* Bab
6
“Ingatlah
akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu.
Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.” (Ibrani 13 : 7)
Indonesia
adalah sebuah multibangsa yang terbentuk dan terbangun atas pluralisme
komunitas sejarawi (historical community) yang sama. Oleh karena itu, dalam
perjalanan bangsa ke depan harus berlandaskan kepada warisan sejarah yang
merupakan instrumen perekat kolektivitas sebagai sebuah bangsa, dan hendaknya
bermuara pada cita-cita yang sama pula.
Will
Kymlica, sang multikulturalis
WARGA
masyarakat Papua berharap sejarah baru yang ditorehkan pasangan Gubernur dan
Wakil Gubernur Papua periode 2013-2018 Lukas Enembe - Klemen Tinal (Lukmen)
tidak sekadar melahirkan eforia pesta bakar batu. Mereka berharap pesta batu
(dengan ribuan ekor babi) itu benar-benar menjadi pesta demokrasi rakyat Papua.
Berharap pula pesta ini betul-betul menjadi awal persatuan, awal kekuatan
rakyat Papua untuk membangun Papua sesuai visi “Papua bangkit, mandiri dan
sejahtera” yang diusung sebelum pesta demokrasi berlangsung. Pesta itu pun
menjadi tonggak kehendak untuk melanjutkan kehidupan bersama yang kuat dan
harmonis. Dan pesta itu diharapkan mampu menggalang kekuatan masa depan Papua
lewat penggalangan kebersamaan dalam satu cita-cita.
Ya, sebuah cita-cita Papua bangkit, mandiri dan
sejahtera. Sebab itu, cita-cita masyarakat Papua ini perlu terjemahan mendalam,
detail dan tepat sasaran. Kebangkitan tidak hanya kebangkitan orang gunung,
pesta bakar batu, jelas harus lebih dari itu. Kebangkitan mesti lebih mengarah
pada kebangkitan segenap orang Papua, kebangkitan harus pula lebih pada
kekuatan fisik dan mental orang Papua. Kekuatan otot dan mental orang Papua
mesti bangkit dan dibangkitkan. Otot orang Papua harus mampu mengolah potensi seluruh
alamnya. Kekuatan mental orang Papua menjadi sumber berpikir, merancang,
mengolah dan menjadikan diri dan negerinya betul-betul menjadi anugerah dan berkah
bagi orang lain.
Eksplorasi kekuatan otot dan mental orang Papua membutuhkan
persiapan. Orang Papua membutuhkan pendidikan kejuruan, keahlian dan lebih dari
itu ilmuwan yang mampu merancang dan mengolah alam untuk membangun negerinya.
Karena itu, tidak salah, tidak berlebihan, bilamana kebangkitan Papua itu
dimulai dari persiapan sumber daya manusia Papua. Persiapan harus dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi, dari kampung ke kota, dari gunung ke pantai,
anak pejabat sampai anak non-pejabat, dari orang tua sampai anak-anak.
Singkat kata, orang Papua mengharap pembangunan sumber
daya manusia harus dipriotitaskan. Tanpa prioritas pembangunan manusia,
kebangkitan dengan kesejahteraan, diragukan. Kebangkitan akan berubah menjadi
slogan belaka --bukan kenyataan. Kebangkitan Papua bukan tergantung pada
kekuatan mental dan fisik orang lain. Hingga kini, orang Papua masih menggunakan
tenaga orang lain untuk menjadikan Papua mandiri dan sejahtera.
Jika orang lain yang masih memandirikan Papua, berarti
Papua belum mandiri dan sejahtera. Papua juga belum keluar sebagaimana yang
diharapkan. Sampai saat ini, hampir semua asa masih berputar dalam lingkaran
retorika yang belum sadar. Retorika ini seolah-olah sebuah kesadaran, padahal
belum ada bukti nyata. Papua sendiri belum mandiri dan sejahtera. Kepemimpinan
duet Lukas Enembe dan Klemen Tinal yang asli Papua (gunung) diharapkan mampu
membawa dan mewujudkan Papua yang mandiri.
“Kita belum bangkit, kita masih tidur. Kita harap kita
bangkit. Kita tidak berharap kita tidur lagi,” kata seorang warga Papua yang ikut
menghadiri syukuran pesta bakar batu di Sentani tanggal 11 April 2013.
A. Fajar Kebangkitan di Tanah Papua
Kendati sebagai sebuah suku tampaknya Papua itu hanya
satu namun sesungguhnya ada 466 suku di Provinsi paling timur Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) ini. Dapat dikatakan bahwa Papua bagai miniatur
Indonesia. Sebagaimana kita tahu Indonesia dihuni ribuan suku bangsa. Papua pun
dihuni oleh umat berbagai agama dan berbicara dalam bahasa yang berbeda-beda.
