* Bab
5
Sejak reformasi
bergulir mendekati ujung dekade 1990-an, terbukalah kesempatan bagi kaum
perempuan untuk mengemban dan menempati posisi-posisi penting dan stretagis di
lembaga legislatif dan eksekutif, baik nasional maupun lokal. Bila di zaman
Orde Baru, ibu-ibu pejabat hanya sebatas aktif menjadi anggota dan/atau
pengurus Dharma Pertiwi dan Dharma Wanita, kini mereka berkesempatan ikut berkompetisi
merebut posisi-posisi penting di eksekutif dan legislatif melalui pemilihan
umum, tak terkecuali pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Fenomena politik era
reformasi ini memperlihatkan adanya kebangkitan kaum perempuan. Mereka bukan
lagi sekadar pendamping kaum pria yang menjadi pejabat, melainkan dapat pula menjadi
pengganti suaminya bilamana sang suami tidak lagi memenuhi syarat untuk mengemban
jabatan-jabatan publik.
Pada satu sisi
merupakan suatu kemajuan yang amat berarti karena tidak lagi mempersoalkan
perbedaan gender. Semua orang berkedudukan dan memiliki kesempatan yang sama
dalam bidang politik. Sekat-sekat yang diciptakan kelompok tradisional mengenai
posisi perempuan dalam politik juga mulai bergeser.
Di masa silam, sungguh
tabu bagi perempuan atau isteri untuk aktif meramaikan jagad politik, karena
adanya pandangan bahwa tempat yang pantas bagi kaum isteri adalah di dapur atau
menjadi kanca wingking (teman di
belakang) yang neraka katut, swarga nunut
(terbawa ke neraka, ke surga menumpang suami). Sebab itu, kepandaian atau
kemampuan kaum perempuan dipandang kurang berarti dibanding posisinya sebagai
seorang ibu rumah tangga biasa. Pandangan liberal dan moderat kini semakin
menunjukkan kemenangan mereka yang mendukung perempuan berperan aktif dalam
politik. Tempat perempuan bukan hanya di belakang rumah atau hanya menjadi
pendamping dan pendukung karir politik suaminya, melainkan dapat memiliki
jabatan atau karir politik sendiri.
Pada sisi yang lain,
bertandingnya kaum perempuan, terlebih lagi isteri pejabat atau mantan pejabat
negara ataupun pemerintahan lokal, untuk menduduki jabatan-jabatan publik juga
menimbulkan pertanyaan, apakah politik dinasti atau dinasti politik sedang
tumbuh bak jamur di musim hujan di negeri ini? Pertanyaan itu tidak akan muncul
bilamana partai-partai politik telah memainkan peranan dan fungsi dalam
komunikasi politik, pendidikan politik, rekrutmen politik, agregasi kepentingan
dan artikulasi kepentingan rakyat banyak.
Para istri pejabat
negara atau pemerintahan lokal boleh-boleh saja ikut berkompetisi dalam pilkada
jika mereka benar-benar memiliki kapabilitas akademik dan pengalaman politik
yang baik untuk menduduki jabatan-jabatan publik tersebut. Pendidikan memang
bukan segala-galanya dalam menentukan kiprah politik seseorang. Seorang doktor boleh
jadi memiliki otoritas akademik di bidangnya, namun mungkin saja tidak memiliki
kapabilitas dalam berhubungan dengan rakyat. Sebaliknya, seorang yang hanya
lulusan Sekolah Menengah Atas ternyata memiliki kapabilitas dan pengalaman
politik yang baik untuk menjadi seorang pemimpin, walau tidak pernah duduk di
perguruan tinggi.
Yang paling ideal
adalah bilamana seseorang memiliki otoritas akademik sekaligus pengalaman serta
rasa empati terhadap rakyat yang akan dipimpinnya. Ibu pejabat yang suka
dilayani dan tidak memiliki empati terhadap rakyat tentu bukanlah tipe calon
pemimpin yang baik. Sepintar atau sepengalaman apa pun seorang isteri pejabat,
jika tidak mendapatkan tempat di hati rakyatnya tentu sulit terpilih menjadi
pejabat publik di daerah, apalagi pada tingkat nasional.
