Pembunuh di Sekitar Kita




(esai ini ada di WARTA KOTA, 24 Juni 2015, halaman 7)

Mencermati berbagai pemberitaan media massa, rasanya kita semakin miris dan dicekam rasa takut pada kejahatan (fear of crime) pembunuhan. Hampir saban hari ada saja kasus pembunuhan menghiasi media massa (cetak ataupun elektronik). Penyebab pelaku membunuh korban acapkali sangat sepele: sekadar senggolan di kafe, saling pandang, atau uang kembalian parkir kurang. Memang ada pula yang berangkat dari sebab yang cukup serius, misalkan isteri ditiduri oleh tetangga atau soal harta waris.
Yang belakangan cukup menyedot perhatian khalayak adalah kasus pembunuhan bocah 8 tahun bernama Angelina di Denpasar, Bali. Pembunuhan bocah yang jasadnya ditemukan di dekat kandang ayam itu diduga bermotif harta waris. Sungguh sulit di akal sehat.
Tapi, aku tak hendak membahas kasus Angelina. Rasanya sudah cukup banyak orang mengulas dan polisi bekerje keras mengungkap misteri di balik bocah yang diadopsi orang-tua angkatnya senilai ongkos persalinan rumah sakit itu.
Aku coba menelisik fenomena pembunuhan yang terus menunjukkan gelagat meningkat ini dari sisi karakter manusia. Bahwa manusia membunuh sesamanya tak terlepas dari keadaan emosi dan keinginan yang lepas kontrol. Menurut Sang Bijak, Buku Suci yang diyakininya menyebut adanya tiga karakter manusia di muka bumi ini. Pertama, manusia berkarakter pembantai atau pembunuh sesamanya. Kedua, manusia berkarakter perusak, mulai dari perusak moral, perusak tatanan politik, perusak tatanan ekonomi, perusak budaya, sampai perusak akidah. Dan yang ketiga, manusia yang cinta damai dan rindu rasa aman.
Yang menarik, kata Sang Bijak, Buku Suci itu cukup menyebut dua ayat untuk mengilustrasikan karakter manusia pembunuh, lalu 18 ayat buat gambaran manusia perusak, dan 89 ayat menggambarkan bahwa secara fitrah manusia itu cinta damai dan merindukan rasa aman.
Yang merepotkan, manusia pembunuh yang cuma disebut dua ayat itu sekarang seolah mendominasi kehidupan sekitar kita, menebar rasa takut. Pun demikian dominasi tipe manusia perusak yang terus-menerus membuat kerusakan di muka bumi.
Sang Bijak sedikit menafsirkan: “Disebut dua kali (ayat) saja, manusia berkarakter pembunuh kini marak di sekeliling kita, bagaimana kalau disebut sebanyak manusia yang cinta damai. Sungguh dunia ini akan dipenuhi peristiwa saling bantai antarmanusia, bukan cinta damai antarsesama.”
Sebab itulah, Sang Bijak bernasehat bahwa dalam keseharian kita harus senantiasa mengendalikan emosi, mengedepankan akal sehat, dan tidak memperturutkan keinginan tanpa melihat kemampuan diri. Semoga kita mampu mengikuti tiga nasehat Sang Bijak. Dengan begitu, pembunuh di sekitar kita terus berkurang. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)   

Komentar