Legenda Putri Junjung Buih

(Dari Ketapang, Banjar Sampai Kutai Kartanegara)

Lain ladang, lain belalang
Lain lubik, lain ikannya
Peribahasa Indonesia

Pengertian dari peribahasa rakyat Indonesia tersebut di atas bahwa setiap tempat memiliki adat-istiadat,  legenda dan cerita rakyat sendiri-sendiri. Kesadaran akan variasi kebudayaan ini amat menonjol dan terdapat di mana-mana di relung kehidupan rakyat Indonesia, karena mereka telah hidup dengan kebhinekaan selama ribuan tahun.
Kesadaran akan ketidak-samaan ini mempunyai dua segi. Pertama, perasaan bahwa seseorang mempunyai identitas kebudayaannya tersendiri yang khas. Kedua, adalah sikap toleransi terhadap adat kebiasaan orang lain. Bagaimana kekhasan tempat dan cerita itu bagi seorang Indonesia, bagaimana keluasan kelompok kebudayaannya, amatlah berbeda-beda.
Di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda, masing-masing memiliki identitas kebudayaan tersendiri, dan di kepulauan itu dipergunakan pula bermacam-macam bahasa khas. Kendati begitu tidak semua yang ada di Indonesia itu berbeda-beda. Di sini masih ditemui beberapa yang nyaris sama dari satu tempat dengan tempat yang lain. Misalkan tentang cerita rakyat (folklore) yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Cerita rakyat berkisah tentang Putri Junjung Buih tidak hanya berkembang di satu daerah atau komunitas kebudayaan saja. Selain di komunitas masyarakat Seruyan, kisah Putri Junjung Buih diyakini juga berkembang di Ketapang (Kalimantan Barat), Banjar (Kalimantan Selatan), dan Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur).

A.  Legenda Putri Junjung Buih dari Ketapang
Awal kisah menceritakan dua orang bersaudara yang bernama Bujang Bengkung dan Dara Dondang. Kedua kakak-beradik ini saling memberikan perhatian dan pada akhirnya melakukan hubungan layaknya sepasang suami-steri. Sampai kemudian melahirkan keturunan berjumlah tujuh orang anak. Salah satu di antara anak mereka yang paling menonjol sifat dan kepribadian dengan wajah yang cantik adalah yang bernama Dayang Putung alias Junjung Buih.
Versi dari daerah Sepauk, Dayang Putung atau Junjung Buih ditaruh dalam piring besar lalu dihanyutkan di daerah Gunung Kujau ke Sungai Keriau. Mengikuti alur sungai itu, Junjung Buih dari Sepauk ini lantas terdampar di daerah Aji Melayu.
Versi Ketapang menyebutkan bahwa Dayang Putung atau Putri Junjung Buih dihanyutkan dengan rakit pisang di daerah Gunung Kujau. Perjalanan Putri Junjung Buih asal Ketapang ini dari hulu Sungai Keriau terdampar di aliran sungai yang banyak ditumbuhi daun kumpai di Sungai Pawan.
Kisah menjadi menarik ketika datang rombongan Prabu Jaya dari Kerajaan Majapahit. Prabu Jaya mempunyai tujuh orang bersaudara. Enam orang saudaranya berniat jahat pada Prabu Jaya dengan memberikan racun ke dalam makanannya. Akibat makanan yang tercampur racun tersebut, Prabu Jaya menderita penyakit kulit gatal-gatal. Niat jahat saudara-saudara Prabu Jaya terus menguat. Mereka meminta Prabu Jaya diasingkan keluar dari kerajaan dengan berlayar mencari tempat yang lebih baik bagi kehidupannya. Tanpa syakwasangka, dia menuruti apa yang dikehendaki saudara-saudaranya. Dalam pelayarannya, sampailah dia pada suatu tempat yang sekarang dikenal Kuala Kandang Kerbau. Di tempat ini pula perahu Prabu Jaya berlabuh.
Di Kuala Kerbau kemudian Prabu Jaya melanjutkan kehidupannya dengan menuruti kata hati dan apa yang digemarinya. Salah satu kegemaran Prabu Jaya adalah menjala ikan. Alkisah, pada saat menjala, jalanya tersangkut di dasar sungai. Prabu Jaya lalu turun ke dalam sungai. Sontak, seketika itu, kulitnya dijilat oleh ikan paten dan ikan belang ulin. Merasa agak geli, dia lantas berusaha kembali ke darat. Sampai di atas darat, dia menemukan sebuah gondam yang berisikan rambut panjang tersangkut di dalam jalanya.
Dengan niat baik, Prabu Jaya mencari pemilik rambut panjang tersebut. Dia pun menyusuri sungai yang bayak ditumbuhi daun kumpai. Tibalah dia pada suatu tempat kediaman Ranga Sentap. Seketika itu dia melihat seorang wanita yang berada di dalam buih yang banyak, seorang wanita bisa berada di dalam gumpalan buih. Prabu Jaya melihat wanita itu juga mempunyai penyakit yang sama seperti dirinya, kulit gatal-gatal. Lalu dipanggilnya ikan paten dan ulin belang untuk menjilati kulit wanita itu yang gatal-gatal. Sontak, sembuhlah Dayang Putung dan berubah nama menjadi Junjung Buih.
