Isteri-isteri di Tahta Kepemimpinan Daerah

* Bab 5



Sejak reformasi bergulir mendekati ujung dekade 1990-an, terbukalah kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengemban dan menempati posisi-posisi penting dan stretagis di lembaga legislatif dan eksekutif, baik nasional maupun lokal. Bila di zaman Orde Baru, ibu-ibu pejabat hanya sebatas aktif menjadi anggota dan/atau pengurus Dharma Pertiwi dan Dharma Wanita, kini mereka berkesempatan ikut berkompetisi merebut posisi-posisi penting di eksekutif dan legislatif melalui pemilihan umum, tak terkecuali pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Fenomena politik era reformasi ini memperlihatkan adanya kebangkitan kaum perempuan. Mereka bukan lagi sekadar pendamping kaum pria yang menjadi pejabat, melainkan dapat pula menjadi pengganti suaminya bilamana sang suami tidak lagi memenuhi syarat untuk mengemban jabatan-jabatan publik.
Pada satu sisi merupakan suatu kemajuan yang amat berarti karena tidak lagi mempersoalkan perbedaan gender. Semua orang berkedudukan dan memiliki kesempatan yang sama dalam bidang politik. Sekat-sekat yang diciptakan kelompok tradisional mengenai posisi perempuan dalam politik juga mulai bergeser.
Di masa silam, sungguh tabu bagi perempuan atau isteri untuk aktif meramaikan jagad politik, karena adanya pandangan bahwa tempat yang pantas bagi kaum isteri adalah di dapur atau menjadi kanca wingking (teman di belakang) yang neraka katut, swarga nunut (terbawa ke neraka, ke surga menumpang suami). Sebab itu, kepandaian atau kemampuan kaum perempuan dipandang kurang berarti dibanding posisinya sebagai seorang ibu rumah tangga biasa. Pandangan liberal dan moderat kini semakin menunjukkan kemenangan mereka yang mendukung perempuan berperan aktif dalam politik. Tempat perempuan bukan hanya di belakang rumah atau hanya menjadi pendamping dan pendukung karir politik suaminya, melainkan dapat memiliki jabatan atau karir politik sendiri.

Pada sisi yang lain, bertandingnya kaum perempuan, terlebih lagi isteri pejabat atau mantan pejabat negara ataupun pemerintahan lokal, untuk menduduki jabatan-jabatan publik juga menimbulkan pertanyaan, apakah politik dinasti atau dinasti politik sedang tumbuh bak jamur di musim hujan di negeri ini? Pertanyaan itu tidak akan muncul bilamana partai-partai politik telah memainkan peranan dan fungsi dalam komunikasi politik, pendidikan politik, rekrutmen politik, agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan rakyat banyak.
Para istri pejabat negara atau pemerintahan lokal boleh-boleh saja ikut berkompetisi dalam pilkada jika mereka benar-benar memiliki kapabilitas akademik dan pengalaman politik yang baik untuk menduduki jabatan-jabatan publik tersebut. Pendidikan memang bukan segala-galanya dalam menentukan kiprah politik seseorang. Seorang doktor boleh jadi memiliki otoritas akademik di bidangnya, namun mungkin saja tidak memiliki kapabilitas dalam berhubungan dengan rakyat. Sebaliknya, seorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Atas ternyata memiliki kapabilitas dan pengalaman politik yang baik untuk menjadi seorang pemimpin, walau tidak pernah duduk di perguruan tinggi.
Yang paling ideal adalah bilamana seseorang memiliki otoritas akademik sekaligus pengalaman serta rasa empati terhadap rakyat yang akan dipimpinnya. Ibu pejabat yang suka dilayani dan tidak memiliki empati terhadap rakyat tentu bukanlah tipe calon pemimpin yang baik. Sepintar atau sepengalaman apa pun seorang isteri pejabat, jika tidak mendapatkan tempat di hati rakyatnya tentu sulit terpilih menjadi pejabat publik di daerah, apalagi pada tingkat nasional.
Ada beberapa faktor penyebab munculnya fenomena isteri-isteri bupati atau walikota yang maju untuk memperebutkan jabatan publik di daerah. Pertama, para bupati yang masih menjabat dianggap berhasil oleh rakyat setempat, seperti dalam kasus di Kabupaten Bantul atau di Kediri, namun kedua bupati tersebut tidak dapat ikut pilkada lagi karena masa jabatannya sudah dua kali. Karena itu, masyarakat menginginkan agar isteri bupati maju dalam pilkada dengan asumsi bila isteri mantan bupati menang, maka mantan bupati akan berada di belakang isterinya sebagai “sang penuntun”. Jika masa bakti lima tahun isterinya selesai, mantan bupati pun akan maju kembali karena tidak dilarang oleh undang-undang.
Kedua, isteri pertama dan isteri kedua bupati sama-sama maju untuk membuktikan siapa dari keduanya yang memiliki legitimasi di mata rakyat di daerahnya. Motif politiknya bisa adu popularitas atau jago siapa yang dapat memenangi pertarungan tersebut.
Ketiga, pembentukan dinasti politik baru di daerah. Pada tahap awal suami yang maju, tahap kedua isterinya, dan tahap ketiga adalah salah seorang anak dari pasangan tersebut. Bangunan dinasti politik ini akan kokoh jika masyarakat setempat menilai secara jujur bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kaya dan berpendidikan yang memang ingin membangun daerahnya. Persoalan akan muncul kalau ternyata bangunan dinasti politik itu amat dipaksakan lantaran kepala daerah biasanya juga pimpinan daerah dari partai politik yang kuat di daerah tersebut.
Di sini menunjukkan bahwa organisasi partai politik dikelola ibarat partai milik keluarga. Pengurus atau anggota partai lain tidak memiliki kemampuan atau keberanian untuk menantang sang pimpinan partai yang adalah kepala daerah setempat. Persoalannya semakin rumit bila di dalam pilkada tersebut bupati atau walikota menggunakan aparatur pemerintah daerah untuk memobilisasi massa buat pemenangan pemilu untuk isterinya. Lebih pelik lagi jika ternyata anggota KPU dan badan pengawas pemilu di daerah tersebut tidak independen dan cenderung berpihak pada bupati atau walikota yang tengah berkuasa. Politik kekuasaan dan politik uang dapat saja bermain di dalam pilkada, sehingga petahana (incumbent) atau isteri bupati/walikota akan diuntungkan di dalam pilkada.
