Ti Mau dan Masyarakat Thie


* Bab 3


Asal-usul satu suku Nusantara acapkali tidak berdiri sendiri atau semata-mata bermula dari satu lokasi. Mobilitas dan migrasi manusia, sejak dulu, telah berlangsung. Sudah menjadi hukum alam, ketika keberadaan manusia di satu lokasi terasa sesak, maka sebagian dari mereka berpindah ke wilayah yang dianggap memberi harapan dan kehidupan baru. Begitu pula yang terjadi tatkala orang Rote muncul di Pulau Rote dan sekitarnya.
Menurut cerita rakyat setempat, bersama leluhur orang Belu, leluhur orang Rote berasal dari Sera Sue do Dai Laka atau Seram di Maluku. Mereka datang secara berkelompok, ada sebagian melalui Flores dan yang lainnya lewat Timor. Pola perkampungan (nusak) dibentuk berdasarkan kelompok kekerabatan (klen) yang mereka sebut Leo dengan pemimpin (Manek) yang disebut Manelo. Leo-leo ini tinggal di dalam komunitas-komunitas wilayah teritorial genealogis yang disebut nusak. Masing-masing nusak mengembangkan suatu budaya yang khas.

A.     Moyang Ti Mau
Terlepas dari mana dan lewat mana leluhur orang Rote datang, orang Rote mengenal moyang atau leluhur mereka adalah Ti Mau. Moyang inilah yang menurunkan masyarakat Thie. Masyarakat Thie atau orang Thie mendiami Nusak Thie yang merupakan sebuah kecamatan, yaitu Kecamatan Rote Barat Daya. 
Moyang Ti Mau datang ke Rote sekitar permulaan abad 13 Masehi (sekitar tahun 1220-an). Setelah beberapa lama tinggal di Rote Timur (Landu Karafo), ia berpindah ke bagian barat Rote, lalu tinggal di sebuah pulau kecil (kosong) di Rote bagian barat daya. Kemudian Ti Mau memberi nama pulau ini Pulau Landu dan lokasi hunian mereka diberi nama Karafao –sesuai dengan nama tempat hunian pertama di Rote Timur, yaitu Landu Karafao. Dalam syair, tempat/dusun tempat tinggal mereka di Pulau Landu itu disebut “pandi lua langga daen do karafo iko oen”. Semula mereka tinggal di gua-gua, lantaran belum sempat membangun “moa” (pondok).
Selanjutnya, dari Pulau Landu, mereka (kecuali Busa Tola yang tetap tinggal di Landu) berpindah lagi ke Rote Daratan yang sebelumnya disebut Dae Henda. Mula-mula mereka tinggal di sebuah tempat, disebut Rene, di muka Olikambaoek. Kemudian berpindah ke Taratu Lain atau Inggurak (Desa Lekik). Di Inggurak, Raja Saku Nara membagi masyarakat Thie menjadi dua bagian (dua suku besar), yaitu SABARAI dan TARATU. Ibukota ini (Inggurak) disebut pula TARATU LAIN.
Di Inggurak, bertindak sebagai raja, berturut-turut adalah Saku Nara, Lunggi Helo, Pandi Tule, Mbura La’e, Mesak Mbura, Hani Henu, Moi Mesah, dan Nale Mesah.
Dari Inggurak berpindah ke Kokolo. Tempat ini diberi nama menurut moyang Kokolo Saba. Di Kokolo, rajanya adalah Mbura Mesah. Dari Kokolo, bersama rakyatnya, Mbura Mesah berpindah lagi ke Fiulain gara-gara selalu mendapat serangan dari Termanu. Dari Fiulain, masyarakat Thie berpindah lagi ke Danoheo atau Inggulai. Dari Danoheo terus berpindah ke Oehundi atau Kotabeuk (Benteng yang Baru). Selanjutnya, dari Kotabeuk, penduduk Nusak Thie tersebar ke berbagai tempat/desa di sekitar Nusak Thie.
Nama Nusak Ti diambil dari nama moyang masyarakat Ti, yakni Ti Mau, lantaran dianggap sebagai penemu daerah ini. Setelah orang Thie mengenal huruf Latin, kata atau nama Ti ditulis (divariasi) menjadi Thie. Nama ini (Thie) dipakai secara resmi sampai sekarang.
Wilayah genealogis ini (Ti/Thie) disebut dengan beberapa ritual dan bila bersyair maka nama-nama ritual itu yang disebut. Nama-nama dimaksud adalah:
Rene Langga do Tada Iko
          Rene Dulu do Tada Muri
          Rene Oe do Tada Dae
          Beu Bolu do Le’a So’o
Dari semua nama ritual itu, yang lebih populer ialah Rene Langga do Tada Iko dan Rene Oe do Tada Dae. Masyarakatnya disebut masyarakat Rene Langga atau Tene Oe. Sebelum orang Thie menempati wilayah ini (Thie), sudah ada penghuni pendatang yang lainnya, yaitu orang Timor, orang Sabu (turunan Kika Ga) dan sebuah bangsa lain yang disebut Ringge. Orang-orang Timor akhirnya bermigrasi, sedangkan orang Ringge kemudian berintegrasi dengan Suku Kolek. Mereka berkulit bersih putih namun bukan bule.
Moyang Ti Mau beranak Mau Ti; Mau Ti beranak Radi Mau; Radi Mau beranak Ma Radi dan Boni Radi. Keturunan Boni Radi berintegrasi dengan keturunan Rondo Dua lantas menjadi Suku Kekadulu.
Ma Radi memilik tiga anak laki-laki, masing-masing Nata Ma (menurunkan banyak suku), Tole Ma (menurunkan sebagian Suku Le’e) dan Tiadi Ma (menurunkan Suku Su’a).
Tole Ma dan Tiadi Ma beserta keluarga mereka keluar lebih dulu dari Pulau Landu, lalu mengembara di bagian utara Nusak Thie, bahkan sampai ke Dengka. Sebagian keturunan Tole Ma (Suku Le’e) terdapat di Dengka (Suku Ndau). Karena mereka keluar terlebih dulu dan mendiami bagian utara Nusak Thie maka banyak lahan hutan yang mereka kuasai.
Nata Ma beranak Mota Nata; Mota Nata beranak Pala Mota dan Ranggo Mota. Keturunan Pala Mota bergabung dengan Suku Kolek.
Ranggo Mota beranak Pado Tanggo dan Mesah Ranggo. Keturunan Pado Ranggo kemudian berintegrasi dengan keturunan Ketu Nara lalu membentuk Suku Kanaketu. Sedangkan Mesah Ranggo beranak Tola Mesah lantas Tola Mesah beranak: Musu Tola, Tambalua/Sakalua Tola, Busa Tola, Kiki Tola dan Longgo Baba Tola (tidak ada keturunan).