Prabu Jaya mendatangi kediaman Ranga Sentap di daerah Siak Bahulun Raja Ulu Air untuk mempersunting Junjung Buih. Ketika menerima suntingan atau pinangan, Junjung Buih mengajukan beberapa syarat, disediakan antara lain kalung emas, perahu sepanjang tujuh depak laki-laki perempuan, perangkat gamelan dan beberapa gong. Prabu Jaya pun mampu memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Junjung Buih dan keduanya kemudian menikah.
Mahligai perkawinan Prabu Jaya dan Junjung Buih selanjutnya melahirkan anak-anak keturunan yang bernama:
1. Pangeran Prabu yang bergelar raja Baparung di daerah Sukadana.
2. Gusti Lekar diangkat di Kerajaan Meliau.
3. Pangeran Mancar yang menjadi raja pada Kerajaan Tayan.
Dari cerita rakyat yang berkembang, keturunan Prabu Jaya dan Putri Junjung Buih berpantang memakan ikan paten dan ikan ulin belang. Karena, kedua jenis ikan itulah yang membantu kesembuhan penyakit nenek moyang mereka. (dalam Ibrahim Baidjuri, Sejarah Singkat Kerajaan Tanjungpura, 2006)
Dalam versi yang sedikit lebih melengkapi, kisah Junjung Buih itu berkaitan pula dengan keberadaan Kerajaan Singosari di Tanah Jawa. Pada tahun 1275 Masehi, Raja Singosari, Kertanegara, bertekad menyatukan nusantara di dalam satu negara. Saat itu Kertanegara menjalankan ekspedisi di hampir seluruh wilayah nusantara. Untuk wilayah Kalimantan, ekspedisi dijalankan oleh Putra Jaya. Dalam hikayat Melayu, setelah menjadi raja, Putra Jaya berganti nama Prabu Jaya. Karena Kerajaan Singosari ditaklukkan oleh Kerajaan Kediri, hubungan dengan kerajaan induk pun terputus.
Kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Jaya lalu berdiri sendiri sebagai kerajaan merdeka. Kerajaan ini menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan, kecuali Kalimantan Utara (Brunai) dan Kutai. Ibukota kerajaan berada di Benua Lama. Dari cerita rakyat yang berkembang bahwa kerajaan ini diserang oleh Kerajaan Majapahit pada zaman Mahapatih Gajah Mada. Ada pula yang menyebutkan bahwa kerajaan ini diserang bajak laut dari Cina yang menguasai Kerajaan Sriwijaya setelah Sriwijaya kalah dari Majapahit (Dardi D. Haz,  Sejarah Ringkas Kerajaan Tanjungpura).
Prabu Jaya kemudian mengungsi ke daerah yang sekarang dikenal sebagai DesaTanjungpura. Semua harta kekayaan kerajaan disembunyikan ke daerah Dusun Segedong.
Dari beberapa versi cerita yang berkembang di tengah masyarakat, menurut M. Natsir (staf pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak), masyarakat masih menyakini bahwa legenda Putri Junjung Buih dengan Prabu Jaya adalah nenek moyang mereka dan melahirkan keturunan di Kerajaan Tanjungpura. Hal ini masih dapat dijumpai sampai saat ini --baik yang menyangkut tradisi lisan rakyat maupun artefak peninggalan.
Berkaitan dengan legenda Putri Junjung Buih, jelas M. Natsir, kepercayaan masyarakat --baik yang bersifat tangible (nyata) maupun intangible-- yang berkaitan dengan legenda rakyat yang masih melekat dan masih tetap dijalankan melalui upacara tradisi adat antara lain:
* Intangible
1. Upacara Bayar Niat. Upacara ini dilakukan di tempat-tempat yang diangap keramat seperti Keraton Mulia Kerta, Makam Keramat Tujuh, dan Makam Keramat Sembilan. Maksud dari upacara ini untuk memohon keselamatan bagi diri sendiri maupun keluarga dengan bernazar sebelumnya, jika niatnya terkabulkan maka ia dengan segera menunaikan niat tersebut.
2. Upacara Bekalu, adalah sebuah upacara yang dilakukan secara gotong royong pada saat memasang Belat (sejenis keramba besar yang terbuat dari bambu dan dianyam menggunakan lembiding [akar paku pakis] yang berfungsi memperangkap ikan bukan menampung dan dipasang di laut).
3. Upacara Nyapat Taon, adalah upacara untuk mengantar sesaji ke laut yang berupa hasil bumi dengan maksud mengucapkan terima kasih kepada penguasa laut.
4. Upacara Bekasah. Upacara ini dilakukan jika pada suatu daerah terjadi bencana, paceklik dan merasa terancam dengan memohon keselamatan.