Problema politik ini kecil kemungkinannya akan terjadi di masyarakat yang kelompok menengah atau masyarakat sipilnya sudah amat sadar politik dan tak mudah tergiur oleh politik uang. Dinasti politik atau politik dinasti bukan sesuatu yang diharamkan di dalam demokrasi, namun tidak disarankan untuk terus berlangsung (langgeng). Dinasti politik yang terbangun, asalkan didasari oleh niat baik untuk membangun daerah atau negara, ditambah lagi oleh kapasitas keturunan di keluarga tersebut untuk menjadi pemimpin, dapat diterima tapi tetap bukan sesuatu yang lazim di dalam sistem demokrasi.
Semakin banyaknya isteri atau anak mantan bupati/wali kota yang maju di dalam pilkada menunjukkan betapa sosialisasi politik dan kaderisasi politik tidak berjalan baik di partai-partai politik. Jika ini terus berlanjut, bukan mustahil rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di republik ini akan merasa jenuh dengan demokrasi yang hanya menghasilkan pemimpin yang lebih mengutamakan keluarga dan kelompoknya ketimbang masa depan daerah, bangsa dan negara. Ini merupakan problem kita bersama, bagaimana demokrasi dapat menciptakan kestabilan politik dan kemaslahatan bagi warga negara secara keseluruhan dan bukan hanya dikuasai oleh keluarga-keluarga kaya pemilik kekuasaan seperti yang hingga kini masih terjadi di Filipina.
Terlepas dari polemik politik dinasti yang lumayan menggejala di berbagai daerah di Indonesia, ada baiknya kita mencoba melihat bagaimana track record, kapabilitas dan sedikit kinerja para isteri yang menggantikan suaminya di tampuk kekuasaan kepala daerah. Apakah semuanya mendulang sukses? Atau sebaliknya, mereka justru terjerembab dan gagal memperbaiki nama baik sang suami?

A.   Perempuan-perempuan yang Sukses Memimpin Daerah
Kabupaten Bantul. Salah satu kisah sukses perempuan di panggung kepemimpinan daerah adalah sosok Hj. Sri Suryawidati. Kisah bergulir ketika pada 27 Mei 2010, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menetapkan pasangan Hj. Sri Suryawidati-Sumarno Prs sebagai pemenang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bantul periode 2010-2015.
Kisah menjadi menarik, karena Sri Suryawidati tak lain adalah isteri Idham Samawi, Bupati Bantul yang telah menjabat selama dua periode (2000-2005, 2005-2010). Dalam pemilihan kepala daerah, Sri Suryawidati yang akrab disapa Ida itu didukung Partai Amanat Nasional (PAN), Golkar, dan Partai Karya Perjuangan Bangsa (PKPB).
Pasangan nomor urut dua ini mendulang lebih dari 50 persen suara yang masuk dalam pemilihan. Pasangan yang dijuluki "Idaman" ini merajai perolehan suara di 17 kecamatan. Dua pasangan kandidat lain, Sukardiyono-Darmawan (Sukadarma) dan Kardono-Ibnu Kadarmanto (Karib) tak berkutik. Suara terbanyak Idaman didapat di Kecamatan Sewon (36.919) dan terendah di Kecamatan Piyungan (15.667).
"Dari hasil penghitungan suara, Idaman mendapat total suara sah 330.615 (67,8 persen). Perolehan suara ini diikuti oleh Sukadarma 137.888 (28,3 persen) dan Karib sebanyak 19.374 (3,9 persen)," kata Budi Wiryawan, Ketua KPU Bantul, Kamis (27 Mei 2010).
Sesaat setelah dilantik sebagai Bupati Bantul 2010-2015, Ida langsung bekerja keras menggerakkan roda birokrasi Pemerintah Kabupaten Bantul yang tidak asing lagi baginya. Dia sudah akrab dengan birokrasi Pemkab Bantul dan kaum perempuan setempat berkat posisinya sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Bantul selama selama 10 tahun, karena suaminya Idham Samawi pernah menjabat Bupati Bantul selama dua priode. Sebab itu pula, ia selalu aktif menanamkan kepada ibu-ibu di Bantul tidak boleh berpangku-tangan pada suami, namun harus bisa berbuat untuk membantu suami ataupun merawat anak. “Kaum perempuan punya peran penting dalam pembangunan dan kesempatan itu terbuka lebar,” tandas wanita kelahiran Jakarta, 26 Maret 1951, ini.
Bupati perempuan pertama di wilayah DIY itu teringat pada kunjungan Ketua Yayasan Damandiri Prof Dr Haryono Suyono yang memperkenalkan Posdaya, pasca terjadinya gempa bumi di Bantul 2006 silam, diterima Bupati Bantul saat itu, H Idham Samawi dengan sendikodhawuh (siap melaksanakan tugas). “Kami sangat respek dengan beliau. Karena pemikiran beliau brilian sekali. Pemikiran tentang pemberdayaan keluarga sangat luar biasa. Jangkauan pemikirannya sangat luas dan jauh ke depan. Seperti pemikiran Posdaya, karena dalam Posdaya ada pemberdayaan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan (kebun bergizi). Di Posdaya, semua aspek itu ada,” ungkap ibu tiga anak dengan empat cucu ini menjelaskan.
Sebagai perempuan, Ida pun menyambut baik Posdaya karena kegiatannya banyak melibatkan kaum perempuan. “Bagaimana program ini bisa menyentuh masyarakat langsung dan masyarakat menjadi mandiri. Harapan saya, kaum perempuan di Bantul menjadi perempuan mandiri yang percaya diri. Misalnya ada permasalahan suami meninggal atau suami di-PHK, kaum perempuan sudah siap dengan kemandirian,” tuturnya.
