* Bab
4
KETIKA
mengawali
masa bakti 2007-2012 sebagai Bupati Halmahera Tengah mulai tanggal 23 Desember
2007, tugas berat langsung bertengger di pundak Al Yasin Ali. Yakni, memindahkan
ibukota Kabupaten Halmahera Tengah dari ibukota lama di Soasio Tidore ke Weda
sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 01 Tahun 2003 tentang Pemekaran Wilayah
Kabupaten Halmahera Tengah. Dengan modal tekad yang kuat, tanggal 15 Januari
2008, secara resmi ibukota Kabupaten Halmahera Tengah berada di Kota Weda yang
waktu itu sebagian besar wilayahnya masih berupa rawa-rawa pesisir pantai. Weda
yang masih sebatas kampung kecil di tengah hutan di perairan Halmahera.
Tentu bukan hal mudah
memindahkan pusat pemerintahan dari Soasio ke Weda yang masih sunyi sepi nyaris
belum ada fasilitas pendukung yang memadai. Bangunan kantor bupati baru sebatas
pondasi dan tiang-tiangnya saja. Boleh jadi, dengan anggaran yang memadai,
pondasi dan tiang-tiang tersebut dapat secara cepat diwujudkan menjadi bangunan
kantor yang representatif. Namun, memindahkan pusat pemerintahan tentu bukan
sekadar memindahkan fisik perkantoran, harus pula memindahkan segenap aparatur
sipil negara yang akan menjadi motor penggerak jalannya birokrasi pemerintahan.
Aparatur pemerintah kabupaten harus rela berpindah ke wilayah sunyi, atau
ulang-alik saban hari dari Soasio ke Weda.
Jelas bukan hal gampang
pergi-pulang dari Soasio ke Weda kala itu. Perjalanan dari Ternate ke Weda
masih lumayan berat medannya. Betapa beratnya medan perjalanan dari Sosio ke
Weda bisa kita simak pengalaman seorang petualang bernama R. Heru Hendarto yang
melakukan perjalanan dari Ternate ke Pulau Gebe lewat Weda.
Dari Ternate ke Sofifi
(yang mulai Oktober 2010 resmi menjadi ibukota Provinsi Maluku Utara), sebagaimana
ditulis oleh Heru Hendarto melalui website www.indobackpacker.com pada Desember
2007, dia dan rombongannya sepakat harga
Rp300.000 sewa speedboat ukuran kecil
berkapasitas 12-14 orang. Setelah sekitar setengah jam dibanting-banting ombak
melintasi selat antara Ternate dan Halmahera tibalah rombongan Heru di
Pelabuhan Kota Sofifi yang saat itu sudah siap menjadi ibukota Provinsi Maluku
Utara. Infrastruktur seperti jalan raya, kantor pemerintah dan penunjang lain
tampak telah tersedia menunggu untuk segera ditempati waktu itu.
Rombongan melanjutkan
perjalanan menuju Weda, yang di tahun 2007 itu memang tengah dipersiapkan untuk
menjadi ibukota Kabupaten Halmahera Tengah. Rombongan kemudian menyewa Kijang
Innova baru dengan harga Rp700.000 (bila penuh isi 7 penumpang @Rp100.000). Di
Pelabuhan Sofifi, kendaraan ini dapat disewa dengan tujuan Subaim (Halmahera
Timur), Tobelo (Halmahera Utara), Buli (Halmahera Timur), Weda (Halmahera
Tengah) dan beberapa kota sekitar. Selain Innova, untuk medan yang lebih parah
tersedia pula mobil L200 yang dimodifikasi baknya sehingga mampu menampung dua
penumpang secara nyaman. Yang cukup mencengangkan, pagi itu juga terpajang
Fortuner terbaru lengkap masih dengan plat nomor polisi putih dan siap melayani
rute ke Buli. Kalau dipikir-pikir mobil-mobil yang di Jakarta termasuk kategori
mewah itu, di Halmahera cuma “dihancur-hancurkan” saja untuk menaklukkan medan
jalan yang amar berat, terutama pada musim hujan.
Di dalam Innova
sewaan, Heru dan kawan-kawan merasa terguncang-guncang saat melewati jalanan
provinsi yang rusak parah dan menyisiri pantai barat kaki Halmahera selama sekitar
empat jam. Namun, bila dibandingkan dengan jalan darat menuju Kota Buli di
Halmahera Timur, jalan ke Weda masih lebih baik. Jalan menuju Buli dua kali
lebih parah karena harus menyeberangi sungai yang di saat pasang mustahil untuk
dilintasi. Pemandangan pantai dan pulau–pulau yang tersaji di sebelah kanan
sepanjang jalan menjadi obat lelah gara-gara terbanting-banting di mobil.