5. Upacara Bebuang Penyakit. Upacara ini dilakukan bila dari keluarga ada yang sakit dengan melalui media telur sebagai sebuah simbol dihanyutkan ke dalam air.
6. Upacara Bebuang Tali Pusar, upacara yang dilakukan jika bayi sudah tanggal tali pusar, bisa disimpan di bawah rumah, di bawah musholla, di bawah pohon dan di dalam air dengan menghanyutkan memakai Upeh (pelepah pinang).
7. Upacara Keselamatan Ikrar Damai. Upacara ini dimaksudkan untuk keselamatan seluruh warga guna menghindari pertikaian antar-suku.
8. Upacara Tempat Sirih. Upacara dilakukan jika terjadi selisih paham antara satu sama lainnya.

* Tangible
1. Peninggalan koleksi kuno yang berusia ratusan tahun di Keraton Mulia Kerta yang terdiri dari barang-barang dan kain-kain dari usia 40 tahun sampai ratusan tahun.
2. Makam Keramat Tujuh, dibangun tahun 1363 atau 1437 M (abad 15).
3. Makam Keramat Sembilan, dibangun tahun 1354 atau 1432 M (abad 15).
4. Makam Iranata (Benua Lama).
5. Candi Kuno.
6. Keramik-keramik peninggalan dinasti Cina

B. Legenda Putri Junjung Buih dari Banjar
Dari cerita-cerita rakyat Banjar, legenda Putri Junjung Buih berkaitan dengan sejarah berdirinya Negara Dipa.
Sejarah berdirinya Negara Dipa diawali dengan adanya pelayaran yang dilakukan oleh Empu Jatmika. Mereka adalah saudagar dari Negeri Keling. Pelayaran ini dilatar-belakangi wasiat ayah Empu Jatmika, yakni Mangku Bumi. Amanat Mangku Bumi antara lain adalah agar anak-anaknya pergi ke luar negeri dan mencari sebuah negeri yang bertanah panas dan berbau harum untuk ditinggali setelah dia meninggal, karena di Negeri Keling sudah banyak orang-orang yang berhati iri dan dengki.
Setelah ayahnya meninggal, Empu Jatmika memerintahkan kepada hulubalang Arya Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan kepala jabatan perdagangan Wiramartas (yang merupakan orang yang menguasai banyak bahasa dan terkenal kehebatannya sebagai nakhoda) ikut dalam pelayarannya. Kapal yang digunakan adalah kapal Prabayaksa.
Alkisah sampailah mereka pada daerah yang panas dan berbau harum yang dikenal dengan nama Pulau Hujung Tanah. Di situ Empu Jatmika mendirikan kerajaan baru bernama Negara Dipa atau Dipateh yang artinya negeri seberang tanah. Empu Jatmika sendiri bergelar Maharaja di Candi. Dan dibangun pula Candi Agung di tempat baru ini.
Dari hasil perkawinanya dengan Sira Manguntur, Empu Jatmika dikaruniai dua orang anak, masing-masing Empu Mandastana dan Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat). Masyarakat sekitar Candi Agung mempercayai mitos bahwa barangsiapa yang menjadi raja sedangkan dia bukanlah dari golongan raja maka akan mendatangkan marabahaya. Sebab itu, Empu Jatmika yang bukan keturunan raja (melainkan hanya seorang saudagar yang kaya raya) menyadari harus mencari raja yang sesungguhnya.
Sebelum dia mangkat, dia memerintahkan kepada kedua orang putranya untuk mencari raja sesungguhnya dengan jalan bertapa. Empu Mandastana diperintahkan agar bertapa di gunung, di dalam goa atau di pohon besar. Sedangkan Lambung Mangkurat bertapa di pusar air di atas rakit batang pisang di daerah Ulu Banyu atau yang sekarang dikenal dengan nama Nagara.
Setelah Empu Jatmika wafat, keduanya menjalankan perintah sang ayah. Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di daerah Ulu Banyu. Pada malam terakhir pertapaannya, terdengarlah suara merdu dari dalam air yang mengisyaratkan agar Lambung Mangkurat menyediakan 40 jenis kue dan makanan beserta iring-iringan dayang yang berpakaian serba kuning. Selain itu, suara yang diyakini berasal dari Junjung Buih itu meminta untuk dibuatkan mahligai yang dikenal dengan nama mahligai Puteri Junjung Buih yang tiang-tiangnya terbuat dari Baung Batulis dan alasnya berupa kain pamintan yang dibuat oleh 40 dara. Pamintan mengandung makna kain permintaan (sasirangan).
Setelah mendengar suara Junjung Buih itu lewat, Lambung Mangkurat cepat-cepat pulang untuk menginformasikan kepada para punggawa Kerajaan Negara Dipa ihwal syarat-syarat yang diajukan oleh Putri Junjung Buih untuk menjadi putri raja. Lambung Mangkurat memerintahkan semua orang berbagi pekerjaan. Empat batang pohon Baung Batulis sakti diambil dari Gunung Batu Piring. Mahligai yang besar dibangun oleh empat orang  patih yang tiangnya bertulis sakti. Selembar kain lenggundi kuning yang panjangnya tujuh meter yang diolah oleh empat puluh gadis perawan sudah dikerjakan semuanya. Berkat dikerjakan secara bersama-sama maka mahligai kain langgundi selesai dikerjakan sehari semalaman, sangat pantas sesuai dengan keinginan Putri Junjung Buih.