Saat ini, bukan hanya 933 Posdaya yang telah terbentuk, tapi sudah mencapai 1.000 Posdaya. Tidak lagi satu dusun memiliki 1 Posdaya, tapi sudah berkembang 2-3 Posdaya. “Kami beri anggaran Rp1 juta setiap dusun dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk mengembangkan Posdaya di dusun-dusun di Bantul. Alhamdulilah, sambutan dari warga masyarakat positif. Kabupaten Bantul menjadi percontohan dan banyak mendapat penghargaan,” jelasnya.
Saat terjadi bencana alam di Bantul, Bupati Bantul saat itu (Idham Samawi) memprogramkan dua tahun selesai. Dalam waktu dua tahun itu pula, masyarakat Bantul tidak ikut terpuruk, justru bangkit mengatasi bencana. “Alhamdulilah, dengan bantuan banyak masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, dalam dua tahun itu selesai. Mungkin prosentasinya hanya beberapa persen yang belum. Bagaimanapun sudah mulai bangkit, yang penting semangat dari masyarakatnya,” ungkap Ida seraya mengakui semangat gotong royong, keuletan dan rasa kebersamaan yang kuat dari masyarakat Bantul.
Terlebih dengan adanya Posdaya. Perubahan yang dirasakan warga masyarakat Bantul sangat banyak. Sehingga Posdaya menjadi program prioritas Bantul. “Bagaimana pengentasan kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Kesehatan, pasar tradisional, semua itu menjadi satu kesatuan dalam wadah bernama Posdaya,” tegasnya.
Berbagai penghargaan diperoleh tidak hanya dari Yayasan Damandiri yang telah menganugerahkan Damandiri Award pada HUT Damandiri ke-16 (2012). Tapi juga dari beberapa instansi seperti Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Semua ini bukan hanya kerja bupati dan SKPD, tapi kerja semua sektor, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah daerah.”
Pada masa jabatannya sebagai bupati, peran Posdaya lebih dipertajam. Dari APBD ada tambahan pinjaman bergulir buat pengembangan Posdaya di tiap dusun. Untuk lebih mempertajam lagi, Kabupaten Bantul meluncurkan program Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin (PEKM) kepada kelompok-kelompok Posdaya yang terdiri 10–15 orang, sebesar Rp1 juta per kelompok.
“Program ini hampir sama dengan program Yayasan Damandiri yang memberikan kredit sebesar Rp2 juta kepada satu kelompok. Ini akan sangat membantu. Karena keterbatasan dana APBD yang ada pada kami, kalau ada bantuan dari manapun kami terima,” tukas Ida.
Menurut Ida, dari sekitar 900.000 jiwa penduduk Bantul terdapat sekitar 40.000 kepala keluarga yang miskin dan 30.000 pengangguran. IPM kesehatan Bantul pun masuk 5 besar di Indonesia. “Alhamdulilah. Bayangkan gempa waktu itu hancur luluh lantak, kita bisa bangkit seperti ini sudah disyukuri bersama.”
Di bidang ekonomi, di bawah kepemimpinan Bupati Sri Suryawidati, Kabupaten Bantul memiliki ekonomi unggulan berupa pasar tradisional dan kerajinan. Mata pencarian penduduk Bantul, 42 persen adalah petani, 18 persen pedagang pasar tradisional dan 12 persen dalam bentuk kerajinan. Untuk menangani itu semua, Pemkab Bantul membatasi pembangunan pasar modern, seperti Alfamart, Indomaret dan semacamnya dengan peraturan daerah. Jarak pasar modern dengan pasar modern pun minimal 3 km.
“Kita upayakan seperti ini agar pedagang pasar tetap hidup sejahtera. Kita berantas rentenir dengan memberikan permodalan. Di pasar ada bank-bank cabang yang bisa mendekatkan dengan pedagang pasar. Jadi mereka tidak terjerat rentenir dan memudahkan mereka mendekat dengan bank-bank,” papar Bupati Sri Suryawidati.
Kendati begitu, tidak berarti investor asing tidak boleh masuk ke Bantul. “Investor asing boleh menanam saham, asalkan mereka merekrut tenaga kerja lokal Bantul. Tetap memudahkan perizinan bagi investor yang akan masuk ke Bantul tapi dengan tenaga kerja Bantul,” tegas Ida.
Investor yang berhasil menyerap tenaga kerja Bantul sebanyak 1000–2000 orang, akan diberi kemudahan dalam mengurus perizinan. Bahkan yang bisa menyerap 3000–4000 tenaga kerja Bantul, Pemkab Bantul menyewakan tanah buat investor asing dan mengurus perizinannya. “Dengan menghidupi warga Bantul, sebulan minimal Rp1 juta gaji bagi tiap pekerja. Kami menyewakan tanah bagi mereka kan tidak mahal. Jadi kalau ada investor yang masuk, saya tanya, tenaga kerja yang akan dimanfaatkan berapa, kita bantu sepenuhnya supaya bisa mengentaskan pengangguran, otomatis kemiskinan teratasi,” terang Ida.
Selain itu, ada pula program dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bekerjasama dengan Malaysia sebagai agen warga Bantul bekerja di Malaysia. Mereka bukan dijadikan pembantu, tetapi sebagai tenaga ahli atau tenaga terampil kerja di pabrik. “Kami kerja sama dengan Malaysia tidak mengambil untung. Kami yang mengantar ke sana untuk menengok tempat kerja, fasilitas, keamanan dan keadaan sosial selama bekerja di Malaysia. Biasanya orang mau kerja itu bayar. Kami pinjami mereka Rp 6 juta dari bank di Bantul, nanti mereka cicil dari gajinya.”
Ibu yang telah dikarunia empat cucu ini mengaku bahwa dirinya menjadi Bupati Bantul tidak terlepas dari keberhasilan suaminya (Idham Samawi) menjadi bupati selama dua periode, sampai kemudian rakyat memberikan amanah menjadi bupati agar pembangunan di Bantul tidak terputus. “Masyarakat ingin apa yang telah berhasil dibangun Pak Idham diteruskan oleh saya,” tandasnya.