Dengan kondisi seperti itu, apa pun alasannya, ke
depan, perlu dibangun sebuah sejarah kolektif bangsa yang kental sebagai sebuah
komunitas sejarawi secara berkesinambungan, dengan kehendak untuk melanjutkan
kehidupan bersama yang kuat dan harmonis. Kehidupan yang mandiri dan sejahtera.
Itu agar dalam
suka-duka dan dalam pahit-getirnya berbangsa sebagai akibat dari ketidak-beresan
dalam tata kelola pemerintah daerah oleh para pemimpin selama ini, semua warga
Papua tetap merasa senasib sebagai satu wilayah bagian dari sebuah negara
kesatuan. Papua adalah bagian dari NKRI.
Tanpa perasaan senasib dan sekehendak untuk melanjutkan
kehidupan bersama yang kuat dan harmonis, cepat atau lambat Papua akan
mengalami kekacauan yang bisa berujung pada disintegrasi.
Bersyukur hingga kini perasaan senasib dan sekehendak
untuk tetap melanjutkan kehidupan bersama masih terpelihara secara baik di
Papua. Walaupun selama ini berseliweran isu Papua merdeka, toh Papua tetap
bagian dari Indonesia. Papua masih eksis sebagai bagian dari NKRI.
Berangkat dari pemahaman itu, Lukas Enembe terus
mendorong orang Papua untuk mengingat kebangsaan Papua yang sesungguhnya sejak
awal dimengerti sebagai suatu bentuk solidaritas yang agung.
Logika pendiriannya, menurut Lukas, penjajahan yang
sekian lama telah menimbulkan kesengsaraan bagi bangsa Indonesia akibat
penindasan, harus diakhiri. Satu-satunya jalan keluar adalah jika seluruh
kelompok agama, suku, ras, dan antargolongan yang terjajah bersatu membangun
solidaritas melawan politik memecah belah devide
et impera, yang dikembangkan penjajah.
Oleh karena itulah, benar sebagaimana yang ditulis
Ernest Renan dalam artikel pendeknya What
is a Nation, kebangsaan harus dipahami sebagai suatu bentuk solidaritas
moral yang dipupuk dan dipertahankan melalui kesadaran sejarah yang khas.
Kesadaran akan masa silam yang kelam dan gelap gulita, yang dirasakan bersama
sebagai bangsa terjajah, dan keinginan untuk membangun masa depan nan cerah
yang penuh keberhasilan.
Itulah yang disari secara cerdas oleh para pendiri
bangsa, serta membangkitkan semangat rakyat untuk menatap masa depan yang
gemilang. Bung Karno misalnya, secara tegas mengatakan, “Kemerdekaan adalah
jembatan emas, di seberangnya akan diwujudkan masyarakat adil dan makmur.”
Tepatnya, di depan pengadilan terhadap dirinya pada tahun
1930, Bung Karno menegaskan keinsyafan rakyat akan punya “masa silam yang
indah, masa kini yang gelap gulita, dan janji-janji suatu masa depan yang
melambai-lambai, berseri-seri”.
Memang, sebuah eksistensi kebangsaan yang kuat dan
tetap lestari, dapat dipikat dan direkat oleh cita-cita bersama nan agung
terhadap suatu masa depan yang adil dan makmur, beradab, dan bersahaja. Tulis
Octavio Paz, intelektual Meksiko yang pemenang hadiah nobel, kebangsaan
dijangkar pada janji-janji masa depan yang bisa jadi sangat ilusif, namun
sangat kuat dalam membangkitkan imajinasi kolektif.
Di dunia ini ada sejumlah negara yang sanggup menggalang
kekuatan masa depannya lewat penggalangan kebersamaan dalam bercita-cita.
Artinya, cita-cita bersama dalam meraih hari esok yang cemerlang menjadi alat
perekatnya yang mempererat kebersamaan. Negeri imigran seperti Amerika Serikat
dengan “The American Dream” adalah
sebuah contoh.
Sayang bahwa kebersamaan dengan Pancasila sebagai titik
temu solidaritas kolektif di negeri ini senantiasa mendapat ancaman atau kerap
mengalami krisis yang disebabkan meruyaknya aspirasi politik identitas yang
bersemangatkan partikularistik.
Radikalisme agama, suku, dan politik uang, semakin
menjadi implikasi praktis pudarnya “bangsa” sebagai metafora solidaritas.