Setelah permintaan Junjung Buih dikabulkan, keluarlah buih yang besar dan bercahaya. Dari sana keluar seorang puteri cantik jelita bernama Puteri Junjung Buih yang kemudian menjadi Raja Negara Dipa.
Lambung Mangkurat yang selanjutnya menjadi Mangkubumi Kerajaan Dipa merasa berkewajiban mencarikan suami yang pantas untuk Puteri Junjung Buih yang terkenal sakti itu.
Suatu waktu bermimpilah Lambung Mangkurat. Dalam mimpinya, dia berjumpa dengan ayahnya, Empu Jatmika, yang memberi petunjuk agar mencarikan calon suami raja di seberang lautan, yakni Kerajaan Majapahit. Lalu diutuslah seorang pengawal ke Majapahit. Sesampainya di sana, Maha Patih Majapahit mengatakan dia memiliki anak tapi tidak sempurna fisiknya. Orang-orang menyebutnya Raja Bulat Bulaling. Namun, demi menjalankan perintah, Raja Bulat Bulaling tetap dibawa ke Negara Dipa.
Setiba di Muara Banjar, Puteri Junjung Buih memperoleh kabar bahwa calon suaminya hampir tiba di kerajaannya. Karena sang Puteri menginginkan calon suami yang sakti yang tidak kalah saktinya dengan dirinya, Puteri Junjung Buih lalu mengutus seekor naga untuk menghalau air agar kapal rombongan Raja Bulat Bulaling kandas.
Di tengah kebingungan para pengawal istana, Raja Bulat Bulaling memerintahkan agar melemparkan dirinya ke dalam air agar dirinya dapat membunuh naga yang menyurutkan air sungai. Pengawal pun menuruti perintahnya. Selama berhari-hari Raja Bulat Bulaling berada di dalam air. Konon waktu itu turun bidadari dari langit yang berdoa atas keselamatan Raja Bulat Bulaling dengan cara menari. Tarian ini dikenal dengan tarian Baksa Kambang.
Akhirnya, dari dalam air muncul seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dia adalah Raja Bulat Bulaling yang telah berubah wujud. Dia dikenal dengan nama Suryanata (Raja Matahari). Puteri Junjung Buih mengakui kesaktian Suryanata dan bersedia diperisteri.
Siapa sesungguhnya Putri Junjung Buih? Dalam Hikayat Banjar, ia memang dikenal sebagai istri Pangeran Suryanata. Konon, Putri Junjung Buih adalah putri raja pertama di Kalimantan. Menurut silsilah raja-raja Banjar versi legenda daerah, Putri Junjung Buih adalah anak Nabi Khaidir. Sementara sang suami, Pangeran Suryanata, adalah anak Raja Agung Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great, raja Macedonia).
Kisah bermula dari Kerajaan Amuntai dipimpin oleh dua bersaudara, yakni Padmaraga yang disebut Raja Tua dan Sukmaraga yang biasa disebut Raja Muda. Keduanya tidak dikaruniai anak. Oleh karena itu, mereka terus berdoa supaya segera dikaruniai keturunan. Raja Muda berdoa di sebuah tempat dekat Kota Banjarmasin. Begitu kuatnya dia memohon sehingga tak lama kemudian, istrinya hamil dan dianugerahi sepasang anak kembar yang rupawan.
Demikian pula Raja Tua khusyuk berdoa. Dia berdoa di Candi Agung, di luar Kota Amuntai. Setelah sekian lama berdoa, dia pulang ke Amuntai. Dalam perjalanan pulang, dia melewati sebuah sungai. Tampak olehnya seorang bayi perempuan yang sangat cantik terapung-apung di atas sungai, tepat di atas buih. Padmaraga menghentikan perjalanannya. Kemudian Raja Tua memerintahkan pada Datuk Pujung (tetua istana) untuk mengambil bayi di atas buih tersebut. Raja Tua ingin menyelamatkan bayi itu dan menjadikannya sebagai anak asuh.
Datuk Pujung segera mendekat ke tempat buih yang di atasnya terbaring bayi perempuan itu. Datuk Pujung berusaha mengambil bayi itu. Tetapi, buih terus bergerak mengombang-ambingkan si jabang bayi. Rupanya bayi itu sangat susah didekati. Kemudian secara tiba-tiba bayi itu berbicara kepada Datuk Pujung. Bayi tersebut bersedia ikut Raja Tua asalkan permintaannya dipenuhi.
Semua orang yang mendengar terheran-heran. Bagaimana mungkin ada seorang bayi yang bisa bicara.