Beberapa kali terdengar bunyi keras pertanda bagian bawah mobil sudah
menghantam tanah dan batu jalanan.
Dua jam perjalanan, rombongan
singgah sebentar di depan Pelabuhan Desa Gita, Kecamatan Payahe, untuk sekadar istirahat
meluruskan kaki yang pegal dan mengisi bahan bakar buat meneruskan perjalanan
memotong ke timur dan seterusnya menuju ke Weda.
Tiba di Weda pukul
13.00, Heru dan kawan-kawan segera menuju pelabuhan perintis untuk mengejar
kapal. Namun, berhubung saat itu Weda sedang dilanda kelangkaan bahan bakar, Heru
kesulitan meneruskan perjalanan ke Pulau Gebe. Ada yang menawarkan sewa long boat menuju Patani yang berada di
antara Weda dan Gebe namun harganya fantastis. Empat juta rupiah dan itu baru
separuh perjalanan ke Pulau Gebe. Padahal, banderol normal maksimal Rp1,5 juta
sudah sampai kawasan wisata Pulau Gebe nan eksotik.
Tidak hanya seputaran
Weda atau jalan dari Sofifi ke Weda yang bermasalah. Secara umum infrastruktur
jalan dan jembatan menjadi problematika yang mesti dihadapi dan diselesaikan
oleh Bupati Al Yasin Ali. Lihat saja ketika itu jalan di Patani dan Pulau Gebe
berlubang sana-sini, jembatan miring kiri-kanan. Jalan dipenuhi lumpur
menyebabkan warga masyarakat Patani yang menggunakan sepeda motor harus
mengeluarkan tenaga ekstra mendorong hingga ke badan jalan kering baru
dikendarai. “Memprihatinkan memang,” ujar Awan, warga Patani.
Awan mengaku, warga
yang menyeberang menggunakan kapal fery ke Patani Utara dan Timur tidak bisa
membawa kendaraan. Sebab jalan ke arah pelabuhan fery bagai kubangan kerbau.
Padahal jalur ini merupakan jalan alternatif dari Patani Timur ke pelabuhan
fery. “Kami berharap bupati memperbaiki, agar warga masyarakat bisa menikmati hasil-hasil
pembangunan,” pinta Awan.
Keterbatasan
infrastruktur jalan dan jembatan tampak menjadi problem utama yang harus
cepat-cepat dituntaskan oleh Bupati Al Yasin Ali. Karena, sesungguhnya Halmahera
Tengah dilimpahi sumber daya alam yang potensial dikembangkan dan diandalkan
buat meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat.
A.
Problem
Pemindahan Ibukota Kabupaten
Seorang warga
Halmahera Tengah menuliskan pandangannya yang menarik ihwal perpindahan ibukota
Kabupaten Halmahera Tengah dari Soasio ke Weda melalui blog https://pulaugebe.wordpress.com yang
rilis pada tanggal 15 November 2011. Si penulis mencoba melihat dan memandang
proses perpindahan ibukota Halmahera Tengah dari Soasio ke Weda yang secara
langsung telah berdampak terhadap perubahan struktur ujaran masyarakat
Halmahera Tengah, baik yang terjadi pada tataran surface structure maupun dampak yang dihasilkannya pada aras deep structure, meminjam istilah yang
dipopulerkan Noam Chomsky, seorang linguist
kenamaan Amerika. Perubahan ujaran itu disoroti dari sudut pandang masyarakat
tutur (speech-society) Patani, dengan
pertimbangan bahwa si pemandang yang warga Halmahera Tengah ini adalah penutur
asli bahasa Patani.
Secara kebahasaan,
paling tidak ada dua catatan tentang perubahan yang dihasilkan dari perpindahan
ibukota Halmahera Tengah: yakni perubahan deixis
dan lexicon. Sebagai ilustrasi, dulu
masyarakat Patani yang pergi ke Soasio (Tidore) -–dalam konteks pemerintahan-–
mengatakan “Bo nnau na Torle fu”,
tapi kini ujaran tersebut (tetap dalam terminologi pemerintahan) tidak akan
terdengar lagi, karena telah direduksi menjadi “Bo nney na Were fu” sebagai akibat dari perpindahan tersebut.