Demokratisasi yang diharapkan dapat menyegarkan dan merehabilitasi solidaritas
kebangsaan, justru menjadi arena produksi kekerasan dan diskriminasi.
Uang yang senantiasa terimpikan menjadi alat penunjang
kesejahteraan, namun secara pasti semakin menjadi alat perusak kebersamaan dan
mencederai bentuk-bentuk solidaritas kebangsaan. Selain itu, politik uang ikut
merusak demokrasi dan mencabik-cabik tubuh politik, sehingga semakin tidak
sanggup menggerakkan antusiasme solidaritas.
Lukas Enembe hadir menjadi fajar kebangkitan bagi orang
Papua melalui tekad bersama bagaimana mewujudkan Papua yang bangkit, mandiri
dan sejahtera. Dia hadir menjadi fajar untuk merekat kebersamaan senasib dan
sepenanggungan atas nama masa depan Papua yang lebih berpengharapan.
Untuk membangun rumah kebersamaan dalam kemajemukan
sebagai kekayaan dan kekuatan Papua, Lukas Enembe menyadari bahwa dirinya harus
secara terus-menerus mendorong pemerintahan yang demokratis, dengan tampil
sebagai pemimpin demokratis pluralis sejati yang penuh kasih.
Kehadiran pemerintahan dan pemimpin yang demokratis dan
pluralis guna membangun serta menciptakan solusi-solusi kreatif untuk
memodernisasi perbedaan, supaya Papua semakin menjadi contoh demokrasi dan
toleransi bagi provinsi lain di Indonesia.
Melahirkan pemimpin demokratis dan pluralis, harus
dilakukan dengan terlebih dulu menciptakan pemilu demokratis serta
menghindarkan sejauh mungkin politik uang yang selama ini telah menjadi momok
demokrasi. Pemilukada Papua sudah menampakkan kedewasaan demokrasi, jauh dari
kerusuhan dan pihak yang kalah memilih jalur hukum guna menyelesaikan perkara ketidak-puasannya.
Pemilukada Provinsi Papua telah melahirkan pemimpin
demokratis dan pluralis sejati penuh kasih yang berkarakter kuat serta berani
mengambil risiko dan sanggup membayar harga. Itulah Lukas Enembe yang
diharapkan sanggup membawa kebangkitan Papua yang mandiri dan sejahtera.
Sebagai pemimpin demokratis dan pluralis yang
berkarakter, Lukas Enemba sangat mencintai demokrasi dan menjunjung tinggi
pluralisme. Di situ, jelas dia berkomitmen kuat dalam perjuangan untuk
memartabatkan dan mengagungkan wilayah Papua dalam pluralitasnya.
B. Doa yang Mengukir Sejarah Papua
Lukas Enembe telah resmi sebagai Gubernur terpilih
Provinsi Papua periode 2013-2018 setelah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri
pada 11 April 2013. Cukup panjang waktu yang dibutuhkannya buat meretas impian
untuk dipercaya rakyat menjadi pemimpin.
Berbagai tantangan, rintangan, kerap menghadang, tapi semua bisa dilalui secara
baik. Namun tak bisa dipungkiri, salah satu keberhasilan Lukas Enembe
menorehkan sejarah sebagai Gubernur Papua adalah doa rakyat yang ada di lembah,
lereng gunung, hutan belantara yang terisolir, jauh dari hingar bingar deru
pembangunan. Doa yang polos, lugu, ikhlas, tulus dengan harapan dan asa bahwa
Lukas Enembe akan membawa perubahan bagi mereka.
Satu kisah menarik diceritakan oleh jurnalis Banjir
Ambarita yang pada Oktober 2012 menyambangi kampung halaman Lukas Enembe di
Distrik Mamit, Kabupaten Tolikara.
Syahdan. Kampung tempat kelahiran Lukas Enembe, Distrik
Mamit, Kabupaten Tolikara. Pagi sekitar bulan Oktober itu, embun masih
menyelimuti Kota Wamena, matahari juga
belum menampakkan sinarnya, dingin sangat menusuk pori-pori, tapi tak menyurutkan langkah sebagian rombongan
DPR Papua bersama sejumlah wartawan bertolak dari Hotel Baliem Pilamo menuju
bandara. Menurut agenda, rombongan akan kembali terbang untuk meninjau calon
daerah otonom baru dan merupakan daerah terakhir sebelum bertolak pulang ke
Jayapura, setelah hampir sepekan terbang ke sejumlah wilayah di Pegunungan
Papua.