Naman anak-anak Tola Mesah tersebut ada sejarahnya. Waktu Kiki Tola dilahirkan, pakaian bayinya digigit oleh seekor anjing dan dibawa lari, lalu anak tersebut diberi nama Kiki, yang artinya gigit. Begitu pula sewaktu Sakalua dilahirkan, ibunya mengalami kesulitan, lalu menginjakkan/menahan kakinya pada dinding gua, tempat tinggal mereka. Sebab itu anak tersebut diberi nama Sakalua yang mengandung arti menginjak atau menendang gua.
Keturunan Musu Tola dan Sakalua/Tambalua Tola menjadi Suku Musuhu. Keturunan Musu Tola disebut Musuhu Dulu (Musuhu Timur) dan keturunan Sakalua Tola/Tambalua Tola disebut Musuhu Muri (Musuhu Barat). Suku Musuhu memiliki pertalian keluarga dengan Suku Mbauleok di Dengka karena ada moyang dari Suku Musuhu bermigrasi ke Suku Mbauleok. Menurut versi Dengka, bahwa mereka dari Dengka yang berpindah ke Thie.
Waktu orang Thie bermigrasi dari Pulau Landu, Busa Tola bersama keluarganya tetap tinggal di Landu. Mereka disebut Leo Landu (Suku Landu). Busa Tola beranak Mu Busa danFoe Busa. Keturunan Mu Busa sebagai berikut: Musa àNdela Mu àNdoko Ndela. Lalu Ndoke Ndela beranak Mora Ndoko dan Ta Rimbe Ndoko.
Keturunan Mora Ndoko berturut-turut Ke’a Mora àMoi Ke’a àNdu Moi à Ngge’o Ndu à Ndu Ngge’o à Lua Ndu àMbatu Lua à Tode Mbatu àAdu Tode à Tode Adu, dan seterusnya.
Keturunan Ta Rimbe Ndoko berturut-turut Hu’a Ta Rimbe à Pandi Hu’a à Meo Pandi àLangga Meo à Ndolu Langga à Langga Ndolu dan seterusnya.
Kiki Tola menurunkan banyak suku. Kiki Tola beranak Resi Kiki. Resi Kiki beranak Nara Resi. Nara Resi memiliki empat anak laki-laki, masing-masing Saba Nara, Ketu Nara, Saku Nara dan Dato Nara.
Saba Nara beranak Kokolo Saba. Kokolo Saba beranak La’e Kokolo, lalu La’e Kokolo beranak Heloana La’e. Heloana La’e memiliki anak Foe Helo dan Lunggi Helo. Keturunan Lunggi Helo menjadi Suku Tolaumbuk. Foe Helo beranak Pandi Foe dan La’e Foeh. Pandi Foe menjadi Suku Nggaupandi. La’e Foe memiliki tiga ank laki-laki, yaitu Mbura La’e, Saba La’e dan Henu La’e. Keturunan Mbura La’e menjadi Suku Mbuarala’e, keturunan Saba La’e menjadi Suku Sabala’e dan keturunan Henu La’e menjadi Suku Henula’e.
Saku Nara beranak Dua Saku. Kemudian Dua Saku memiliki tiga anak lelaki, masing-masing Rondo Dua, Bibi Dua, dan Ra’u Dua. Keturunan Rondo Dua menjadi Suku Kekadulu. Keturunan Bibi Dua menjadi Suku Bibimane. Sedangkan Ra’u Dua beranak Fulima Ra’u dan Hiu Ra’u. Keturunan Fulima Ra’u menjadi Suku Mokaleok. Dan Hiu Ra’u beranak Longgo Hiu. Lantas Longgo Hiu beranak Moi Longgo, Soru Longgo dan Langgalodo Longgo. Keturunan Soru Longgo menjadi Suku Sorumbuk dan keturunan Langgalodo Longgo menjadi Suku Langgalodo. Sedangkan Moi Longgo beranak Ra’u Moi, Tiko Moi, Feo Moi, dan Boru Moi. Dalam silsilah milik Es Pandi, bahwa Moi Longgo adalah anak dari Longgo Baba Tola, namun sebenarnya adalah anak dari Longgo Hiu.
Keturunan dari Ra’u Moi dan Tiko Moi menjadi Suku Moiumbuk. Keturunan Feo Moi menjadi Suku Feosoru. Sedangkan Boru Moi beranak Tode Boru, Nale Boru, Mesa Boru dan Ndana Boru. Keturunan Tode Boru menjadi Suku Todefeo, keturunan Nale Boru menjadi Suku Nalefeo, keturunan Mesa Boru menjadi Suku Mesafeo, dan keturunan Ndana Boru menjadi Suku Ndanafeo.

B.     Masyarakat Thie
Mulanya masyarakat Thie kawin keluar kelompok (eksogami), maksudnya tidak mengambil jodoh dalam kelompok sendiri. Mereka melakukan perkawinan dengan kelompok Rote yang lain, antara lain, dengan kelompok Oenale, Dengka, Baa, Lole, bahkan dengan kelompok-kelompok yang terdapat di Rote Timur. Namun kemudian, agar mereka tidak bersusah-payah dalam mendapatkan jodoh maka pada sekitar tahun 1570-an, yaitu pada akhir masa pemerintahan Manek Saku Nara, ia membuat undang-undang pemerintahan adat sebagai berikut:
1.     Komunitas orang Thie (keturunan Ti Mau dan lain-lain) yang berada di Rote Daratan dibagi atas dua bagian (dua suku besar/klen patrilineal), yaitu Suku Besar Sabarai dan Suku Besar Taratu.
2.     Komunitas orang Thie (juga keturunan Ti Mau) yang tinggal di Pulau Landu, yaitu keturunan Busa Tola, diberi hak otonomi khusus.
Untuk Suku Besar Sabarai dan Taratu dibuat ketentuan yang merupakan Undang-undang Perkawinan Adat Nusak Thie, berisi antara lain:
1.     Suku Besar Sabarai terdiri dari keturunan, yakni Saba Nara, Ketu Nara, Tole Ma, Tiadi Ma, Pado Ranggo, Musu Tola, Sakalua Tola, Lai Pala dan Sa Patola.
2.     Suku Besar Taratu terdiri dari dua keturunan, masing-masing Saku Nara dan Dato Nara.
3.     Antara kedua kelompok/Leo (Sabarai dan Taratu) ditetapkan untuk saling mengambil jodoh.
4.     Dilarang mengambil jodoh ataupun mengadakan hubungan seksual dalam kelompok sendiri.
5.     Bila terjadi pelanggaran atas ketetapan seperti tersebut pada butir 4 maka bagi pihak pelanggar akan dirajam/dirotani dan baru dihentikan ketika si pelanggar mengaku telah bertobat. Si pelanggar juga tidak diperkenankan untuk kawin (berumah-tangga).
Selanjutnya untuk Leo Landu (Suku Landu) diatur sebagai berikut:
1.     Pulau Landau dalam administrasi pemerintahan, termasuk Nusak Thie, tetapi diberi otonomi khusus dan tidak terpayungi dalam Undang-undang Adat Nusak Thie seperti tersebut di muka.