Ada beberapa faktor
penyebab munculnya fenomena isteri-isteri bupati atau walikota yang maju untuk
memperebutkan jabatan publik di daerah. Pertama,
para bupati yang masih menjabat dianggap berhasil oleh rakyat setempat, seperti
dalam kasus di Kabupaten Bantul atau di Kediri, namun kedua bupati tersebut
tidak dapat ikut pilkada lagi karena masa jabatannya sudah dua kali. Karena
itu, masyarakat menginginkan agar isteri bupati maju dalam pilkada dengan
asumsi bila isteri mantan bupati menang, maka mantan bupati akan berada di
belakang isterinya sebagai “sang penuntun”. Jika masa bakti lima tahun isterinya
selesai, mantan bupati pun akan maju kembali karena tidak dilarang oleh
undang-undang.
Kedua,
isteri pertama dan isteri kedua bupati sama-sama maju untuk membuktikan siapa
dari keduanya yang memiliki legitimasi di mata rakyat di daerahnya. Motif
politiknya bisa adu popularitas atau jago siapa yang dapat memenangi
pertarungan tersebut.
Ketiga,
pembentukan dinasti politik baru di daerah. Pada tahap awal suami yang maju,
tahap kedua isterinya, dan tahap ketiga adalah salah seorang anak dari pasangan
tersebut. Bangunan dinasti politik ini akan kokoh jika masyarakat setempat
menilai secara jujur bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kaya dan
berpendidikan yang memang ingin membangun daerahnya. Persoalan akan muncul kalau
ternyata bangunan dinasti politik itu amat dipaksakan lantaran kepala daerah
biasanya juga pimpinan daerah dari partai politik yang kuat di daerah tersebut.
Di sini menunjukkan
bahwa organisasi partai politik dikelola ibarat partai milik keluarga. Pengurus
atau anggota partai lain tidak memiliki kemampuan atau keberanian untuk
menantang sang pimpinan partai yang adalah kepala daerah setempat. Persoalannya
semakin rumit bila di dalam pilkada tersebut bupati atau walikota menggunakan
aparatur pemerintah daerah untuk memobilisasi massa buat pemenangan pemilu
untuk isterinya. Lebih pelik lagi jika ternyata anggota KPU dan badan pengawas
pemilu di daerah tersebut tidak independen dan cenderung berpihak pada bupati
atau walikota yang tengah berkuasa. Politik kekuasaan dan politik uang dapat
saja bermain di dalam pilkada, sehingga petahana (incumbent) atau isteri bupati/walikota akan diuntungkan di dalam
pilkada.
Problema politik ini
kecil kemungkinannya akan terjadi di masyarakat yang kelompok menengah atau
masyarakat sipilnya sudah amat sadar politik dan tak mudah tergiur oleh politik
uang. Dinasti politik atau politik dinasti bukan sesuatu yang diharamkan di
dalam demokrasi, namun tidak disarankan untuk terus berlangsung (langgeng).
Dinasti politik yang terbangun, asalkan didasari oleh niat baik untuk membangun
daerah atau negara, ditambah lagi oleh kapasitas keturunan di keluarga tersebut
untuk menjadi pemimpin, dapat diterima tapi tetap bukan sesuatu yang lazim di
dalam sistem demokrasi.
Semakin banyaknya isteri
atau anak mantan bupati/wali kota yang maju di dalam pilkada menunjukkan betapa
sosialisasi politik dan kaderisasi politik tidak berjalan baik di partai-partai
politik. Jika ini terus berlanjut, bukan mustahil rakyat sebagai pemilik
kedaulatan tertinggi di republik ini akan merasa jenuh dengan demokrasi yang
hanya menghasilkan pemimpin yang lebih mengutamakan keluarga dan kelompoknya
ketimbang masa depan daerah, bangsa dan negara. Ini merupakan problem kita
bersama, bagaimana demokrasi dapat menciptakan kestabilan politik dan
kemaslahatan bagi warga negara secara keseluruhan dan bukan hanya dikuasai oleh
keluarga-keluarga kaya pemilik kekuasaan seperti yang hingga kini masih terjadi
di Filipina.