Catatan pertama adalah
perubahan deixis ‘nnau’ menjadi ‘nney’ yang merupakan pasangan deixis penanda arah (direction) yang beroposisi secara makna
baik semantik ataupun pragmatik, serta implikasi yang menyertainya. Secara
semantik, ‘nnau’ bermakna ‘ke (arah)
laut’ dan secara geografis berarti ‘ke (arah) selatan’. Sedangkan dalam tataran
pragmatik, ‘nnau’ tidak hanya
bermakna arah dan jarak yang ‘jauh’ untuk dicapai tetapi juga bermakna ‘lama’
akibat tidak adanya sarana transportasi, yang memadai. Pelayaran PERINTIS
adalah satu-satunya sarana transportasi laut yang membutuhkan waktu kurang
lebih sepuluh hari untuk bisa sampai ke ibukota kabupaten. Salah satu ekses
yang ditimbulkan dari makna deixis ‘nnau’ ini adalah pemberdayaan masyarakat
dan pelayanan publik pada masyarakat yang tersebar di wilayah Weda, Patani dan
Gebe yang tidak memperoleh ‘sentuhan’ yang signifikan dibanding Oba yang secara
geografis memang berdekatan dengan ibukota kabupaten saat itu.
Kini ‘nnaw’ telah berubah menjadi ‘nney’ yang secara semantik dan pragmatik
juga mengalami perubahan makna. Sejatinya perubahan ini dapat pula diikuti
dengan perubahan paradigma pelayanan yang lebih berorientasi pada kepentingan
masyarakat. Misalnya PLN untuk Banemo, Moreala dan Sibenpopo yang dijanjikan
semasa Bupati Hasan Doa belum direalisasikan sehingga tiang-tiang listrik yang
dipasang sekitar tahun 2004 itu sudah bertumbangan harus lebih diutamakan
daripada pembelian KM Fagogoru. Atau memasukkan ustadz/ah Madrasah Diniyah
Raodhatul Islam Banemo yang berdiri sejak 1942 itu ke dalam Daftar Honorer
Daerah, agar madrasah yang merupakan “benteng” akhlak dan moral yang saat ini
hampir “sekarat” tersebut bisa eksis kembali agar dapat memainkan perannya
secara maksimal.
Catatan kedua,
perubahan dari ‘Torle’ (Tidore) ke ‘Were’ (Weda), tidak hanya terjadi perubahan
aspek leksikal dan lokalitas yang terjadi pada aras surface structure, namun juga berdampak secara psikologis dan
kultural (deep structure). Ketika ibukota
Halmahera Tengah masih di Tidore, hampir sebagian besar pegawai berbahasa
Tidore di Kantor Bupati. Bila didekati dari hipotesa Sapir-Whorf, bahasa
sebagai jendela untuk melihat dunia luar, sangat berkorelasi dengan model
pelayanan ketika itu, di mana Oba yang sebagian besar penduduknya bisa
berbahasa Tidore dan secara geografis bertetangga dengan Tidore lebih mendapat “sentuhan”
ketimbang Weda dan Patani, apalagi Gebe yang secara geografis dan kultur sangat
jauh dari Tidore.
Saat ini, ketika
‘Torle’ telah disubstitusi menjadi ‘Were’, pemerintah daerah harus bisa
menghapus ‘dahaga’ yang dirasakan oleh masyarakat Halmahera Tengah selama ini
dengan memberikan ruang yang seimbang kepada seluruh stakeholder pembangunan -–pemerintah, partai politik, pengusaha,
masyarakat sipil, LSM, Ormas dan lembaga pers-– untuk berperan secara aktif dan
partisipatif sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Jangan sampai ada
stakeholder tertentu yang diberikan space yang luas dan leluasa sementara
yang lainnya dikekang dan diintimidasi.
Dalam konteks
Halmahera Tengah saat transisi, pemerintah daerah minimal harus (1) bisa
membangun proses demokrasi yang kompetitif, partisipatif dan transparan, (2)
bisa merumuskan perencanaan dan mengambil keputusan yang strategis, (3) bisa
menemu-kenali dan meningkatkan potensi unggulan daerah, (4) bisa menciptakan
lapangan pekerjaan yang dapat menyerap angkatan kerja produktif guna menekan
angka pengangguran dan kemiskinan, (5) bisa meningkatkan kemampuan daerah dalam
memberikan public goods and services,
(6) bisa melakukan pemerataan dalam pelayanan barang dan jasa ke kecamatan dan
desa di seluruh wilayah Kabupaten Halmahera Tengah.
Halmahera Tengah perlu
mengembangkan kultur politik yang polyarchal,
yaitu sebuah kultur yang di sana memungkinkan segenap stakeholders melembagakan trust
(saling percaya), memiliki toleransi terhadap perbedaan pandangan dan pilihan
politik, serta memberi kesempatan masing-masing kalangan untuk mengekspresikan
pandangannya buat kepentingan bersama. Dalam konteks ini perbedaan pandangan
dan pilihan politik perlu dikelola dengan penuh kearifan, bukan sebagai upaya
saling mengerdilkan dan mengebiri.
