Mengenal Pendidikan dan Agama

* Bab 6

SEBELUM masuknya pendidikan formal ke Pulau Rote/Ndao, pendidikan telah berlangsung dalam masyarakat dan/atau rumah tangga. Pendidikan yang berlangsung meliputi (antara lain) cara-cara bertani, beternak, berumah-tangga, dan adat sopan-santun. Para pemimpin masyarakat dan orang-orang tua menjadi guru-guru informal atau non-formal.
Pendidikan sangatlah penting sebagai proses untuk mengantar peserta didik ke dalam kebudayaan tertentu. Kendati terkadang penggarapan pendidikan dan kebudayaan tidak secara terpadu, namun pendidikan merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia dalam arti seluas-luasnya dan kebudayaan sebagai kekayaan miliki seluruh bangsa. Keduanya memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Pendidikan dapat berlangsung dalam satu iklim budaya, bahkan tak terlepas dari susunan kebudayaan yang menjadi bumi persemaian identitas bangsa. Sedangkan kebudayaan memerlukan usaha pelestarian melalui pendidikan yang menyadarkan kepentingan preservasi (perlindungan) nilai-nilai budaya yang turun-temurun. Pendidikan tanpa orientasi budaya akan gersang dari nilai-nilai luhur, sedangkan pendidikan tanpa pendukung-pendukungnya yang sadar dan terdidik, akan memudar sebagai sumber nilai dan akhirnya hilang dalam perjalanan sejarah (Fuad Hasan, 1991).
Upaya pendidikan harus lebih menjamin adanya rasa keterkaitan antara subyek didik dan lingkungannya. Dengan begitu, sebagai potensi terdidik, mereka akan mampu menjadi agen-agen pembaruan masyarakatnya. Hal ini dapat terlaksana bila kurikulum memberi keleluasaan untuk memperoleh “muatan lokal” yang akan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan setempat.


A.   Historis Pendidikan Formal di Pulau Rote
Dalam sejarah pengembangan pendidikan di Pulau Rote pada umumnya, jasa Foeh Mbura alias Benyamin Mesah sangatlah besar dan penting. Tercatat, pada tahun 1730 Masehi dia memimpin sebuah delegasi menuju Batavia dengan tujuan untuk mencari inovasi dan transformasi bagi rakyat Rote Ndao umumnya dan rakyat Thie khususnya. Kemudian pada tahun 1732, dia kembali dengan membawa berbagai ilmu dan teknologi terapan, termasuk agama (Kristen).
Mengingat antusiasme Benyamin Mesah dalam memburu ilmu dan teknologi terapan di Batavia yang sangat kuat, begitu tiba di Rote dia langsung mulai menerapkan perolehan ilmunya pada tahun itu pula (1732). Mulanya pendidikan masih bersifat kursus, semacam kursus PBH (Pemberantasan Buta Huruf). Agama pun mulai disebarkan, dengan cara semacam “kesasi sidi”. Pengajar terdiri dari Foeh Mbura (Benyamin Mesah) sendiri dibantu oleh Mbate Moi (Jonahis Moi). Kemudian Foeh Mbura meminta guru pada pemerintah Belanda, lalu pada tahun 1733 dikirimlah seorang Kristen lokal dari Kupang bernama Johanis Senghaje. Peserta didiknya, selain dari Nusak/Kerajaan Thie, ada pula yang berasal dari beberapa kerajaan lainnya di Pulau Rote. Semua kegiatan itu berlangsung di Istana Kerajaan.
Mula-mula pendidikan berjalan tanpa bantuan pemerintah (cq Pemerintah Belanda). Sekolah-sekolah dibuka hanya atas inisiatif pada raja. Sekolah-sekolah yang dibuka oleh para raja itu disebut “Sekolah Desa”. Gaji guru ditanggung oleh rakyat, dalam bentuk natura. Tiap orang tua murid membayar uang sekolah. Rakyat Rote sudah sadar akan pentingnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sehingga mereka beramai-ramai menanggulangi masalah kependidikan. Gaji guru dibayar pada setiap musim panen, dengan ketentuan tiap rumah tangga/kepala keluarga:
·         Padi (gabah), minimal 5 kati
·         Botok (jewawut), 5 kati
·         Satu ikat jagung (20 bulir)
·         Satu fles (sekitar lima liter) gula air
Awalnya hanya sedikit sekolah yang didirikan oleh Belanda/VOC, umumnya berada di kota-kota, demi kepentingan VOC sendiri. Yaitu, untuk memenuhi kebutuhan kualifikasi pegawai yang akan dipekerjakan di kantor-kantor VOC. Setelah masuknya Organisasi Penginjilan Belanda –Nederland Zendeling Genootschap (NZG)—pada tahun 1819 di Rote dan Timor, barulah sekolah-sekolah itu diambil-alih oleh NZG atau Zendeling. Pada masa Zendeling, di Rote sudah terdapat 13 Sekolah Desa dan 18 Sekolah Zendeling. Setelah Zendeling menarik diri dari Rote dan Timor pada 1871, ke-18 sekolah Zendeling itu dijadikan Sekolah Gubernemen. Kemudian, lantaran keuangan Gubernemen tidak mencukupi, tujuh buah Sekolah Gubernemen dijadikan Sekolah Desa. Lalu, Sekolah Gubernemen tinggal 11 unit dan Sekolah Desa bertambah menjadi 20 unit.