Salah satu anggota DPR Papua Pdt Charles Simare-mare
terlihat sudah berada di Bandara, tepatnya di Hanggar AMA, tidak berapa lama
kemudian menyusul anggota yang lain. “Ke mana tujuan kita sekarang Pak,” tanya
wartawan kepadanya. Dia pun menjawab kita akan menuju Distrik Mamit di
Kabupaten Tolikara. Pdt Charles
Simare-mare balik bertanya, “Teman-teman wartawan sudah sarapan,” wartawan pun
menjawab belum.
Ternyata maskapai yang digunakan menuju calon daerah
otonom baru bukan AMA tapi MAF. Kami pun kemudian bergeser menuju hanggar MAF
yang jaraknya tidak terlalu jauh. Tak
berapa lama, setelah tiba di sana, hidangan gorengan alakadarnya yang disiapkan
staf DPR Papua tersedia. Sembari bersantap, Pdt Simare-mare kembali mengajak
wartawan berbincang-bincang. Dia lalu
melanjutkan ceritanya, bahwa daerah tujuan terakhir ini adalah tempat kelahiran
calon pemimpin Papua ke depan. “Mamit tempat kelahiran Lukas Enembe, di sana dia
sekolah hingga tamat SD,” ujar Simare-mare.
Sedikit kurang yakin, jurnalis Banjir Ambarita balik
bertanya, “Pak Lukas bukan orang Ilu, sebab yang selama ini saya dengar dia
asal Puncak Jaya.” Simare-mare kembali
menjawab, “Bukan, Pak Lukas orang Tolikara tapi saudara (kerabatnya) banyak
tinggal di Ilu.”
Di tengah perbincangan guna mengusir rasa dingin yang
menusuk, kru MAF menyuruh anggota rombongan timbang badan. Setelah itu satu per satu diminta memasuki pesawat yang
masih parkir di hanggar. Sembari memasuki pesawat, Pilot yang orang asing
mengatakan kepada seluruh rombongan, “Kita harus terbang pagi-pagi ke Mamit,
soalnya kalau terlambat, kabut tebal akan menyelimuti dan kita tidak bisa
mendarat.”
Mendengar pemberitahuan itu rombongan sedikit ragu,
apakah penerbangan akan berjalan mulus, sebab cuaca di wilayah Pegunungan
terkenal amat ekstrim dan kerap berubah-ubah. Namun, setelah duduk di dalam
pesawat dan menggunakan sabuk pengamanan, salah satu anggota DPR Papua Ina
Kodiai memimpin kami dalam doa, memohon pertolongan dan perlindungan Tuhan.
Hati kami pun lega dan yakin penerbangan bakal berjalan mulus. Pdt Charles
Simare-mare yang saat itu duduk tepat di samping pilot, karena kursi penumpang
dibatasi, terlihat sedikit senang dan bangga bisa duduk seperti layaknya co
pilot.
Pesawat kemudian mulai berjalan menuju landasan pacu,
dan dalam hitungan menit langsung take
off. Setelah terbang di atas kota Wamena, pesawat kemudian mulai berada di
atas Pegunungan. Sungguh indah, pemandangan yang menakjubkan, hutan belantara
yang masih alami, yang penuh misteri dengan segala kekayaannya. Dari atas
pesawat juga terlihat satu per satu rumah penduduk yang berada di atas maupun
lereng gunung, tampak mencerminkan mereka jauh dari sentuhan pembangunan.
Pesawat kemudian terbang di atas Kota Karubaga, Ibukota
Kabupaten Tolikara, dan tidak berapa lama kemudian melintas di atas sebuah
telaga di puncak gunung. Setelah melewati telaga, Pilot MAF menunjuk ke sebuah
arah yang ternyata menunjukkan Mamit yang lokasinya di antara lereng
gunung dan jurang.
Letaknya yang sangat sulit membuat pesawat tidak bisa
langsung mendarat, namun harus berputar terlebih dulu mencari celah yang baik.
Setelah berputar selama beberapa menit, pesawat kemudian siap mendarat.
Perasaan berdebar terus berkecamuk, pasalnya, ujung landasan yang ditutup
rerumputan itu adalah jurang. Namun, karena pilot sudah mengenal kondisi
landasan secara baik, pendaratan berjalan mulus. Kondisi landasan yang menanjak
juga memudahkan pesawat berhenti dan parkir.
Pilot kemudian membuka pintu dan mempersilakan rombongan
turun. Dipimpin Ketua Tim Pemekaran Calon DOB Kembu Thimotius Wakur, warga masyarakat
terlihat antusias menunggu dan menyambut kedatangan kami. Selanjutnya kami
menyalami warga masyarakat, mereka sangat ramah, lugu dan bersahabat. Ada kesan
warga masyarakat sangat senang kampung mereka dikunjungi.
