Terjun Payung Sepanbiha dan Cikal-bakal Paskhas TNI AU



Peristiwa penerjunan lintas udara yang pertama tanggal 17 Oktober 1947 (dari rencana semula turun di Sepanbiha namun ternyata mendarat di Kampung Sambi) kini diperingati sebagai hari jadi Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Paskhas).

Sedikit tentang Pasukan Khas Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara. Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara --disingkat Korpaskhasau, Paskhas atau sebutan lainnya Baret Jingga-- merupakan pasukan (khusus) yang dimiliki TNI-AU. Paskhas merupakan satuan tempur darat berkemampuan tiga matra: udara, laut, dan darat. Setiap prajurit Paskhas diharuskan minimal memiliki kualifikasi para-komando (parako) untuk mampu melaksanakan tugas secara profesional, kemudian ditambahkan kemampuan khusus kematra-udaraan sesuai dengan spesialisasinya.
Tugas dan tanggung jawab Paskhas sebagaimana pasukan tempur yang lain adalah sebagai satuan tempur negara. Yang sedikit membedakan dengan pasukan tempur yang lain, Paskhas merupakan pasukan pemukul Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang siap diterjunkan di segala medan baik hutan, kota, rawa, sungai, maupun laut untuk menumpas semua musuh yang merongrong kewibawaan dan kesatuan NKRI. Paskhas mempunyai kekhasan tugas tambahan yang tidak dimiliki oleh pasukan lain. Kekhasan tugas tersebut berupa pelaksanaan Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD) dengan merebut dan mempertahankan pangkalan udara. Selanjutnya Paskhas menyiapkan pendaratan pesawat dan penerjunan pasukan kawan.
Warna baret jingga Paskhas terinspirasi oleh cahaya jingga saat fajar menyingsing di daerah Margahayu, Bandung, tempat pasukan komando ini dilatih. Paskhas mengusung moto "Karmaye Vadikarate Mafalesu Kadatjana". Artinya, bekerja tanpa menghitung untung dan rugi.
Moto itu berawal dari ungkapan Presiden pertama RI Ir. Soekarno, pada malam ”tirakatan” Hari Bhakti AURI di Istana Negara tanggal 30 Juli 1964. Untuk memotivasi personil AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) ketika itu Presiden Soekarno menyitir ungkapan dari kalimat termasyhur pada Sangkahya-yoga kitab Bhagawadgita, sloka 2.47, yang lengkapnya berbunyi: "karmay evādhikāras te mā phaleu kadācana mā karma-phala-hetur bhūr mā te sańgo 'stv akarmai."

A.  Operasi Lintas Udara (Linud) Pertama, Cikal-bakal Paskhas
Sebagai salah satu wilayah RI, rakyat Kalimantan juga turut berjuang melawan NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang bermaksud berkuasa kembali dengan mendompleng kedatangan pasukan Sekutu yang membawa misi melucuti senjata tentara Jepang yang telah kalah perang. Pada tanggal 10 Oktober 1945, rakyat Kalimantan Selatan berhasil membentuk Pemerintah Daerah sebagai bagian dari Republik Indonesia, dengan Banjarmasin sebagai ibukota. Pasukan Sekutu yang pada waktu itu telah menduduki Kalimantan kemudian menyerahkan kekuasaan secara resmi kepada NICA pada tanggal 24 Oktober 1945.
Tindakan tersebut langsung memantik kemarahan rakyat setempat yang setia kepada Republik Indonesia. Mereka mulai membentuk barisan untuk menentang penjajah. Bantuan dari Jawa yang diharapkan datang melalui laut ternyata terhalang, karena Belanda menjalankan blokade di laut. Sebab itu, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah melalui udara.
Gubernur Kalimantan, Ir. Pangeran Muhammad Noor, lalu mengirim surat kepada Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Surjadi Suryadarma. Surat tersebut berisi permintaan bantuan agar AURI  bersedia melatih pemuda-pemuda asal Kalimantan. Kemudian pemuda-pemuda yang telah terlatih itu diterjunkan ke Kalimantan untuk berjuang membantu saudara-saudaranya mengusir Belanda yang ingin kembali menjajah bumi pertiwi.
Menanggapi surat Gubernur Kalimantan tersebut, selanjutnya, Pimpinan AURI mengadakan perundingan dengan Markas Besar Tentara (MBT). Akhirnya MBT bersepakat membentuk staf khusus yang bertugas menghimpun pasukan payung. Untuk melaksanakan kesepakatan itu KSAU dibantu oleh Mayor Tjilik Riwut, putera asli Kalimantan kelahiran Kasongan. Dia adalah perwira operasi yang ditempatkan sebagai staf khusus Bagian Siasat Perang pada Sekretaris KSAU.
Dalam waktu relatif singkat, Mayor Tjilik Riwut berhasil merekrut sekitar 60 pejuang dari Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan juga dari Madura yang bersedia diterjunkan ke Kalimantan. Mereka ditampung di Asrama Padasan, Warungboto, di dekat Maguwo, Yogyakarta. Lalu tampil sebagai pelatih dari AURI adalah Opsir Udara II Suyono, dibantu Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, Opsir Muda Udara III Suroyo, Sersan Mispar dan Kopral Udara Matyasir.