Dengan menjadi Bupati, Ida mengaku sangat berdosa bila tidak mampu mengemban amanah yang diberikan oleh masyarakat meski terkadang berat juga ketika ada anak atau suami sedangsakit. “Selain sebagai staf ahli khusus saya, Pak Idham sekarang kembali ke Harian Kedaulatan Rakyat (KR). Habitatnya dulu sebelum jadi bupati,” cetusnya.
Selain sebagai pendiri surat kabar yang menjadi bacaan wong Yogya, Idham Samawi juga penasihat di surat kabar tersebut. “Ngantornya tiap Selasa di KR Yogya, Jumat pagi di KR Jakarta. Sebelum jadi bupati, Pak Idham wakil direktur utama KR, juga di DPP PDIP sebagai salah satu ketua bidang keanggotaan, kaderisasi dan rekrutmen,” terang Ida.
Boleh dibilang, tugas suaminya saat ini malah lebih banyak dan lebih sibuk. Seringkali, ia harus ditinggal suaminya selama beberapa hari untuk bertugas di Jakarta. “Di rumah, saya sebagai seorang isteri. Kalau pergi harus pamit cium tangan suami. Saya masih menyediakan baju yang mau dipakai. Kalau berangkat ke luar kota masih menata koper. Ini suatu tugas yang mulia,” ungkapnya.
Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Aroma kesuksesan juga tampak pada kinerja Bupati Kediri (2010-2015, 2016-2021) Dokter Hj. Haryanti Sutrisno. Haryanti yang tidak lain adalah isteri pertama Bupati Kediri (2000-2005, 2005-2010) Sutrisno itu berhasil menyelenggarakan pemerintahan yang baik di Kabupaten Kediri. Tahun 2014, ia memperoleh penghargaan dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri) Gamawan Fauzi atas prestasi Kinerja Sangat Tinggi.
Dengan rendah hati Bupati Haryanti berujar bahwa penghargaan ini merupakan wujud nyata buah kerja dari kebersamaan segenap jajaran dan seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai profesi. Meraih penghargaan tentu bukan tujuan utama dalam pembangunan, namun meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan program pembangunan yang menjadi tujuan utama. Ia pun menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh warga masyarakat Kabupaten Kediri karena tanpa bantuan dari seluruh warga masyarakat, penghargaan ini tidak mungkin digapai.
Selain prestasi kinerja pemerintahan, masih di tahun 2014, Bupati Haryanti juga memperoleh  penghargaan dari Gubernur Jawa Timur Soekarwo, atas komitmennya dalam rangka penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Kediri.
"Penghargaan ini merupakan wujud apresiasi atas kerja sama yang baik antar-seluruh pihak, baik pemerintah, tenaga kesehatan maupun warga masyarakat," kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemkab Kediri Haris Setiawan menirukan ucapan Bupati Haryanti beberapa saat setelah penyerahan penghargaan di Kantor Dinas Kesehatan Jawa Timur.
Terkait dengan angka kematian ibu, data di Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri menyebutkan dari sasaran 28.187 orang ibu hamil pada 2014, dengan jumlah ibu hamil risiko tinggi 5.637 orang dan jumlah ibu bersalin 26.906 orang, tercatat 13 kasus kematian ibu per Oktober 2014. Angka ini menurun dibandingkan pada 2013 sebanyak 34 kasus, dan 2012 sebanyak 37 kasus. Adapun penyebab kematian di antaranya pendarahan, infeksi, preeklampsi, jantung dan lain-lain.
Kemudian dari sasaran 25.119 bayi di 2014, diketahui jumlah bayi risiko tinggi mencapai 3.768 bayi. Dari jumlah itu tercatat 154 kematian bayi per September 2014. Pada 2013 tercatat 227 kematian bayi dan di 2012 tercatat 257 kematian bayi. Penyebab kematian bayi antara lain bayi berat lahir rendah (BBLR), "asfiksia" atau gagal bernafas, kelainan bawaan, infeksi dan lain-lain.
Berbagai program pun didorong untuk mendukung penurunan AKI dan AKB di Kabupaten Kediri. Di tingkat masyarakat di antaranya dilakukan penjaringan ibu hamil risiko tinggi oleh kader melalui Kartu Score Poedji Rochyati (KSPR), pemantauan pemberian Fe atau tablet penambah zat besi ibu hamil oleh keluarga dan masyarakat, Desa P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi), inisiasi menyusui dini (IMD), pendampingan ibu hamil risiko tinggi oleh mahasiswa kebidanan, serta program bulan timbang dan peduli keluarga melalui kerjasama dengan lintas sektor kecamatan, Kemenag, Diknas dan organisasi masyarakat.
Sedangkan di tingkat tenaga kesehatan, dilakukan berbagai kegiatan antara lain ANC (Ante Natal Care) terpadu dan berkualitas, SMS gateaway, program rujukan ibu hamil risiko tinggi ke rumah sakit, kemitraan bidan dan dukun (pembinaan dukun oleh tenaga kesehatan), serta KB pasca-salin. Untuk kegiatan kesehatan reproduksi, dilakukan PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak), dan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) yang sudah dilakukan oleh semua Puskesmas.
Melihat program-program yang digulirkan tampak benar kapasitas intelektual dan akademik seorang Haryanti yang dokter lulusan Universitas Brawijaya ini. Program-programnya juga sangat dirasakan oleh rakyat banyak.
Tampaknya rakyat merasa cukup puas. Hal ini dijawab dengan memberikan suara mereka buat dr. Hj. Haryanti Sutrisno yang kelahiran Malang, 7 Agustus 1949, itu untuk kembali memimpin Kabupaten Kediri pada periode 2016-2021. Haryanti yang mencalonkan bersama wakilnya Drs. H. Masykuri MM berhasil memenangi pilkada dengan raihan 54% suara pemilih. Turut mendukung pencalonan Haryanti sebagai Bupati Kediri adalah PDI-P, PPP, PKNU, Partai Golkar, Partai Demokrat, PBB dan Hanura. Sebelum menjadi Bupati Kediri, Haryanti sudah dikenal di tengah-tengah masyarakat sebagai dokter dan pengusaha sukses pemilik perusahaan PT. Vittindo Riz yang bergerak di bidang konsumsi. Bahkan Haryanti Sutrisno menjadi bupati terkaya di Indonesia dengan harta Rp41 Miliar.