Saat rombongan meninggalkan landasan menuju kediaman
Ketua Tim Pemekaran, yang jaraknya hanya beberapa meter, terlihatlah spanduk
yang mengharukan. Spanduk dengan foto Lukas Enembe bertuliskan “Selamat datang
anggota DPR Papua beserta rombongan di Kabupaten Pemekaran Kembu dari Kabupaten
Tolikara, Provinsi Papua. Di sinilah aku
lahir dan dibesarkan”. Spontan, melihat foto Lukas Enembe calon pemimpin Papua,
rombongan berebut untuk berfoto.
Setelah berfoto dengan latar belakang spanduk yang
memuat foto Lukas Enembe, sebagian rombongan membaur dengan warga masyarakat
Mamit. Mereka lalu bercerita, “Lukas
Enembe lahir dan besar di sini, sampai menamatkan SD, sebelum kemudian
melanjutkan SMP di Sentani,” ujar Thimotius Wakur.
Dia melanjutkan bahwa bakat kepemimpinan Lukas Enembe
sudah terlihat sejak kecil. “Talenta kepemimpinan sudah ada pada dirinya sejak
kecil, dia juga memiliki rasa kasih yang tinggi serta murah senyum dan rendah
hati,” ucapnya.
Masyarakat Mamit khususnya dan pada umumnya yang ada di
Pegunungan saat itu mengetahui Lukas Enembe akan kembali mencalonkan diri
sebagai Gubernur Papua untuk yang kedua kalinya. “Kami tahu Lukas akan kembali
maju jadi calon gubernur, dan kali ini kami yakin dia akan menjadi pemimpin
Papua, sebab doa dan tangis kami yang
ada di gunung, di lereng, lembah dan hutan belantara selalu menyertainya. Kami
yakin dia akan membawa perubahan bagi rakyat Papua,” ucap Thimotius Wakur yang
merupakan salah satu tokoh masyarakat setempat.
Hal senada juga dikatakan Melianus Wakur, teman Lukas
Enembe ketika masih di bangku SD. “Kami selalu berdoa dengan tangisan air mata
untuk Lukas Enembe, agar dia menjadi gubernur Papua,” katanya.
Dia juga mengatakan Lukas Enembe akan membawa perubahan
yang besar bagi masyarakat Pegunungan saat nanti menjadi gubernur. “Kami yakin
dengan Lukas Enembe, yang punya sifat penuh kasih, pelayan yang setia, akan
membuktikan kepeduliannya kepada masyarakat seperti kami yang terisolir jauh,
sulit dijangkau dan tidak pernah menikmati sentuhan pembangunan,” ungkapnya.
Keinginan, harapan dan doa masyarakat agar Lukas Enembe
menjadi Gubernur, bukan hanya datang dari Mamit tapi dari seluruh wilayah
Pegunungan serta pantai. Saat rombongan berada di Ilu, Puncak Jaya, doa dan
harapan yang sama juga datang dari warga masyarakat setempat. Mereka
menginginkan pemimpin Papua yang mengerti tentang nasib dan kesulitan yang
dialami rakyat dan Lukas Enembe adalah jawabannya. Sekarang doa dan harapan itu
sudah menjadi kenyataan, Lukas Enembe terpilih menjadi Gubernur Papua untuk periode
2013-2018. Kini waktunya juga untuk menjawab doa, harapan dan jeritan rakyat
tersebut, dengan melaksanakan pembangunan seutuhnya, membuka keterisolasian,
memajukan pendidikan dan kesehatan menuju Papua bangkit dan mandiri menuju
kesejahteraan rakyat.
C. Pemimpin Baru Harapan Baru
Sebagai pemimpin baru di Tanah Papua, tentu banyak asa
digantungkan ke pundak Lukas Enembe. Banyak yang berharap Lukas harus mampu
memberdayakan dan mengoptimalkan potensi alam dan orang Papua.
Harapan menarik datang dari Gembala Umat Papua,
Sokratez Sofyan Yoman, bahwa orang Papua harus minum air dari sumur sendiri.
Dalam pandangannya lebih jauh tentang harapan itu, Sokrates merinci:
Pertama, Gubernur Lukas perlu membangkitkan potensi
Rasio orang Papua. Rasio orang Papua memang masih belum berfungsi baik. Orang
Papua masih tergantung pada rasio orang lain. Contoh kecil saja, UU Pemerintah
Papua yang Lukas perjuangkan itu copy
paste UU Pemerintah Aceh. Kita masih membangun gedung-gedung model Cina dan
Jawa. Kita harus merancang model bangunan gaya Papua.