Mengingat sempitnya waktu, mereka hanya mendapat latihan di darat saja, berupa latihan teori terjun dan cara melipat payung. Mereka tidak sempat berlatih terjun dari pesawat yang sedang terbang. Lamanya latihan pun hanya satu pekan. Pada akhir latihan, terpilih 12 orang putera Kalimantan yang semuanya paham bahasa Dayak Kahayan. Ke-12 orang putera asli Kalimantan itu masing-masing Letda Iskandar yang berasal dari Sampit, Sersan Mayor Achmad Kosasih (asal Barito), Bachri (asal Barabai), J. Bitak (asal Kelapa Baru), C. Willem (asal Kuala Kapuas), Imanuel (asal Kahayan Hulu), Mika Amirudin (asal Kahayan Hulu), Ali Akbar (asal Balikpapan), Letda M. Dachlan (asal Sampit), J.H. Darius (asal Kasongan), Marawi (asal Rantau Pulut) dan Djarni.
Untuk mendampingi para penerjun itu diikutkan dua orang dari PHB AURI, masing-masing Opsir Muda Udara I Hari Hadisumantri (dari Semarang) sebagai montir radio dan Kapten F.M. Soeyoto (seorang ahli telegrafis ALRI yang berasal dari Ponorogo) yang  bertugas menjadi juru radio. Pasukan payung berjumlah 14 orang ini dipimpin oleh Letda Iskandar yang berasal dari Kabupaten Sampit, Kalimantan Tengah.
Operasi penerjunan yang bersifat rahasia itu mengemban misi dan tugas:
·         Membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku Dayak, Sepanbiha.
·         Membantu perjuangan rakyat setempat
·         Membuka stasiun pemancar induk.
·         Menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi selanjutnya.
Pemancar radio yang dibawa oleh dua petugas PHB AURI diharapkan dapat digunakan buat “pemancar strategis”. Dengan begitu, perjuangan rakyat Kalimantan dapat dikoordinasikan dengan perjuangan di Jawa dan Sumatera.
Untuk dropping pasukan di Kalimantan digunakan pesawat Dakota C-47 dengan seri RI-002. Kemudi pesawat dipercayakan pilot Bob Earl Freeberg. Adapun yang menjadi co-pilot adalah Opsir Udara III Makmur Suhodo dan Operator Penerjun Opsir Muda Udara III Amir Hamzah. Lalu Mayor Tjilik Riwut bertindak sebagai penunjuk daerah penerjunan.
Pesawat berangkat dari Yogyakarta pada tanggal 17 Oktober 1947 pukul 02.30 dinihari. Kemudian waktu menunjukkan pukul 05.30 ketika pesawat melayang di atas kawasan rawa-rawa Kalimantan. Tjilik Riwut sempat ragu apakah pesawat sudah berada di atas lokasi penerjunan Sepanbiha. Setelah yakin bahwa mereka telah melayang-layang di atas langit Sepanbiha, para pemuda itu pun mulai melakukan penerjunan.
Djarni batal meloncat karena merasa takut. Kemudian 13 anggota pasukan payung yang berhasil mendarat dengan selamat adalah  Hari Hadisumantri, Achmad Kosasih, Iskandar, Ali Akbar, Mika Amirudin, Imanuel, C. Williams, Marawi, Bachri, Darius, M. Dachlan, J. Bitak dan Soeyoto.
Operasi pertama yang berlangsung pada tanggal 17 Oktober 1947 itu juga dibarengi dropping alat-alat perlengkapan dan perbekalan untuk bergerilya di hutan rimba. Beberapa penerjun tersangkut di pohon-pohon tinggi rimba raya. Namun demikian tidak menjadi rintangan berarti untuk mendarat tanpa cacat. Mereka baru dapat berkumpul kembali pada hari ketiga.
Ternyata mereka tidak mendarat di Sepanbiha. Setelah berkomunikasi dengan penduduk setempat, mereka baru tahu kalau pasukan payung tidak turun di Sepanbiha tapi di daerah Kampung Sambi yang hanya dihuni sekitar 12 keluarga waktu itu. Kampung Sambi terletak di antara Sungai Seruyan dan Kampung Arut, sebelah tenggara Penahan dan barat laut Rantau Pulut, yang masing-masing berada di tepi Sungai Arut dan Sungai Seruyan. Tidak semua parasut dapat ditemukan kembali. Begitu pula persediaan amunisi, bahan makanan, alat perkemahan dan veldbed.
Sekalipun berada nun jauh di pedalaman Kalimantan, rata-rata penduduk Kampung Sambi banyak mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bertubi-tubi pertanyaan diajukan oleh penduduk setempat kepada pasukan kecil yang baru datang tersebut, antara lain tentang keadaan Republik Indonesia dan alasan mengapa penerjunan dilakukan di hutan belantara. Mereka juga menanyakan mengapa penerjunan tidak langsung dilakukan di Sampit saja lantaran Sampit telah kembali diduduki oleh Belanda. Mereka tampak memiliki perhatian yang cukup besar terhadap perjuangan pasukan payung.
