Gujarat yang merupakan barang dagangan impor kaum elit VOC pada abad ke-18.
Orang Rote juga memiliki instrumen musik tradisional yang sangat khas yang disebut Sasando. Alat musik yang juga dikenal di Pulau Sabu ini dibuat dari daun lontar. Alat ini biasa dimainkan dalam berbagai kegiatan sosial yang penting seperti pernikahan, kematian, kelahiran, dan ulang tahun.
Bahasa Melayu sudah dikenal oleh sebagian besar orang Rote sejak sekitar tahun 1660, di mana penguasa-penguasa Rote memulai surat-menyurat tahunan dengan gubernur jenderal VOC di Batavia. Sejak semula, Bahasa Melayu diterima sebagai bahasa sastra yang dikaitkan dengan agama Kristen dan berkembang varian bahasa Melayu Alkitab. Bahkan bahasa Melayu Kupang memperlihatkan pengaruh bahasa Rote yang sangat besar (Fox, 1986: 170).
Situasi Pulau dan budaya Rote berbeda dengan tetangganya Pulau Sabu yang homogen. Masyarakat Rote telah berabad-abad terbiasa untuk menerima perbedaan. Hidup dalam suasana heterogenitas atau keberagaman diterima sebagai sesuatu yang baik. Dalam sejarah pemukiman mereka, para pendatang baru yang hendak bermukim di wilayahnya diterima dengan upacara penyambutan yang luar biasa. Kalaupun para pendatang baru itu menunjukkan perbedaan identitas dan pandangan hidup, mereka menganggapnya sebagai sebuah kekayaan. Orang Rote bahkan tak bosan-bosannya membicarakan perbedaan-perbedaan di antara nusak-nusak (wilayah kekuasaan) dan dialek-dialek yang ada. Di Rote terdapat 18 nusak yang diperintah oleh seorang manek (raja kecil) yang mengetuai sidang pengadilan dan membuat keputusan-keputusan berdasarkan hukum adat nusak itu.
Di antara mereka sendiri, orang Rote lebih menekankan perbedaan-perbedaan sosial yang kecil daripada menekankan kesamaan-kesamaan yang menyeluruh (Fox, 1986:174). Perbedaan-perbedaan kecil cenderung diangkat untuk menunjukkan keterpisahan di antara mereka. Bukankah cara ini mudah menyulut api konflik dan pertikaian? Bagi masyarakat Rote, perbedaan di antara mereka justru menunjukkan identitas dan kebanggaan akan harga diri yang tidak perlu mendatangkan pertentangan. Masyarakat Rote memiliki basis sosial yang kuat dalam berdemokrasi. Hal ini menguntungan bagi proses konsolidasi sistem politik dalam konteks Indonesia yang menghargai kemajemukan.
Kebanggaan orang Rote terhadap pakaian adat, topi daun lontar yang lebar, kain celup motif tradisional dan alat musik tradisional Sasando akan memudahkan mereka untuk mengoptimalkan segenap potensi yang ada. Dengan begitu, sejumlah kearifan lokal terutama terkait dengan hasil-hasil kreasi kultural yang mengakar kuat di benak orang Rote dapat terus dilestarikan. Dan kebanggaan orang Rote itu akan terus menguat dan menjadi nilai tambah dalam upaya membangun dan memajukan masyarakat Rote dan Ndao.

B.    Memenangkan Persaingan dengan Konsep
Secara prinsip, pertikaian fisik merupakan suatu hal yang dipandang rendah oleh orang Rote. Salah satu tema pengikat penting dalam hampir semua kisah pembentukan nusak, penaklukan wilayah, penyatuan klen-klen dalam sistem pemerintahan, kejayaan serta kegagalan para pemimpin Rote adalah kecerdasan akal. Dapat disebutkan bahwa keterampilan dan kecerdasan mengolah akal budi dan menyusun berbagai strategi dan siasat merupakan salah satu keutamaan terpenting masyarakat Rote. Yang dimaksudkan dengan kecerdasan akal di sini adalah semacam kecerdikan yang mengandung jebakan yang sejajar dengan pengertian Melayu tentang akal. Penaklukan, kekuasaan, dan keperkasaan tidak didasarkan pada kekuatan (power) melainkan dengan cara jebakan dan tipu daya pikiran adalah sifat yang dikagumi orang Rote. Pahlawan sebagai orang yang banyak akalnya merupakan tema yang pervasif dalam cerita rakyat Rote dan mencerminkan suatu citra positif yang dimiliki orang Rote tentang diri mereka sendiri. Ketika cerita yang relatif baru tentang Abu Nawas menyebar sampai ke Rote, sebutan Aba Nabas bagi seorang Rote akan diterima sebagai suatu pujian. Tokoh Aba Nabas dikagumi sebagai orang yang banyak akalnya, melewati berbagai tantangan dengan sukses berkat kecerdasan akalnya. Dalam masyarakat Rote, cerita-cerita Aba Nabas sangat populer, sangat dihargai dan selalu dipandang sebagai salah satu cultural hero yang merefleksikan keutamaan hidup orang Rote sendiri.