Datuk Pujung terperanjat. Ketika bayi itu berkata bahwa dirinya akan ikut ke istana dengan Raja Tua asalkan diberi selembar kain dan selimut yang selesai ditenun dalam waktu setengah hari. Selain itu, bayi tersebut juga ingin dijemput oleh empat puluh wanita cantik. Permintaan bayi itu disampaikan kepada Raja Tua. Raja Tua segera memerintahkan untuk mencari empat puluh wanita cantik dan mengumumkan sayembara untuk menenun kain dan selimut dalam waktu setengah hari.
Banyak orang yang mengikuti sayembara. Tetapi belum ada yang dapat menyelesaikan tenunan dalam waktu setengah hari. Sampai kemudian, datanglah seorang perempuan bernama Ratu Kuripan. Ratu Kuripan mampu menyelesaikan tugasnya menenun selembar kain dan selimut dalam waktu setengah hari. Hasilnya pun sangat mengagumkan.
Bayi di atas buih itu pun dapat diambil dan diangkat anak oleh Raja Tua. Bayi itu kemudian dinamai Putri Junjung Buih. Sementara itu, Ratu Kuripan diangkat menjadi pengasuh Putri Junjung Buih. Ratu Kuripan mengajarkan semua ilmu yang dimilikinya dan membimbing Putri Junjung Buih hingga dewasa. Berkat kecerdasannya, Putri Junjung Buih tumbuh menjadi putri yang sangat cantik serta dikaruniai kepandaian yang luar biasa. Raja Tua sangat menyayanginya. Kelak di kemudian hari, Putri Junjung Buih menjadi anutan takyat Amuntai dan menikah dengan pangeran dari kerajaan Majapahit, Pangeran Suryanata. Akhirnya mereka menurunkan raja-raja yang berkuasa di wilayah Kalimantan.
Menurut mitologi rakyat pesisir Kalimantan, seorang raja haruslah keturunan raja puteri ini sehingga raja-raja Kalimantan mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih. Beberapa kerajaan di Kalimantan Barat, sebagaimana dilansir oleh Wikipedia,  juga mengaku sebagai keturunan Puteri Junjung Buih.
Dalam tradisi Kerajaan Kutai, Putri Junjung Buih atau Putri Junjung Buyah merupakan isteri kedua dari Aji Batara Agung Dewa Sakti Raja Kutai Kartanegara ke-1.
Menurut pemerhati kebudayaan Dayak, Marthin Bayer, Puteri Junjung Buih adalah sama dengan Kameloh Putak Janjulen Karangan yang dikenal dalam masyarakat Dayak. Kemudian Puteri Lela Menchanai yang berasal dari Jawa (tahun 1524) yang adalah permaisuri Sultan Bolkiah dari Brunei menurut legenda suku Kedayan dipercaya berasal dari buih lautan (mirip cerita Putri Junjung Buih yang keluar dari buih di sungai).
Dalam Perang Banjar, seperti ditulis oleh Willem Adriaan (1865) dalam bukunya yang berjudul De bandjermasinsche krijg van 1859-1863 halaman 44, bahwa salah seorang puteri dari Panembahan Muda Aling yang bernama Saranti diberi gelar Poetri Djoendjoeng Boewih.


C.  Cerita Putri Junjung Buih dan Perang Banjar
Di masa Kolonial Belanda ini berkembang cerita terendiri Putri Junjung Buih. Dengan mengambil dibumbuhi kisah heroik Panembahan Datu Aling ketika itu cukup sohor cerita seputaran Putri Junjung Buih.
Dikisahkan, puteri gaib muncul dari buih pusaran air, kemudian Lambung Mangkurat menobatkannya sebagai ratu di Kerajaan Nagara Dipa. Selanjutnya, sang putri dinikahkan dengan bangsawan Keraton Majapahit yang bernama Raden Putra.
Setelah menikah dengan Putri Junjung Buih, Raden Putra menjadi raja di Kerajaan Nagara Dipa dengan nama Pangeran Surya Ananta (anak matahari). Menurut legenda masyarakat Banjar, mereka berdua pada akhirnya moksa atau menghilang ke alam gaib dan menjadi penguasa di Keraton Gaib Gunung Pamaton. Dan, demikian kepercayaan masyarakat, mereka berdua dapat menitis atau merasuki raga orang yang mereka inginkan.
Demikianlah cerita dari mulut ke mulut di masa penjajahan Belanda. Pada waktu suhu politik di Kerajaan Banjar sempat memanas gara-gara turut campur tangan Belanda pada penobatan Pangeran Tamjid sebagai raja di Kerajaan Banjar untuk menggantikan Sultan Adam karena Sultan Muda Pangeran Abdurrahman sudah wafat terlebih dahulu. Padahal, kaum bangsawan, alim ulama dan masyarakat Banjar menghendaki Pangeran Hidayatullah menjadi Sultan, sesuai dengan testamen atau wasiat Sultan terdahulu.