Selain itu, dari pertanyaan-pertanyaan warga Kampung Sambi, pasukan payung merasa terjepit. Di satu sisi mereka telah menerima bantuan yang tidak kecil dari warga setempat dan merasa berkewajiban memberi penjelasan atau jawaban atas pertanyaan warga setempat. Di sisi lain, mengingat operasi yang mereka jalankan adalah operasi rahasia, berarti anggota pasukan payung harus tutup mulut untuk menjaga kemungkinan operasi mereka tercium kaki tangan musuh.     
Kendati sudah berusaha tutup mulut rapat-rapat, ternyata keberadaan mereka tetap terendus pasukan NICA. Karena, ada pengkhianatan dari Albert Rasing, Lurah Kampung Mujang. Mereka pun masuk perangkap musuh.
Pada dini hari tanggal 23 November 1947, ketika orang masih tidur nyenyak, di sebuah ladang tepi Sungai Koleh (anak Sungai Seruyan), mereka dihujani peluru oleh sepasukan tentara Belanda yang menyerang dari tiga arah. Akibatnya tiga orang gugur seketika, masing-masing Letnan Udara II Anumerta Iskandar, Sersan Mayor Udara Anumerta Achmad Kosasih, dan Kapten Udara Anumerta Hari Hadisumantri. Kapten Soeyoto tertawan. Kemudian Dachlan yang mengalami luka berat di leher, bersama Bachri, Ali Akbar, Mika Amirudin dan yang lain sempat meloloskan diri. Dengan tabah, sisa rombongan melanjutkan bergerilya, tetapi pengepungan pasukan NICA begitu ketatnya. Akhirnya, dua bulan berselang mereka semua tertangkap.
Mereka dibawa ke Banjarmasin, kemudian ditawan di Penjara Bukit Duri, Jakarta. Tidak lama di Jakarta mereka dibawa kembali ke Banjarmasin. Setelah itu mereka dikirim lagi ke Jakarta, masuk Penjara Glodok, lalu dipindah ke Penjara Cipinang, lantas dijebloskan ke Penjara Bukit Batu di Nusa Kambangan. Pada waktu mendekati penanda-tanganan KMB (November 1949) di Den Haag, Belanda, mereka ditarik kembali ke Glodok dan akhirnya dikembalikan ke Yogya dengan status bebas.
Demikianlah operasi penerjunan pasukan payung ini dilaksanakan sekaligus merupakan operasi lintas udara (linud) pertama bagi TNI Angkatan Udara. Meskipun tugas operasi Kalimantan itu gagal, tetapi kisah paratroop tersebut merupakan suatu peristiwa gemilang. Ini membuktikan bahwa para pejuang kemerdekaan dalam keadaan serba darurat dapat membina kekuatan yang tidak boleh dianggap remeh. Peristiwa tanggal 17 Oktober inilah yang kemudian diperingati sebagai hari jadi Pasukan Khas Angkatan Udara (Paskhas).

B.  Ekspedisi Kalimantan Memindahkan Jasad Pahlawan
Untuk mengenang dan menghormati kepahlawanan para pelopor penerjunan  payung  yang  telah  mendahului  gugur di medan tempur,  pimpinan TNI AU telah memerintahkan kepada FM Soeyoto, J. Bitak dan Dachlan untuk mengadakan ekspedisi ke Kalimantan guna memindahkan makam  jasad ketiga pahlawan pelopor ke Taman Makam Pahlawan Yogyakarta. 
Dimulai pada tanggal 15 Maret 1950 mereka bertolak dari Yogyakarta menuju Kalimantan. Bila dibandingkan dengan dua setengah tahun sebelumnya, maka perjalanan kali ini sudah jauh berbeda keadaannya, di mana udara tidak lagi diliputi oleh suasana pertikaian dan permusuhan dengan pasukan “NICA” Belanda.
Setelah sampai di Banjarmasin mereka bertemu dengan Mayor Eddie dan mendapat keterangan bahwa dua pekan sebelumnya beliau mengirimkan telegram ke Jakarta yang isinya meminta supaya rencana pengambilan jenazah ditunda sampai bulan Juli 1950 mengingat musim hujan dan ancaman bahaya banjir.
Penjelasan senada diberikan oleh Overste Sukanda Bratamanggala dan Ketua Dewan Dayak. Tapi, andaikata tim ekspedisi bermaksud terus melanjutkan perjalanannya, maka akan dibantu sepenuhnya. Demi keberhasilan pelaksanakan tugas dan kembali  tidak dengan tangan kosong, tim memutuskan untuk melanjutkan rencana semula. Setelah mengadakan persiapan selama dua hari, mereka lantas berangkat menuju daerah pedalaman dengan menggunakan kapal motor B-004.