Sebagai orang yang mengutamakan olah akal budi, penyusunan strategi serta siasat, manusia Rote dikenal sebagai masyarakat yang tidak mengenal konsep kata “Ya!”Mereka bukanlah orang yang mudah menyetujui sesuatu hal tanpa didahului dengan penalaran (reasoning) bahkan perdebatan. Masyarakat Rote mengenal dan memiliki konsep kata “Tetapi” (Tebu). Hal ini sangat berpengaruh dalam norma-norma kehidupan mereka. Di dalam kesehariannya, orang Rote selalu mempertanyakan kegunaan maksimal dari hal-hal yang diperintahkan kepada mereka (Mubyarto, 1991: 70). Konsep ini dapat pula menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri mereka dari unsur-unsur yang datang dari luar, bukan untuk ditolak mentah-mentah melainkan untuk dipertanyakan kegunaan maksimalnya. Masyarakat Rote terkenal sebagai orang-orang yang sangat kritis karena kecerdasan akal merupakan salah satu keutamaan yang dianggap penting oleh komunitas etnis ini.  
Sikap kritis dan menjunjung tinggi kecerdasan akal dapatlah dijadikan modal bagi orang Rote untuk memenangkan persaingan di berbagai kancah kehidupan. Berkat sikap kritis dan kecerdasan akal, orang Rote akan terus menerus menyempurnakan diri manakala menapaki kehidupan dari hari ke hari. Apa saja yang ada di sekitarnya tentu akan terus dipertanyakan dan menjadi bekal untuk terus memacu diri menuju kemajuan bersama. Perubahan senantiasa dikritisi agar kehidupan berjalan lebih baik dari waktu ke waktu.
Boleh jadi sikap kritis dan menjunjung kecerdasan orang Rote sepintas mengingatkan kita pada konsep Kaizen sebagai kunci sukses orang Jepang dalam memenangkan persaingan.
Tentang konsep Kaizen yang juga berangkat dari sikap kritis dan menjunjung kecerdasan akal, dapat kita simak kisah berikut: Pada tahun 1950-an Masaaki Imai bekerja di “Japan Productivity Center” di Washington DC yang tugas utamanya mengantar sekelompok pengusaha Jepang yang sedang mengunjungi perusahaan Amerika Serikat guna mempelajari “rahasia produktivitas industri Amerika” menceritakan mengenai Konsep Kaizen.
Toshiro Yamada (pensiunan profesor di “Faculty of Engineering” pada Universitas Kyoto), salah seorang anggota kelompok belajar yang mengunjungi Amerika Serikat untuk mempelajari industri kendaraan pada tahun 1950, di antaranya pabrik baja River Rouge di Dearborn, Michigan, dan pada tahun 1975 berkumpul kembali dengan anggota kelompoknya untuk merayakan ulang tahun perak perjalanan mereka. Bersama itu mereka juga melakukan kembali “perjalanan sentimental” ke Amerika Serikat untuk melihat perusahaan yang telah pernah dikunjunginya. Toshiro Yamada langsung menggelengkan kepala karena merasa heran bahwa “pabrik itu tetap sama seperti 25 tahun yang lalu”.
Lalu Toshiro Yamada beserta anggota kelompoknya bercerita tentang kunjungannya ke Eropa pada sekitar tahun 1980-an saat memimpin kelompok pengusaha dalam penelitian tentang perusahaan genteng dan ubin, di mana anggota kelompoknya menjadi gelisah dan kecewa atas sarana “kuno” yang dilihatnya. Kelompok tersebut heran ketika menemukan bahwa pabrik masih menggunakan ban berjalan. Baik karyawan maupun pengunjung harus berjalan melangkahi ban berjalan atau berjalan dengan membungkukkan badan di bawah ban berjalan. Jelas bahwa hal ini membuktikan tidak ada tindakan pengamanan di perusahaan genteng dan ubin itu.