2.     Dalam perkawinan bersifat eksogami dan boleh mengambil jodoh dari kelompok Sabarai ataupun Taratu, dan
3.     Dilarang endogami.
Kini anggota suku asli Landu sudah sangat minim, terdapat hanya beberapa keluarga. Ada pula beberapa pendatang yang telah berintegrasi atau menyatakan diri masuk menjadi anggota Suku Landu. Sekarang di pulau ini telah tinggal menetap suku-suku yang lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, tiap kelompok (Sabarai dan Taratu) menurunkan pula banyak cabang. Sesudah Suku Nara, dua abad berselang, yaitu pada masa pemerintahan Raja Besi Alu Pah, tiap cabang dari tiap kelompok ditetapkan menjadi sebuah suku kecil, disertai nama sukunya masing-masing. Akhirnya Suku Besar Sabarai terdiri dari 13 suku kecil dan Suku Besar Taratu terdiri dari 12 suku kecil, sehingga jumlah keseluruhan adalah 25 suku. Pengelompokan itu berdasarkan garis hubungan/silsilah. Kemudian Suku Sabarai dibagi lagi atas dua bagian. Bagian/kelompok yang satu disebut Leo Ina Huk, terdiri dari delapan suku dan satu bagian/kelompok yang lainnya disebut Leo Anak –terdiri dari lima suku.
Oleh karena Undang-undang Perkawinan Adat Nusak Thie itu hanya memayungi kedua suku besar Sabarai dan Tarutu yang terdiri dari 25 suku kecil, maka orang menyangka atau mengatakan bahwa masyarakat Thie hanya terdiri dari 25 suku (leo). Padahal terdiri dari 26 suku (leo), termasuk Suku (Leo) Landu.
Berdasarkan pembagian suku-suku kecil seperti tersebut tadi, maka tampil sebagai kepala-kepala suku (maneleo) yang pertama antara lain Mbura La’e, Henu La’e, Saba La’e, Tode Boru, Nale Boru, Mesa Boru dan Ndana Boru.
Perincian suku-suku Sabarai dan Taratu sebagai berikut: Suku Sabarai terdiri dari Leo Ina Huk dan Leo Anak. Termasuk ke dalam Leo Ina Huk adalah Mburala’e, Henula’e, Sabala’e, Nggaupandi, Tolaumbuk, Meoleok, Kolek dan Sandi. Kemudian termasuk ke dalam Leo Anak adalah Su’a, Le’e, Musuhu, Kona dan Kanaketu. Selanjutnya Suku Taratu terdiri dari Moiumbuk, Todefeo, Nalefeo, Mesafeo, Ndanafeo, Manedato, Feosoru, Langgalodo, Sorumbuk, Mokaleok, Bibimane dan Kekadulu.
Pembagian suku-suku kecil dari suku besar Sabarai dan Taratu tersebut diresmikan sekitar tahun 1790 oleh Raja Besi Alu Pah di Danoheo. Di tempat itu (Danoheo) didirikan dua buah tugu peringatan (lutu mbatu), sebuah untuk kelompok Sabarai disebut Lutu Ain dan sebuah lagi untuk kelompok Taratu yang disebut Mboe Ain.
Suatu rumpun suku-suku yang dekat silsilahnya yang tergabung dalam suatu aliansi disebut nggileo dan anggota sukunya disebut bobonggik. Dan suku yang timbul dari suatu cabang disebut leo (klen) dan anggota sukunya disebut ka’a fadik. Sedangkan cabang-cabang yang lebih kecil (ranting) dalam suatu leo (klen) disebut teidalek (subklen) dan anggota-anggotanya dinamakan toranok.
Dalam beberapa leo terdapat sejumlah anggota pendatang yang diadopsi. Mereka disebut ‘mana mai’. Namun sebutan ini tidaklah etis bila diucapkan di hadapan mereka, karena akan membuat mereka malu. Mereka yang telah diadopsi secara resmi merasa sebagai anggota yang asli.
Untuk mengetahui jumlah jiwa tiap suku di Thie, di masa pemerintahan Raja Salmun Jonas Messakh, diadakan sensus pada tahun 1910, meliputi jiwa tiap leo (suku), juga menyangkut pertanian. Pada tahun 2005 sempat pula diadakan sensus, hanya meliputi jiwa tiap suku Thie, baik yang berada di Nusak Thie sendiri maupun di luar Nusak Thie, terutama yang berada di Kota Kupang, Oebelo, TTS (Tuasene, Soe, Tuakolek), TTU (Kefamenanu, Dalehi, Inggureo), dan lain-lain tempat.
Menurut sensus 2005 itu, jumlah jiwa orang Thie –baik yang berada di Nusak Thie maupun di luar Nusak Thie—sekitar 25.000 jiwa. Ternyata dalam jangka waktu hampir satu abad, pertambahan subetnis Thie sekitar tiga kali lipat.
Subetnis Thie tersebar di 14 desa yang terdapat di Kecamatan Rote Barat Daya (Nusak Thie). Desa-desa yang terdapat banyak emigran dari luar adalah Desa Meoain (dari Dengka dan Ndao), Desa Lalukoen (dari Termanu dan Sabu), Desa Oeseli (dari Dengka, Ndao dan Sulawesi), dan Desa Batutua (dari banyak tempat).

C.     Historis dan Kekhasan Suku Asli Nusak Thie   
Sejarah singkat dan kekhasan nama julukan beberapa suku asli Nusak Thie dapat dipaparkan sebagai berikut:
1.     Suku Mburala’e. Sewaktu masuknya Belanda di Rote Ndao, pucuk pemerintahan berada di tangan suku/leo Mburala’e, yaitu di tangan keluarga/teidalek (fam) Pandi dan Messakh. Manek pada waktu itu bernama Nale Mesak. Sejak masuknya Belanda, suku ini (khususnya dinasti Messakh) diakui sebagai pemegang kekuasaan Kerajaan Thie secara turun-temurun. Namun, dalam perjalanan sejarah pemerintahan Kerajaan Thie, manek/raja dapat diangkat dari suku lain. Suku Mburala’e dikenal dengan nama julukan “mburala’e mana na’a no lasik” (orang-orang Mburala’e pemakan kelapa tua). Maksudnya mereka suka makan buah kelapa yang tua.
Salah satu cabang (teik) dari Suku Mburala’e adalah Rondo Teik. Rondo Teik adalah keturunan dari orang Ndana. Moyang mereka yang bernama Rondo Nunu dengan isterinya yang bernama Sa’u La’e (saudara perempuan dari Raja Ndana) diadopsi oleh Nale Mesah (Raja Thie), lantas disebut Rondo Nale dan keturunannya disebut Rondo Teik. Sebagian besar dari keturunan moyang ini mempergunakan fam Nunuhitu (Noenoehitoe), yang lain memakai fam Messakh dan fam Pandi.
2.     Suku Tolaumbuk. Suku ini dikenal dengan julukan “Tolaumbuk mana Sali doke dalek” (orang-orang Tolaumbuk yang biasa berak kena lipatan lutut bagian belakang). Maksudnya mereka biasa mencret. Moyang mereka yang bernama Tule Fatu alias Danien Fatu pernah bersama Foe Mbura ke Batavia.