Kedua, Lukas mesti memberdayakan pontensi sense. Orang Papua tidak hanya
mengandalkan rasio. Pusat energi orang Papua ada di komunitas bersama. Relasi
dengan semua. Orang Papua menyatu dengan alam dan sesama yang kelihatan dan
tidak kelihatan. Konsep spiritual Melanesia harus menjadi perhatian.
Ketiga, yang tidak kalah penting, Gubernur Lukas harus
menggali potensi fisik orang Papua. Kita harus memfungsikan potensi otot orang
Papua yang tidak berfungsi kini. Contoh, kita masih tergantung kepada orang
lain dengan Raskin dan barang bangunan yang masuk dari luar Papua. Orang Papua mampu
bekerja dan makan dari kebunnya sendiri.
Sementara itu Politisi dari Partai Gerindra di DPR
Papua, Radius Simbolon, menaruh harapan pada Gubernur Lukas Enembe mesti mampu
mengelola keuangan daerah, menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan
pembangunan secara transparan dan akuntabel.
Mengacu kepada harkat dan martabat UU Otonomi Khusus
(Otsus) yang lahir dari proses sosial politik yang panjang dan melelahkan
bahkan menjadi taruhan atas NKRI dan integritas nasional, Radius Simbolon menegaskan
bahwa penggunaan, pengelolaan dan pertanggung-jawaban 80 persen dana Otsus oleh
kabupaten/kota tidak boleh dipandang sebelah mata, karena keberadaan dana Otsus
adalah hasil dari perjuangan dan pengorbanan anak-anak Papua.
Pemanfaatan dana Otsus, harap Radius Simbolon, harus
benar-benar menunjukkan indikator keberhasilan yang terukur sehingga tidak
menimbulkan penilaian, ada-tidaknya Otsus kondisi masyarakat asli Papua sama
seperti sebelumnya.
"Hal lainnya yang perlu pula ditegaskan adalah bahwa
pemberian target produksi dan investasi untuk bidang perikanan, pertanian dan
perkebunan harus menjadi perhatian Gubernur Lukas Enembe, mengingat
sektor-sektor itu meyakinan untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat,"
katanya.
Kemudian komitmen Gubernur Lukas Enembe dalam
pembangunan infrastruktur fisik cukup menjanjikan, namun mengingat kesulitan
geografis yang begitu tinggi, maka perlu dilakukan terobosan dan strategi yang
lebih efektif, caranya dengan mendorong pembangunan infrastruktur terpadu
berbasis kawasan.
Lebih lanjut Radius Simbolon mengemukakan Gubernur
Lukas Enembe tidak melupakan fokus dan perhatian pada peningkatan kesejahteraan
PNS, guru dan tenaga medis. Mereka menjadi kunci bagi peningkatan kualitas
orang Papua kini dan nanti.
Dalam setahun kepemimpinannya, demikian kata Radius
Simbolon, Gubernur Lukas Enembe telah menunjukkan adanya potret harapan baru
terhadap masa depan Papua menuju Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera
sebagaimana visi-misi yang diusung selama ini. “Dalam setahun terakhir ini juga
banyak terobosan dan langkah-langkah besar yang dilakukan, kami yakin hal itu
bisa ditingkatkan dan dipertahankan," jelasnya.
D. Pemimpin Pluralis yang Penuh Kasih
Papua telah memiliki Gubernur Lukas Enembe dan Wakil
Gubernur Klemen Tinal yang merupakan pilihan sebagian besar warga masyarakat Papua
untuk memimpin Papua dalam rentang waktu 2014-2018. Banyak warga Papua berharap
Lukas dan Klemen berbuat dan menjadi pelayan bagi masyarakat Papua.
Sekilas pengamatan di kehidupan nyata, sangat banyak
orang yang menganggap dirinya sebagai seorang pemimpin yang benar, baik di
kantor, organisasi, kampus, rumah, maupun gereja, kendati konsep dan aksi
kepemimpinan mereka sangat berbeda dengan konsep dan aksi kepemimpinan yang
pernah diajarkan dan didemonstrasikan oleh Yesus Kristus saat berada di bumi.
Konsep kepemimpinan umum biasanya dikaitkan dengan
konsep kekuasaan. Karena pemimpin diidentikkan dengan kuasa, muncul opini umum
yang mengatakan bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki kuasa.
Kuasa itu sendiri seringkali didefinisikan sebagai kapasitas untuk mempengaruhi
orang lain. Beberapa sumber kuasa yang populer termasuk posisi, uang, fisik,
senjata, kepangkatan dan perempuan.