Di sisi lain, hubungan
emosional, budaya dan bahasa yang mengikat masyarakat Giman (Gane), Were
(Weda), Poton (Patani), Mobon (Maba) dan Geb (Gebe), bahkan Mara (Makian) dalam
Lembaga Fagogoru, yang merupakan hasil konsensus para leluhur yang mendiami
wilayah Halmahera yang membentang dari bagian selatan hingga ke bagian timur,
harus dijadikan modal sosial (social
capital) dalam mengelola dan menjalankan roda pemerintahan di Halmahera
Tengah sehingga tidak hanya memberikan manfaat terhadap masyarakat Halmahera
Tengah, tapi dapat pula dirasakan oleh masyarakat sekitar.
B.
Optimisme
Kelimpahan SDA yang Mesti Difasilitasi
Halmahera Tengah dapat
dikatakan merupakan wilayah yang kelimpahan sumber daya alam (SDA). Kelimpahan
itu tampak di antaranya pada sumber daya kelautan seperti ikan, udang,
teripang, kerang dan beraneka ragam ikan hias, serta sumber kelautan lainnya
yang bernilai ekonomis. Sumber daya kelautan ini mesti dikelola secara baik agar
dapat menghasilkan pendapatan buat warga masyarakat. Di sektor perkebunan juga
melimpah, namun rakyat kesulitan memasarkan hasil-hasilnya lantaran keterbatasan
pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan, pelabuhan serta sarana dan
prasarana lainnya.
Potensi sumber daya
hutan di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah pun tidak kalah menarik, seperti
kayu, rotan, damar, tanaman hias dan berbagai jenis hewan yang dapat dikonsumsi
dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Potensi ini harus dikelola dan
difasilitasi secara baik agar dapat maksimal mendatangkan manfaat bagi
masyarakat di sekitarnya.
Sumber daya mineral
yang mengisi perut bumi Halmahera Tengah seperti Nikel, Cromit, Emas, Asbes,
Pasir Besi, Pasir Kuarsa, Batubara, Batu Kapur dan Batu Mulia, merupakan
kekayaan alam yang mempunyai nilai ekonomis tinggi pula. Pemanfaatan potensi
ini harus difasilitasi secara baik supaya mampu membawa kemakmuran dan
kesejahteraan bagi warga masyarakat Halmahera Tengah. Mineral Logam berupa Bijih Nikel dan Cromit
dapat dijumpai di daratan Pulau Gebe, dan Pulau Fau Kecamatan Pulau Gebe. Kedua
jenis mineral logam tersebut sudah diolah dan diekspor ke luar negeri. Bahkan,
untuk kelangsungan kegiatan, perusahaan diwajibkan membangun Pabrik Pengolahan Bijih Nikel
(Smelter) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang MINERBA tahun 2009. Pembangunan
Smelter tersebut terdiri dari empat tungku besar dan satu tungku mini, di mana dua
tungku besar sudah dapat berproduksi dan lainnya masih terus dikerjakan. Dapat
menyerap tenaga kerja rata-rata per tungku sebanyak 150 orang. Berkat keberadaan
smelter tersebut, tambang nikel di Pulau Gebe dapat beroperasi kembali sebagai
penyedia bahan baku utama smelter, dan ikut menyerap tenaga kerja yang cukup
banyak. Selain bahan baku utama bijih nikel, dibutuhkan pula mineral Batubara
dan Batu Kapur sebagai bahan campuran dalam proses peleburan Bijih Nikel di pabrik.
Bijih Nikel juga
ditemukan di daratan Halmahera Tengah yaitu di sekitar Pegunungan Damuli
Kecamatan Patani Timur, di wilayah Kampumg
Yeisowo Kecamatan Patani, di perbukitan wilayah Desa Sibenpopo Kecamatan Patani
Barat, di wilayah Desa Sagea Kecamatan Weda Utara, di sebagian besar wilayah Desa
Lelilef Kecamatan Weda Tengah dan Pulau Sayafi Kecamatan Patani Utara. Bahkan
dari struktur geologinya diperkirakan penyebaran bijih nikel ini dapat
ditemukan di sekitar wilayah Kecamatan Weda Timur.
Mineral Batubara dapat
ditemukan di sekitar Pegunungan Damuli, di mana penyebarannya mencakup wilayah
Kecamatan Patani Timur dan Patani Barat. Selain itu terdapat mineral-mineral
lainnya seperti Emas, Pasir Besi, Batu Kapur dan Batu Mulia. Terindikasi adanya
penyebaran mineral Bauksit yang ditemukan di wilayah Sil Kecamatan Maba
Selatan, perbatasan antara wilayah Kecamatan Maba Selatan dan Patani Timur
(Desa Sakam).
Mineral Logam lainnya
seperti Asbes terdapat di wilayah Desa Lelilef Kecamatan Weda Tengah, sedangkan
Pasir Kwarsa ditemukan di wilayah Desa Gemia Kecamatan Patani Utara.