Karena rakyat mengalami kesulitan dalam masalah biaya pendidikan, beberapa Sekolah Desa terpaksa ditutup. Sehingga, pada tahun 1896, di Rote sisa hanya 16 sekolah: 11 unit Sekolah Gubernemen dan 5 unit Sekolah Desa. Kemudian Sekolah Desa dijadikan Sekolah Gereja. Pada tahun 1915, delapan unit Sekolah Gubernemen dan lima unit Sekolah Desa itu dijadikan Sekolah Lanschap/Volks (Sekolah Rakyat), sehingga terdapat 13 Volkschool. Sisa hanya tiga unit Sekolah Gubernemen, masing-masing Sekolah Gubernemen di Ringgou, Oelua dan Baa. Pada tahun 1927, ketiga unit Sekolah Gubernemen itu diberi sambungan (vervolg). Vervolgschool (VVS) Ringgou dan Oelua (Dengka) hanya sampai kelas lima, sedangkan VVS Baa sampai dengan kelas enam.
Pada tahun 1931 terdapat 23 volkschool, tiga unit vervolgschool, dan 35 unit Sekolah Gereja Bersubsidi. Setelah itu ditambah lagi beberapa volkschool dan sekolah gereja. Kemudian VVS Ringgou dan Oelua (Dengka) ditutup tahun 1936, tinggal tersisa VVS Baa.

B.    Pendidikan Formal di Nusak Thie
Sekolah Fiulain. Sekolah yang dibuka pertama kali di Pulau Rote adalah di Fiulain (ibukota Kerajaan Thie). Mengingat demikian besarnya animo masyarakat untuk memperoleh ilmu dan agama, peserta didik bertambah dari waktu ke waktu, datang dari berbagai negeri sehingga istana tidak mampu lagi menampung peserta didik. Lalu pada tahun 1734 dibangun sebuah gedung darurat yang berfungsi ganda, yaitu sebagai sekolah sekaligus buat gereja. Setelah gedung sekolah dibangun, pendidikan tidak lagi bersifat kursus dan mulai diadakan klasifikasi atas tiga kelas, yaitu mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Atas permintaan Foeh Mbura, pada tahun 1735 Pemerintah Belanda mengirim seorang guru dari Ambon, bernama Hendrik Hendrikz. Dia sebagai kepala sekolah.
Sekolah Danoheo. Pada masa awal pemerintahan Besi Alu Pah alias Bastian Mbura, sekitar tahun 1771, ibukota Kerajaan Thie berpindah dari Fiulain ke Ritileo, yang kemudian nama tempat itu (Ritileo) diubah menjadi Danoheo. Sekolah/gereja pun berpindah ke Danoheo. Sejak saat itu Danoheo menjadi pusat penginjilan dan pendidikan di Pulau Rote. Pada tahun 1830-an baru pusat agama dan pendidikan berpindah ke Baa. Pada tahun 1910, Sekolah Gubernemen Danoheo berpindah ke Tudameda. Dan pada tahun 1959 barulah sekolah dibuka lagi di Danoheo.
Sekolah Okeneka dan Sekolah Nggauk. Selain sekolah Fiulain/Danoheo, pada tahun 1860 dibuka juga sekolah di Desa Okeneke dan Desa Nggauk. Kedua sekolah ini menampung anak-anak dari Thie timur. Sedangkan anak-anak dari Thie barat bersekolah di Danoheo. Namun pada 1905, kedua sekolah itu disatukan lalu dibuka di Dolasi.
Sekolah Dolasi. Sekolah ini dibuka tahun 1905 dan menampung peserta didik dari Thie timur. Kemudian pada 1948, sekolah ini dipindahkan ke Lotelutun. Banyak murid sekolah ini yang mampu mencapai jenjang perguruan tinggi, antara lain Prof. Dr. Adrianus Mooy dan Prof. Dr. Petrus Octavianus. 