3.     Suku Su’a. Dalam semua kegiatan atau upacara adat, sopi memegang peran sangat penting, baik untuk diminum maupun untuk keperluan acara. Dalam upacara songgo pun perlu ada sopi. Suku Su’a mempunyai tugas untuk menyiapkan material ini. Suku Su’a pun dikenal dengan nama julukan “Su’a mana na’a nggua” (orang-orang Su’a pemakan kura-kura). Maksudnya, mereka suka makan daging kura-kura. Pada masa silam mereka memang makan daging kura-kura.
4.     Suku Le’e. Nama julukan Suku Le’e adalah “Le’e mana husi manu” (orang-orang Le’e yang biasa memburu ayam). Setiap tahun, pada bulan Oktober, perlu diadakan songgo tahunan untuk meminta hujan. Dalam upacara songgo itu harus disediakan beberapa jenis hewan untuk keperluan songgo. Suku Le’e diberi tugas oleh Suku Besar Sabarai untuk menyediakan sejumlah ayam. Untuk memperoleh ayam, Suku Le’e diberikan kewenangan oleh masyarakat Thie untuk merampok secara adat ayam milik siapa saja. Pada bulan Oktober, sejumlah orang lelaki dari Suku Le’e beramai-ramai masuk-keluar kampung untuk merampok ayam milik siapa saja. Merampok secara adat ini telah berakhir sejak tahun 1950-an.
5.     Suku Langgalodo.  Kalau Suku Le’e dan Su’a bertugas dalam masalah spiritual untuk suku besar Sabarai, maka Suku Langgalodo bertugas dalam bidang sipirtual untuk Suku Besar Taratu. Anggota-anggota lelaki dari suku ini pada saat songgo tahunan beramai-ramai merampok secara adat babi milik siapa saja untuk dipergunakan dalam upacara songgo, termasuk acara ramah tamah. Merampok secara adat ini telah ditiadakan sekitar tahun 1930-an.
6.     Suku Musuhu. Orang-orang Musuhu biasa berkawan dengan buaya atau sebagai pawang buaya. Hal ini terjadi lantaran menurut legenda seorang moyang Musuhu setelah lama merendam diri dalam air kali karena sakit (luka-luka yang kronis), lalu ia menjelma menjadi buaya. Orang-orang Musuhu dikenal juga dengan julukan “Musuhu ta mana na’a turis” (orang-orang Musuhu yang tidak biasa makan biji turis), maksudnya mereka (Musuhu Dulu) pantang makan biji turis. Hal ini disebabkan moyang mereka yang bernama Mina Mbaru (pernah bersama Foeh Mbura ke Batavia) waktu meninggal dan setelah dikuburkan, tiga hari kemudian tumbuh pohon turis di kepala kubur. Setelah berbuah, mereka memetik dan memakan tapi menimbulkan penyakit berupa borok-borok. Sejak saat itu keturunan mereka tidak memakan buah/biji turis. Keluarga Dami dari Suku Musuhu ada yang tinggal di Jawa, Aceh dan Belanda.
7.     Suku Boru Anan. Gabungan dari suku-suku Todefeo, Nalefeo, Mesafeo dan Ndanafeo disebut Suku Boru Anan. Moyang-moyang pertama dari masing-masing suku ini adalah Tode Boru, Nale Boru, Mesa Boru, dan Ndana Boru. Keempatnya adalah anak-anak dari moyang Boru Moi.
Pada waktu pembentukan dan peresmian suku-suku kecil seperti tersebut di muka, rencananya cabang-cabang yang dekat silsilahnya yang jumlah jiwanya sedikit, misalkan keturunan dari Boru Moi (empat cabang) dijadikan hanya sebagai sebuah suku, dengan nama Suku Boruanan, namun keturunan dari Boru Moi tidak setuju. Hal ini dengan latar belakang, kalau hanya menjadi satu suku maka akan mendapat  hanya satu bagian daging.
Pada saat pembagian dan peresmian suku-suku itu disembelih seekor kuda sebagai tanda pengesahan hukum adat yang disebut “ndara tangga”. Sedang beberapa kerbau disembelih juga untuk acara ramah tamah dan khusus seekor akan dibagikan dagingnya sesuai dengan banyaknya suku yang diresmikan. Usulan Suku Boru Anan itu disetujui oleh sidang, lalu oleh tua-tua adat, keempatnya ditetapkan menjadi empat suku. Dengan demikian mereka berhak memperoleh empat bagian daging.  Namun sejak saat itu sampai sekarang Suku Boru Anan mendapat julukan “Boru Anan Kalase Mbak” yang berkonotasi “orang-orang Boru Anan yang bersifat serakah”.
Walaupun kini telah terjadi erosi nilai-nilai klasik, sehingga integritas dan solidaritas antar-anggota keempat suku tersebut sudah agak longgar, namun dulu mereka sangat intim dan kompak. Karena hubungan yang kompak penuh kekeluargaan seperti itulah, maka mereka biasa disanjung-sanjung dengan kata-kata “Boru Anan sama leo kamba fui de ara lu’u, na esak lulu’un, te hu ara la’ok na lelek esa ka” (Boru Anan bagaikan kerbau liar, jadi bila tidur/istirahat masing-masing pada tempatnya, tetapi bila berjalan maka semuanya satu jejak). Maksudnya kendati mereka terpisah oleh ruang/jarak namun dalam menghadapi sesuatu masalah yang menimpa seseorang anggota keluarga mereka maka mereka sehati/kompak. Apakah nilai-nilai luhur ini tetap dipertahankan oleh mereka (Suku Boru Anan) sampai seterusnya? Semoga.
Keempat anak Boru Moi disebut pula Tode Feo, Nale Feo, Mesa Feo dan Ndana Feo, sehingga suku-suku mereka pun dengan nama belakang Feo. Apa sebab nama masing-masing anak itu digabung dengan kata Feo? Kata feo itu berasal dari nama saudara Boru Moi, yaitu Feo Moi (moyang Suku Feosoru). Menurut tradisi, bila salah seorang sudara lelaki telah lanjut usia tapi belum mempunyai anak, maka untuk menghormatinya serta demi memupuk keintiman, nama anak-anak dari sudara lelakinya digabung dengan nama saudara yang bersangkutan (yang belum punya anak). Oleh karena Feo Moi sudah lanjut usia namun belum punya anak maka nama keempat anak Boru Moi itu digabung dengan nama Feo, menjadi Tode Feo, Nale Feo, Mesa Feo, dan Ndana Feo. Namun demikian dalam menuturkan silsilah disebutkan ayah kandung. Nama-nama ini diabadikan pula untuk nama suku-suku mereka.