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kendati tidak memimpin Kabupaten Kuningan lima tahun penuh lantaran wafat pada April 2016, Bupati Kuningan (2013-2018) Hj. Utje Choeriah Suganda, S.Sos, M.AP telah pula menorehkan sejumlah prestasi. Upayanya membina Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang tersebar di seluruh pelosok desa di Kabupaten Kuningan, akhirnya membuahkan hasil penghargaan Damandiri Award 2015 kategori pemimpin daerah peduli Posdaya. Penghargaan tersebut langsung diserahkan Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri), Prof. Dr. Haryono Suyono, pada pertengahan Januari 2016 lalu.
Kabupaten Kuningan diwaliki Posdaya Masjid Nurul Huda yang beralamat di Jl. Tentara Pelajar No. 33 Desa Bayuning Kecamatan Kadugede. Posdaya ini diam-diam bukan saja menjadi pusat percontohan pemberdayaan masyarakat desa, namun juga menjadi pelopor pengembangan Posdaya di Kabupaten Kuningan. Buktinya, bukan saja kesejahteraan dan kemandirian keluarga-keluarga di wilayahnya semakin meningkat namun melalui kiprahnya, Posdaya di berbagai desa di Kabupaten Kuningan terus berkembang pesat sehingga layak menjadi rujukan posdaya nasional.
Utje Choeriah yang juga isteri Bupati Kuningan (2003-2008, 2008-2013) Aang Hamid Suganda itu mengucapkan terima kasih kepada segenap posdaya se-Kabupaten Kuningan (terutama Posdaya Nurul Huda) yang telah berkiprah dan berprestasi sehingga mampu mengharumkan nama Kabupaten Kuningan di tingkat nasional. “ Saya kira prestasi ini tidak akan dapat diraih tanpa kerja keras. Dan yang paling utama adalah kiprah warga masyarakat dalam upaya memberdayakan diri sendiri melalui lingkungan terkecil keluarga,” ujarnya.
Menurut perempuan yang lahir 17 April 1952 ini, masyarakat Kabupaten Kuningan dengan jiwa gotong-royong yang tinggi akan membantu memudahkan Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk dapat memerangi kemiskinan, penghapusan kelaparan, serta mengurangi kesenjangan antara keluarga miskin dan kaya.
Prestasi yang ditorehkan Utje Choeriah tidak hanya pada Posdaya. Pada Agustus 2014, perempuan yang pernah menjadi Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Kuningan selama 10 tahun itu berhasil menyabet dua penghargaan sekaligus. Dua penghargaan  tersebut, pertama sebagai  Kabupaten Sehat kategori Swasti Saba Wiwerda tingkat Provinsi yang diserahkan Gubernur Jabar, H Ahmad Heryawan, di sela-sela peringatan HUT ke-69 Provinsi Jabar di lapangan Gasibu Kota Bandung. Dan kedua, penghargaan tingkat nasional berupa Anubhawa Sasana Desa atau lebih dikenal dengan sebutan Desa Sadar Hukum, karena Bupati Utje dinilai telah berjasa membina dan mengembangkan kelurahan dan desa di wilayah Kabupaten Kuningan sebagai desa/kelurahan sadar hukum.
Penghargaan tingkat nasional bidang hukum yang diwakili Desa Sukaraja, Kecamatan Ciawigebang, Kabupaten Kuningan, itu diserahkan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) Republik Indonesia, Amir Syamsudin, kepada Bupati Utje di Kota Bandung.
“Alhamdulillah, dua penghargaan tingkat provinsi  dan tingkat nasional ini saya persembahkan untuk warga masyarakat Kuningan yang telah bahu membahu, bekerja sama dan berpartisipasi dalam memajukan pembangunan. Untuk bidang kesehatan dan bidang hukum membuahkan hasil yang membanggakan,” tutur Bupati Utje yang dikenal dekat dengan banyak kalangan ini.
Utje berharap pencapaian kedua penghargaan ini dapat semakin memotivasi segenap aparatur dan seluruh warga masyarakat Kuningan untuk terus membudayakan hidup sehat dan hidup bersih serta membiasakan diri sadar dan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku.
Kemudian di tahun 2016, Bupati Utje Choeriah berhasil menerima penghargaan PR Award 2016 Kategori Pangajen Bumi Satya. Penghargaan yang diserahkan oleh Dirut PR Perdana Alamsyah pada ulang tahun ke-50 Koran Pikiran Rakyat itu sebagai bentuk apresiasi kepada Kepala Daerah yang terus konsen terhadap pelestarian alam dan lingkungan.
Dengan modal latar belakang pekerja sosial, mendorong Bupati Utje Choeriah menggagas program Pengantin Peduli Lingkungan (Pepeling), Siswa Peduli Lingkungan (Seruling) dan Apel (Aparatur Peduli Lingkungan). Bahkan penyandang gelar Magister Administrasi Publik Universitas Padjadjaran (2013) ini juga mencanangkan Kabupaten Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi.
“Penghargaan ini bukan hanya untuk saya pribadi, melainkan untuk seluruh jajaran Pemerintah Kabupaten Kuningan dan terutama masyarakatnya. Amanah yang diberikan kepada saya sebagai seorang pemimpin daerah adalah  untuk memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat,” tandas Utje.
Totalitas Utje Choeriah yang ingin terus membawa kemajuan Kabupaten Kuningan pada berbagai bidang kemudian terhenti. Pada tanggal 7 April 2016, sosok yang dikenal ramah dan tegas ini berpulang ke Rahmatullah.