Sekolah Tudameda. Setelah Sekolah Gubernemen Danoheo berpindah ke Tudameda, anak-anak dari Thie barat bersekolah di Tudameda. Lalu pada 1915, sekolah ini pun berubah status enjadi Volkschool (Sekolah Rakyat), dengan nama Volkschool Tudameda. Pada April 1944, atas restu Jepang, dibuka sebuah sekolah Yogya Ko Gakko (Sekolah Sambungan, statusnya sama dengan VVS) di Tudameda dan kegiatan belajar-mengajar (kependidikan) berlangsung di gedung Volkschool Tudameda pada siang hari. Kemudian tahun 1945, dibangun untuk Yogya Ko Gakko ini sebuah gedung di Mataboaoen, lalu murid-murid ke 4-6 bersekolah di situ. Tahun 1972, Volkschool (Sekolah Rakyat) Tudameda (kelas 1-3) dan Sekolah Sambungan Mataboaoen (kelas 4-6) digabung lantas dibuatkan gedungnya di Tudameda, yaitu di sudut lancip pertigaan jalan raya menuju Batutua dan Nemberala. Dengan begitu SD Tudameda yang ada sekarang (kini berlokasi di Desa Oetefu), sudah berdiri sejak tahun 1910. Kini di atas bekas lokasi Volkschool telah dibangun pasar, yaitu Pasar Tudameda. Dari atau melalui sekolah ini banyak bekas muridnya yang mampu mencapai pendidikan tinggi, antara lain Prof. Dr. Adrianus Mooy dan Dr. Yusuf Merukh.
Sekolah Oeseli. Sekolah ini berdiri pada tahun 1918.
Sekolah Nggauk. Sekolah ini dibuka kembali pada tahun 1927.
Sekolah Oebafok. Sekolah Oebafok dibuka oleh J.A. Messakh (Raja/Camat) pada tahun 1960.
Sekolah Lidamanu. Oleh karena jauhnya Sekolah Tudameda, juga Sekolah Oebafok, maka banyak anak dari Desa Roioen-Meoain putus sekolah, bahkan banyak yang tidak bersekolah. Untuk mengatasi persoalan ini, pada tanggal 1 Agustus 1967, Paul A. Haning membuka Sekolah Lidamanu. Pembukaan sekolah ini mengalami tantangan lantaran tidak disetujui oleh pemerintah kecamatan. Pada masa itu pembukaan sekolah masih sangat terbatas. Sampai pada masa raja Th. A. Messakh barulah sekolah ini direstuinya.
Sekolah Lalukoen. Setelah Sekolah Lidamanu dibuka, Sekolah Lalukoen juga dibuka oleh Kristofel Pah pada tahun 1967. Karena tidak pula disetujui oleh pemerintah kecamatan, mula-mula Kristofel Pah sendiri yang melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini.
Kendati tahun 1848 Pemerintah Belanda telah membuka sekolah bagi rakyat, namun masih terbatas pada golongan bangsawan, pengajaran buat rakyat belum terlaksana. Tahun 1871 sudah terdapat 31 sekolah yang tersebar di Pulau Rote. Baru pada tahun 1893 Pemerintah Belanda serius mengadakan pengajaran bagi rakyat Indonesia.
Menurut laporan Pendeta A. Jackstein, pada tahun 1862 sudah terdapat lebih dari 50 orang guru yang berasal dari etnis Rote. Pada masa VOC ataupun masa NZG (Nederlands Zendeling Genootsche), guru-guru yang pernah mengajar di Fiulain dan Danoheo dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 6.1 Guru-guru yang Pernah Aktif di Fiulain dan Danoheo
Nama
Asal organisasi
Tempat tugas
Keterangan
Johanis Senghaje
VOC
Fiulain
Dari Kupang, orang Ambon, tahun 1733
Hendrik Hendriks
VOC
id
Dari Ambon, tahun 1735
Jacob Musila
NZG
Danoheo
Dari Ambon, tahun 1819
Johanis Molle
id
id
Dari Kupang, orang Rote
H. Jacobis
id
id
Dari Ambon
Osias Leimena
id
id
Id
Jacobis Dirk
id
id
Id
Daniel Johanis
id
id
Dari Kupang, orang Rote
Nemuel Touselak
id
id
Id
A.   Lopulisa
Guru Gubernemen
id
Dari Ambon
J.L. Nalley
id
id
Dari Kupang, orang Rote
C.M. Noija
id
id
Dari Ambon
B.    Pallo
id
id
Id
J.H. Ohelo
id
id
Id
Petrus Reinhard
id
Id, kemudian Tudameda (1910)
Id

Dalam perkembangannya, setelah dicanangkan Repelita oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada tahun 1969, setiap desa di Nusak Thie sudah ada sekolah dasar. SLTP dan SLTA pun sudah tersebar di setiap kecamatan. Pada tanggal 20 November 2010 telah dibuka pula Sekolah Menengah Kejuruan/Kesehatan di Desa Lidamanu oleh Yayasan Kencana Sakti, yang diketuai oleh Drs. Sam J. Pandi, yang diberi nama SMK Kencana Sakti Lidamanu. Sekolah ini adalah sekolah kesehatan pertama di Kabupaten Rote Ndao. Sekolah ini dilengkapi CCTV untuk memantau berbagai aktivitas belajar-mengajar.