Pada tanggal 21 Maret 1950 tepat pukul12.00 siang tim ekspedisi tiba di daerah Sampit. Di sini mereka tinggal selama dua hari untuk mencari perlengkapan-perlengkapan lain berupa tiga buah peti jenazah dan sebuah perahu. Selain itu juga untuk mendapatkan bantuan pengawalan dari anggota TNI Angkatan Darat yang berjumlah enam orang.
Tim kembali berjalan. Setelah sampai di Rantau Pulut, mereka memperoleh keterangan bahwa jenazah teman-teman mereka telah dipindahkan dari tempat semula. Kiranya kejadian dan kenangan dua setengah tahun yang lampau kembali terbayang, ketika mereka menyusuri Sungai Seruyan.
Jenazah tiga orang yang gugur dalam penerjunan lintas udara pertama telah dipindahkan ke Makam Pahlawan Tumbang Manjul, Kecamatan Seruyan Hulu.  Pada keesokan harinya berangkatlah mereka ke Tumbang Manjul. Dari hasil penggalian dan pengenalan kembali hanya diketemukan jenazah Hari Hadisumantri. Sedangkan dua jenazah yang lain --Iskandar dan Achmad Kosasih-- tidak diketemukan berhubung tempat penguburannya yang baru tidak diberi tanda sehingga sulit dikenali. Dengan demikian cuma satu peti dapat terisi kerangka jasad pahlawan penerjunan lintas udara yang pertama. Dan dua dibiarkan tetap kosong.
Jalannya pengambilan jenazah ini mendapat perhatian sangat besar dari penduduk setempat. Mereka tidak lupa mengadakan upacara selamatan untuk menghormati arwah para pahlawannya dengan tari-tarian selamatan dan tari-tarian adat yang sekaligus menunjukkan pula rasa duka cita.  Bukan saja di Kampung Mujang, tetapi juga di tempat-tempat lain yang mereka lalui, mereka mendapat sambutan hangat dan mengharukan. 
Pada tanggal 14 April 1950 rombongan tiba kembali di Banjarmasin. Selanjutnya jazad almarhum Hari Hadisumantri diistirahatkan di Gedung G.P.I Jalan Pelabuhan Utara untuk menunggu kapal yang akan mengangkut ke Jawa.  Dengan kapal K.P.M. MS Rengat, jenazah kemudian dibawa ke Surabaya dan seterusnya dari Surabaya dibawa ke Yogyakarta untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara.

C.  Tjilik Riwut, Sosok Penting di Balik Penerjunan Lintas Udara
Mayor UdaraTjilik Riwut adalah penunjuk lokasi saat mengawal misi rahasia penerjunan lintas udara pertama yang rencananya turun di Sepanbiha namun ternyata mendarat di Kampung Sambi. Siapa sesungguhnya Tjilik Riwut?
Tjilik Riwut lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah, pada tanggal 2 Februari 1918. Pada tahun 1940-1941 dia bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Pakat Dayak dan koresponden Harian Pembangunan (pimpinan Sanusi Pane) dan Harian Pemandangan (pimpinan M. Tabrani).
Tahun 1945-1947 dia bekerja sebagai pegawai Kantor Gubernur Borneo berkedudukan di Yogya. Di tempat yang sama dia merangkap tugas pada Perwakilan Dewan Pimpinan Penyelenggara Ekspedisi ke Borneo di Yogyakarta.
Tahun 1946, Tjilik Riwut mempimpin Rombongan II Utusan Pemerintah RI Yogya ke Kalimantan yang menghasilkan Sumpah Setia pada tanggal 17 Desember 1946. Bersama beberapa rekannya, Tjilik Riwut telah mewakili 142 Suku Dayak di pedalaman Kalimantan (185.000 jiwa) yang menyatakan dan melaksanakan Sumpah Setia dengan upacara adat leluhur Suku Dayak kepada Pemerintah RI di Istana Kepresidenan (Gedung Agung) Yogyakarta.  
Di tahun 1947 Tjilik Riwut mengambil peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ceritanya, awal Juli 1947 di Markas Besar Tentara (MBT) Yogyakarta, Gubernur (pertama) Kalimantan Ir Muhammad Noor dan seorang perwira menengah AURI asal Kalimantan, Mayor Tjilik Riwut yang ketika itu juga menjabat Komandan Mobile Brigade MN 1001, hari itu sedang membicarakan bagaimana mengirim bantuan perjuangan ke wilayah Kalimantan. Pulau Kalimantan diblokade Belanda dengan menempatkan kapal-kapal perang di pantai strategis. Jadi sangat tidak memungkinkan memasukkan personil bantuan melalui laut. Terpikir oleh keduanya bahwa jalan satu-satunya hanya melewati udara, diterjunkan! Bagaimana caranya?
"Temui saja KASAU, Pak," saran Tjilik Riwut kepada Mohammad Noor. Pada saat itu KASAU dijabat oleh Komodor Surjadi Suryadarma, yang lebih dikenal dengan panggilan Pak Surja.
Masih di Bulan Juli 1947, secara kebetulan Mohammad Noor berada dalam kereta api Yogyakarta-Jakarta dengan Pak Surja. Ketika kereta berhenti di Cikampek, kepada KSAU, Mohammad Noor menyatakan keinginan untuk mengirim bantuan ke Kalimantan melalui udara.