Terlepas dari polemik
politik dinasti yang lumayan menggejala di berbagai daerah di Indonesia, ada
baiknya kita mencoba melihat bagaimana track
record, kapabilitas dan sedikit kinerja para isteri yang menggantikan
suaminya di tampuk kekuasaan kepala daerah. Apakah semuanya mendulang sukses?
Atau sebaliknya, mereka justru terjerembab dan gagal memperbaiki nama baik sang
suami?
A.
Perempuan-perempuan
yang Sukses Memimpin Daerah
Kabupaten
Bantul. Salah satu kisah sukses perempuan di panggung
kepemimpinan daerah adalah sosok Hj. Sri Suryawidati. Kisah bergulir ketika
pada 27 Mei 2010, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), menetapkan pasangan Hj. Sri Suryawidati-Sumarno Prs sebagai
pemenang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bantul periode 2010-2015.
Kisah menjadi menarik,
karena Sri Suryawidati tak lain adalah isteri Idham Samawi, Bupati Bantul yang
telah menjabat selama dua periode (2000-2005, 2005-2010). Dalam pemilihan
kepala daerah, Sri Suryawidati yang akrab disapa Ida itu didukung Partai Amanat
Nasional (PAN), Golkar, dan Partai Karya Perjuangan Bangsa (PKPB).
Pasangan nomor urut
dua ini mendulang lebih dari 50 persen suara yang masuk dalam pemilihan.
Pasangan yang dijuluki "Idaman" ini merajai perolehan suara di 17
kecamatan. Dua pasangan kandidat lain, Sukardiyono-Darmawan (Sukadarma) dan
Kardono-Ibnu Kadarmanto (Karib) tak berkutik. Suara terbanyak Idaman didapat di
Kecamatan Sewon (36.919) dan terendah di Kecamatan Piyungan (15.667).
"Dari hasil
penghitungan suara, Idaman mendapat total suara sah 330.615 (67,8 persen).
Perolehan suara ini diikuti oleh Sukadarma 137.888 (28,3 persen) dan Karib
sebanyak 19.374 (3,9 persen)," kata Budi Wiryawan, Ketua KPU Bantul, Kamis
(27 Mei 2010).
Sesaat setelah
dilantik sebagai Bupati Bantul 2010-2015, Ida langsung bekerja keras
menggerakkan roda birokrasi Pemerintah Kabupaten Bantul yang tidak asing lagi
baginya. Dia sudah akrab dengan birokrasi Pemkab Bantul dan kaum perempuan
setempat berkat posisinya sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Bantul
selama selama 10 tahun, karena suaminya Idham Samawi pernah menjabat Bupati
Bantul selama dua priode. Sebab itu pula, ia selalu aktif menanamkan kepada
ibu-ibu di Bantul tidak boleh berpangku-tangan pada suami, namun harus bisa
berbuat untuk membantu suami ataupun merawat anak. “Kaum perempuan punya peran
penting dalam pembangunan dan kesempatan itu terbuka lebar,” tandas wanita
kelahiran Jakarta, 26 Maret 1951, ini.
Bupati perempuan
pertama di wilayah DIY itu teringat pada kunjungan Ketua Yayasan Damandiri Prof
Dr Haryono Suyono yang memperkenalkan Posdaya, pasca terjadinya gempa bumi di
Bantul 2006 silam, diterima Bupati Bantul saat itu, H Idham Samawi dengan sendikodhawuh (siap melaksanakan tugas).
“Kami sangat respek dengan beliau. Karena pemikiran beliau brilian sekali.