Perkembangan terkini (2014), data dari Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Rote Ndao, memperlihatkan pendidikan di Rote sudah relatif maju. Pada jenjang Taman Kanak-kanak terdapat 3 TK negeri dan 57 TK swasta. Kemudian di tingkat sekolah dasar (SD) tercatat 120 SD negeri dan 23 SD swasta. Semua kecamatan telah memiliki sekolah setingkat SD ini.
Selanjutnya tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdapat 37 SMP negeri dan 3 SMP swasta. Hampir setiap kecamatan sudah ada sekolah lanjutan tingkat pertama. Dan pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) tercatat ada delapan SMA negeri dan satu SMA swasta. Hanya Kecamatan Landu Leko dan Ndao Nuse yang belum memiliki SMA.

C.   Penggunaan Bahasa Melayu oleh Penduduk Rote
Sepanjang sejarah orang Rote, sekolah-sekolah di Pulau Rote dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sangat sederhana dengan menggunakan bahan-bahan sederhana pula. Seperti rumah-rumah orang Rote, sekolah-sekolah dan perlengkapannya dibangun dari hasil pohon lontar. Apa yang tidak diperoleh dari Belanda, maka akan dibuat dengan bahan yang ada. Sebagai alat tulis digunakan papan yang dibuat dari kayu idite; buat tinta digunakan auk (indigo) atau tinta yang dibuat dari daun dodoa; dan penggaris cukup dibuat dari bambu. Buku-buku sekolah Melayu dipakai untuk bacaan. Di sekolah-sekolah yang tidak memiliki buku itu, pelajaran membaca diambil dari Alkitab bahasa Melayu.
Sekolah terdiri dari enam tingkat dengan murid-murid laki-laki dan perempuan. Pelajaran dilakukan kira-kira empat jam setiap hari. Kenaikan ke tingkat yang lebih tinggi tidak secara otomatis dilakukan pada akhir tahun, sehingga usia murid-murid di sekolah itu sekitar 12 sampai 18 tahun. Raja-raja menentukan penerimaan murid, setiap anak harus membayar dengan seekor kerbau atau kuda, agar dapat menyelesaikan pendidikannya. Rupanya raja-raja itu saling bersaing untuk memperoleh jumlah murid yang terbanyak dalam sekolah masing-masing.
Pemakaian bahasa Melayu itulah yang dikecam oleh para penginjil dan guru-guru di semua sekolah dan gereja-gereja di Rote. Namun sejak hubungan dengan Belanda yang pertama-tama, bahasa Melayu adalah suatu sarana yang sangat penting bagi perhubungan dengan dunia luar. Dalam berurusan dengan orang Rote, Kompeni menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara. Mula-mula mereka mengirim orang Rote ke Kupang untuk belajar bahasa Melayu.
Pada abad ke-20, agama Kristen dan bahasa Melayu sudah merupakan suatu paduan yang harmonis. Raja-raja dan bangsawan tinggi mendapat kesempatan pertama untuk menjadi Kristen dan beruntung menikmati pendidikan dalam bahasa Melayu, di mana keuntungan ini sampai pula di kalangan rakyat secara berangsur-angsur.
Pada tahun 1900, Le Grand melaporkan bahwa kurang dari seperenam rakyat yang resmi menjadi Kristen. Perubahan menjadi Kristen berlangsung secara lambat tapi pasti. Dalam suatu kumpulan catatan gereja dari awal abad ke 20, terdapat catatan mengenai suatu percakapan penting dengan seorang Rote yang tidak beragama Kristen. Mula-mula, dengan tegas ia menentang puteranya untuk menjadi Kristen. Hanya setelah anak itu mempelajari bahasa Melayu di sekolah, ia berpendapat bahwa puteranya sudah layak menjadi orang Kristen. Hal yang demikian terjadi di seluruh pulau.