Di mata Lukas Enembe, menjadi pemimpin bukan berarti
bebas untuk mengatur dan mengambil keuntungan diri sendiri. Karena, menurutnya,
konsep Yesus tentang kuasa jelas berbeda. Namun yang penting diingat terlebih
dulu adalah bahwa Yesus tidak meniadakan kuasa. Ia sendiri mengatakan bahwa Ia
memiliki kuasa. Yang Yesus lakukan adalah membongkar dan memperbaiki pengertian
kuasa dan aplikasinya oleh pemimpin. Ajaran Yesus sama sekali tidak berfokus
pada kuasa seorang pemimpin, namun kerendahan hati seorang pelayan. Kristus
memandang kerajaan-Nya sebagai suatu komunitas individu yang melayani satu sama
lain.
Galatia 5:13 menuliskan, “Saudara-saudara, memang kamu
telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan
itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang
akan yang lain oleh kasih.”
Konsep pemimpin dalam Alkitab muncul dengan terminologi
yang berbeda-beda. Yang paling sering dipakai adalah “pelayan” atau “hamba”.
Allah tidak menyebut, “Musa, pemimpin-Ku” tetapi “Musa, hamba-Ku”. Alkitab
memakai kata Yunani ‘doulos’ dan ‘diakonos’ yang diterjemahkan sebagai hamba.
Meskipun kedua kata tersebut sulit dibedakan dalam penggunaannya.
Dalam bukunya Leadership
Images from the New Testament, David Bennett menulis bahwa ‘doulos’ mengacu
kepada seseorang yang berada di bawah otoritas orang lain, sedangkan ‘diakonos’
lebih menekankan kerendahan hati untuk melayani orang lain.
Kata Yunani ketiga yang sering dipakai Alkitab untuk
hamba adalah ‘huperetes’, yang menunjuk secara literal kepada orang-orang yang
mendayung di level bagian bawah dari kapal perang Yunani kuno yang memiliki
tiga tingkat.
Dari tiga terminologi di atas, dapat ditarik benang
merah bahwa konsep pemimpin di dalam Alkitab adalah hamba. Lebih konkret lagi,
hamba yang dengan rela hati mengambil tempat yang terendah, dan bertahan dalam
berbagai kesulitan dan penderitaan karena pelayanannya terhadap orang lain.
Ketika terpilih menjadi seorang pemimpin, Lukas Enembe
menyadari benar bahwa sebagai pemimpin itu harus jadi teladan dan contoh (lihat
Ibrani 13:7, I Timotius 1:16, 4:12, I Petrus 5:3). Banyak pemimpin adalah ahli
–dan seharusnya demikian. Juga banyak yang pandai bicara – dan itu juga satu
talenta yang baik. Namun, yang lebih penting, bahwa ia dapat menjadi contoh
dalam semua hal yang diajarkannya.
Dalam Alkitab, pemimpin adalah seorang yang berjalan di
depan dan domba-domba mengikut dari belakang. Dalam perang modern dewasa ini,
para jenderal memegang komando dari markas komando, menentukan strategi,
sasaran serangan, namun tidak lagi berada di medan tempur barisan depan. Dalam strategi
Tuhan, pemimpin harus berada di barisan depan. Memberi komando dan diikuti anak
buah. Ia menjadi sasaran terdepan dari musuh.
Tak kalah pentingnya, Lukas Enembe memegang teguh karakter
tangguh dalam hal tingkah laku, sopan-santun, dan tidak angkuh. Dia menjaga
betul integritas, moral kejujuran, pengabdian dan kredibilitas: dapat
dipercaya, teguh dalam prinsip. Di samping semua itu, Lukas pun menyadari
perhatian publik terhadap kehidupan pribadinya, perkawinannya, rumah-tangganya,
anak-anaknya, serta caranya bermasyarakat. Sebagai pemimpin teladan, Lukas
berusaha menjadi panutan yang transparan.
Untuk sekarang ini, seorang pemimpin tidak cukup hanya
memiliki relasi, kekuasaan atau uang yang banyak. Pemimpin harus pula memiliki
pengetahuan dan rajin belajar. Harus memiliki kemampuan intelektual. Raja
Salomo adalah pemimpin yang berdoa kepada Tuhan memohon hikmat dan pengetahuan
(lihat II Tawarikh 1:10).