Waktu itu di Jepang sudah jarang dijumpai pabrik yang mempergunakan ban berjalan. Bila masih dipergunakan juga, maka ban berjalan dirancang sedemikian rupa sehingga seseorang tidak perlu berjalan melangkahi ataupun berjalan dengan membungkukkan badan di bawah ban berjalan.
Toshiro Yamada juga bercerita bahwa Fujio Umibe, spesialis kepala dari Toshiba Research and Development Center, bertemu dengan teman sekerjanya dari salah satu perusahaan Toshiba yang terpencil di Jepang meminta untuk mengunjungi perusahaannya yang hampir sepuluh tahun belum dikunjungi ulang. Padahal seperempat bagian dari lini produksi perusahaan Toshiba tersebut telah diubah sewaktu perusahaan itu ditutup selama sepekan pada liburan musim panas tahun 1984.
Sesudah Perang Kunia Kedua banyak perusahaan Jepang benar-benar harus mulai dari awal lagi, baik manager maupun karyawan menghadapi tantangan baru setiap hari, yang berarti setiap hari harus ada kemajuan. Dalam berusaha, diperlukan kemajuan yang tidak ada akhirnya dan Kaizen menjadi sikap hidup orang Jepang. Untunglah berbagai alat yang membantu Konsep Kaizen diperkenalkan kepada Jepang pada akhir tahun 1950 dan permulaan tahun 1960 oleh para ahli seperti W.E. Deming dan J.M. Juran sehingga Jepang memperoleh penghargaan di bidang mutu dengan pemakaian bendera pertama kali pada November 1960 yang disahkan sebagai bulan mutu nasional Jepang.
Perubahan merupakan gaya hidup orang Jepang. Konsep ini juga yang dapat membantu bagaimana perusahaan-perusahaan Jepang memperoleh keunggulan kompetisi yang sedemikian hebat. Jadi tugas seorang eksekutif adalah memanajemeni perubahan agar perubahan menjadi hal yang lazim dalam mencapai keberhasilan.
Inti Kaizen sederhana sekali dan langsung pada sasaran. Kaizen berarti penyempurnaan, berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan setiap orang, baik manager maupun karyawan. Filsafat Kaizen menganggap bahwa cara hidup kita ; baik cara kerja, kehidupan sosial, maupun kehidupan rumah tangga perlu disempurnakan setiap saat.

C.   Menerima Pergantian Kepemimpinan sebagai Kewajaran
Orang Rote memiliki pandangan yang khas mengenai pergantian kepemimpinan. Dalam banyak komunitas lain, suksesi seringkali ditandai dengan intrik-intrik politik, persekongkolan, bahkan tidak jarang terjadi kudeta berdarah. Pandangan orang Rote mengenai pergantian kepemimpinan dapat kita amati dari puisi lisan mereka yang disebut Bini. Seluruh komunitas Rote mengenal nyanyian dengan bahasa ritual formal yang disebut Bini. Kazanah Bini seringkali mengungkap dasar-dasar kebudayaan Rote. Bini berikut ini mengungkapkan sebuah filosofi penting orang Rote dalam interaksi sosial yang formal, khususnya pandangan mereka tentang suksesi kepemimpinan.

Lole faik ia dalen (Pada hari yang baik ini)
Ma lada ledok ia tein na (Dan pada saat yang baik ini [mataharinya])
Lae: tefu ma-nggona lilok (Mereka berkata: Tebu itu memiliki pelepah emas)
Ma huni ma-lapa losik. (Dan pisang memiliki bunga tembaga)
Tefu olu heni nggonan (Pelepah tebu itu jatuh)
Ma huni kono heni lapan, (Dan bunga pisang rontok)
Te hu bei ela tefu okan (Yang masih tinggal hanya akar tebu)
Ma huni hun bai. (Dan juga batang pisang)
De dei tefu na nggona seluk (Tetapi tebu itu berpelepah kembali)
Fo na nggona lilo seluk (Pelepahnya emas lagi)
Ma dei huni na lapa seluk (Dan pisang itu berbunga lagi)
Fo na lapa losi seluk. (Bunganya tembaga lagi)    
Bagi orang Rote, pergantian pemimpin merupakan sebuah hal yang wajar dan alamiah. Regenerasi itu akan berlangsung dengan damai bila memenuhi dua kondisi: (a) generasi muda mengakui jasa pendahulunya (Tebu itu memiliki pelepah emas//Dan pisang memiliki bunga tembaga), dan (b) generasi yang lebih tua pun dituntut untuk percaya pada kemampuan generasi penggantinya (yang pelepahnya emas lagi//bunganya tembaga lagi). Perhatikan konsep “tetapi”dalam ungkapan tersebut. Ungkapan ini menunjukkan betapa pentingnya saling memberikan penghormatan, yang muda terhadap yang tua dan yang tua terhadap yang muda. Jadi, tuntutan itu tidak saja diberikan kepada kaum muda untuk menghormati yang lebih tua (seperti dalam masyarakat yang masih berciri feodalistik).