Pemikiran tentang pemberdayaan keluarga sangat luar biasa. Jangkauan pemikirannya
sangat luas dan jauh ke depan. Seperti pemikiran Posdaya, karena dalam Posdaya
ada pemberdayaan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan (kebun
bergizi). Di Posdaya, semua aspek itu ada,” ungkap ibu tiga anak dengan empat
cucu ini menjelaskan.
Sebagai perempuan, Ida
pun menyambut baik Posdaya karena kegiatannya banyak melibatkan kaum perempuan.
“Bagaimana program ini bisa menyentuh masyarakat langsung dan masyarakat
menjadi mandiri. Harapan saya, kaum perempuan di Bantul menjadi perempuan
mandiri yang percaya diri. Misalnya ada permasalahan suami meninggal atau suami
di-PHK, kaum perempuan sudah siap dengan kemandirian,” tuturnya.
Saat ini, bukan hanya
933 Posdaya yang telah terbentuk, tapi sudah mencapai 1.000 Posdaya. Tidak lagi
satu dusun memiliki 1 Posdaya, tapi sudah berkembang 2-3 Posdaya. “Kami beri
anggaran Rp1 juta setiap dusun dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
untuk mengembangkan Posdaya di dusun-dusun di Bantul. Alhamdulilah, sambutan
dari warga masyarakat positif. Kabupaten Bantul menjadi percontohan dan banyak
mendapat penghargaan,” jelasnya.
Saat terjadi bencana
alam di Bantul, Bupati Bantul saat itu (Idham Samawi) memprogramkan dua tahun
selesai. Dalam waktu dua tahun itu pula, masyarakat Bantul tidak ikut terpuruk,
justru bangkit mengatasi bencana. “Alhamdulilah, dengan bantuan banyak
masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, dalam dua tahun itu selesai. Mungkin
prosentasinya hanya beberapa persen yang belum. Bagaimanapun sudah mulai
bangkit, yang penting semangat dari masyarakatnya,” ungkap Ida seraya mengakui
semangat gotong royong, keuletan dan rasa kebersamaan yang kuat dari masyarakat
Bantul.
Terlebih dengan adanya
Posdaya. Perubahan yang dirasakan warga masyarakat Bantul sangat banyak. Sehingga
Posdaya menjadi program prioritas Bantul. “Bagaimana pengentasan kemiskinan, pengangguran,
pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Kesehatan, pasar tradisional, semua itu
menjadi satu kesatuan dalam wadah bernama Posdaya,” tegasnya.
Berbagai penghargaan
diperoleh tidak hanya dari Yayasan Damandiri yang telah menganugerahkan Damandiri
Award pada HUT Damandiri ke-16 (2012). Tapi juga dari beberapa instansi seperti
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Semua
ini bukan hanya kerja bupati dan SKPD, tapi kerja semua sektor, baik
masyarakat, swasta maupun pemerintah daerah.”
Pada masa jabatannya
sebagai bupati, peran Posdaya lebih dipertajam. Dari APBD ada tambahan pinjaman
bergulir buat pengembangan Posdaya di tiap dusun. Untuk lebih mempertajam lagi,
Kabupaten Bantul meluncurkan program Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Miskin
(PEKM) kepada kelompok-kelompok Posdaya yang terdiri 10–15 orang, sebesar Rp1
juta per kelompok.
“Program ini hampir
sama dengan program Yayasan Damandiri yang memberikan kredit sebesar Rp2 juta
kepada satu kelompok. Ini akan sangat membantu. Karena keterbatasan dana APBD
yang ada pada kami, kalau ada bantuan dari manapun kami terima,” tukas Ida.
Menurut Ida, dari sekitar
900.000 jiwa penduduk Bantul terdapat sekitar 40.000 kepala keluarga yang
miskin dan 30.000 pengangguran. IPM kesehatan Bantul pun masuk 5 besar di
Indonesia. “Alhamdulilah. Bayangkan gempa waktu itu hancur luluh lantak, kita
bisa bangkit seperti ini sudah disyukuri bersama.”