Pembicaraan menjadi serius karena KSAU menanggapinya dengan antusias. Terjadi kesepakatan, KSAU --dalam hal ini AURI-- segera menyiapkan pesawat dan perlengkapan parasut serta pelatihan. Sementara Gubernur Mohammad Noor menyiapkan 72 personil yang akan dilatih. Dari jumlah itu, 60 orang adalah putera daerah asli Kalimantan dari anggota pasukan MN 1001 dan selebihnya orang Jawa, Madura dan Sulawesi. Mereka menjalani latihan kering, tanpa pesawat terbang, mempelajari teknik melompat dari tiang luncur, mendarat dengan dua kaki rapat dan berguling. Itu saja yang yang dapat mereka lakukan, meskipun pelatihnya para perwira/bintara AURI seperti Soedjono, Legino, Amir Hamzah dan beberapa nama lagi adalah pionir-pionir yang pernah terjun keluar dari pesawat Churen (biasa disebut Cureng) pada tahun 1945.
Sementara para calon pasukan lintas udara (Linud) itu berlatih, pihak AURI menyiapkan perlengkapan pakaian khusus dan sepatu lars untuk bergerak di hutan Kalimantan serta senjata perorangan karaben yang akan mereka bawa. Penyedia perlengkapan sendiri tidak tahu apa yang dibutuhkan seorang pasukan Linud yang bergerak di medan Bumi Borneo yang mayoritas masih berupa hutan lebat. Mayor Tjilik Riwut saja yang tahu gambaran daerah itu, karena dia orang asli Dayak Ngaju yang sering keluar-masuk Kalimantan. Dan dia pun tampil menjadi penunjuk lokasi saat penerjunan lintas udara pertama pada 17 Oktober 1947.
Tahun 1950 Tjilik Riwut pulang kampung untuk kemudian melaksanakan tugas baru sebagai Wedana di Sampit (Kalimantan Tengah). Setelah itu (1950-1951) dia menjabat sebagai Bupati Kotawaringin Timur (Kalteng). Jabatannya berlanjut di tahun 1951-1956 sebagai Bupati Daerah Swatantra Tingkat II Kotawaringin Timur.
Tahun 1957 Tjilik Riwut dipindahkan ke Banjarmasin dan mendapat tugas baru sebagai Residen dpb pada Kantor Persiapan/Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah di Banjarmasin. Tahun 1958 sebagai Residen dpb pada Pemerintah Swatantra Tingkat I Kalteng dan 1957-1959 dia diangkat menjadi Anggota Dewan Nasional RI.
Tahun 1958-1959 Tjilik Riwut mendapat tugas baru sebagai Penguasa/Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah. Lalu di tahun 1959-1963 menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Agung dan juga Anggota DPR-GR Daerah Swatantra Tingkat I Kalteng. Setelah itu pada tahun 1959-1967 dia terpilih sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalteng. Pada jabatan ini, dia memimpin dan mendirikan serta membangun hutan menjadi kota Palangkaraya.
Di tahun 1961 Tjilik Riwut mendapat tugas khusus untuk membantu AURI atau istilahnya Pembantu Khusus Angkatan Udara RI di Kalimantan. Pada tahun 1963 dipercaya sebagai Ketua merangkap anggota Panitia Adhoc Retooling Aparatur Negara Kalimantan Tengah. Dan pada tahun 1964-1966 dia terpilih sebagai Anggota MPRS. Masih di tahun 1964, dia menjadi Anggota Mupenas.
Di kemiliteran, tahun 1964 Tjilik Riwut menerima anugerah Kolonel Udara Kehormatan TNI AU. Pada tahun 1966 dia kembali menerima anugerah Komodor Udara (Marsekal Pertama) Kehormatan TNI AU.
Tahun 1967-1972 Tjilik Riwut menerima jabatan baru sebagai Gubernur dpb pada Koanda Kalimantan. Tahun 1970 menerima jabatan baru lagi sebagai Pembantu dan Penasehat Pangkowilhan II. Kemudian di tahun 1971-1987 sebagai Anggota DPR-RI (tiga periode masa jabatan). Tahun 1973-1985, dia dipercaya menjadi Koordinator Masyarakat Suku Terasing untuk seluruh Pedalaman Kalimantan.
Tjilik Riwut sempat menulis sejumlah buku, antara lain Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Kalimantan Memanggil (1958), Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota Palangkaraya (1962), Manaser Panatau Tatu Hiang (1965) dan Kalimantan Membangun (1979).

D.  Kisah Pilot Bob Freeberg
Penerjunan pertama pasukan Lintas Udara TNI AU di Kalimantan tidak terlepas dari sosok pilot Robert Earl Freeberg yang menerbangkan pesawat Dakota RI 002.
Bob Freeberg (demikian panggilan akrab Robert Earl Freeberg ) adalah seorang berkebangsaan Amerika yang pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (1947) berusia sekitar 26 tahun. Semula dia penerbang pesawat pembom privateer-Versi AL-AS B 24 Liberator. Setelah berhenti dari dinas militer, dia menjadi penerbang perusahaan penerbangan Filipina.