Pada tahun 1950, ketika kampanye pemberantasan buta huruf yang diadakan oleh Presiden Soekarno berakhir, pulau itu dinyatakan bebas buta huruf dalam bahasa Indonesia (bahasa Melayu modern yang digunakan oleh seluruh bangsa). Pada waktu itulah terjadi perubahan menjadi Kristen secara besar-besaran. Pada waktu itu Pulau Rote tergabung dalam suatu negara baru, dan suatu keuntungan bagi Rote, karena alat komunikasi yang dipakai adalah suatu unsur lama dari adat kebiasaannya sendiri.

D.   Perkembangan Agama
Jauh sebelum masuknya agama Kristen di Rote, warga masyarakat Rote telah mengenal sebuah kepercayaan tradisional yang disebut Halaik atau Dinitiu. Baik Halaik maupun Dinitiu merupakan kepercayaan yang bersifat animisme dan dinamisme, yaitu sebuah kepercayaan tentang keberadaan penguasa tertinggi alam semesta yang disebut Lamatuak atau Lamatuan (Yang Maha Agung/ Kuasa).
Menurut pandangan masyarakat Rote, alam semesta terdiri dari alam nyata yang dihuni manusia dan alam yang tidak nampak (gaib). Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam semesta atau kosmos ini.
Alam gaib dihuni oleh berbagai makhluk halus dan kekuatan gaib yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara biasa dan karena itu sangat ditakuti. Alam gaib terdiri dari dua bagian: alam gaib yang berada di alam atas (langit) dan alam gaib yang berada di bawah (bumi). Baik yang di langit maupun di bumi dihuni oleh kekuatan-kekuatan gaib berada di atas kekuatan manusia (supernatural) dan keduanya merupakan dwitunggal.
Kekuatan alam gaib di alam atas yang terdiri para dewa memiliki kekuasaan untuk mensejahterakan umat manusia dan juga menghukum umat. Ada beberapa dewa yang dikenal masyarakar Rote, antara lain Nutu Bek (Dewa Pertanian), Nade Nio (Dewa Kemakmuran), Ndao Malo (Dewa Tanah), Inde Reo (Dewa Batu), Teluk Aman Lai Londa (Teluk Aman) dan Hak Aman Nepe Dae (Hak Aman). Teluk Aman artinya ayah dari si Teluk (Tiga) dan Lai Londa berarti yang diturunkan dari langit. Sedangkan Hak Aman artinya ayah dari si Hak (Empat) dan Nepe Dae berarti memangku tanah/bumi. Teluk Aman Lain Londa merupakan perlambang kekuatan gaib alam atas (langit) dan Hak Aman Nepe Dae sebagai perlambang manusia insani di bumi.
Untuk mendapatkan kekayaan material, Teluk Aman lah yang disembang. Karena dewa inilah yang mengatur kehidupan khususnya hujan, maka tidap tahun (bulan Oktober) harus disembah. Pada bulan tersebut diadakan foti hus/limba, dengan diadakan persembahan kepada Teluk Aman. Hus/limba khusus untuk meminta hujan dan berbagai rezeqi yang lainnya dari Teluk Aman disebut hus/limba sosonggo. Setelah diadakan perayaan di hus/limba khusus itu, barulah disusul dengan hus yang lain pada sekitar November sampai Januari. Hus/limba adalah suatu arena pacuan kuda yang berbentuk sirkel dengan diameter sekitar 75 meter. Hampir di setiap nusak (daerah teritorial genealogis) terdapat satu klen dengan tugas khusus sebagai imam.
Dikenal pula tiga dewa lainnya, masing-masing Dewa Pencipta (Mana Adu), Dewa Pemberi (Mana Fe), dan Dewa Penyelenggara (Mana Sula/Sura). Ketiga dewa ini dianggap menjalankan kekuasaan Teluk Aman sehingga dalam menyembah Teluk Aman, dalam rumah sembahyang (uma nitu) atau pada bagian samping pintu kandang kerbau/sapi dipancang sebuah tiang bercabang tiga. Mungkin Teluk Aman dianggap sebagai “bapak” dari ketiga dewa ini lalu disebut Ayah si Tiga (Teluk Aman).