Di bidang ekonomi, di
bawah kepemimpinan Bupati Sri Suryawidati, Kabupaten Bantul memiliki ekonomi
unggulan berupa pasar tradisional dan kerajinan. Mata pencarian penduduk
Bantul, 42 persen adalah petani, 18 persen pedagang pasar tradisional dan 12
persen dalam bentuk kerajinan. Untuk menangani itu semua, Pemkab Bantul
membatasi pembangunan pasar modern, seperti Alfamart,
Indomaret dan semacamnya dengan peraturan daerah. Jarak pasar modern dengan
pasar modern pun minimal 3 km.
“Kita upayakan seperti
ini agar pedagang pasar tetap hidup sejahtera. Kita berantas rentenir dengan
memberikan permodalan. Di pasar ada bank-bank cabang yang bisa mendekatkan
dengan pedagang pasar. Jadi mereka tidak terjerat rentenir dan memudahkan mereka
mendekat dengan bank-bank,” papar Bupati Sri Suryawidati.
Kendati begitu, tidak
berarti investor asing tidak boleh masuk ke Bantul. “Investor asing boleh menanam
saham, asalkan mereka merekrut tenaga kerja lokal Bantul. Tetap memudahkan
perizinan bagi investor yang akan masuk ke Bantul tapi dengan tenaga kerja
Bantul,” tegas Ida.
Investor yang berhasil
menyerap tenaga kerja Bantul sebanyak 1000–2000 orang, akan diberi kemudahan
dalam mengurus perizinan. Bahkan yang bisa menyerap 3000–4000 tenaga kerja Bantul,
Pemkab Bantul menyewakan tanah buat investor asing dan mengurus perizinannya.
“Dengan menghidupi warga Bantul, sebulan minimal Rp1 juta gaji bagi tiap
pekerja. Kami menyewakan tanah bagi mereka kan tidak mahal. Jadi kalau ada
investor yang masuk, saya tanya, tenaga kerja yang akan dimanfaatkan berapa,
kita bantu sepenuhnya supaya bisa mengentaskan pengangguran, otomatis
kemiskinan teratasi,” terang Ida.
Selain itu, ada pula
program dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bekerjasama dengan
Malaysia sebagai agen warga Bantul bekerja di Malaysia. Mereka bukan dijadikan pembantu,
tetapi sebagai tenaga ahli atau tenaga terampil kerja di pabrik. “Kami kerja
sama dengan Malaysia tidak mengambil untung. Kami yang mengantar ke sana untuk
menengok tempat kerja, fasilitas, keamanan dan keadaan sosial selama bekerja di
Malaysia. Biasanya orang mau kerja itu bayar. Kami pinjami mereka Rp 6 juta dari
bank di Bantul, nanti mereka cicil dari gajinya.”
Ibu yang telah
dikarunia empat cucu ini mengaku bahwa dirinya menjadi Bupati Bantul tidak terlepas
dari keberhasilan suaminya (Idham Samawi) menjadi bupati selama dua periode, sampai
kemudian rakyat memberikan amanah menjadi bupati agar pembangunan di Bantul tidak
terputus. “Masyarakat ingin apa yang telah berhasil dibangun Pak Idham
diteruskan oleh saya,” tandasnya.
Dengan menjadi Bupati,
Ida mengaku sangat berdosa bila tidak mampu mengemban amanah yang diberikan
oleh masyarakat meski terkadang berat juga ketika ada anak atau suami
sedangsakit. “Selain sebagai staf ahli khusus saya, Pak Idham sekarang kembali
ke Harian Kedaulatan Rakyat (KR). Habitatnya
dulu sebelum jadi bupati,” cetusnya.
Selain sebagai pendiri
surat kabar yang menjadi bacaan wong Yogya, Idham Samawi juga penasihat di
surat kabar tersebut. “Ngantornya tiap Selasa di KR Yogya, Jumat pagi di KR
Jakarta. Sebelum jadi bupati, Pak Idham wakil direktur utama KR, juga di DPP
PDIP sebagai salah satu ketua bidang keanggotaan, kaderisasi dan rekrutmen,”
terang Ida.