Merasa jemu dengan penerangan berjadwal, bersama dengan beberapa orang temannya, Bob kemudian membeli pesawat Skytrain. Berbekal pesawat yang telah dibelinya tersebut, dia lalu menambah penghasilan dengan melayani penerbangan carteran.
Waktu terus berjalan, akhirnya Bob dengan pesawatnya sampai pula di Indonesia. Di Indonesia, Bob jatuh hati kepada perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia dan berani melakukan berbagai penerbangan berbahaya menerobos blokade Belanda. Sampai-sampai pers Belanda menjuluki dia petualang dan termasuk salah seorang yang paling dicari oleh kekuatan Belanda. Di negeri asalnya, dia dijuluki soldier of fortune karena semua tujuannya untuk mencari uang bermodalkan pesawatnya yang siap untuk dicarter. Namun ternyata dia tidak pernah lagi merewelkan masalah pembayaran carteran pesawatnya yang hampir selalu tersendat. Di Maguwo, Yogyakarta, orang-orang menggelari dia Bob – the best one.
Untuk penerbangan ke luar negeri, Bob membawa obat-obatan, suku cadang mesin, ban mobil, radio pemancar, dan berbagai keperluan Republik Indonesia. Berkat keseringan mengadakan penerbangan ke luar negeri dan menerobos blokade Belanda serta kerapnya dihadapkan pada kerepotan masalah registrasi pesawat, maka pers Bangkok misalnya pernah menjulukinya sebagai One-man-Airforce. Bob juga telah menerbangkan Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno, berkeliling Sumatera yang berkelanjutan dengan pengumpulan dana sumbangan rakyat untuk membeli pesawat Dakota Seulawah.
Pada saat penerbangan dari Maguwo ke Bukittinggi, 30 September 1948, Bob dan pesawatnya telah hilang karena menabrak gunung di wilayah antara Lampung dan Sumatera Selatan. Bersama pesawat itu hilang pula penerbang-penerbang muda kader bangsa. Mereka adalah Opsir Udara II Bambang Saptoadji, Santoso, dan Residen Republik Indonesia di Banten sekaligus anggota KNIP dan bekas pasukan istimewa Samaun Bakry yang konon membawa emas 20 kg dari Cikotok untuk membeli pesawat di luar negeri. Sekitar 30 tahun berselang, tepatnya pada tanggal 14 April 1978, kerangka pesawat baru berhasil ditemukan di Bukit Punggur, Kotabumi, Lampung. Temuan ini mencatat nama Bob dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

E.   Akhir Riwayat Dakota RI 002
Riwayat Dakota RI 002 adalah cerita kepahlawanan, keberanian serta semangat mengatasi segala macam kesulitan yang muncul dalam suatu keadaan yang serba terbatas, sampai kekurangan. Pun cerita kecintaan pada dunia terbang dan mengenai persahabatan antarbangsa. Bahkan, Dakota RI 002 punya peran penting bagi sejarah perjalanan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Pesawat yang juga disebut Dakota DC-3 atau Dakota Douglas C-47 tersebut merupakan pesawat AURI pertama yang sesuai untuk operasi militer dan transportasi. Istilah Dakota Douglas C-47 biasa dipakai untuk pesawat militer sedangkan istilah Dakota DC-3 digunakan untuk pesawat penerbangan sipil. Ya, Dakota RI 002 memberi warna tersendiri bagi sejarah penerbangan di Indonesia. Sejarah penerbangan pada fase perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam buku Sejarah Operasi Penerbangan Indonesia periode 1945-1950 yang diterbitkan oleh Dinas Sejarah TNI AU, bersama sekelompok kecil penerbang Amerika, veteran penerbang Amerika Serikat Robert (Bob) Earl Freeberg membeli pesawat C-47 Skytrain bekas 'war-surplus' dari Pangkalan Udara Clark di Filipina, seharga US$10 ribu. Berkat jasa Bob, pesawat ini kemudian bisa diterbangkan ke Indonesia buat sarana pengangkutan barang dan jasa.
Dua tahun paska kemerdekaan, sekitar tahun 1947, Pemerintah RI memang membutuhkan penerbang asing yang sanggup menerobos blokade Belanda. Dengan perantara seorang warga Birma bernama Savage, Bob Freeberg berkomunikasi dengan Opsir Udara III Petit Muharto Kartodirdjo dan Dick Tamimi. Kesimpulannya Indonesia membutuhkan kegiatan angkutan udara dan Bob menjadi pilot pesawat perintis pertama di Indonesia.
Bob menerbangkan pesawat CALI ketiga dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, pada Maret 1947 dengan rute tujuan pertama ke Singapura, melalui Bukittinggi. Dari Singapura dia kembali ke Manila, Filipina, untuk mengambil pesawat miliknya, C-47 Skytrain, yang telah disetujui akan disewa Pemerintah RI. Pesawat itu diambil secara diam-diam.