Proses pergantian (estafet) kepemimpinan yang berjalan mulus dan diterima sebagai sebuah kewajaran menjadi modal tersendiri bagi keberlangsungan masyarakat Rote Ndao. Sebab, pergantian yang diwarnai konflik dan kudeta berdarah jelas akan memakan ongkos danpengorban yang besar. Boleh jadi, konflik dan kudeta berdarah akan membawa masyarakat kembali ke titik nol. 
Berangkat dari Bini tentang filosofi penting orang Rote dalam interaksi sosial yang formal, kiranya generasi muda Rote harus benar-benar siap menerima estafet kepemimpinan. Generasi muda harus terus mengasah diri agar benar-benar berkualitas.
Kualitas orang muda Rote dapat dikatakan relatif baik. Hal ini dapat kita lihat dari data kuantitatif Rote Ndao dalam Angka 2014 yang menampakkan anak muda usia 19-24 tahun yang masih menikmati bangku sekolah mencapai 15,43 persen. Lalu, sekitar 55,59 persen dari mereka yang berusia 16-18 tahun masih bersekolah. Kedua kelompok usia ini masih dapat ditingkatkan kualitas diri mereka agar kelak mampu menerima tongkat estafet kepemimpinan di Rote Ndao yang senantiasa berjalan nyaris tanpa gejolak.
Secara keseluruhan penduduk berusia di atas 10 tahun, orang Rote cukuplah berkualitas. Ini terlihat pada komposisi penduduk dari segi pendidikan: 2,5% berpendidikan D-IV/S1/S2/S3, 1,03% berpendidikan Diploma I & II, 0,46% berpendidikan Diploma III, dan 10,9% berpendidikan SMA/sederajat.

D.   Terbuka Menerima Pendatang
Satu hal lagi yang menarik dari kearifan lokal orang Rote adalah keterbukaannya dalam menerima orang lain. Orang Rote tidak segan-segan menerima orang luar bergabung ke dalam komunitas kulturalnya.
Dalam tata pergaulan orang Rote, orang yang hidup terasing atau sendirian, yang tidak mempunyai sanak-kerabat atau tidak terhisap sebagai anggota salah satu suku dimetaforakan sebagai “pohon tali puteri” (memenggok). Pohon tali puteri hidup tanpa akar, tanpa bertumbuh pada suatu wadah, sehingga orang yang hidup tanpa sanak-saudara dikatakan “mana mori memenggok” –maksudnya hidup sendirian tidak punya kaum kerabat.
Dalam pergaulan masyarakat Rote, komunitas dipentingkan sehingga sangat membenci sikap isolasi. Agar tidak terisolasi, umumnya orang-orang pendatang menyatakan diri masuk menjadi anggota salah satu suku yang resmi atau yang asli. Pendatang itu umumnya berasal dari nusak lain atau daerah seberang, bahkan ada yang berpindah ke suku lain dalam nusak sendiri. Pengalihan kewargaan itu melalui suatu upacara resmi. Mereka akan memperoleh hak yang sama dengan warga suku yang mengangkatnya. Mereka (pendatang) disebut “mana mai”. Namun istilah mana mai tidak etis bila diucapkan di hadapan mereka.
Pengalihan kewargaan terjadi atas beberapa kemungkinan. Pertama, persengketaan keluarga. Yang merasa tersudut, keluar dari sukunya lalu masuk ke dalam suku/nusak yang lain. Kedua, suatu suku hampir punah lantas melebur diri ke dalam suku yang lain. Ketiga, karena berasal dari tempat yang jauh atau seberang dan agar tidak hidup terasing maka menyatakan diri masuk ke salah satu suku. Dan keempat, lantaran menjadi tawanan perang.