Salah seorang ulama yang saleh di Kumbayau Tambarangan, Rantau (Kabupaten Tapin sekarang), bernama Datu Aling merasa prihatin atas kemelut membelit Keraton Banjar tersebut. Sebab itu, beliau salampah atau tirakat dengan menyepi seorang diri, melakukan puasa, sholat, wirid dan zikir, serta amalan-amalan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, disertai permohonan agar diberi petunjuk dan jalan keluar atas kemelut yang sedang terjadi di dalam Keraton Banjar. Datu Aling melakukan salampah selama sembilan bulan sembilan hari, dimulai pada April 1858 sampai dengan Februari 1859.
Pada tanggal 2 Februari 1859 (bertepatan dengan 10 Rajab 1275 H), Datu Aling didatangi oleh raja-raja gaib Kerajaan Banjar dan meminta Datu Aling untuk mendatangkan Pangeran Antasari ke daerah Muning. Dia akan memulai kerajaan baru sampai raja yang sah terpilih.
Cerita selanjutnya, pada tanggal 13 Rajab 1275 H, Puteri Datu Aling yang bernama Saranti dirasuki oleh ruh Puteri Junjung Buih. Dia minta dinikahkan dengan seorang pemuda kampung yang bernama Dulasa karena di dalam tubuhnya bersemayam ruh gaib Pangeran Surya Ananta.
Mendengar semua permintaan itu, Datu Aling pun melaksanakan seluruh keinginan putrinya tersebut. Setelah dinikahkan dengan Dulasa, Saranti diberi nama Putri Junjung Buih dan suaminya Dulasa diberi nama Pangeran Surya Ananta. Kemudian Datu Aling mengumumkan kepada warga masyarakat tentang penobatan Saranti, raja titisan Puteri Junjung Buih. Nama daerah Kumbayau diganti menjadi Kerajaan Tambay Mekah. Sebagai raja di Kerajaan Tambay Mekah, Saranti titisan Putri Junjung Buih mengangkat ayahya, Datu Aling. Kemudian, sebagai panembahan, kakaknya Sambang diberi gelar Sultan Kuning, kakaknya perempuan Nuramin diberi gelar Ratu Keramat, sedangkan suami Nuramin diberi beberapa gelar antara lain Mangkubumi Kusuma Nagara, Bayan Sampit, Garuntung Waluh, Garumung Manau, Kindaui Aji, Kindui Mu’i, Pembelah Batung, Panimba Sagara, dan Panglima Juntai Di Langit.
Kerajaan Tambay Mekah terpisah dari Kesultanan Banjar dan tidak tunduk kepada penjajah Belanda. Saranti titisan Putri Junjung Buih menjadi ratu di KerajaanTambay Mekah hanya sebagai simbol kepala negara. Sedangkan urusan pemerintahan dipegang oleh Penembahan Muda Datu Aling. Sebagai seorang Panembahan yang saleh, adil dan bijaksana, dia bekerja sama dengan Segera Banua Ampat, yaitu Banua Halat, Banua Gadung, Banua Padang dan Banua Parigi. Mereka ini tunduk kepada Datu Aling. Kemudian mengikuti pula Banua Atas, Batang Hulu, Jambu, Amandit dan Pangabau
Kepada para pengikutnya, Datu Aling selalu menanamkan semangat jihad demi melawan ketidak-adilan dan penjajahan. Seruan Datu Aling untuk melakukan jihad yang mendapat respon luar biasa dari masyarakat, ternyata membuat Pangeran Tamjid beserta Belanda merasa terancam kedudukannya. Untuk itu Residen Belanda di Banjarmasin mengirim sebuah tim yang terdiri dari Jaksa Kepala, Pangeran Suryadinata dan Penghulu Kepala Pangeran Muhammad Seman disertai 120 pengikut.
Mengetahui akan kedatangan mereka, Datu Aling memerintahkan anaknya Sultan Kuning menyiapkan pasukan jihad sebanyak 700 orang lengkap dengan senjata terhunus untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi.Tentu saja utusan Residen Belanda terkesiap menyaksikan begitu banyak jumlah pasukan jihad Datu Aling yang siap tempur jika mereka berbuat macam-rnacam. Karena mereka hanya ingin menyaksikan keadaan yang sebenarnya di Kerajaan Mekah, mereka pun dipersilakan menemui Datu Aling di Istana Tambay Mekah.
Setelah mendengar laporan utusannya, sekali lagi Residen Belanda memerintahkan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah untuk menangani masalah Kerajaan Tambay Mekah. Kemudian Pangeran Hidayatullah mengutus Pangeran Antasari, Pangeran Jantera Kesuma dan Pangeran Umar Syarif untuk menemui Datu Aling. Dalam pertemuan tersebut Datu Aling menjelaskan maksud dan tujuan didirikannya Kerajaan Tambay Mekah. Ternyata apa yang disampaikan oleh Datu Aling seiring sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Pangeran Antasari. Hingga akhirnya terjadi kesepakatan perjodohan antara anak Pangeran Antasari yang bernama Pangeran Muhammad Said dan Saranti titisan Putri Junjung Buih yang telah menjanda.