Sumber kekayaan alam
yang melimpah ini kalau tidak mampu untuk dikelola secara baik maka akan
semakin jauh dari harapan/impian untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Halmahera Tengah.
C.
Momentum
Kepindahan Ibukota Provinsi Maluku Utara
Tahun 2007, seorang
petualang bernama Heru Hendarto mengungkapkan bahwa infrastruktur seperti jalan
raya, kantor pemerintah dan penunjang lain di Kota Sofifi tampak telah tersedia
menunggu untuk ditempati. Namun baru pada Agustus 2010, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) meresmikan perpindahan ibukota Provinsi Maluku Utara dari
Ternate ke Sofifi. Perpindahan itu ditandai dengan penanda-tanganan prasasti
oleh Presiden SBY di Lapangan Ngaralamo, Kelurahan Salero, Kecamatan Kota
Ternate Utara, Kota Ternate.
Turut hadir dalam
acara itu beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, antara lain Menko
Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, Menko Kesejahteraan Rakyat Agung
Laksono, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Pekerjaan Umum Djoko
Kirmanto, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.
Maluku Utara
diresmikan menjadi provinsi terpisah dari Maluku pada 12 Oktober 1999 melalui
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 dan beribu-kota di Sofifi, Kecamatan Oba
Utara. Wilayah itu terletak di Bukit Gozale, poros Pulau Halmahera, yang
berjarak tempuh sekitar 1 jam menggunakan kapal cepat dari Pulau Ternate.
Karena keterbatasan
infrastruktur, ibu kota sementara ditempatkan di Kota Ternate yang padat penduduk.
Setelah pembangunan yang berlangsung cukup lama, baru tahun 2010 Sofifi mampu menghadirkan
fasilitas kantor gubernur, DPRD,
kejaksaan tinggi, kepolisian daerah, serta kantor-kantor dinas
pemerintah provinsi. Yang sedikit merepotkan di awal kepindahan ibukota
provinsi Maluku Utara itu, para pegawai negeri yang rata-rata menetap di Pulau
Ternate setiap hari harus naik kapal cepat dengan ongkos Rp30.000 sekali jalan
untuk sampai di kantor mereka.
Selain meresmikan
perpindahan ibu kota ke Sofifi, Presiden sekaligus meresmikan sekitar 20 proyek
infrastruktur gedung-gedung pemerintah provinsi yang telah selesai dibangun di
Sofifi.
Pada acara itu, Kepala
Negara sekaligus menyaksikan penyerahan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tahun 2010
oleh beberapa bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada perwakilan debitur.
Bank BRI
menggelontorkan KUR senilai Rp56,15 miliar untuk 5.636 debitur di Provinsi
Maluku Utara, Bank BNI sebesar Rp31,981 miliar untuk 244 debitur, Bank BTN
senilai Rp9,286 miliar untuk 61 debitur, Bank Mandiri Rp12,45 miliar untuk 42
debitur, dan Bank Maluku senilai Rp25 miliar untuk 1.660 debitur.
Pada acara itu pula secara
simbolis Presiden menyerahkan bantuan berupa paket wirausaha sarana produksi budidaya
rumput laut senilai Rp4,4 miliar untuk 610 pembudidaya rumput laut
masing-masing sebesar Rp6,5 juta. Pun paket sektor pertanian berupa ayam,
kambing, sapi, dan kakao senilai Rp11,7 miliar, serta dana bantuan sosial untuk
pengembangan koperasi senilai Rp1,625 miliar untuk 34 kelompok usaha mikro dan koperasi.
Presiden juga
menyerahkan bantuan langsung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri tahun 2010 untuk Provinsi Maluku Utara senilai Rp118,08 miliar. Bantuan
yang diterima Gubernur Maluku Utara itu terdiri dari PNPM Mandiri pedesaan di
tujuh kabupaten meliputi 78 kecamatan sebesar Rp109,25 miliar dan PNPM Mandiri
perkotaan untuk dua kabupaten meliputi 14 kecamatan sebesar Rp7,64 miliar. Selain
itu, juga PNPM Mandiri daerah tertinggal dan khusus di lima kabupaten pada 20
kecamatan senilai Rp1,19 miliar.
Kepindahan ibukota
Provinsi Maluku Utara dari Ternate ke Sofifi mulai Agustus 2010 itu memberikan
hikmah dan berkah tersendiri bagi Al Yasin Ali yang ketika itu masih menjabat
Bupati Halmahera Tengah periode 2007-2012. Minimal, perjalanan dari Ternate ke
Sofifi semakin mudah. Tidak hanya sebatas itu, peningkatan status Sofifi
menjadi ibu kota provinsi jelas akan membuka peluang bagi penambahan
jalan-jalan provinsi yang menghubungkan berbagai wilayah kabupaten di Pulau
Halmahera –termasuk Kabupaten Halmahera Tengah.
