Musyawarah vs Demokrasi Kriminal




Alkisah, suatu ketika, Khalifah Umar Bin Khathab ra memasuki sebuah masjid. Dia melihat seseorang yang tengah melaksanakan shalat. Lalu, usai orang itu shalat,  Khalifah Umar bertanya, “Dari mana kamu mendapatkan penghasilan?” Orang itu pun menjawab: “Saudaraku menanggung kebutuhanku.” Umar lantas berkata, “Saudaramu itu lebih baik daripada dirimu. Keluarlah. Sungguh, jika salah seorang dari kalian mencari kayu, itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain, mungkin mereka memberi atau menolaknya.”
Sebagai pemimpin umat, Umar memang sangat jauh berpikir tentang kesulitan dan kemiskinan, sehingga tidak ada keinginan untuk menghiasi diri dengan kehidupan dunia dan lebih memperkaya diri dengan aktivitas ibadah mencari ridha Allah SWT. Namun Umar tidak ingin umatnya larut kepada aktivitas ibadah semata.  Selain menegakkan ibadah, umat tetap tidak boleh lupa bekerja menyongsong pintu rezeqi secara halal, tidak pasif sekadar berharap belas kasih orang lain. Dia melarang orang untuk meminta-minta. “Wahai manusia, janganlah salah seorang dari kalian bermalas-malasan mencari rezeqi, padahal ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas atau perak,” tutur Umar suatu kali.
Umar tidak hanya sebatas menyuruh umatnya bekerja, tapi dia sangat menghargai umatnya yang aktif bekerja. Dia dikenal pula sebagai pemimpin yang memberikan upah (rezeqi) yang baik kepada para pegawainya. Mengenai hal ini, Umar berkata, “Saya mencukupi mereka agar mereka tidak menginginkan apa yang dimiliki oleh orang lain.”
Khalifah Umar mencontohkan bagaimana dan kapan rakyatnya harus dibantu, didorong untuk bekerja, dan diapresiasi atas hasil kerjanya. Sebuah teladan pemimpin yang tidak ingin rakyatnya menjadi peminta-minta dan pejabatnya bertindak korup. Bahkan, bila ada rakyatnya yang kelaparan, Sang Kalifah turun langsung memberikan bahan pangan. Hal ini masih dilengkapi lagi dengan teladan hidup hemat dan jujur (antikorupsi) dalam diri Sang Khalifah. Dengan memenuhi kebutuhan jajaran pejabatnya ditambah teladan kejujuran rasanya cukup mustahil akan melahirkan pejabat-pejabat korup.
Pada konteks kekinian kita butuh orang-orang (pemimpin) yang lekat dengan nilai-nilai kepemimpinan model Kalifah Umar Bin Khathab: hemat, jujur, membangkitkan etos kerja rakyat, dan mencukupi kebutuhan seluruh jajaran pemerintahannya. Pemimpin yang lahir dari proses panjang melalui gaya manajemen dan musyawarah ala masjid, melalui model shalat berjamaah. Sebuah proses yang penuh musyawarah ihwal siapa yang layak maju ke sajadah pengimaman untuk memimpin shalat. Tidak asal pilih dengan suara terbanyak. Tidak mudah memang, mencari figur yang bersedia menerapkan nilai-nilai kepemimpinan macam ini di tengah masyarakat yang dilanda konsumerisme dan hedonisme.
Dengan berangkat upaya aktif membangkitkan rakyat meninggalkan kondisi papa dan miskin serta memberi contoh hidup hemat dan jujur, penulis pikir masih ada kesempatan untuk memimpikan lahirnya pemimpin yang antikorupsi. Pemimpin semacam inilah kunci pokok pemberantasan korupsi yang kita rasakan dari waktu ke waktu nyaris tak ada perubahan. Mari kita mulai dari Presiden bersama jajaran kabinetnya, dan para wakil rakyat di DPR. Mereka harus berhemat agar beban negara tidak semakin berat. Jangan sampai, mereka gampang tersinggung manakala muncul kritik bahwa mereka hidup dalam gelimang kemewahan duniawi. Berilah teladan kesederhanaan pada rakyat yang semakin terhimpit kesulitan hidup dari hari ke hari. 
Tidak gampang memang, mendorong dan memilih pemimpinan ideal seperti Khalifah Umar Bin Khathab. Di tengah karut marut rekrutmen kader partai politik dan dominasi demokrasi kriminal, sulit rasanya akan terpilih pemimpin sekelas Khalifah Umar. Rekrutmen kader partai politik kita masih sarat intrik, sirik dan gemericik rupiah. Tidak hanya pada proses rekrutmen partai politik. Pada proses non-parpol, saat pemilihan kepala daerah misalkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan aturan calon independen harus mengantongi foto copy KTP warga pendukung dalam jumlah tertentu. Kalau lewat parpol mesti bayar dana ratusan juta sampai miliaran rupiah, maka jalur independen terasa juga mesti mengeluarkan dana tidak sedikit buat memperoleh KTP pendukung. Bila cara semacam ini tidak segera distop, maka politik dagang sapi akan terus berlangsung. Artinya, demokrasi negeri ini akan terus melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup demi mengejar dana dan ongkos yang telah dikeluarkan. Meminjam pendapat Jeffrey Winters, seorang Indonesianis, demokrasi yang berkembang saat ini di Indonesia adalah demokrasi kriminal: demokrasinya bergerak maju tapi hukumnya lemah dan etika para pemimpinnya luntur. Sebuah demokrasi yang menyesakkan dada dan menyakitkan rakyat jelata.
Kapan kita punya kemauan politik untuk menyetop demokrasi kriminal? Kini terpulang pada kita semua –terutama wakil rakyat yang selama ini cenderung menghasilkan produk-produk hukum yang hanya menguntungkan diri mereka dan kelompok kepentingan tertentu. Sejauh ini belum ada gelagat perbaikan dari mereka. Teriakan rakyat-rakyat yang mereka cuma dianggap angin lalu. Mari kita geser demokrasi kriminal ke arah model pemilihan pemimpin model shalat berjamaah. Sebuah model, di mana, hanya mereka yang mampu memimpin yang boleh maju menjadi imam (pemimpin). (BNS)

Komentar