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Tanggal 20 Februari 2013 menjadi tonggak penting bagi kehidupan seorang Puput Tantriana Sari. Perempuan kelahiran 23 Mei 1983 yang isteri mantan Bupati Probolinggo Hasan Aminuddin itu dilantik sebagai Bupati Probolinggo periode 2013-2018.
“Saya berharap semua keberhasilan yang sudah diraih selama ini bisa dilanjutkan oleh Bupati dan Wakil Bupati yang baru. Salah satu faktor pokoknya adalah kerja sama dengan DPRD yang baik. DPRD itu pemerintahan daerah bersama-sama Bupati dan Wakil Bupati. Tidak ada yang tidak bisa dibicarakan dengan musyawarah mufakat,” begitu pesan Gubernur Jawa Timur Soekarwo saat melantik Tantriana Sari di Pendopo Kabupaten Probolinggo, 20 Februari 2013.
Lebih lanjut Gubernur Soekarwo meminta agar Bupati Tantriana selalu melibatkan Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) untuk merumuskan apa saja yang dapat diselesaikan secara baik. “Memang menjadi Bupati dan Wakil Bupati itu harus mengurangi tidur. Banyak menghabiskan energi untuk melakukan koordinasi dengan Forpimda, tokoh agama, tokoh masyarakat, parpol dan ormas,” jelas Gubernur Jatim.
Tantriana pun langsung bekerja dan meresapi benar pesan-pesan Gubernur Jawa Timur. Koordinasi dengan Forpimda dan menggerakkan segenar mesin birokrasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo menjadi keseharian Bupati termuda itu. Dalam tiga tahun memimpin, sejumlah prestasi berhasil digapai. Di antaranya Manggala Karya Kencana sebagai bagian prestasi pemerintah dalam menyelenggarakan program kependudukan dan KB serta pembangunan keluarga sejahtera.
Pemkab Probolinggo juga berhasil meraih penghargaan sebagai daerah yang mendapat predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Untuk kali ketiga secara berturut-turut, Pemkab Probolinggo memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, atas laporan Keuangan Daerah tahun 2015. Predikat WTP diberikan Kepala BPK Perwakilan Jawa Timur, Novianto Herodwijanto, kepada Bupati Puput Tantriana Sari, Selasa (31 Mei 2016).
"Ini yang ketiga secara berturut-turut," kata Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah (DPKD) Tanto Walono, yang mendampingi Bupati di kantor BPK Perwakilan Jatim.
Dengan predikat tersebut, tahun depan (2017) Pemkab Probolinggo berhak mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) seperti tahun 2016. Tanto menyatakan, tahun 2016 Pemkab Probolinggo mendapatkan DID sebesar Rp22 miliar dari Pemerintah Pusat.
Torehan tersebut mencerminkan bahwa komitmen transparansi dan akuntabilitas keuangan benar-benar dijaga oleh Pemkab Probolinggo di bawah kepemimpinan Tantriana.
Masih seputar prestasi, pada 2015, Pemkab Probolinggo mendapatkan penghargaan Swasti Saba Padapa sebagai wujud komitmen pemerintah dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang sehat, mandiri, dan tatanan kawasan pemukiman sarana dan prasarana sehat.
Dalam dua tahun sisa masa kepemimpinan Tantriana di Kabupaten Probolinggo tentu masih banyak prestasi yang dapat ditorehkan dan apresiasi yang diperoleh. Apakah Tantriana yang mulai mengemban amanah bupati di umur 30 tahun ini bakal kembali memperoleh kepercayaan rakyat, tentu masih sangat banyak kemungkinan.
Yang terbaru, pada awal September 2016, Bupati Puput Tantriana Sari menyabet penghargaan Lencana Melati sebagai Ketua Mabicab Pramuka. Penghargaan itu cukup istimewa lantaran hanya dua kepala daerah yang mendapatkan penghargaan tersebut, masing-masing Bupati Probolinggo dan Bupati Magetan. Penghargaan tersebut menandai adanya dukungan yang luar biasa dari Bupati Tantri terhadap gerakan Pramuka di Kabupaten Probolinggo.
"Sebagai Kakak Ketua Mabincab Pramuka Kabupaten Probolinggo, saya menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi atas penghargaan ini. Ini merupakan prestasi dari Pramuka Kabupaten Probolinggo,” kata Bupati Tantri usai menerima penghargaan yang disematkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani, pada acara Apel Besar Pramuka se-Jatim "Hari Pramuka yang ke-55 Tahun 2016" di Markas Komando Armada Indonesia Kawasan Timur (Koarmatim), Surabaya, 4 September 2016.
Tak hanya bupati, Wakil Bupati Probolinggo Timbul Prihanjoko juga mendapatkan Lencana Melati sebagai Ketua Kwarcab Probolinggo pada kesempatan yang sama.
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Bupati Indramayu (2000-2005, 2005-2010) Irianto Mahfud Sidik Syafiuddin yang akrab disapa Yance merasa lega usai mengikuti acara serah terima jabatan bupati yang berlangsung di Pendopo Kabupaten Indramayu pada 12 Desember 2010. Pangkalnya sederhana saja, hari itu dia menyerahkan jabatan bupati kepada isterinya Anna Sophanah. Hari itu pula Anna Sophanah resmi menjadi Bupati Indramayu periode 2010-2015, setelah dilantik oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Anna dilantik dengan ketetapan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-855 tahun 2010 dan Nomor 132.32-856 tahun 2010.
Dalam pelantikan dan serah terima jabatan bupati, terlihat seperti seorang suami menyerahkan tugasnya kepada istri. Hal itu terlihat dalam adegan "cium tangan" yang dilakukan Anna kepada Yance. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengomentari adegan itu sebagai bentuk kesopanan istri yang akan meneruskan tugas suami membangun Indramayu. Sebab, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan wanita kelahiran Indramayu tanggal 23 Oktober 1958  itu agar pembangunan di Indramayu meningkat lebih baik. Saat pelantikan itu, indeks pertumbuhan manusia di Indramayu berada pada angka 67,39 poin, di bawah Jabar 71,64 poin.