Ada pula yang berpendapat bahwa Teluk Aman bukan saja berkuasa di atas bumi namun merupakan penguasa alam semesta, termasuk menguasai tiga raksasa langit, yaitu matahari, bulan dan bintang. Sedangkan Hak Aman adalah pengelola bumi, melindungi bumi yang meliputi keempat jurusan (mata angin) yang dijaga juga oleh empat dewa kecil, masing-masing Ndu Kira Ki, Ndu Londa Kona, Ndu Rara Muri dan Ndu Manuri Dulu.
Kemudian alam gaib bawah (bumi) terdiri dari roh-roh nenek moyang yang dikenal dengan nama nitu uma dan roh-roh jahat disebut nuti-mula serta pundiana/maro (kuntilanak). Roh-roh nenek moyang (nitu uma) umumnya berbuat baik kepada manusia (keluarganya). Jika sesuatu perbuatan manusia (keluarganya) bertentangan dengan kehendaknya maka ia (mereka) memberikan teguran berupa sakit-penyakit dan lain-lain. Sementara itu kerja roh-roh jahat hanya ingin mencelakakan makhluk hidup –baik atas kemauan sendiri maupun atas suruhan manusia yang lain.
Untuk menolak bala, penyakit dan lain-lain yang disebabkan oleh roh-roh jahat ataupun yang terjadi dengan sendirinya, roh-roh nenek moyang itulah yang pertama-tama dihubungi atau diminta bantuan. Bila menemui jalan buntu maka barulah kekuatan gaib alam atas akan dihubungi. Buat kepentingan yang lebih urgen (kemakmuran dan kehidupan), kekuatan alam atas yang dihubungi, secara langsung ataupun melalui perantara roh-roh nenek moyang.
Manusia harus menghadapi alam gaib itu dengan cinta, bakti dan takut. Sebab itu, manusia harus melakukan perbuatan-perbuatan yang bertujuan mencari hubungan atau mencari perlindungan dari atau dengan kekuatan alam gaib yang berada di atas kekuatan manusia (supernatural) itu agar ketenteraman batin dan kesejahteraan hidup manusia dapat terjamin. Keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia sangat tergantung pada kekuatan supernatural. Segala sesuatu berhubungan dengan manusia dan lingkungan yang tidak dapat dipecahkan oleh akal, dapat dipecahkan melalui ilmu gaib.  
Seiring dengan masuknya pengaruh agama Kristen di Rote, perlahan pemeluk kepercayaan ini mulai berkurang. Hal ini dikarenakan masyarakat Rote yang ada pada masa itu, secara bertahap mulai memeluk agama Kristen yang masuk bersamaan dengan ekspansi pemerintahan Belanda.

Terutama berkat jasa seorang raja ternama dari Nusak Thie bernama Foe Mbura. Foe Mbura adalah seorang tokoh sejarawan di Pulau Rote yang sangat terkenal sampai saat ini karena kebijaksanaan dan kewibawaannya sebagai seorang raja. Salah satu usaha dan jasa beliau yang sangat yang berkesan dan sulit untuk dilupakan oleh masyarakat Rote adalah mencerdaskan rakyat dan merintis masuknya agama Kristen di Rote. Foe Mbura memulai misinya ketika masyarakat Pulau Rote dilanda kemiskinan dan terpuruk dalam segi pendidikan dan moral. Lalu dia mencari cara agar suatu kelak rakyatnya  pandai dan mengenal agama sehingga tidak mudah dibodohi oleh penjajah dan tidak terjadi perang antar-suku. Dengan tekad itulah Foe Mbura memutuskan untuk mencari ilmu pengetahuan ke Batavia.
Sepulang dari Batavia, Foeh Mbura tidak saja mengembangkan pendidikan namun juga menyebarkan agama. Sebelum adanya para pelayan agama, dia sendiri bertindak sebagai penginjil/pendeta. Pada masa pemerintahannya, dia meminta pendeta kepada Pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1742 dikirim Pendeta Hermanus Sanders Zijlsma dari Belanda ke Fiulain. Bersama pendeta asal Belanda ini, dia membaptis banyak orang. Lalu pada masa pemerintahan Raja Tou Kay Pah alias Daniel Tou Kay Pah, dikirim lagi Pendeta Warmoed ke Fiulain. Pada masa Zendeling ada beberapa pendeta bertugas dan tinggal di Danoheo.
Lantaran gedung sekolah juga berfungsi sebagai tempat kebaktian, pendidikan dan agama berjalan bersama-sama. Pada guru pun bertindak sebagai Guru Jemaat atau Utusan Injil. Dari sekolah dan gereja, agama merambat ke masyarakat.