Semula kawan-kawan Bob tidak setuju, sehingga pesawat disembunyikan. Bob kebingungan, berusaha mencari, sampai akhirnya ketemu. Dia lantas membawa dua orang flight-engineer berkebangsaan Filipina terbang ke Indonesia pada malam hari dengan dalih mengadakan uji terbang (test-flight). Ternyata itu sebuah tipu muslihat saja.
Maka, pada malam itu pula, Bob membawa pesawat C-47 Skytrain plus dua orang engineer ke Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta. Pesawat Bob kemudian dicarter oleh Angkatan Udara Republik Indonesia, dan atas saran Petit, diberi nomor registrasi RI 002. Tujuan pertama pesawat ini adalah membawa muatan kina dan vanili ke Manila, di mana Konsul Belanda langsung meminta pesawat dan isinya disita oleh pihak kepolisian. Setelah perdebatan dalam ruang sidang selama berpekan-pekan, berkat dukungan dari banyak sekali lembaga swadaya di Filipina pada Indonesia, Kapten Freeberg dan krunya yang orang Jawa jadi terkenal. Kemudian muatannya bisa dibebaskan dan dijual. Bob mendapatkan cek pembayarannya yang pertama, dan menurut Petit sangat menyentuh hati semua orang Indonesia.
Dakota RI 002 juga pernah mengemban misi menerobos blokade Belanda, menyelundupkan hasil produksi Indonesia dan menerjunkan senjata di wilayah Indonesia. Pesawat ini pun pernah menerbangkan pejabat pemerintah Indonesia ke berbagai tempat –baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Delegasi Indonesia ke konferensi ECAFE –termasuk Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara— diterbangkan dengan Dakota RI 002. Pernah pula membawa orang-orang Indonesia pertama yang akan dilatih sebagai pilot di India dan Rangoon (Myanmar), antara lain Marsekal Muda Agustinus Adisutjipto yang kemudian gugur dalam serangan Belanda terhadap Dakota VT-CLA.
Kisah tragis Adisutjipto bermula saat Dakota VT-CLA pada 29 Juli 1947 pagi berangkat dari Singapura ke Yogyakarta dengan muatan obat-obatan yang merupakan sumbangan Palang Merah Malaka kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Pada senja hari pesawat tersebut tiba di atas kota Yogya dan segera berkeliling-keliling untuk mendarat. Roda-rodanya pun dikeluarkan dan membuat lingkaran terakhir untuk mendarat di Pangkalan Udara Maguwo. Tiba-tiba muncul dua pesawat pemburu Kittyhawk yang segera menyergap Dakota VT-CLA. Semua orang Yogya yang saat itu berada di luar rumah menyaksikan peristiwa aksi Kittyhawk menembak Dakota VT-CLA yang tak bersenjata itu. Beberapa kali Kittyhawk melepaskan tembakan yang tepat mengenai pesawat pengangkut obat-obatan tersebut.
Tak lama berselang, salah satu motor Dakota VT-CLA terbakar dan pesawat terpaksa terbang rendah. Upaya pilot untuk mengarahkan pendaratan ke Pangkalan Udara Maguwo jadi sia-sia. Pesawat miring ke kiri  dan sayapnya menerjang sebuah puncak pohon. Lalu pesawat jatuh di sebuah tanggul, pecah menjadi dua dan kemudian terbakar di sebuah sawah di dekat Desa Wojo, sekitar tiga kilometer dari Kota Yogya. Seluruh penumpang pesawat yang dipiloti oleh Alexander Noel Constantine  (berkebangsaan Australia) itu tewas. Selain Adisutjipto, tercatat sebagai penumpang pesawat itu antara lain Komodor Udara Abdurrahman Saleh, Adisumarmo Wirjokusumo, juru teknik berkebangsaan India Bhida Ram, dan Zainul Arifin (seorang wakil perdagangan Republik Indonesia).
Kembali ke Dakota RI 002, Presiden Soekarno juga pernah diterbangkan pesawat yang biasa dipiloti Robert “Bob” Freeberg itu ke seluruh wilayah Sumatera untuk menggalang dana buat pembelian pesawat terbang Angkatan Udara. Selama bulan Juni 1946, Presiden Soekarno berkeliling Sumatera dengan misi propaganda untuk memperbanyak dana “Dakota”. Di setiap tempat yang dikunjungi, Soekarno senantisa memperoleh sambutan meriah. Sewaktu di Aceh, rakyat setempat mengumpulkan uang selama dua hari yang hasilnya cukup buat membeli sebuah pesawat Dakota  lengkap dengan suku cadang pengganti. Pesawat Dakota ini kemudian diregistrasi menjadi RI 001 Seulawah. Dalam bahasa Aceh, Seulawah berarti gunung emas.  
Sayangnya Dakota RI 002 tidak berumur panjang. Ceritanya, di pagi buta, tanggal 30 September 1948, kapten pilot Bob Freeberg memulai penerbangan Maguwo-Bukittinggi pesawat dengan lima awak dan satu penumpang. Selain kapten pilot Bobby Freeberg tercatat awak kopilot Bambang Saptoadji, ahli teknik Sumadi, operator radio Suryatman, dan kopilot kedua Santoso. Sedangkan satu-satunya penumpang adalah Wakil Residen Banten Samaun Bakry.