Memasuki usia ke-58 tahun (2016), di masa pengabdiannya periode kedua, Anna Sophanah tetap bersemangat dan fokus untuk memajukan pembangunan daerah. Baginya, dapat memajukan daerah dan menyejahterakan rakyat merupakan target utamanya ketika dipercaya memangku jabatan sebagai kepala daerah. Tanpa mengesampingkan kodratnya sebagai seorang ibu yang senantiasa tetap memperhatikan keutuhan rumah tangga.
Salah satu kunci keberhasilannya dalam menjaga keutuhan rumah tangga adalah memiliki komitmen bersama untuk saling mempercayai dengan tidak mengabaikan amanah rakyat Indramayu untuk membangun kemajuan daerah, dan keutuhan rumah tangga di atas segalanya yang harus tetap menjadi perhatian khusus yang sudah menjadi komitmen bersama.
“Dalam berumah tangga komitmen itu sangat perlu dibangun, apabila suami-isteri mampu saling menutupi kekurangan dan kelebihannya maka diyakini keutuhan dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah warrahmah akan terwujud dengan baik,” ujarnya suatu ketika.
Meski demikian, wanita yang pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Indramayu ini tetap memperhatikan kemajuan daerah sebagai salah satu bentuk konsekuensinya selaku seorang pemimpin daerah. Hampir enam tahun mengemban amanah rakyat Indramayu, telah banyak membuahkan hasil yang membawa nama harum Indramayu melalui berbagai prestasi di kancah regional ataupun nasional.
Prestasi yang diraih sepanjang tahun 2016 di antaranya, menerima penghargaan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK-RI, Anugerah Satya Lencana Pembangunan Bidang Koperasi, Piala Adipura yang ke-8, Piala Adhiwiyata Mandiri, Juara Pertama Lomba Desa Tingkat Nasional, Penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka kategori Birokrat yang Peduli Terhadap Pengembangan Perpustakaan dan Kegemaran Membaca dari Perpustakaan Nasional RI dan menerima Piala UKS dalam Lomba Sekolah Sehat (LSS) dari Pemerintah Pusat.
“Atas nama Pemkab Indramayu dan pribadi, saya mengucapkan banyak terima kasih atas partisipasi, kerja keras dan peran aktif seluruh rakyat Indramayu yang telah mengantarkan Kabupaten Indramayu meraih berbagai penghargaan,” tutur ibu tiga orang anak, masing-masing Dinny Yuniarti Syafiana, Daniel Muttaqien Syafiuddin dan Deany Iyeng Syafiana.
Menurut Ketua Dekranasda Kabupaten Indramayu periode 2000–2010 ini, keberhasilan Indramayu dalam meraih berbagai prestasi bergengsi jangan dijadikan sebagai ajang kesombongan tapi hendaknya dapat menjadi  motivasi agar tetap berkarir dan berkarya untuk kemajuan daerah, sehingga Kabupaten Indramayu menjadi daerah yang diperhitungkan.
Begitu pun dalam memimpin daerah, perkembangan spiritual dalam konteks agama Islam menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari yang dituangkan ke dalam visi Indramayu religius, maju, mandiri dan sejahtera (Remaja). ”Visi Indramayu Remaja secara konsep cukup baik dengan menerapkan wajib membaca Al Quran selama 15 menit sebelum belajar ataupun bekerja, karenanya perlu didukung bersama,” imbaunya  pada suatu waktu.
Agaknya kerja keras Anna Sophanah melanjutkan apa yang telah dicapai oleh sang suami sudah cukup dirasakan oleh rakyat daerah yang dikenal sebagai sentra penghasil buah mangga ini. Dan kini ia tengah menapak menuntaskan masa jabatannya pada periode kedua, 2015-2020.

B.    Tidak Semua Isteri Sukses Estafet Kepemimpinan Suami
Di balik fenomena kemenangan dan keberhasilan para perempuan sebagai Bupati Bantul, Kediri, Kuningan, Probolinggo dan Indramayu, tampak pula beberapa isteri yang berniat menggantikan suami sebagai kepala daerah harus menelan pil pahit. Di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Titik Suprapti, gagal menggantikan suaminya, Bambang Riyanto, sebagai bupati. Titik Suprapti kalah dalam Pilkada memperebutkan posisi Bupati Sukoharjo periode 2010-2015.
Lalu dalam pemilihan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), istri Gubernur Ismeth Abdullah, Aida Zulaikha Ismeth, juga harus kecewa. Aida maju karena Ismeth sudah dua periode menjadi Gubernur. Namun Aida yang berpasangan dengan Eddy Wijaya dikalahkan oleh pasangan HM Sani dan HM Soeryo Respationo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kepulauan Riau 2010-2015.
Ada pula isteri kepala yang mampu terpilih namun cukup satu periode saja menjabat. Ini terjadi pada sosok Widya Kandi Susanti yang memenangi Pilkada Kabupaten Kendal pada 2010. Bupati berlatar-pendidikan dokter ini berhasil menggantikan suaminya Hendy Boedoro (Bupati Kendal 2000-2005, 2005-2007). Namun kemudian ia kalah pada Pilkada Kabupaten Kendal 2015.  
Aroma kurang sedap memang sempat menyelimuti perjalanan Widya Kandi Susanti. Ketika Widya Kandi Susanti bersiap dilantik sebagai Bupati Kendal periode 2010-2015 pada Agustus 2010, suaminya tengah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane, Semarang, gara-gara menyelewengkan APBD Kabupaten Kendal. Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung menetapkan hukuman tujuh tahun penjara untuk Hendy Boedoro dan denda Rp500 juta serta membayar uang pengganti Rp13,121 milyar.
Isu lain yang cukup menggelitik, Widya sempat menolak menutup Lokalisasi, “PSK Pahlawan Keluarga” yang ada di Kabupaten Kendal. Ia menolak menutup lokalisasi karena merasa khawatir akan menimbulkan masalah baru. Menurutnya, menutup lokalisasi adalah hal yang mudah. Cukup persetujuan DPRD dan berkoordinasi dengan Satpol PP. Namun ia khawatir, para PSK akan menjajakan diri di jalanan. “Bisa saja menutup tempat pelacuran, tapi PSK-nya harus diberi pekerjaan dulu,” tegas Widya sebagaimana dilansir Kompas.