Kendati tidak terlalu
besar, dalam lima tahun pertama pemerintahannya, Bupati Halmahera Tengah Al
Yasin Ali mengalokasikan anggaran lebih dari Rp60 miliar untuk pembangunan
infrastruktur jalan. Setiap tahun Dinas Pekerjaan Umum –lembaga pemerintah yang
bertanggung-jawab menggarap proyek jalan—selalu tercatat sebagai dinas dengan
anggaran paling besar.
Tentu saja, anggaran
sebesar itu masih jauh dari cukup. Bupati Al Yasin menegaskan bahwa biaya yang
dibutuhkan untuk memperbaiki seluruh jalan di wilayahnya bisa mencapai Rp500
miliar. “Kami tidak punya anggaran sebesar itu,” tandasnya.
Untuk menutupi kekurangan
anggaran pembangunan dan perawatan jalan di wilayahnya, Bupati Al Yasin
berusaha sebaik-baiknya memanfaatkan momen kepindahan ibukota Provinsi Maluku
Utara. Dari sepanjang 455 km ruas jalan di kabupaten itu, sekitar 56% didukung oleh
ruas jalan nasional dan status jalan provinsi, sebagai akses ke wilayah Kabupaten
Halmahera Tengah dari berbagai penjuru masuk. Keberadaan jalan-jalan itu menjadikan
daratan Weda kini yang semakin gampang dijangkau.
Telah lama pula
Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah mengusulkan ke Pemerintah Pusat untuk
membangun jalan Weda-Patani dan baru tahun 2015 dianggarkan. “Usulan itu sudah
lama kami ajukan ke Pemerintah Pusat yakni Kementerian PU, melalui Bappeda
Provinsi. Meski demikian, kami juga senantiasa melakukan pengawalan dan lobi-lobi
dengan pihak Direktorat Jenderal Bina Marga,” kata suami dari Ketua Tim Penggerak
PKK Halmahera Tengah, Mutiara T. Yasin, ini.
Selama ini Patani merupakan
gerbang penghubung Provinsi Papua Barat dengan Provinsi Maluku Utara. Tapi,
selama ini pula, perjalanan dari Patani ke Weda dan sebaliknya harus menyusuri
laut dengan kapal fery lantaran jalan darat sangat sulit dilalui.
Tidak hanya jalan yang
mampu dibangun, Bupati Al Yasin pun berhasil menyulap dua pertiga dataran rawa
pesisir Weda menjadi kota nan indah. “Atas ridho Tuhan kita manusia hanya bisa
berusaha, menyelesaikan satu urusan kemudian mengerjakan urusan yang lain. Selanjutnya
hanya kepada Allah jua kita berharap,” tegas Al Yasin.
Benar apa yang
dikatakan Bupati Al Yasin. Kini, perjalanan ke Weda semakin mudah. Dari Ternate
kita bisa langsung naik kapal cepat ke Sofifi dan dilanjutkan melalui jalan
darat yang relatif mulus. Sepanjang perjalanan kita bisa menikmati alam
Halmahera yang kaya rayuan kelapa dan tiap saat dapat meminggirkan kendaraan
bermotor untuk sekadar mampir warung meninkmati segarnya kelapa muda.
Bangunan Kantor Bupati
yang semula hanya berupa pondasi dan tiang-tiang kini pun tampak representatif berdiri
kokoh di salah satu sudut Kota Weda. Beberapa kawasan komersil yang dilengkapi bangunan
rumah toko (ruko) juga mulai terlihat menggeliat. Para pedagang cukup antusias
menggelar barang dagangannya di tempat-tempat yang telah ditetapkan.
“Awal pemindahan
aktivitas ibukota Halmahera Tengan dari Soasio ke Weda tahun 2008, saat itu di
Kota Weda tidak ada perkantoran yang bisa digunakan sebagai tempat aktivitas
pemerintahan. Bahkan saya terbilang nekad mengarahkan ratusan PNS untuk
beraktivitas di Weda dengan kondisi semacam itu," tutur Yasin sekali waktu
sembari menambahkan ketika itu Kantor Bupati mengontrak pada salah satu
bangunan kantor kecamatan.
D.
Mengatasi
Persoalan Keterbatasan Pasokan Listrik
Persoalan yang juga
lumayan berat menggelayuti pundak Bupati Al Yasin Ali ketika mulai memimpin
Kabupaten Halmahera Tengah adalah keterbatasan pasokan listrik. Warga
masyarakat setempat nyaris terbiasa menghadapi listrik byar-pet sampai 5-6 kali
dalam sehari. Tentu sangatlah mengganggu kenyamanan berusaha di wilayah yang
cukup potensial destinasi wisatanya itu.