Dengan demikian bertambah kuatlah kedudukan Datu Aling karena setelah 30 hari pernikahan Pangeran Muhammad Said dengan Saranti, si titisan Putri Junjung Buih, Pangeran Antasari mulai aktif memimpin gerakan rakyat di Banua Ampat dan Banua Lima yang diarahkan langsung kepada Belanda.
Puncaknya, pada 28 April 1859 pasukan jihad Datu Aling yang berasal dari Banua Ampat dan Banua Lima, di bawah kepemimpinan Pangeran Antasari, menyerang benteng pertahanan Belanda Oranye Nassau di Pengaron. Penyerangan ini berhasil dengan gemilang. Itulah awal meletusnya Perang Banjar. Akhirnya, pertempuran pun meluas ke berbagai daerah di Kalimantan Selatan.
Sebagai pembalasan atas jatuhnya benteng pertahanan Oranye Nassau di Pengaron, pada tanggal 16 November 1859, secara tiba-tiba pasukan Belanda menyerang pertahanan Sultan Kuning. Serangan ini disambut dengan teriakan Allahu Akbar oleh pasukan jihad Datu Aling di bawah komando Sultan Kuning. Dalam pertempuran tersebut, komanda pasukan Belanda Kapten Benschop tewas terkena tombak. Hari itu pula datang lagi satu pleton pasukan Belanda yang lebih besar, namun semuanya berhasil dipukul mundur.
Pada malam harinya, datang lagi pasukan Belanda yang lebih besar menggempur benteng pertahanan Datu Aling di Masjid Muning. Pertempuran terjadi semalam suntuk. Datu Aling, Saranti beserta beberapa orang pengikut setianya tetap bertahan di dalam masjid. Datu Aling tidak mau menyerah kepada Belanda meski api telah menjilat seluruh masjid yang terbuat dari kayu. Akhirnya, Datu Aling dan Saranti pun gugur sebagai syuhada.
Dengar gugurnya Datu Aling dan Saranti, Pangeran Antasari mengeluarkan semboyan yang berbunyi “Heram manyareh, waja sampai ka putting(haram menyerah kepada Belanda sampai tetesan darah terakhir).” 
Pangeran Antasari pun terus mengobarkan Perang Banjar. Peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran demi pertempuran juga terjadi secara terus menerus antara pasukan Pangeran Antasari yang bergelar Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda di beberapa tempat. Dengan persenjataan moderen yang diperoleh dari Batavia, pasukan Belanda berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya ke Muara Teweh.
Bujukan Belanda agar Pangeran Antasari menyerah tak berhasil. Pangeran Antasari tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan kepada Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan) ...”
Dalam peperangan, Belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa saja yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang usai tidak seorangpun mau menerima tawaran tersebut.
Di masa itu tercatat orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda adalah Antasari dengan anak-anaknya, Demang Lehman Amin Oellah, Soero Patty dengan anak-anaknya, Kiai Djaya Lalana, dan Goseti Kassan dengan anak-anaknya.
Pangeran Antasari wafat pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia sekitar 75 tahun. Menjelang wafat, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah meletusnya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.
Pada tanggal 11 November 1958, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari yang telah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu Sungai Barito. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
Pangeran Antasari dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Nomor 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 27 Maret 1968. Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan Pangeran Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp2.000.  (*)

D.  Putri Junjung Buih, Permaisuri Raja Kutai Kartanegara
Sedikit cerita tentang Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Pada mulanya, kota Tenggarong merupakan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun, oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Dalam perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini. Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer yaitu Asal-Mula Erau yang berkaitan dengan kisah raja pertama Kutai Kartanegara Aji Batara Agung Dewa Sakti dan permaisuri Putri Karang Melani atau Putri Junjung Buih.
Legenda ini mengambil latar belakang cerita di masa Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (abad ke-13 Masehi) yang berdiri di Tepian Batu atau Kutai Lama. Legenda ini terpusat pada kisah seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang memiliki wajah sangat tampan, sehat dan cerdas. Dia tumbuh dan berkembang di lingkungan suku-bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturunan Dewa, dia tidak boleh diperlakukan seperti halnya seorang anak manusia biasa. Karena itu, sejak kecil dia dirawat dan dibesarkan secara baik dan hati-hati oleh keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Dewa Sakti yang dikenal dengan Erau.   
Alkisah, di lereng sebuah gunung di daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi Dusun bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum juga dikaruniai anak. Namun begitu, suami-istri itu tak pernah merasa putus asa. Mereka rajin pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk memohon pada Dewata agar diberi keturunan.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang tidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang. Kejadian itu membuat mereka keheranan. “Pak, coba lihat apa yang terjadi di luar,” kata si istri.
Dengan memberanikan diri Petinggi Dusun Jaitan Layar keluar dari rumahnya. Dia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.
Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh Dewa. Satu dari tujuh Dewa itu berkata, “Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa.”
Kemudian Dewa itu berpesan kepada Petinggi Dusun Jaitan Layar, ”Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kayangan. Sebab itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, tapi selama 40 hari 40 malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat kamu. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan.”