Menurut beberapa penutur/narasumber, bahwa anak-anak Boru Moi tidak hanya terdiri dari empat anak tapi lima anak. Anaknya yang lain itu bernama Moi Boru. Karena terjadi suatu persengketaan dengan keempat saudaranya itu maka ia (Moi Boru) melarikan diri ke Pulau Timor kemudian ke Maluku/Saparua. Ada pula yang mengatakan bahwa Moi Boru bukan anak Boru Moi tapi keturunan dari Ndana Boru. Sesuai dengan silsilah, Ndana Boru beranak Lote Ndana, Hani Ndana I, Hani Ndana II dan Mberu Ndana. Lalu Lote Ndana beranak Boru Lote, lantas Boru Lote beranak Nale Boru. Kalau benar bahwa Moi Boru itu adalah keturunan dari moyang Ndana Boru, maka kemungkinan ia adalah anak dari Boru Lote. Jadi Boru Lote bukan saja beranak Nale Boru tapi juga beranak Moi Boru. Keturunan moyang ini (Moi Boru) berada di Maluku (Saparua) dan menurut narasumber Yonas Mooy bahwa pada tahun 2002, salah satu keturunan Moi Boru datang ke Danoheo/Oebou untuk melacak keluarga mereka.
8.     Suku Moiumbuk. Kata moi adalah nama orang dan umbu(k) berarti cucu. Arti dari moi ialah cucu dari Moi. Terdapat seorang moyang bernama Moi Longgo. Ia bersaudara dengan Soru Longgo (moyang Suku Sorumbuk) dan Langgalodo Longgo (moyang Suku Langgalodo). Moi Longgo beranak empat anak laki-laki, masing-masing Boru Moi (moyang Suku Boruanan), Feo Moi (moyang Suku Feo Soru), Ra’u Moi dan Tiko Moi. Keturunan Tiko Moi dan Rau Moi menjadi Suku Moiumbuk.
Mengapa kedua bersaudara itu (Tiko Moi dan Ra’u Moi) tidak disebut Moianan (anak-anak dari Moi) tapi mereka disebut Moiumbuk (cucu-cucu dari Moi)? Isteri pertama dari Moi Longgo bernama Lari Feo, anak dari Raja Oenale yang bernama Feo Mboro Mba’e. Dari perkawinan ini lahir Boru Moi dan Feo Moi. Kemudian Moi Longgo memperisteri lagi seorang gadis, keponakan isterinya (Lari Feo), lalu melahirkan Ra’u Moi dan Tiko Moi. Oleh karena isteri kedua Moi Longgo berstatus keponakan (anak), maka masyarakat menganggap dan menyebut kedua anak itu sebagai “cucu” dari Moi Longgo. Perlakuan masyarakat itu merupakan suatu sindiran atas perbuatan Moi Longgo dalam mengambil keponakan isteri menjadi isterinya yang kedua.
Lantaran perbuatan Moi Longgo itu maka isterinya (Lari Feo) lari kembali ke orang-tuanya bersama kedua anaknya (Boru Moi dan Feo Moi). Kedua anak itu telah lama tinggal bersama to’o-to’onya dan telah menjadi dewasa namun tidak dijemput kembali oleh Moi Longgo. Untunglah saudara-saudara Moi Longgo, yaitu Soru Longgo dan Langgalodo, pergi menjemput mereka berdua, setelah menyelesaikan sanksi adat.
Keturunan dari keempat anak Moi Longgo itu (Boru Moi, Feo Moi, Ra’u Moi dan Tiko Moi) disebut Moi Anan.
9.     Suku Kekadulu. Menurut penggolongan berdasarkan kelompok/aliansi kekerabatan, Suku Kekadulu termasuk rumpun besar Taratu, sehingga ia seharusnya tidak boleh mengambil jodoh dari suku-suku Taratu yang lainnya. Namun, oleh karena pada saat bermusyawarah untuk menentukan dan meresmikan suku-suku, mereka terlambat hadir maka mereka dianggap abstain sehingga diberikan dispensasi atau kebebasan untuk boleh mengambil jodoh dari suku-suku Taratu yang lain ataupun dari Sabarai. Jadi, dalam perkawinan, ia merupakan joker merah. Karena merupakan joker merah maka anggota-anggota suku ini tidak sulit menemukan jodoh.
Musyawarah untuk menentukan nama dan jumlah suku berlangsung di bawah sebuah pohon beringin yang rimbun. Lantaran orang tua-tua dari rumpun Suku Kekadulu terlambat hadir, maka mereka duduk menyendiri di bagian timur dari beringin tersebut. Saat itu mereka masih berpikir lama, lalu pimpinan musyawarah mengusulkan agar diberi nama “kekadulu”, yang berarti (harfiah) di “sebelah timur beringin”. Usul itu diterima oleh tua-tua kelompok yang bersangkutan lalu disahkan sebagai nama suku.
Kakek pertama Suku Kekadulu adalah Rondo Dua dan juga Boni Radi, keduanya adalah keturunan dari moyang Ti Mau. Namun, selain keturunan kedua kakek itu, banyak pula anggota dari Suku Kekadulu yang bukan merupakan keturunan dari moyang Ti Mau, bahkan ada yang dari subetnis yang lain. Semuanya berintegrasi dan menyatu dalam keluarga besar Kekadulu.
10.                        Suku Manedato. Moyang pertama dari Suku Manedato ialah Dato Nara. Setelah Dato Nara memperanakkan anak-anaknya Bae Dato, Ume Dato dan Tuti Dato, dia berpindah ke Rote Timur.  Pada mulanya dia tinggal di Oepao, setelah itu berpindah ke Ringgou. Keturunan Dato Nara di Ringgou berturut-turut: àMeti Dato à Fua Meti à Foe Fua à Tupu Foe dan seterusnya.
Keturunan Dato Nara tidak memakan daging anjing. Ceritanya, pada Juni 1872, orang Dengka pergi menyerang orang Thie di Thie-Desa Bo’ik. Dalam pertempuran itu sembilan orang Dengka dipenggal kepalanya oleh orang Thie dan satu orang Thie (Nggebu Hani – orang Manedato) dipenggal kepalanya oleh orang Dengka dan dibawa lari, tetapi anjing kesayangan Nggebu Hani membawa kembali tengkorak tuannya. Sejak saat itu orang-orang Manedato tidak lagi memakan daging anjing. Dalam perang berikutnya di Nggelak, Lusi Hani (saudara Nggebu Hani) dipenggal kepalanya juga oleh orang Dengka.
Sejak saat itu mulai terkenal ungkapan/julukan “Thie boke boa” dan “Dengga tafa na’ak”. Kisahnya sebagai berikut: dalam peperangan antara orang Thie dan orang Dengka yang berlangsung di Thie/Bo’ik itu, orang-orang Dengka mengejar dan mendesak orang Thie sampai ke pinggir laut lalu terjun ke dalam laut. Orang Dengka menyangka bahwa orang Thie tidak berdaya lagi lalu mereka menyerbu ke dalam laut. Padahal melalui sayap kiri-kanan orang Thie keluar dari dalam laut lantas memagari/mengepung orang Dengka dan mendesak mereka ke dalam laut. Dengan siasat itu sembilan orang Dengka dipenggal lehernya seperti tersebut tadi. Sejak saat itu sampai sekarang orang Thie dikenal dengan nama julukan “Thie boke boa” (orang-orang Thie yang terjun ke rumpun bakau karena di laut yang ada pohon bakau) dan orang Dengka dikenal dengan julukan “Dengga tafa na’ak” (orang-orang Dengka yang dimakan pedang).
Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Thie yang bernama Paulus Messakh (1861-1882). Sejak saat itu pula tengkorak yang diperoleh dalam peperangan dibawa ke Inggulai (ibukota lama) untuk diadakan upacara di tempat persemayaman tengkorak yang disebut “sae”.
11.                        Suku Kanaketu. Dari tiap nusak di seluruh Rote terdapat satu suku yang punya tugas mengurus masalah pertanahan, disebut Leo Dae Langgak (Suku Bagian Pertanahan). Dari suku tersebut diangkat seorang untuk mengurus bidang pertanahan dalam seluruh wilayah nusak yang bersangkutan. Oknum tersebut harus dipilih dari orang yang mengetahui secara baik historis tanah-tanah dalam nusak yang bersangkutan. Pejabat itu disebut Mane Dae Langgak (Kepala Pertanahan). Pejabat tersebut akan mendapat pembagian hasil bumi yang disebut dae mina. Juga memperoleh sebuah kaki (paha) dari hewan hutan buruan, disebut mba mbu.
Di Nusak/Kerajaan Thie, suku yang mengurus masalah pertanahan ialah Suku Kanaketu. Suku ini lebih mengetahui sejarah tanah-tanah di Nusak Thie. Pada saat Raja Thie (Jonas Nikolas Messakh) mengakhiri tugasnya sebagai raja pada tahun 1908 karena pensiun, maka atas usul Suku Kanaketu, Pulau Ndana dihibahkan kepada beliau sebagai tanda terima kasih dari rakyat atas jasa-jasanya.
12.                        Suku Sandi. Menurut mitos, Ndu Sa diterbangkan oleh seekor burung elang ke Thie. Di Thie, sementara Ndu Sa (orang Sandi) membakar ladang, ia terbakar, dan sisa hanya kepala/tengkoraknya dalam keadaan hidup lalu diterbangkan oleh seekor burung elang ke Pulau Ndana dan diletakkan di atas meja Raja Ndana. Oleh Raja Ndana, ia (si tengkorak) ditugaskan menjaga Istana Raja. Ia bergerak atau beraktivitas dengan cara berguling-guling sehingga di Ndana ia tidak disebut Ndu Sa, tapi disebut Loli-Loli Sa. Karena beraktivitas dengan cara beruling-guling maka membuat orang ketakutan. Kemudian air liur si tengkorak tersebut terlangkahi oleh puteri Raja Ndana lantas sang puteri mengandung.
Pada waktu Perang Sonbait (di Timor), orang-orang Rote kenal dengan nama Perang Manubait, salah seorang moyang orang Sandi, yang bernama Tode Ndana, diangkat oleh Belanda sebagai panglima perang dan memimpin pasukan: Thie, Bilba, Korbafo, dan Landu. Tempat pertahanan mereka ialah sekitar Oeba (Kota Kupang) bagian barat, yang kemudian dikenal dengan nama “Tode” atau “Kampung Tode”  --menurut nama oknum panglima perang ini.
Sesudah perang, Tode Ndana kembali ke Rote, sedangkan seorang keponakannya (Adu Tule), yang juga turut dalam Perang Manubait, pergi ke Oemofa kemudian kawin dengan seorang anak gadis dari keluarga Autepah, lalu beranak 10 orang anak. Dari ke-10 orang anak itu, empat keturunan memakai fam Tule, dan enam keturunan lainnya memakai fam Autepah. Mereka tinggal/menetap di Nunkala (Oekabiti).
13.                        Suku Kona. Dari Suku Kona muncul dua orang seniman, yaitu Sangguana Nale dan saudaranya Tou Lo Nale. Kedua bersaudara ini terkenal dalam hal tarik suara serta memetik sasando. Bukan saja itu, mereka pun mempopulerkan alat musik sasando kepada masyarakat. Nale Sanggu, anak dari Sangguana Nale yang memerangi dan mengalahkan Kerajaan Ndana (Haning, 2006: 3). Kendati Kerajaan Ndana dikalahkan oleh Nale Sanggu, namun dia tidak mengklaim Pulau Ndana sebagai miliknya, melainkan menjadi milik Kerajaan Thie. Nafi Tou Lo, anak dari Tou Lo Nale, juga bersama dengan Foeh Mbura ke Betawi. Dia terkenal sebagai arsitek. Dia (Nafi Tou Lo/Nafi Lon) yang membuat perahu Sangga Ndolu, yang dipergunakan dalam pelayaran mereka menuju Betawi. Dia pula yang bertindak sebagai jurumudi.
14.                        Suku Landu. Keturunan dari moyang Busa Tola menjadi Suku Landu. Waktu orang-orang Thie keluar dari Pulau Landu, keturunan Busa Tola tidak turut bermigrasi ke Rote Daratan (Dae Henda). Kemudian setelah dibuat Undang-undang Adat Nusak Thie pada masa pemerintahan Manek (Raja) Saku Nara, Pulau Landu diberi status otonom, sehingga walaupun dalam administrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Nusak Thie, namun ia mengurus dirinya sendiri dan tidak termasuk atau terkait dalam Hukum Perkawinan Adat Nusak Thie. Karena tidak terikat dalam Hukum Perkawinan Nusak Thie, maka ia bebas mengambil jodoh, kecuali endogami dilarang, sama halnya dengan Suku Kekadulu. Suku ini sampai sekarang sudah terdapat 24 generasi. Meskipun sudah terdapat 24 generasi namun jumlah jiwa mereka paling sedikit, yaitu 77 orang.

D.    Pandangan pada Alam Semesta
Menurut pandangan masyarakat Rote bahwa alam semesta terdiri dari alam nyata yang dihuni oleh manusia dan alam yang tidak nampak (yaitu dunia gaib). Manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta atau kosmos ini.
Alam gaib dihuni oleh berbagai makhluk halus dan kekuatan gaib yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara biasa dan karena itu sangat ditakuti. Alam gaib terdiri dari dua bagian, yaitu alam gaib yang berada di alam atas (langit) dan alam gaib yang berada di bawah (bumi). Baik alam gaib yang berada di langit maupun yang berada di bumi dihuni oleh kekuatan-kekuatan gaib yang berada di atas kekuatan manusia (supernatural) dan keduanya merupakan dwitunggal. Menurut kepercayaan orang Cina tradisional, alam gaib bagian atas itu disebut Yang dan alam gaib bagian bawah disebut Yin.
Kekuatan gaib yang berada di alam atas yang terdiri dari para dewa mempunyai kuasa untuk mensejahterakan manusia, tapi sebaliknya dapat pula menghukum manusia. Di antara semua dewa yang menghuni alam atas itu yang paling agung kuasa dan kedudukannya ialah Teluk Aman Lai Londa.