Boleh dibilang, tugas suaminya
saat ini malah lebih banyak dan lebih sibuk. Seringkali, ia harus ditinggal
suaminya selama beberapa hari untuk bertugas di Jakarta. “Di rumah, saya
sebagai seorang isteri. Kalau pergi harus pamit cium tangan suami. Saya masih
menyediakan baju yang mau dipakai. Kalau berangkat ke luar kota masih menata
koper. Ini suatu tugas yang mulia,” ungkapnya.
Kabupaten
Kediri, Jawa Timur. Aroma kesuksesan juga tampak pada
kinerja Bupati Kediri (2010-2015, 2016-2021) Dokter Hj. Haryanti Sutrisno.
Haryanti yang tidak lain adalah isteri pertama Bupati Kediri (2000-2005,
2005-2010) Sutrisno itu berhasil menyelenggarakan pemerintahan yang baik di
Kabupaten Kediri. Tahun 2014, ia memperoleh penghargaan dari Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia (Mendagri) Gamawan Fauzi atas prestasi Kinerja Sangat
Tinggi.
Dengan rendah hati
Bupati Haryanti berujar bahwa penghargaan ini merupakan wujud nyata buah kerja
dari kebersamaan segenap jajaran dan seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai
profesi. Meraih penghargaan tentu bukan tujuan utama dalam pembangunan, namun
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan program pembangunan
yang menjadi tujuan utama. Ia pun menyampaikan ucapan terima kasih kepada
seluruh warga masyarakat Kabupaten Kediri karena tanpa bantuan dari seluruh warga
masyarakat, penghargaan ini tidak mungkin digapai.
Selain prestasi
kinerja pemerintahan, masih di tahun 2014, Bupati Haryanti juga memperoleh penghargaan dari Gubernur Jawa Timur Soekarwo,
atas komitmennya dalam rangka penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Kediri.
"Penghargaan ini
merupakan wujud apresiasi atas kerja sama yang baik antar-seluruh pihak, baik
pemerintah, tenaga kesehatan maupun warga masyarakat," kata Kepala Bagian
Hubungan Masyarakat Pemkab Kediri Haris Setiawan menirukan ucapan Bupati
Haryanti beberapa saat setelah penyerahan penghargaan di Kantor Dinas Kesehatan
Jawa Timur.
Terkait dengan angka
kematian ibu, data di Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri menyebutkan dari sasaran
28.187 orang ibu hamil pada 2014, dengan jumlah ibu hamil risiko tinggi 5.637
orang dan jumlah ibu bersalin 26.906 orang, tercatat 13 kasus kematian ibu per
Oktober 2014. Angka ini menurun dibandingkan pada 2013 sebanyak 34 kasus, dan
2012 sebanyak 37 kasus. Adapun penyebab kematian di antaranya pendarahan,
infeksi, preeklampsi, jantung dan lain-lain.
Kemudian dari sasaran
25.119 bayi di 2014, diketahui jumlah bayi risiko tinggi mencapai 3.768 bayi.
Dari jumlah itu tercatat 154 kematian bayi per September 2014. Pada 2013
tercatat 227 kematian bayi dan di 2012 tercatat 257 kematian bayi. Penyebab
kematian bayi antara lain bayi berat lahir rendah (BBLR), "asfiksia"
atau gagal bernafas, kelainan bawaan, infeksi dan lain-lain.
Berbagai program pun
didorong untuk mendukung penurunan AKI dan AKB di Kabupaten Kediri. Di tingkat
masyarakat di antaranya dilakukan penjaringan ibu hamil risiko tinggi oleh
kader melalui Kartu Score Poedji Rochyati (KSPR), pemantauan pemberian Fe atau
tablet penambah zat besi ibu hamil oleh keluarga dan masyarakat, Desa P4K
(Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi), inisiasi menyusui
dini (IMD), pendampingan ibu hamil risiko tinggi oleh mahasiswa kebidanan,
serta program bulan timbang dan peduli keluarga melalui kerjasama dengan lintas
sektor kecamatan, Kemenag, Diknas dan organisasi masyarakat.