Selain dari pendatang (mana mai), ada pula anggota suku yang berasal dari keturunan pihak kerabat perempuan, misalkan anak dari perkawinan yang terlarang (inses) atau tanpa kawin resmi. Mereka termasuk suku ibu, disebut ‘fetok anan’ (anak dari saudara/pihak perempuan). Ada pula yang berasal dari hamba-sahaya.
Untuk fetok anan, umumnya diangkat/diadopsi oleh ayah atau saudara lelaki si ibu, dengan demikian namanya digabung dengan nama kakek dan/atau to’o-nya.
Sebagai syarat bagi anggota yang baru (yang diadopsi) adalah sebagai berikut: Harus menunjukkan integritas serta solidaritas yang baik dalam suku yang baru; Harus berpartisipasi secara aktif dalam suku yang baru; dan Harus mengambil jodoh dari suku lain.
Terdapat pula saudara perempuan angkat yang disebut ‘feto dae’ dan saudara laki-laki yang diangkat yang disebut ‘na dae’. Feto dae adalah seorang perempuan yang diangkat oleh seorang lelaki menjadi saudara angkat. Karena yang bersangkutan berasal dari negeri yang jauh atau dari seberang, agar tidak merasa seperti orang yang tidak punya sanak kerabat, ia (umumnya yang telah berumah-tangga) meminta seorang lelaki untuk bersedia menjadi saudara angkat. Bahasa adatnya “inaa nalan” (ia menjadikan sebagai saudara lelakinya) atau “ifeto nalan” (ia menjadikan sebagai saudara perempuannya). Bila yang bersangkutan (feto dae) itu telah bersuami maka pengadopsian itu harus atas izin/restu suami. Saudara lelaki angkatnya itu (na dae) harus dari suku/klen lain, tidak boleh dari klen suami. Pengadopsian itu dilakukan dalam suatu upacara resmi dan sebagai syarat sang suami memberikan belis kepada saudara angkat isterinya, sebesar/setara seekor kerbau betina. Jika yang bersangkutan masih lajang, maka, bilamana akan kawin, saudara lelaki angkatnya itu yang menerima belis. Setelah itu antara si perempuan (feto dae) dan saudara angkatnya (na dae) hidup rukun dan saling tolong-menolong sebagaimana layaknya orang bersaudara.
Dalam masalah warisan (pusaka) kadang-kadang timbul kasus antara ahli waris yang asli dan anggota pendatang (mana mai) ataupun dengan fetok anan. Namun demikian biasanya kepala-kepala suku dan/atau tua-tua suku (lasi leo) dapat menyelesaikannya secara bijaksana. Pada masa pemerintahan Raja Urai Ndu (Paulus Messakh) telah ditetapkan olehnya bahwa masalah keanggotaan “mana mai”, juga “fetok anan”, tidak boleh diungkit-ungkit lagi, dikenal dengan ungkapan “tatana nggalas bafan” (tutup/sumbat mulut gelas).
Bagi pendatang (dalam jumlah yang besar) yang tidak menyatakan diri untuk masuk salah satu suku/leo, tidak berhak mengangkat kepala suku sendiri serta hak kewargaan suku-suku tersebut tidak mutlak sehingga dianggap orang asing (imigran) dan disebut sesuai dengan nama nusak asalnya, misalkan bila dari Lole maka disebut “hatahori Lole” (orang Lole). Kendati belum mendapat pengakuan yang selayaknya, tetapi setelah hapusnya desa-desa tradisional, hak kewargaan mereka sudah sama dengan penduduk asli, namun hak adat masih terbatas.
Dulu di beberapa nusak, untuk kelompok suku atau oknum yang masih dianggap sebagai imigran, masih mempunyai kewajiban membayar “pajak kepala” di negeri (nusak) asalnya. Bahkan untuk pendidikan pun anak-anak dari imigran itu diwajibkan bersekolah di nusak asalnya. Pada tahun 1930-an barulah hal itu tidak diberlakukan lagi.
Terdapat beberapa pendatang dalam jumlah yang agak besar namun tidak masuk dalam salah satu suku. Mereka berasal dari Dengka (Boluk, Todak, Leolulu dan Elo/Moihana), Termanu (Amalo), Sabu (dulu masuk Suku Nalefeo, kini masuk Nesafeo, memakai fam Henuk atau mau berdiri sendiri), Oenale (Mbura, Mbeo), dan Ndao (Aputeti, Loasana).