Setelah berdirinya STOVIL (School Tot Opleiding Voor Inlands Leeraren) di Baa pada tanggal 1 Januari 1903, banyak Inlands Leerar (Pendeta Pribumi/Guru) dicetak. Menurut St. J. Merukh, dari tahun 1732 sampai tahun 1942, pejabat formal keagamaan yang telah membangun mental spiritual masyarakat Rote-Ndao, antara lain Pendeta Pembantu (hulpprediker) sebanyak 30 orang Eropa dan dua orang bumiputera, Inlands Lerar sebanyak 46 orang dan 50 orang Utusan Injil.
Sebelum STOVIL berdiri di Baa, beberapa Inlands Leraren telah diangkat melalui pendidikan khusus oleh para pendeta orang Eropa. Berikut beberapa orang Thie yang pernah bertugas di Gereja Tudameda, baik yang melalui pendidikan khusus maupun sebagai tamatan STOVIL Baa angkatan awal:
·         Bartolens Kiki (Pendidikan Khusus/Inlands Leraar) yang diangkat pada tahun 1895 dengan daerah pelayanan Baa, Lole, Oepao, kembali ke Baa, kembali Oepao sampai meninggal di sana.
·         Osias Messakh (Pendidikan Khusus/Inlands Leraar) yang diangkat tahun 1897 dengan wilayah pelayanan Lole, Oepao, kembali Lole, Termanu, kembali Lole, Thie/Termanu, kembali Lole, lantas pensiun di Lole.
·         St. J. Merukh (Pendidikan Khusus/Inlands Leraar) yang diangkat tahun 1898 dengan wilayah pelayanan Bilba, Baa dan Thie/Dolasi. Lebih banyak di Baa, mengajar di STOVIL dan sebagai wakil pendeta untuk Rote dan Ndao.
·         Jacob Arnoldus (STOVIL/Inlands Leraar) untuk wilayah Feopopi, Lole, Bokai, Landu dan Atambua.
·         Hermanus Haning (STOVIL/Inlands Leraar) untuk daerah Dengka, Korbafo, Thie/Tudameda, Lole, Talae, Landu, kembali Thie/Tudameda.
·         Semuel Nappu (STOVIL/Inlands Leraar) untuk wilayah Dengka, Delha, Lole, Alor, dan Kupang.
·         Bernadus Adu (STOVIL/Inlands Leraar) untuk wilayah Oenale dan Baa.
·         Adrianusi Nggebu (STOVIL/Inlands Leraar) untuk daerah Alor, Pariti, Thie/Tudameda, Baa, Lole, kembali Thie.
·         Abraham Manu (STOVIL/Inlands Leraar) untuk wilayah Alor, Keka, Termanu, dan Kupang.
·         Gabrial Nappu (STOVIL/Inlands Leraar) untuk Alor, Oepao, Camplong dan Korbafo.
·         Jacob Nalley (STOVIL/Inlands Leraar) untuk wilayah Thie/Nggauk, Kapan, Delha, dan Korbafo.
·         Soleman Haning (STOVIL/Guru Injil) pada wilayah Soliu, Camplong, Silu dan Oemofa.
Ada pula beberapa orang yang bukan orang Thie namun bertugas di Gereja Tudameda dengan wilayah pelayanan Tudame, yakni Piter Sahertian (Ambon), Eduart Risi (Rote/Ringgou), M. Hidelilo (Sabu), Jusuf Lelametan (Ambon) dan Johanis Pello (Rote/Termanu).
Penduduk Rote menerima agama Kristen dan pendidikan relatif cepat. Namun, perubahan itu bukanlah perubahan yang dikehendaki oleh Belanda pada abad ke-18 di pulau itu. Kompeni cuma bertugas berdagang dan bertanggung jawab atas semua anggotanya agar tetap menganut agama Kristen. Kompeni tidak bertugas mengembangkan dan memajukan agama Kristen di Rote.
Penyebaran agama Kristen di Rote tidak seperti yang terjadi di pulau-pulau lain di wilayah Timor. Karena orang Rote telah memeluk agama Kristen pada abad ke-18, maka campur tangan para penginjil dalam masalah keagamaan itu dianggap tidak perlu. Hampir semua kegiatan para penginjil hanya dilaksanakan dari Kupang dan semuanya tergantung pada orang Rote sendiri.
Beberapa kali penginjil dari Jerman dan Belanda dikirim untuk berdiam di pulau itu. Namun, kebanyakan dari mereka mengakui bahwa mereka tidak berhasil dalam usahanya untuk memperbaharui dan meningkatkan kondisi gereja-gereja di Pulau Rote. Di antara para penginjil yang berturut-turut ditugaskan pada abad ke-19, hanya satu atau dua orang yang tahan tinggal di pulau itu selama dua tahun. Iklim yang panas, angin kering, malaria atau disebabkan karena kegagalan berhubungan dengan orang Rote yang selalu menghalangi usaha-usaha dari misi tersebut.
