Pengobatan

Suatu saat seorang kenalan –sebuah saja Husin—menelepon ke ponselku. Husin mengabarkan berita duka tentang kepulangan isterinya ke haribaan Allah SWT. “Cuma kasih kabar, isteriku baru saja pulang. Syukur, ia pulang dengan baik, ketika hendak operasi di tangan seorang dokter yang ahli,” ujarnya singkat. Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un.
Aku sedikit terhenyak ketika Husin mengucap kata syukur karena isterinya pulang dengan baik. Aku bertanya-tanya tentang apa yang dimaksud Husin ini. Sementara waktu itu aku belum berani menanyakan kenapa dia bersyukur.
Kemudian aku berusaha kilas balik ihwal pertemananku dengan Husin. Suatu kali, karena penyakit isteri Husin sangat serius, dia berikhtiar membawa ke beberapa orang yang mengaku pintar mengobati. Sampailah satu saat, Husin membawa isterinya ke orang pintar yang sudah cukup kesohor di masyarakat kita. Tanpa banyak bicara, orang pintar itu langsung meminta bayaran sekitar Rp10 juta dengan jaminan isterinya bakal sembuh.
Husin langsung membawa pulang isterinya. Sebagai pensiunan PNS, Husin merasa keberatan membayar ongkos penyembuhan yang serta merta menjanjikan kesembuhan itu. Dia lalu berusaha membawa isterinya ke seorang dokter yang ahli. Setelah menjalani pengobatan beberapa kali, isteri Husin dinyatakan negatif dari penyakit yang nyaris belum ada obatnya ini. Tapi, dokter menyarankan agar benjolan yang telah negatif itu tetap harus diangkat atau dioperasi.
Sampai di sini cerita Husin terputus. Aku tidak tahu lagi bagaimana nasib setelah Husin menerima saran dokter itu. Setelah masa berkabung lewat, aku coba mengontak Husin menanyakan kabar dan mengajak mengobrol ihwal rasa syukur atas kepulangan isterinya.
Husin pun bercerita tentang rasa syukur tatkala isterinya berpulang sesaat sebelum operasi di tangan dokter ahli berlangsung. “Ya, saya bersyukur, isteriku tidak pulang di saat melakukan pengobatan-pengobatan yang meragukan secara syariat. Tidak pulang ketika berada di tangan orang pintar yang langsung minta uang Rp10 juta dan menjanjikan kesembuhan,” ujarnya.
“Lho, memangnya pengobatan orang pintar itu meragukan?” tanyaku.
“Ya, begitulah. Masa, manusia berani menjanjikan kesembuhan. Yang memberikan penyakit itu kan Allah dan Allah pula yang memberi kesembuhan. Kita semata-mata berikhtiar,” jawab Husin.
Benar juga kata Husin. Ketika ditimpa penyakit, kita kerap lupa pada Allah, Tuhan pemberi kehidupan umat manusia. Kita terlupa ada satu obat yang lebih manjur daripada obat-obatan apapun, menurut dr Khalid bin Abdul Aziz Al-Jubair SpJP dalam bukunya yang berjudul Kesaksian Seorang Dokter, yakni kekuatan psikologi dan kekuatan hubungan orang yang sakit dengan Tuhan-nya.
Tatkala orang yang sakit mempunyai hubungan yang kuat dengan Tuhan yang menguasai segala penyakit beserta obatnya, maka saat itu ia telah memiliki obat yang lebih bagus dibandingkan obat-obatan apapun. Sebagaimana telah diketahui bahwa ketika kekuatan psikologi dan keyakinan seseorang menguat, maka kedua kekuatan tersebut akan memaksa penyakit keluar dari dalam tubuh. Pertanyaannya, bagaimana cara memperkuat hati (keyakinan)?
Caranya, demikian tulis dr Khalid, adalah dengan bersandar kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, bergantung kepada-Nya, bersimpuh di hadapan-Nya, dengan memberikan sedekah, berdoa, bertaubat, beristighfar, berbuat baik kepada semua makhluk, menolong orang yang memerlukan pertolongan dan membantu orang yang perlu bantuan.
Obat ini telah dicoba oleh banyak orang dan ternyata mereka memperoleh kemajuan kesehatan dengan pesat yang tidak mungkin dicapai oleh usaha penyembuhan secara medis yang dilakukan oleh seorang dokter.
Inilah senjata dan obat pertama yang dimiliki oleh setiap Muslim yang percaya kepada takdir Allah Ta’ala –takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Mereka paham bahwa semua urusan orang Muslim itu pasti baik, apapun yang dialaminya, entah ia berada di dalam kelapangan ataupun di dalam kesusahan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik untuknya. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali pada seorang mukmin, jika ia mendapat kesenangan ia bersyukur, maka itu adalah baik untuknya, dan apabila ia tertimpa kesusahan ia bersabar itu adalah baik untuknya.”
Kembali ke kisah Husin di awal tulisan ini, di luar ikhtiarnya berobat ke dokter yang ahli, Husin dan isterinya juga rutin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Husin tidak terjebak pada pengobatan-pengobatan yang meragukan secara syariat. Dia berharap kepulangan isterinya benar-benar khusnul khatimah, betul-betul akhir yang baik. Semoga. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)         

Komentar