Kekuatan gaib alam bawah (bumi) terdiri dari roh-roh nenek moyang yang dikenal dengan nama nitu uma dan roh-roh jahat yang disebut nitu mula serta pundiana/maro (kuntilanak). Roh-roh nenek moyang (nitu uma) umumnya berbuat baik terhadap manusia (keluarganya). Jika sesuatu perbuatan manusia (keluarganya) bertentangan dengan kehendaknya maka ia (mereka) memberikan teguran berupa sakit-penyakit dan lain-lain. Kekuatan gaib alam bawah yang lainnya yang juga roh-roh jahat, kerjanya hanya ingin mencelakakan makhluk hidup –baik atas kemauan sendiri maupun atas suruhan manusia lainnya.
Untuk menolak bala, penyakit dan lain-lain, baik yang disebabkan oleh roh-roh jahat ataupun yang terjadi dengan sendirinya maka roh-roh nenek moyang inilah yang pertama-tama dihubungi/dimintakan bantuannya, jika buntu barulah kekuatan gaib alam atas akan dihubungi. Untuk kepentingan yang lebih urgen (kemakmuran dan kehidupan), kekuatan gaib alam atas yang dihubungi baik secara langsung maupun dengan perantaraan roh-roh nenek moyang.
Manusia harus menghadapi alam gaib itu dengan cinta, bakti dan takut. Oleh karena itu, manusia harus melakukan perbuatan-perbuatan yang bertujuan mencari hubungan atau mencari perlindungan dari atau dengan kekuatan alam gaib yang berada di atas kekuatan manusia (supernatural) itu agar ketenteraman batin dan kesejahteraan hidup manusia dapat terjamin sebab keselamatan dan kesejahteraan manusia hidup manusia sangat bergantung kepada kekuatan supernatural itu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan yang tak dapat dipecahkan oleh akal, dapat dipecahkan melalui ilmu gaib.
Sampai kini sebagian penganut Kristen di Rote masih sangat percaya pada animisme dan dinamisme. Mereka berpendapat bahwa hal-hal yang disebabkan oleh magis harus diselesaikan atau dikonfrontasikan dengan cara magis pula.
Kaum halaik (animis) yang dalam bahasa Rote disebut “dinitiu” dalam semua cara berhubungan dengan kekuatan gaib bersifat religius. Dilakukan dengan doa dan persembahan/sesajen seperti beras, sirih, pinang, nasi, ketupat dan hewan sembelihan. Benda-benda itu dipersembahkan kepada dewa atau roh dengan harapan serta anggapan bahwa roh-roh benda tersebut dapat dinikmati oleh si roh atau si dewa yang bersangkutan.
Kurban (persembahan) yang berupa hewan terdiri dari ayam, anjing, babi, kambing/biri-biri, dan kerbau, umumnya berwarna bulu merah, putih, hitam dan burik. Bagian daging yang dipersembahkan terdiri dari hati, telinga, bulu, dan ekor. Bila mengadakan sumpahan maka dipergunakan darah kucing (diminum) atau dengan memenggal leher ayam hidup.
Oknum yang bertugas sebagi pendeta (penghubung antara dunia nyata dan alam gaib) disebut “manasongo/manasonggo” atau “manenitu”. Oknum ini harus hidup suci (tak boleh melakukan hal-hal yang jahat) dan umumnya berambut gondrong. Bilamana rambutnya dicukur maka harus diadakan upacara. Pekerjaan manasonggo tersebut hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat “white magic”. Sedangkan oknum yang biasa  melakukan “black magic” (santet) disebut “mana teka” (tukang suanggi).
Untuk membahayakan orang lain dengan cara magis/santet dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu, pertama, Teka/doki (suanggi/santet) ditujukan kepada orang-orang yang dibenci karena sesuatu masalah. Kedua, Tatimane ditujukan kepada orang-orang yang melakukan pencurian hewan/pangan.
Suanggi dan Tatimane dapat menimbulkan berbagai macam penyakit/kematian, disambar kilat/buaya, diserang lebah secara massal, dimakan hantu, dan lain-lain.
Ada beberapa jabatan spiritual lain dengan fungsi sebagai berikut:
a.      Manalosi: Petenung.
b.     Mana Tiro Uak: orang yang pandai melihat urat/nasib manusia baik pada tapak tangan atau anggota badan lainnya. Dapat meramalkan untung-malang seseorang.
c.      Mana Nggai Uak: orang yang pintar dalam memperbaiki nasib yang buruk atau celaka.
d.     Mana Sefi: orang yang dapat melepaskan seseorang dari cengkeraman magis/santet.
e.      Mana Hanas: perawat untuk penyakit gawat darurat.
Demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dan lingkungannya selalu diadakan berbagai upacara baik yang berkenaan dengan lingkaran/siklus kehidupan manusia (life cycle), maupun berkenaan dengan peternakan/pertanian, perikanan, kehutanan, perburuan, rumah baru dan sebagainya. Dari semua upacara itu, upacara kematian (life cycle) adalah yang terbesar serta mempunyai kronologis waktu/tahapan yang panjang, menyusul perkawinan (juga life cycle), sesudah itu rumah baru, kemudian yang lain-lain.
Khusus mengenai hal-hal yang berhubungan dengan lingkaran/siklus kehidupan manusia, menurut para ahli antropologi, bahwa tujuan pesta-pesta dan upacara sepanjang siklus/lingkaran kehidupan individu serta kesadaran umum pada semua manusia bahwa tiap-tiap tingkat hidup yang baru sepanjang siklus kehidupan itu membawa si individu ke suatu tingkat dan lingkungan sosial yang baru dan lebih luas serta lebih gawat dan penuh bahaya yang nyata maupun gaib. Maka itu dalam melampaui krisis itu harus diadakan upacara-upacara untuk menolak bahaya yang gaib yang akan mengancam si individu serta lingkungannya.
Selain menolak bahaya, juga mempunyai fungsi/tujuan yang penting, ialah menyatakan kepada masyarakat tingkat hidup yang baru yang dicapai si individu dan karena manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam semesta maka hidup manusia harus disesuaikan dengan tertib alam semesta, manusia harus mengusahakan keseimbangan dan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib. Upacara yang menyangkut siklus kehidupan manusia disebut upacara waktu krisis (crisis rites) atau upacara peralihan (rites depessage).
Menurut antropolog Kuntjaraningrat, bahwa pesta-pesta dan upacara-upacara pada saat peralihan sepanjang siklus/lingkaran kehidupan itu meliputi: hamil, kelahiran, memberi nama, sunat, menyapih, memotong rambut, menusuk telinga, mencacah kulit, memapar gigi, haid, kawin, meninggal dan lain-lain adalah bersifat universal dan ada dalam hampir semua kebudayaan di seluruh dunia, hanya tidak semua saat peralihan itu dianggap sama penting bagi semua suku bangsa di dunia.