Sedangkan di tingkat
tenaga kesehatan, dilakukan berbagai kegiatan antara lain ANC (Ante Natal Care) terpadu dan
berkualitas, SMS gateaway, program rujukan ibu hamil risiko tinggi ke rumah
sakit, kemitraan bidan dan dukun (pembinaan dukun oleh tenaga kesehatan), serta
KB pasca-salin. Untuk kegiatan kesehatan reproduksi, dilakukan PPIA (Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke anak), dan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) yang
sudah dilakukan oleh semua Puskesmas.
Melihat
program-program yang digulirkan tampak benar kapasitas intelektual dan akademik
seorang Haryanti yang dokter lulusan Universitas Brawijaya ini. Program-programnya
juga sangat dirasakan oleh rakyat banyak.
Tampaknya rakyat
merasa cukup puas. Hal ini dijawab dengan memberikan suara mereka buat dr. Hj.
Haryanti Sutrisno yang kelahiran Malang, 7 Agustus 1949, itu untuk kembali
memimpin Kabupaten Kediri pada periode 2016-2021. Haryanti yang mencalonkan
bersama wakilnya Drs. H. Masykuri MM berhasil memenangi pilkada dengan raihan
54% suara pemilih. Turut mendukung pencalonan Haryanti sebagai Bupati Kediri
adalah PDI-P, PPP, PKNU, Partai Golkar, Partai Demokrat, PBB dan Hanura. Sebelum
menjadi Bupati Kediri, Haryanti sudah dikenal di tengah-tengah masyarakat
sebagai dokter dan pengusaha sukses pemilik perusahaan PT. Vittindo Riz yang
bergerak di bidang konsumsi. Bahkan Haryanti Sutrisno menjadi bupati terkaya di
Indonesia dengan harta Rp41 Miliar.
Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat. Kendati tidak memimpin Kabupaten
Kuningan lima tahun penuh lantaran wafat pada April 2016, Bupati Kuningan
(2013-2018) Hj. Utje Choeriah Suganda, S.Sos, M.AP telah pula menorehkan
sejumlah prestasi. Upayanya membina Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang
tersebar di seluruh pelosok desa di Kabupaten Kuningan, akhirnya membuahkan
hasil penghargaan Damandiri Award 2015 kategori pemimpin daerah peduli Posdaya.
Penghargaan tersebut langsung diserahkan Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri
(Damandiri), Prof. Dr. Haryono Suyono, pada pertengahan Januari 2016 lalu.
Kabupaten Kuningan
diwaliki Posdaya Masjid Nurul Huda yang beralamat di Jl. Tentara Pelajar No. 33
Desa Bayuning Kecamatan Kadugede. Posdaya ini diam-diam bukan saja menjadi
pusat percontohan pemberdayaan masyarakat desa, namun juga menjadi pelopor
pengembangan Posdaya di Kabupaten Kuningan. Buktinya, bukan saja kesejahteraan
dan kemandirian keluarga-keluarga di wilayahnya semakin meningkat namun melalui
kiprahnya, Posdaya di berbagai desa di Kabupaten Kuningan terus berkembang
pesat sehingga layak menjadi rujukan posdaya nasional.
Utje Choeriah yang
juga isteri Bupati Kuningan (2003-2008, 2008-2013) Aang Hamid Suganda itu
mengucapkan terima kasih kepada segenap posdaya se-Kabupaten Kuningan (terutama
Posdaya Nurul Huda) yang telah berkiprah dan berprestasi sehingga mampu
mengharumkan nama Kabupaten Kuningan di tingkat nasional. “ Saya kira prestasi
ini tidak akan dapat diraih tanpa kerja keras. Dan yang paling utama adalah
kiprah warga masyarakat dalam upaya memberdayakan diri sendiri melalui
lingkungan terkecil keluarga,” ujarnya.