Yang juga tak sedikit menggelitik, sekitar dua tahun menjabat sebagai Bupati Kendal, tepatnya tanggal 23 Oktober 2012, Widya Kandi Susanti tampil beda. Saat menghadiri peluncuran ekspor kayu perdana yang berlabel legal, Bupati Widya Kandi Susanti yang biasa berkerudung itu menanggalkan kerudungnya.
"Penampilan masih dulu, hanya beda tak berkerudung ya? Ini karena rambut saya yang berubah," kata Bupati Widya memberi alasan ketika disapa ihwal penampilannya yang berbeda.
Bupati Widya masih terlihat cantik. Kalau sebelumnya selalu berkerudung, konon sejak sepekan sebelum acara peluncuran ekspor kayu legal itu Widya Kandi melepas kerudungnya. Tampilannya lebih muda. Rambut dipotong pendek seleher dengan warna rambut cat coklat tua. Kendati tidak berkerudung, baju kerja Bupati Widya masih memakai seragam lengan panjang dan celana panjang.
Bupati Widya Kandi mengatakan, dia harus selalu menjelaskan penampilan barunya ke publik. Itu dijelaskan setiap dia berkesempatan pidato di semua pertemuan ataupun apel pagi di jajaran birokrasi Pemkab Kendal.
Menanggalkan kerudung, demikian kata Bupati Widya Kandi, salah satu penyebabnya karena kondisi rambutnya yang susah dirawat. Rambutnya cenderung rusak dan banyak rontok. Kerusakan rambut itu diduga akibat dirinya banyak ke lapangan dalam bekerja sebagai bupati.
Entah lantaran kebijakan yang sedikit melawan arus atau penampilan yang banyak berubah yang menjadikannya kalah ketika kembali mencalonkan diri pada Pilkada Kabupaten Kendal yang berlangsung Desember 2015? Kebijakan dan penampilan memang kadang sensitif di mata rakyat.

C.   Polemik yang Mesti Dijawab
Terlepas dari keberhasilan atau kegagalan para isteri melanjutkan estafet kepemimpinan sang suami di tampuk kekuasaan kepemimpinan daerah, fenomena estafet kepemimpinan yang berputar-putar di lingkar keluarga dan kerabat tentu bukanlah sesuatu yang kita harapkan. Kalau si pengganti masih bertali kerabat dengan pejabat sebelumnya memiliki kapasitas dan kapabilitas politik dan intelektual yang memadai, boleh jadi rakyat dapat menerima. Sebaliknya, bila si pengganti nyaris tak punya kualitas yang layak, maka rakyat yang akan dikorbankan.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan mengingatkan, politik kekeluargaan yang marak terjadi di daerah berpotensi menimbulkan penyalah-gunaan kekuasaan. Sebab itu, aturan yang membatasi politik kekeluargaan mendesak diterbitkan untuk mewujudkan demokrasi yang sehat. ”Kondisi saat ini menunjukkan banyak pemimpin haus kekuasaan. Penguasa baru yang masih keluarganya hanya menjadi boneka dan dikendalikan oleh yang lama,” ujarnya.
Politik kekeluargaan, demikian pendapat Kacung Marijan, adalah nepotisme dan kolusi yang mengatas-namakan demokrasi. ”Penyalah-gunaan kekuasaan bisa dengan alokasi APBD yang ditujukan buat kepentingan pemilihan. Kompetisi dalam pemilihan jelas tak sehat karena adanya pengaruh pemimpin yang lama. Harus ada jeda bagi keluarga petahana (incumbent) untuk mencalonkan diri,” ujarnya.
Soal regulasi, menurut pengamat otonomi daerah Djohermansyah Djohan, RUU Pilkada mengatur keluarga petahana tak bisa mencalonkan diri dalam pilkada untuk satu periode. Keluarga petahana adalah istri/suami, anak, menantu, adik/kakak, dan cucu.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Joko Susanto, menilai praktik nepotisme yang gejalanya melanda pilkada merupakan bentuk penguasaan ruang publik. ”Ruang politik yang mestinya milik publik dikuasai oleh kelompok keluarga atau kelompok modal. Jadi, jelas di sini secara substansial terjadi pelanggaran,” tandasnya.
Selain aturan yang tegas, Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana, Kupang, Umbu TW Pariangu, berharap partai politik secara serius menyiapkan kader-kader perempuan berkualitas sejak sekarang sebagai investasi politik di lima tahun berikut untuk mengisi pos-pos politik di parlemen ataupun birokrasi. Selain itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus sungguh-sungguh membuka akses bagi perempuan dalam merajut peran dan kariernya di berbagai bidang, termasuk di birokrasi.
Penempatan atau pemberian akses tersebut tentu berdasarkan pertimbangan kualitas kompetensi, bukan karena aspek kewanitaan, sebagaimana ungkapan Marina Mahathir, most women are not elected because they are women. Apalagi menurut Sharpe (2000), perempuan memiliki keunggulan dalam hal hubungan interpersonal, kecermatan, naluri prestasi, mementingkan proses, dan kejujuran kerja serta bersikap lebih demokratis.
Presiden Joko Widodo sudah membuktikannya saat dirinya menjabat Wali Kota Solo. Ketika terminal di Kota Solo semrawut dan rawan premanisme, dia pun mengangkat perempuan menjadi kepala terminal. Hasilnya, wajah terminal berubah tertib, nyaman, dan steril dari tindakan kriminal. Selain itu, 17 pasar tradisional di Solo berhasil dibangun di bawah Ketua Satpol Pamong Praja yang adalah seorang perempuan.
Jadi, peluang perempuan naik ke tahta kepemimpinan pemerintahan daerah haruslah dibuka lebar-lebar, bukan hanya sebatas orang-orang di lingkar keluarga dan kerabat petahana. (*)


Komentar