Dalam buku Amsal, kita dapat membaca betapa
substansialnya Hikmat dan Pengetahuan. Nabi Hosea menulis: Umatku binasa karena
tidak mengenal Allah (Hosea 4:6). Kalau umat Tuhan dibinasakan karena kurang
pengetahuan, apalagi para pemimpinnya. Hikmat (wisdom) atau kearifan dan kebijaksanaan hanya kita peroleh dari
Tuhan. Pengetahuan dapat kita miliki karena belajar dari Alkitab (I Timotius
3:15), belajar dari orang-orang lain, belajar dari buku-buku dan belajar dari
sumber informasi yang lain.
Lukas Enembe berupaya menjadi pemimpin yang baik yang
terus rajin belajar. Benar bahwa pelayan Tuhan, para gembala, pendeta, harus
rajin belajar dari orang lain (lihat Amsal 27:17, Pengkhotbah 10:10). Zaman ini
adalah era informasi. Zaman ini adalah abad ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan dunia kita dalam bidang Iptek maju secara mencengangkan.
Perubahan-perubahan dahsyat terjadi lantaran revolusi Iptek. Pemimpin harus
mengantisipasi hal ini, karena banyak teologi sudah rancu karena pengaruh
filsafat manusia. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan intelektual.
Selain melek teknologi, Lukas Enembe tidak lupa
mengasah kemampuan berkomunikasi. Pemimpin adalah komunikator. Salah satu
kelemahan para pemimpin yang dapat menghambat keberhasilan pelayanannya adalah
kekurang-mampuan berkomunikasi. Komunikasi merupakan unsur penting dalam kepemimpinan.
Pernyataan rasul Paulus: “Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati
semua orang dalam segala hal, bukan untuk kepentingan diriku, tetapi untuk
kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat” (I Korintus 10:33). Hal
ini menunjukkan kemampuannya yang besar sekali dalam berkomunikasi.
Komunikasi bukan sekadar kemampuan berbicara, tetapi
kesanggupan melakukan kontak-kontak, melalui beraneka ragam cara. Kehidupan
kita dalam suatu masyarakat, apapun segmen, strata atau kelompoknya, mengharuskan
kita berkomunikasi, mengarahkan kita untuk mengembangkan dan membina relasi.
Allah lebih dulu berkomunikasi dengan kita, bahkan Ia berusaha selalu
mengadakan komunikasi dengan manusia, sejak di taman Eden, dan puncaknya
melalui Yesus, serta kini dengan Firman dan Roh Kudus.
Komunikasi kita yang pertama, Lukas Enembe meyakini, harus
secara kontinyu dengan Tuhan, lewat doa, pujian, penyembahan, dan berkorban.
Kedua, dengan orang-orang yang kita layani. Ketiga, dengan orang-orang luar.
Sebagai gembala kita harus mampu berkomunikasi dengan jemaat, apakah itu secara
individu arau berkelompok. Kita harus mampu berkomunikasi dengan keluarga
sendiri, dengan lingkungan, dengan masyarakat serta dengan Pemerintah.
Lukas Enembe berusaha memenuhi harapan sebagai pemimpin
generasi muda berhikmat (wise men),
antara lain memberi penekanan kuat terhadap peran dan fungsi firman Allah dalam
hidup dan pelayanan. Pemimpin adalah orang yang mengajarkan kehendak Allah
dalam suatu komunitas, dan memimpin mereka seperti seorang gembala yang membawa
domba-domba ke padang rumput bernama ketaatan.
Hanya dengan demikian pemimpin memiliki makna dan
wibawa. Sebagai akibatnya, umat Allah dibangun dalam ketaatan kepada Allah
untuk hidup di dunia sebagai terang dan berkat bagi bangsa-bangsa. Dalam
keyakinan Kristen, bangsa Israel dipilih bukan karena Allah menolak bangsa
lain. Israel dipanggil untuk satu tugas yakni hidup sebagai umat Allah,
sehingga bangsa-bangsa lain mengerti makna menjadi umat Allah.
Bangsa Israel menjadi model bagi bangsa-bangsa lain.
Dalam kaitan dengan ini, Musa berperan memimpin bangsa Israel untuk hidup
sebagai umat Allah, dengan melihat terlebih dulu hidup dan pelayanan Musa yang
berpusatkan pada firman Allah. Musa berhasil membawa firman Allah ke tengah-tengah
hidup umat Allah, sehingga kepemimpinan Musa berakar kuat menembus berbagai
periode sejarah bangsa Israel. Nama Musa terus mendapat penghormatan sampai
hari ini. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa membawa kita ke sebuah
situasi yang berbeda dan melayani masyarakat dengan penuh kasih.
Ya, Lukas Enembe berupaya dapat membawa rakyat Papua ke
sebuah situasi yang berbeda dan melayani dengan penuh kasih. (*)
Komentar
Posting Komentar