Pesawat tersebut sukses tinggal landas dari Pangkalan Udara Maguwo. Sebagaimana biasa, pesawat RI-002 kerap melakukan black flight. Yaitu, penerbangan gelap, seakan-akan main kucing-kucingan guna menghindari pesawat-pesawat pemburu milik Belanda yang banyak berpangkalan di Pulau Sumatera dan di Jawa.
Buku “Laporan Perdjalanan” (Vluchrapport), semacam buku manifest, mencatat jumlah kargo muatan barang seberat 2.500 kilogram –di antaranya 20 kilogram emas dari pertambangan emas Cikotok. Emas tersebut akan digunakan buat membeli pesawat kepresidenan Republik Indonesia.
Sekadar pengetahuan, sebagaimana pernah dilaporkan oleh Pimpinan Tambang Mas Cikotok kepada Pimpinan Pusat Perusahaan-perusahaan Tambang Mas R.I. di Sukabumi, pada tanggal 21 Juli 1947 bulion emas sudah siap dikirim ke Yogyakarta dengan angkutan truk. Namun lantaran Kota Sukabumi sudah keburu diduduki oleh tentara Belanda, jelas S. Adihatmodjo (ex Pimpinan Pusat Perusahaan Tambang Mas R.I. Sukabumi), maka emas yang berjumlah ratusan kilogram tersebut diteruskan ke Tambang Mas Cikotok, Banten Selatan.
Masih menurut Adihatmodjo, Pemerintah Pusat di Yogya menugaskan Samaun Bakry untuk menyelamatkan bulion emas yang ada di Unit Tambang Mas Cikotok. Namun, kata Adihatmodjo, pihak perusahaan tidak mengetahui jumlah pasti emas tersebut karena tidak diberitahukan. “Karena waktu itu kami tidak mendapat kabar lagi dari Yogya maupun Cikotok mengenai pengiriman bulion emas dengan kapal terbang RI 002, kami beranggapan bahwa kapal terbang telah ditembak jatuh oleh Belanda dan muatan bulion emas disita oleh mereka,” tulis Adihatmodjo pada Surat Pembaca Koran Kompas, 12 Juli 1981.
Kembali ke penerbangan Dakota RI 002. Dari Maguwo, rencananya, pesawat menempuh rute menuju Lanud Gorda Serang dan Lanud Tanjung Karang selanjutnya menuju Bukittinggi. Di Gorda, telah menunggu Samaun Bakry yang diperintahkan oleh Presiden Soekarno untuk membawa 20 kilogram emas dari  pertambangan emas Cikotok.
Sehari sebelum keberangkatan Dakota RI 002 dari Pangkalan Udara Maguwo, kata Nursima (istri Samaun Bakry), Samaun mendapat perintah dari Pemerintah Pusat (waktu itu di Yogyakarta) agar mempersiapkan keberangkatan ke suatu daerah yang tidak disebutkan dengan membawa emas hasil tambang Cikotok yang sudah disimpan ke dalam peti-peti. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri peti-peti yang berisikan emas itu dibawa oleh para pegawai dan diangkut ke lapangan darurat Gorda, sekitar 22 kilometer dari Serang. Di sana sudah akan menunggu pesawat dari Yogyakarta untuk membawa emas itu,” ungkap Nursima sebagaimana dilansir Koran Pikiran Rakyat, akhir Juli 1978. Nursima sendiri mengaku tidak diberi tahu ihwal rencana keberangkatan Samaun Bakry membawa misi mengantarkan emas ke sebuah daerah.
Fuad Bakri (anak Samaun Bakry) menambahkan bahwa emas-emas tersebut dibungkus dalam peti sebesar sekitar kardus mie instan. “Saya lihat sendiri, kira-kira seperti kotak kardus mie instan. Jadi emasnya belum emas murni, masih bercampur dengan logam lain,” ungkap Fuad suatu kali. 
Namun 20 kilogram emas yang dibawa pada penerbangan terakhir Dakota RI-002 itu tidak pernah jelas keberadaannya sampai kini. Isu yang beredar menyatakan bahwa emas batangan tersebut disita militer Belanda sewaktu pesawat dipaksa mendarat di Landasan Udara Tanjung Karang, Lampung. Setelah itu, pesawat RI 002 diperbolehkan terbang tanpa membawa emas menuju Bukittinggi. Dan, kemudian Pangkalan Udara Maguwo kehilangan kontak RI 002 pada 1 Oktober 1948.
Dakota RI 002 hilang tanpa kabar. Padahal, sudah menjadi kebiasaan internasional bahwa bila ada sebuah pesawat terbang hilang maka semua pesawat terbang yang ada di daerah sekitarnya –baik pesawat kawan maupun pesawat lawan—harus ikut mencarinya. Rupanya kebiasaan itu tidak berlaku tatkala Dakota RI 002 raib setelah lepas landas dari Tanjung Karang. (*)

Komentar