Di masyarakat Rote, hal-hal yang kurang penting dari siklus (daur hidup) itu adalah tusuk telinga dan haid. Sedangkan saat-saat yang penting ialah hamil, lahir, memberi nama, mencukur rambut, menyapih, memapar gigi, sunat, mencacah kulit, kawin dan meninggal. Dengan demikian diadakan upacara yang berkenaan dengan saat-saat peralihan tersebut.
Kini saat-saat peralihan itu masih dilakukan upacara tapi tidak semuanya dilakukan secara magis religius, melainkan bagi mereka yang beragama Kristen dilakukan secara Kristen (disubstitusi, dibuat ibadah/kebaktian disertai ramah tamah) atau diadakan ramah tamah tanpa ibadah.
Dalam upacara-upacara adat ini –terutama yang bersifat ritual—maka yang diharapkan dan dipanggil untuk merestui/menolong orang yang berniat adalah arwah/roh leluhur yang disebut nitu uma dan para dewa. Mereka inilah (terutama nitu uma) mempunyai hubungan yang paling dekat dengan manusia dan merupakan tempat perlindungan dan tempat meminta bantuan serta pula sebagai penghubung kehidupan antara manusia dan para dewa. Selain dari para dewa, para arwah nenek moyang pun dapat menghukum setiap orang yang melanggar tata tertib antara manusia dan alam gaib, bahkan antara manusia dan sesamanya, maupun lingkuangan, terutama yang menyangkut gangguan hubungan kekeluargaan.
Bila perbuatan manusia (keluarga) menimbulkan amarah nitu uma maka mereka akan memberi peluang kepada roh-roh jahat untuk mendatangkan bencana bagi manusia (keluarga). Dikatan nitu uma imbo –maksudnya nitu uma-lah yang meloloskan masuknya bencana.
Ada satu golongan dari nitu uma yang merupakan pengawal, tugasnya untuk menangkis setiap bahaya dari luar, terutama bahaya-bahaya gaib, yang mengancam manusia. Golongan pengawal ini disebut “nitu rani” –semacam pasukan berani mati, dipunyai oleh setiap suku/klen. Mereka dimarkaskan pada sebuah pohon yang rindang dan setiap tahun atau pada musim pandemi/epidemi diberi persembahan. Pohon/markas ini mendapat perlindungan hukum, begitupun dengan obyek religius yang lain.
Sebagai pernyataan rasa hormat/terima kasih atau kontak atau permohonan akan sesuatu, maka yang pertama-tama yang akan dihubungi ialah para arwah nenek moyang tersebut. Mereka dapat dihubungi dengan jalan mendepa tombak atau menjengkal irus dan/atau diberi sesajen.
Ada beberapa dewa yang dikenal masyarakat Rote seperti dewa Nutu Bek (Dewa Pertanian), Nade Dio (Dewa Kemakmuran), Ndao Malo (Dewa Tanah), Inde Reo (Dewa Batu), Teluk Aman Lai Londa (disingkat Teluk Aman), dan Hak Aman Nepe Dae (disingkat Hak Aman).
Teluk Aman artinya ayah dari si Teluk (Tiga) dan Lai Londa artinya yang diturunkan dari langit. Sedangkan Hak Aman artinya ayah dari si Hak (Empat) dan Nepe Dae artinya yang memangku tanah/bumi. Jadi Teluk Aman Lai Londa artinya ayah di Teluk (Tiga) yang diturunkan dari langit. Dan Hak Aman Nepe Dae artinya ayah si Hak (Empat) yang memangku bumi. Teluk Aman Lai Londa adalah perlambang kekuatan gaib alam atas (langit) sedangkan Hak Aman Nepe Dae adalah perlambang manusia insani di bumi.
Untuk memperoleh kekayaan material, maka Teluk Aman lah yang disembah. Karena dewa inilah yang mengatur kehidupan khususnya hujan, maka tiap tahun (yaitu pada setiap bulan Oktober) harus disembah. Pada bulan tersebut diadakan “foti hus/limba”, dengan diadakan persembahan kepada Teluk Aman. Hus/limba khusus untuk meminta hujan dan berbagai rezeqi yang lainnya dari Teluk Aman disebut “hus/limba sosonggok”. Setelah diadakan perayaan di hus/limba khusus itu, barulah disusul dengan hus yang lain, sekitar bulan November sampai dengan Januari. Hus/limba adalah suatu arena pacuan kuda yang berbentuk sirkel dengan diameter sekitar 75 meter. Hampir di setiap nusak (daerah teritorial genealogis) terdapat suatu klen dengan tugas khusus sebagai imam.
Di Nusak Thie, klen Le’e bertugas sebagai imam, mempunyai wewenang/tugas untuk merampok secara adat ayam kepunyaan siapa saja dan berapa pun banyaknya untuk dipergunakan sebagai persembahan di hus/limba sosonggok. Karena kewenangan itu maka suku/klen tersebut diberi nama julukan “Le’e mana husi manu” (Le’e tukang buru ayam).
Dalam perayaan/upacara itu (foti hus) diadakan berbagai atraksi yang menarik seperti lomba berkuda dalam lingkaran, kebalai, musik/gong, bermain pencak silat dan lain-lain. Pada kesempatan ini para muda-mudi dapat berkenalan. Hus/limba Lailete di Rote Barat Laut (Dengka) biasanya diadakan pada bulan Juli atau Agustus dengan berbagai atraksi yang lebih unik dan menarik.
Dikenal pula tiga dewa lainnya, yaitu Dewa Pencipta (Mana Adu), Dewa Pemberi (Mana Fe) dan Dewa Penyelenggara (Mana Sula/Sura). Ketiga dewa ini dianggap menjalankan kekuasaan Teluk Aman sehingga dalam menyembah Teluk Aman, dalam rumah sembahyang (uma nitu) ataupun pada bagian samping pintu kandang kerbau/sapi dipancang sebuah tiang bercabang tiga. Mungkin Teluk Aman dianggap sebagai “bapak” dari ketiga dewa ini maka itu disebut “Ayah si Tiga” (Teluk Aman).
Ada pula yang berpendapat bahwa Teluk Aman bukan saja berkuasa atas bumi, namun merupakan penguasa alam semesta, termasuk menguasai “tiga raksasa langit” –yaitu matahari, bulan dan bintang—sehingga disebut Teluk Aman. Sedangkan Hak Aman adalah pengelola bumi, melindungi bumi, meliputi “keempat jurusan” (mata angin) yang dijaga pula oleh empat dewa kecil, masing-masing Ndu Kira Ki, Ndu Londa Kona, Ndu Rara Muri, dan Ndu Manuri sehingga disebut Hak Aman.
Setelah adanya agama Kristen maka Tuhan Yang Maha Esa (Allah) disebut “Lamatuak Mane Tua Lain” atau “Amak Mane Tua Lain” disingkat “Mane Tua Lain” atau “Amak” dan disamakan dengan Teluk Aman Lai Londa. Sedangkan Tuhan Yesus Kristus disebut “Lamatua Yesus”. Para raja walaupun tidak dianggap sebagai penjelmaan dewa namun disamakan dengan dewa dan disapa juga “lamatuak”. (*)
    




Komentar