Contoh ketidak-berhasilan dialami oleh penginjil yang pertama berdiam di Pulau Rote. Dia adalah seorang Belanda muda bernama J. K. ter Linder, yang ditunjuk oleh Le Bruijn pada tahun 1827. Kedatangan Linder disambut oleh para raja dan kemana pun dia pergi diiringi oleh banyak orang. Suratnya yang pertama kepada Lembaga Penginjil penuh dengan kegembiraan. Dalam 20 tahun berikutnya, diadakan usaha-usaha untuk membuka kembali sekolah-sekolah di bawah pengawasan para penginjil.
Rote merupakan satu-satunya pulau di Indonesia Timur yang berhasil mempertahankan tradisi lembaga pendidikannya yang bebas, yang mengajarkan bahasa Melayu selama dua ratus tahun, meski beberapa kali terhenti. Di samping itu Rote adalah pulau yang berhasil mempertahankan adat kebiasaan asli atas nama agama.
Pada abad ke-20, sejumlah pendeta Rote yang ditahbiskan berhasil mempertahankan adat kebiasaan untuk membayar emas kawin dan adat pemakaman di kalangan orang Kristen. Dengan tegas mereka memperjuangkan keterpaduan antara adat kebiasaan asli dan agama Kristen yang sudah berkembang di pulau itu diterima. Bahkan, sampai sekarang, sebagian penganut Kristen di Rote masih sangat keras percaya kepada animisme dan dinamisme, mereka berpendapat bahwa hal-hal yang disebabkan oleh magis harus diselesaikan atau dikonfrontasikan dengan cara magis pula.
Terlepas dari persoalan percampuran budaya (adat) dan agama di Pulau Rote, sampai tahun 2014 lalu penganut Kristen menempati urutan pertama dalam komposisi pendudukan Rote atas dasar agama. Sebanyak 110.207 warga Rote beragama Kristen, 2.529 orang beragama Katolik, 7.974 orang beragama Islam dan 67 orang beragama Hindu. Dominannya penganut Kristen tampak pula pada jumlah gereja Kristen yang mencapai 431 buah. Lalu diikuti gereja Katolik sebanyak 14 bangunan, masjid sebanyak 10 bangunan dan pura cukup satu bangunan.
Sedikit pengetahuan tentang penganut Islam di Rote. Sebagian besar penganut Islam tinggal di Kelurahan/Desa Londalusi, Kecamatan Rote Timur. Berdasarkan data tahun 2013, jumlah penduduk beragama Islam di Desa Londalusi sebanyak 1.888 jiwa. Besaran angka tersebut menjadikan agama Islam sebagai agama kedua dengan jumlah jamaah terbanyak setelah penganut agama Kristen Protestan.
Di Londalusi terdapat tiga masjid, masing-masing Masjid Al Bahri, Masjid Al Muhajirin dan Masjid Al Mujahidin. Di antara ketiganya, Masjid Al Bahri yang paling aktif karena masjid tersebut sering menyelenggarakan pengajian anak-anak. Tercatat sekitar 200 santri dengan tujuh orang pengajar aktif di Masjid Al Bahri. Kegiatan belajar santri-santri diisi dengan hafalan-hafalan, membaca Al Qur’an dan dibagi menjadi enam kelas sesuai dengan usia dan kemampuan menghafal. Semua santri yang terbagi dalam enam kelompok belajar dalam satu waktu dan satu tempat tanpa sekat apapun. Hanya lingkaran-lingkaran kecil yang tersebar di berbagai penjuru Masjid Al Bahri yang menjadi pembeda antar-kelas, sehingga suara sahut-sahutan antar para ustadz dan ustadzah bersaing agar para santri dapat fokus dan tidak terganggu oleh kelas lainnya.
Fasilitas seperti buku-buku keagamaan dan Al qur’an masih sangat minim. Para ustadz dan ustadzah pengajar hanya mendapatkan fee sebesar Rp100.000/bulan bila semua santri membayar iuran. Bahkan tidak jarang para ustadz/ustadzah hanya mendapatkan Rp50.000/bulan.

Dengan komposisi penganut berbagai agama yang ada, kehidupan antar-umat beragama di Kabupaten Rote Ndao dapat dikatakan cukup harmonis dan rukun-rukun saja. (*)

Komentar