Makam Fiktif, Gengsi dan Tradisi



Ramai-ramai isu makam fiktif ditemukan di beberapa TPU di Jakarta, saya teringat pada seorang kenalan, sebut saja Mat Sani. Mat Sani bukanlah orang yang berkelebihan duit, berpangkat, atau sohor. Dia hanya orang biasa. Penghasilannya sebagai tukang batu dapat dibilang pas-pasan. Bahkan, acapkali berkekurangan di saat tak ada orang memakai jasanya. Kala kosong borongan menukangi pembangunan rumah atau memperbaiki talang bocor, dia lebih memilih narik ojek dan mangkal di pengkolan.
Satu hal menarik sempat terucap dari Mat Sani dalam satu kali obrolan di pengkolan. “Kapan saja mati, aku sudah siap. Keluargaku tidak perlu pusing-pusing cari tanah kuburan, aku sudah beli lahan 30 meter persegi di dekat pekuburan kampung tak jauh dari rumahku,” tutur Mat Sani.  

Belasan tahun silam Mat Sani sempat membeli lahan yang cukup untuk memakamkan dirinya, isteri dan dua anaknya. Kini, lahan itu terisi jasad Mat Sani yang beberapa waktu lalu meninggal dunia. Keluarga Mat Sani tak perlu mengeluarkan dana sepeser pun untuk memakamkan jasadnya. Tak ada kesulitan yang berarti ihwal pemakaman Mat Sani yang tinggal di pinggiran Kota Bekasi ini.
Banyak orang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) kini dihantui ketakutan tidak kebagian lahan makam lantaran lahan makam yang ada demikian terbatas. Jalan yang ditempuh Mat Sani hanya sebuah alternatif. Alternatif lainnya adalah order kapling makam di TPU yang dikelola oleh dinas daerah. Sebelum pemesan kapling masuk, kapling itu ditata laiknya makam-makam yang telah terisi: dibuat gundukan datar dilengkapi nisan dengan keterangan nama “penghuni”. Inilah yang kini ramai dalam pemberitaan media massa dengan istilah “makam fiktif”.
Sebetulnya ihwal pesan kapling makam bukan sekarang saja berlangsung dan bukan hanya di Jabodetabek. Sekali waktu, saya pulang ke kampung halaman untuk nyekar kedua orangtua yang telah wafat. Mata saya sempat tertuju pada sejumlah makam dengan bangunan di atas makam relatif sama. Rupanya makam itu milik trah keluarga priyayi yang cukup kondang di masanya. Ada pula empat makam yang ternyata itu merupakan makam seorang pejabat di masa kolonial bersama tiga orang isterinya.
Jelas, makam-makam itu memakan lahan tersendiri dan seolah tampil mengukuhkan diri para penghuni yang berkelas. Ada semacam gengsi dari kalangan tertentu. Di sini tidak ada makam fiktif, karena kapling yang belum terisi dibiarkan kosong tanpa nisan.kendati kosong tak berarti bisa diisi oleh jasad siapa saja. Hanya jasad kerabat trah yang boleh mengisi. Satu hal lagi, makam-makam itu tunggal, artinya tidak diisi lebih dari satu jasad. Sulitlah dilakukan pemakaman lebih dari satu lantaran bangunan makam dibuat permanen, ditembok, diberi kijing yang terbuat dari batu alam, atau dikeramik warna-warni. Inilah tradisi yang belum bisa dihilangkan.
Makam fiktif atau order kapling makam tidak akan terjadi bila kita benar-benar menjalankan syariat. Diterima dari Jabir, “Rasulullah saw telah melarang menembok kubur, mendudukinya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR Ahmad, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud da Tirmidzi)
Adapun hikmah larangan itu adalah karena kubur itu hanya sementara, bukan untuk selama-lamanya. Dan menembok itu termasuk perhiasan dunia yang tidak seperlunya bagi si mayit.
Di tengah keterbatasan lahan makam, gengsi dan tradisi yang kurang tepat haruslah disingkirkan. Barangkali ini menjadi salah satu jalan keluar agar mereka yang diberi amanah mengelola TPU tidak seenaknya jual-beli kapling makam sesuai kelas. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)
      

          

Komentar