Dewa itu juga berpesan kepada Petinggi Dusun, “Bilamana bayi ini sudah besar, tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang telah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi di sungai untuk pertama kali, kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah.”
Bukan main senangnya Petinggi Dusun Jaitan Layar memperoleh anak keturunan para Dewa. “Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,” kata sang Petinggi Dusun sambil menyembah.
Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi Dusun. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi Dusun masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi Dusun menceritakan kejadian yang baru saja dia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi Dusun mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Bayi bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapa saja memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Beberapa saat berselang bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi Dusun kebingungan, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak.
Akhirnya, sang Petinggi Dusun membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghamburkan beras kuning, dia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kayangan, “Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya.”
Mendengar perintah itu, istri Petinggi Dusun Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, terpancarlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi Dusun. Kedua suami-istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa itu telah mendapatkan air susu.
Setiap hari, sang Petinggi Dusun dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk Dusun Jaitan Layar ikut bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagat sebanyak tujuh kali. Selama 40 hari 40 malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi Dusun, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Waktu terus melaju dan berlalu. Sampailah Aji Batara Agung Dewa Sakti pada umur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebaya. Dia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak yang lain. Dia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah.
Sang Petinggi Dusun teringat pesan Dewa ketika menerima anak itu. Sebab itu, dia dan istrinya bersama seluruh penduduk Dusun Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Upacara Erau berlangsung sangat meriah selama 40 hari 40 malam. Sesuai petunjuk Dewa, Petinggi Dusun menyembelih bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.
Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Aji Batara Agung, diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Dusun Jaitan Layar lantas turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang-tuanya dan memberinya pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak lagi Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Dusun Jaitan Layar selanjutnya menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah lalu diberi makan sirih.
Usai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi Dusun kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.
Para undangan dari berbagai negeri dan dusun berpamitan kepada Petinggi Dusun dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata, "Tiada siapa pun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di kayangan." Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusun masing-masing menjalani kehidupan sehari-sehari.
Semakin hari Aji Batara Agung Dewa Sakti bertambah dewasa. Dia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Dia kelak menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325 M). Saat dia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah.
Sebagai raja pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti dianggap sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura. Setelah menjadi raja, Aji Batara Agun Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu atau Putri Junjung Buih.
Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari Kayangan. Awalnya, ia adalah ulat kecil yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah Kampung Melanti dekat aliran Sungai Mahakam.
Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun tengah membelah kayu bakar, tiba-tiba dia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu  melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seolah minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi Hulu Dusun mengambil ulat itu untuk dipelihara.
Waktu terus melaju dan berlalu. Ulat kecil itu tumbuh semakin membesar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah.
Pada suatu malam Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri nan cantik jelita. Dalam mimpinya, sang Putri berkata, “Ayah dan Bunda tidak usah takut kepada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah.” Ketika terbangun, sang Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada istrinya, Babu Jaruma.
Keesokan harinya, sang Petinggi Hulu Dusun pun sibuk membuat tangga dari kayu lampong. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi Hulu Dusun mendengar suara sang Putri yang menemuinya dalam mimpi. “Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda mengikuti ananda ke mana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menaburi ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.”
Sang Naga kemudian menuruni tangga, lalu merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi Hulu Dusun dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.
Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian ia berenang ke Tepian Batu. Petinggi Hulu Dusun dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi Hulu Dusun dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi Hulu Dusun berusaha mengayuh perahunya ke tepi.
Tak seberapa lama peristiwa itu berlangsung. Cuaca kembali terang. Petinggi Hulu Dusun dan istrinya merasa keheranan. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat permukaan Sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring di dalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah Naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan Naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, tampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang Naga dan gong tersebut.
Petinggi Hulu Dusun dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah Lembu Swana. Dengan segera Petinggi Hulu Dusun mendayung perahunya ke Tepian Batu.
Tak lama berselang, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang Naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari kayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang.
Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu mereka pelihara. Dan sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi Hulu Dusun, bayi perempuan itu diberi nama Putri Karang Melenu atau Putri Junjung Buih.
Sang Petinggi Hulu Dusun dan istrinya merawat bayi itu dengan baik sebagaimana anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali memperoleh anak dari kayangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu.
Waktu terus berjalan, Putri Karang Melanu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi, dan pintar. Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Demikianlah kisah perjalanan hidup Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan permaisurinya Putri Karang Melanu (Putri Junjung Buih) sejak kecil hingga akhirnya mereka menikah.
Semenjak Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai Kartanegara, Erau diadakan pada setiap pergantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Untuk mengenang kembali peristiwa kehadiran Putri Karang Melanu (Putri Junjung Buih), diadakan pula upacara Mengulur Naga. Upacara ini merupakan puncak acara pada Erau yang hampir setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain Mengulur Naga, masyarakat Kutai Kartanegara mengenang Putri Karang Melanu dengan membangun sebuah gedung pertunjukan pada tahun 2003 yang diberi nama Putri Karang Melanu. (*)   

Komentar