Pola pergaulan orang Rote dalam bingkai harmoni yang telah berlangsung turun-temurun itu dapatlah dijadikan modal memajukan dan membangun Kabupaten Rote Ndao. Acapkali, proses pembangunan harus mendatangkan orang-orang dari luar wilayah –terutama orang-orang dengan kualifikasi berbeda dengan warga asli—untuk memberikan pengetahuan, berbagi keterampilan, atau menjadi tenaga ahli yang sangat dibutuhkan. Kedatangan orang luar ini terkadang memicu konflik dengan warga asli. Sudah banyak kabar konflik muncul di daerah-daerah transmigrasi di masa lalu.
Dengan mengambil obyek studi PLG Dadahup ataupun kawasan Mintin (Kalimantan Tenga), H.M. Noersani Darlan dalam tulisannya yang berjudul Mengenal Studi Penyusunan Model Transmigrasi (Jurnal Pendidikan Luar Sekolah Vol. 4 No. 2 tahun 2009) menyebutkan: (1) Kondisi sosial budaya masyarakat lokal (asli) dan pendatang di kawasan PLG mempengaruhi produktivitas masyarakat, dan sebab itu perlu ikut fasafah budaya. Warga masyarakat di kawasan PLG Dadahup ataupun kawasan Mintin, memiliki budaya yang selalu menerima dengan tangan terbuka atas warga pendatang; (2) Dalam menyusun model penempatan dan tata ruang permukiman transmigrasi berbasis sosial budaya. Warga masyarakat lokal memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga mana saja, untuk datang dan tinggal di kawasan Kalimantan Tengah, namun mereka berharap dalam penempatannya tidak dibedakan antara penduduk lokal dan para pendatang; (3) Model pengembangan masyarakat transmigrasi berbasis sosial budaya kawasan PLG untuk peningkatan produktivitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah dengan keterbukaan warga masyarakat terhadap kaum pendatang.
Sikap terbuka menerima orang lain sangatlah penting. Mengapa? Menurut Sugiyatno, Dosen FIP Universitas Negeri Yogyakarta, dalam artikelnya yang berjudul “Membuka Diri Dalam Interaksi”, ada sejumlah alasan yang menyebabkan kita perlu membuka diri kepada orang lain, yaitu dengan membuka diri, orang lain akan lebih mengenal diri kita, dan hubungan akan terasa lebih dekat, begitu pula sebaliknya. Keterbukaan diri menentukan sejauh mana orang lain menyukai diri kita. Keterbukaan diri merupakan suatu proses saling mengungkapkan diri, siapa dan bagaimana diri masing-masing terlibat di dalamnya. Di dalam proses saling membuka diri, terjadi hubungan antar-pribadi yang semakin lama semakin erat. Di antara orang-orang yang membuka diri, terjadi pemahaman atas kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini akan menimbulkan perasaan saling menyukai.
Saling membuka diri mendorong terjadinya saling mempercayai antara kedua individu (juga kelompok) yang berinteraksi. Apabila orang-orang saling bertukar informasi tentang siapa dirinya, dan saling mendukung terjadinya keterbukaan diri, maka akan terbentuk perasaan aman untuk saling membuka diri, dan pada akhirnya tercipta perasaan percaya satu sama lain. Jadi rasa saling mempercayai tidak muncul begitu saja, tetapi berkembang secara bertahap. Dan sikap ini telah lama dimiliki oleh orang Rote.
Informasi tentang diri membuat orang lain memiliki gambaran yang tepat tentang diri kita. Mengungkapkan tentang siapa diri kita secara tepat dan benar, akan membantu orang lain memahami diri kita. Informasi tentang diri juga membuat kita memahami diri kita sendiri dan memiliki konsep diri yang positif. Sebelum mengungkapkan kepada orang lain tentang siapa diri kita sebenarnya, terlebih dulu perlu mengetahui tentang diri kita. Proses memahami diri sendiri membantu orang mengetahui apa kelebihan dan kekurangannya. Semakin baik dan tepat pemahaman seseorang terhadap kelebihan dan kekurangannya, berarti semakin kuat konsep dirinya.

Sikap positif dan terbuka orang Rote dapat dijadikan modal untuk memacu kemajuan dengan mendatangkan orang-orang berkualifikasi yang benar-benar dibutuhkan oleh wilayah di tapal batas selatan NKRI ini. Sikap terbuka orang Rote ini bisa dijadikan basis sosial budaya dalam membangun dan mengembangkan wilayah Kabupaten Rote Ndao yang lebih berpengharapan dan sejajar dengan wilayah kabupaten lain yang telah lebih dulu maju. (*)   

Komentar