Dalam perjalanan
pengabdiannya di Halmahera Tengah, Al Yasin berjanji mulai 2017 masyarakat di
10 kecamatan di kabupaten itu sudah bisa menikmati pelayanan dari PLN
(Perusahaan Listrik Negara). "Hal ini sesuai dengan visi-misi menjadikan
Halmahera Tengah terang. Saat ini beberapa kecamatan mulai dipasang jaringan,
di antaranya Kecamatan Patani dan Kecamatan Weda Utara," kata Al Yasin
sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara
awal Desember 2016.
Sedangkan wilayah Weda
Timur, lanjutnya, mulai dipasang tahun 2017. "Saya targetkan, pada akhir
masa jabatan saya seluruh wilayah di Halmahera Tengah sudah dialiri
listirk," tandasnya.
Dia menambahkan, untuk
Pulau Gebe sudah dilakukan perbaikan jaringan, sebab jaringan yang masuk ke
rumah warga sebelumnya merupakan peninggalan PT Antam. Perluasan jaringan di
Pulau Gebe akan sampai di Desa Umera, sedangkan di Pulau Yoi diberikan bantuan
listrik tenaga surya oleh pemerintah daerah.
"Jaringan yang
ada di Gebe merupakan peninggalan PT Antam sehingga PLN meminta sebelum
diserahkan seluruh jaringan harus sesuai dengan standar PLN dan saat ini kami
sudah lakukan perbaikan," kata Bupati Al Yasin.
Selain perbaikan dan
pemasangan jaringan baru, Pemkab Halmahera Tengah memberikan bantuan mesin di PLN Patani dan
PLN Weda. Bantuan yang diberikan berupa satu unit mesin dengan kapasitas 500 KVA
untuk Patani dan dua unit mesin masing-masing berkapasitas 500 KVA di Weda.
Bupati juga
menyatakan, untuk mengatasi krisis listrik di Kecamatan Pulau Gebe, Pemkab
Halteng bekerja sama dengan PT Antam. "Kami masih menunggu penyelesaian,
sebab CSR yang tersisa kurang lebih Rp8 miliar
seluruhnya dialokasikan untuk perluasan jaringan listrik di Pulau
Gebe," kata Bupati sembari menambahkan, "Ini menjadi tanggung jawab
PT Antam bagi warga masyarakat lingkar tambang guna mengatasi masalah kebutuhan
listrik bagi masyarakat."
Melengkapi janji
Bupati Al Yasin Ali, Kepala PLN Weda, Risdam, menyatakan, selain dua unit mesin
dari Pemkab Halmahera Tengah, pihaknya juga telah mendatangkan dua unit mesin berkapasitas
masing-masing 500 KVA dan saat ini telah ada empat mesin baru yang segera
beroperasi sehingga keluhan warga masyarakat terkait pemadaman listrik dapat
teratasi.
Risdam menambahkan
bahwa dua unit mesin dari Pemkab Halmahera Tengah telah dioperasikan dan dua
unit mesin dari PLN dalam waktu dekat difungsikan sambil menunggu bangunan baru
PLN yang sedang dikerjakan.
E.
Tetap
Fokus pada Visi-Misi dan Strategi Pembangunan
Di tengah keterbatasan
infrastruktur, buat membangun dan menyejahterakan warga masyarakat Kabupaten Halmahera
Tengah, Bupati Al Yasin berusaha tetap dan terus fokus pada visi Kabupaten
Halmahera Tengah 2012-2017, yakni “Pembangunan Halmahera Tengah Berkelanjutan
Menuju Kesejahteraan”.
Makna dan arti visi
tersebut antara lain:
* Pembangunan, artinya usaha yang dilaksanakan untuk memenuhhi
kebutuhan warga masyarakat Halmahera Tengah, termasuk dalam mengakses segala
kebutuhan kehidupan sehari-hari secara nyata dan dapat dijangkau, tanpa
diskriminasi, serta terjaminnya rasa aman dan nyaman bagi warga masyarakat
untuk berusaha dan berpartisipasi dalam meningkatkan taraf hidup yang lebih
sejahtera dan bermartabat.
* Berkelanjutan, artinya pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Halmahera
Tengah adalah terus dilakukan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.
* Kesejahteraan, artinya pembangunan dilaksanakan dengan tujuan utama
untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik, dengan dukungan
pemerataan pendapatan, terpenuhinya kebutuhan dasar serta kemudahan masyarakat
untuk dapat mengakses kebutuhannya sebagai usaha untuk mengurangi tingkat pengangguran
dan kemiskinan.
