Serapan Anggaran Daerah Tetap Rendah


Permasalahan hukum menjadi kendala penyerapan anggaran di daerah.

Presiden Joko Widodo mengeluhkan serapan anggaran oleh daerah yang masih saja rendah. Saat ini, pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki dana Rp 259 triliiun yang masih belum dicairkan. "Sangat besar sekali. Padahal uang itu kalau dibelanjakan akan menggerakkan ekonomi masyarakat," kata Presiden saat membuka Munas V Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/11) malam. Dalam APBNP 2015, pemerintah mengalokasikan dana transfer ke daerah serta dana desa masing-masing Rp 643,8 triliun dan Rp 20,8 triliun. Presiden heran dengan rendahnya penyerapan di daerah karena sebenarnya dananya sudah ada tetapi terlambat membelanjakannya.


Ia menyebutkan, biasanya yang terjadi duitnya yang susah tapi ini duitnya sudah ada. "Apa masalahnya? Takut? Takut apa? Saya tanya, takut? Takut apa? Kalau Bapak/Ibu semuanya tidak mengambil serupiah pun, yang ditakuti apa?" tanya dia kepada peserta munas. Presiden menyatakan, dulu dirinya juga pernah menjabat wali kota dan gubernur tetapi ia tak takut membelanjakan anggaran.  Sebab, kata dia, tak serupiah pun ia memegang uang itu. Ia memastikan akan mendukung penuh kebijakan pemda kalau memang itu benar.  Melihat kondisi rendahnya penyerapan anggaran ini, Presiden menegaskan, tahun depan pemerintah pusat bakal menggunakan cara berbeda dalam transfer dana ke daerah. Bagi daerah yang uangnya terlalu banyak di bank, yang ditransfer nanti bukan uang. "Kalau uang tunai lagi nanti ditaruh di deposito. Nanti yang kita transfer yang serapannya rendah adalah surat utang. Artinya kalau daerah itu memerlukan Rp 102 miliar, ya Rp 102 miliar yang diambil," kata Presiden seperti dilansir laman resmi setkab.  Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dana mengungkapkan jumlah dana transfer ke daerah yang mengendap di bank masih sangat tinggi. Hingga Oktober 2015, dana menganggur di perbankan daerah mencapai Rp 276 triliun.

"Presiden sudah memerintahkan agar pemerintah daerah cepat membelanjakan,'' kata Bambang di kantornya, Kamis (26/11). Menurut dia, realisasi penyaluran belanja transfer sudah mencapai 85 hingga 87 persen. Bambang menuturkan, pemerintah akan memberikan sanksi tegas bagi pemerintah daerah yang serapan anggarannya minim, dengan mentransfer Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam bentuk nontunai pada tahun depan. Pemda yang dikategorikan serapannya minim adalah pemda yang memiliki uang menganggur di bank yang jumlahnya melebihi kebutuhan tiga bulan operasional pemerintahan. Bambang menyebut langkah ini sebagai punishment atau hukuman. Dalam pernyataan 21 Agustus lalu, Bambang menyatakan, transfer nontunai bagi daerah yang serapan anggarannya minim, dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor tiga tahun dan nontradeable.

SBN tersebut baru bisa dicairkan apabila pemerintah melakukan pembelian kembali. "Kita baru bisa cairkan dalam tiga bulan kalau idlenya sudah cair. Ini tidak seseram yang dibayangkan, tapi harus ada mekanisme hukuman.''Menkeu mengatakan dalam keadaan mendesak, seperti bencana alam yang membutuhkan dana segar, pemerintah bisa segera melakukan pembelian kembali untuk mempercepat pengadaan dana, meskipun daerah masih mendapatkan hukuman.Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan akan mengawal daerah dalam memaksimalkan penyerapan anggarannya hingga tutup tahun anggaran ini. "Kita terus monitoring," ujar Tjahjo melalui pesan singkatnya kepada wartawan di Jakarta, kemarin. Menurut dia, instruksi melalui surat edaran pemberitahuan ke daerah juga sudah dikeluarkan terkait penyerapan anggaran. Isinya, perintah agar pemda tidak takut-takut menggunakan anggaran dan apa problem yang menyebabkan penyerapan anggaran rendah."Adanya ketakutan misalnya, ketakutan apa? Kalau tidak ada permainan dana, kenapa takut?" ujar Tjahjo. Ia menuturkan, kalau penyerapannya  rendah tentu ada klarifikasi untuk perolehan tahun anggaran 2016.

Masalah hukum 
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo optimistis penyerapan anggaran di Provinsi Jateng mencapai 90 persen sampai akhir tahun. Saat ini, penyerapan anggaran masih di kisaran 80 persen. Menurut dia, kalau di tingkat provinsi sudah optimal. Namun, beberapa kabupaten mengalami kendala, di antaranya Rembang dan Jepara. "Kemarin masih sedikit sekali karena masalah hukum, kita butuh pengertian dan pemahanan," ucapnya kepada Republika, Selasa (24/11) malam lalu. Ganjar mengaku telah berbicara dengan Presiden Joko Widodo terkait penyerapan anggaran di Jawa Tengah. Dia juga menyampaikan kendala penyerapan anggaran termasuk persoalan hukum kepada Presiden Jokowi. Ia mengingatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Jateng agar tidak takut membelanjakan anggaran asal tak melanggar hukum. "Soal penegakan hukum bisa kita tenangkan, istilah saya, jangan takut, yang penting jangan nyolong, jangan terima gratifikasi," ungkapnya

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, permasalahan menyangkut rendahnya serapan anggaran kompleks. Dana mengendap ini biasanya dana pusat yg ditransfer ke daerah. Misalnya dana dekonsentrasi, beberapa kasus terjadi lantaran pusat baru transfer jelang akhir tahun. Ia mengatakan, dalam kurun 1,5 bulan, pemerintah daerah akan kesulitan menyerap anggaran tersebut. Jadi, masalahnya juga dari pusat. Kedua adalah problem terkait hukum, makanya kriminalisasi jadi isu penting karena adanya  perbedaan acuan dalam APBD. Saat menyusun mengacu Permendagri 58/2015 dan berbagai permendagri lainnya yang strukturnya belanja langsung dan belanja tidak langsung. Tetapi saat melaporkan penggunaan APBD menggunakan Standar Akuntasi Pemerintahan (SAP) internasional digunakan Kemenkeu dan BPK. Makanya, menurut Robert, daerah itu bingung karena kebijakan yang tidak singkron, tidak konsisten satu sama lain.

Robert menyatakan, dalam menghadapi hal ini, mereka sering mengatakan,''Kalau sudah bingung , mending kami diamkan saja duitnya, ngapain kami memaksa diri yang justru menjerat kami secara hukum.''

Komentar