Untuk mewujudkan visi pembangunan
Kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012-2017 tersebut, Bupati Al Yasin Ali juga
berusaha disiplin mengembangkan beberapa misi pembangunan berikut:
·
Halmahera
Tengah yang terang
Misi ini bertumpu pada
usaha untuk membuka akses penerangan, tidak hanya wilayah perkotaan tapi juga
daerah-daerah pedesaan dan pelosok wilayah Halmahera Tengah. Misi ini memberi
isyarat bahwa faktor penerangan menjadi kebutuhan mendasar bagi warga
masyarakat Halmahera Tengah dalam melakukan berbagai aktivitasnya, sehingga
dengan terpenuhinya kebutuhan penerangan ini, diharapkan dapat mendorong
kreativitas sekaligus mendorong inovasi-inovasi bagi masyarakat Halmahera
Tengah. Indikator paling nyata dari misi ini adalah terpenuhinya kebutuhan
penerangan sebagai bagian untuk meningkatkan usaha yang dilakukan warga masyarakat.
·
Halmahera
Tengah yang kuat
Misi ini menekankan pada
upaya membangun kekuatan lokal baik ekonomi, sosial, budaya, politik maupun
kemasyarakatan dalam konteks pembangunan. Membangun Halmahera Tengah yang kuat
tentu lebih menekankan pada kemampuan produktivitas masyarakat serta kalangan
dunia usaha yang saling bersinergi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, tentunya ditunjang dengan political
will Pemerintah Daerah berupa regulasi-regulasi yang saling mendukung.
Halmahera Tengah yang kuat membutuhkan transformasi sikap dan perilaku semua
pemangku kepentingan yang lebih inovatif dan kreatif dalam mencoba dan
menghimpun sumber-sumber daya untuk percepatan dan peningkatan insfrastruktur
yang ada.
·
Halmahera
Tengah yang sehat
Upaya mewujudkan misi
ini tentu memerlukan sebuah integrasi manajemen pembangunan yang betul-betul
terfokus capaiannya. Tantangan pembangunan Kabupaten Halmahera Tengah ke depan
lebih kompleks sehingga membutuhkan inovasi-inovasi baru yang lebih terarah dan
dilakukan berdasarkan kemampuan manajerial pengelolaan pembangunan secara
menyeluruh, terutama aspek kesehatan sebagai hal yang paling mendasar dan dibutuhkan
oleh warga masyarakat Halmahera Tengah. Hal ini membutuhkan kemampuan dan
kapasitas lokal yang andal berbasis kemampuan sumber daya manusia profesional
di bidang kesehatan.
·
Halmahera
Tengah yang lancar
Penekanan misi ini
pada upaya mensinergikan proses keberlanjutan hasil-hasil pembangunan yang
selama ini telah dicapai. Hasil pembangunan yang telah dirintis oleh para
pendahulu, terutama keberhasilan membangun infrastruktur dan suprastruktur,
telah menjadi modal dasar dalam membentuk social
capital (modal sosial) secara berkelanjutan. Kelancaran program-program
pembangunan perlu dikembangkan dan dijaga agar terjadi sinergitas yang mampu
mewujudkan capaian-capaian pembangunan, terutama dalam peletakan dasar,
sehingga grand design pembangunan jangka
menengah tetap dalam tataran perwujudan rasa dan harapan untuk lebih mendaya-gunakan
segala potensi yang telah tersedia. Kelancaran pembangunan dapat
diimplementasikan dengan bekerjanya semua lini pemerintahan, termasuk dengan
terbukanya akses bagi warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya. Karena itu, kelancaran dalam sebuah pembangunan perlu diletakkan
dalam bingkai demokrasi, tidak diskriminatif, sehingga nilai pembangunan dapat
dirasakan oleh segenap lapisan warga masyarakat Halmahera Tengah.
·
Halmahera
Tengah yang cerdas
Misi ini mengartikan
bahwa pembangunan Halmahera Tengah harus mampu menciptakan kesejahteraan pada
semua aspek kehidupan, sehingga upaya pencapaian sebagai daerah yang
berpengaruh di Maluku Utara dapat diraih. Salah satu metode yang ditempuh
adalah menumbuhkan institusi-institusi pengembangan SDM, melalui berbagai
kebijakan yang mendorong tumbuhnya kecerdasan sosial di tengah masyarakat. SDM
merupakan kunci penting dalam mendorong pembangunan yang lebih bermartabat. Sebab
itu, lembaga-lembaga pendidikan di Halmahera Tengah harus dan terus didorong,
tidak hanya pada level paling bawah namun juga mengupayakan lembaga pendidikan
tinggi yang disesuaikan dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki Halmahera
Tengah. Melalui lembaga pendidikan inilah, tidak hanya anak-anak Halmahera
Tengah yang berprestasi dididik, tapi juga aparatur birokrasi guna
mengembangkan kemampuan keterampilan dan pengetahuan buat menunjang kinerja
pemerintahan di masa depan. (*)
Komentar
Posting Komentar