Menurut perempuan yang
lahir 17 April 1952 ini, masyarakat Kabupaten Kuningan dengan jiwa
gotong-royong yang tinggi akan membantu memudahkan Pemerintah Kabupaten
Kuningan untuk dapat memerangi kemiskinan, penghapusan kelaparan, serta
mengurangi kesenjangan antara keluarga miskin dan kaya.
Prestasi yang
ditorehkan Utje Choeriah tidak hanya pada Posdaya. Pada Agustus 2014, perempuan
yang pernah menjadi Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Kuningan selama 10 tahun
itu berhasil menyabet dua penghargaan sekaligus. Dua penghargaan tersebut, pertama
sebagai Kabupaten Sehat kategori Swasti Saba Wiwerda tingkat Provinsi
yang diserahkan Gubernur Jabar, H Ahmad Heryawan, di sela-sela peringatan HUT
ke-69 Provinsi Jabar di lapangan Gasibu Kota Bandung. Dan kedua, penghargaan tingkat nasional berupa Anubhawa Sasana Desa atau lebih dikenal dengan sebutan Desa Sadar Hukum, karena Bupati Utje
dinilai telah berjasa membina dan mengembangkan kelurahan dan desa di wilayah
Kabupaten Kuningan sebagai desa/kelurahan sadar hukum.
Penghargaan tingkat
nasional bidang hukum yang diwakili Desa Sukaraja, Kecamatan Ciawigebang,
Kabupaten Kuningan, itu diserahkan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM)
Republik Indonesia, Amir Syamsudin, kepada Bupati Utje di Kota Bandung.
“Alhamdulillah, dua
penghargaan tingkat provinsi dan tingkat
nasional ini saya persembahkan untuk warga masyarakat Kuningan yang telah bahu
membahu, bekerja sama dan berpartisipasi dalam memajukan pembangunan. Untuk
bidang kesehatan dan bidang hukum membuahkan hasil yang membanggakan,” tutur
Bupati Utje yang dikenal dekat dengan banyak kalangan ini.
Utje berharap
pencapaian kedua penghargaan ini dapat semakin memotivasi segenap aparatur dan seluruh
warga masyarakat Kuningan untuk terus membudayakan hidup sehat dan hidup bersih
serta membiasakan diri sadar dan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku.
Kemudian di tahun
2016, Bupati Utje Choeriah berhasil menerima penghargaan PR Award 2016 Kategori
Pangajen Bumi Satya. Penghargaan yang diserahkan oleh Dirut PR Perdana Alamsyah
pada ulang tahun ke-50 Koran Pikiran
Rakyat itu sebagai bentuk apresiasi kepada Kepala Daerah yang terus konsen
terhadap pelestarian alam dan lingkungan.
Dengan modal latar
belakang pekerja sosial, mendorong Bupati Utje Choeriah menggagas program
Pengantin Peduli Lingkungan (Pepeling), Siswa Peduli Lingkungan (Seruling) dan
Apel (Aparatur Peduli Lingkungan). Bahkan penyandang gelar Magister
Administrasi Publik Universitas Padjadjaran (2013) ini juga mencanangkan Kabupaten
Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi.
“Penghargaan ini bukan
hanya untuk saya pribadi, melainkan untuk seluruh jajaran Pemerintah Kabupaten
Kuningan dan terutama masyarakatnya. Amanah yang diberikan kepada saya sebagai
seorang pemimpin daerah adalah untuk
memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat,” tandas Utje.
Totalitas Utje
Choeriah yang ingin terus membawa kemajuan Kabupaten Kuningan pada berbagai
bidang kemudian terhenti. Pada tanggal 7 April 2016, sosok yang dikenal ramah
dan tegas ini berpulang ke Rahmatullah.
Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Tanggal 20 Februari 2013 menjadi
tonggak penting bagi kehidupan seorang Puput Tantriana Sari. Perempuan
kelahiran 23 Mei 1983 yang isteri mantan Bupati Probolinggo Hasan Aminuddin itu
dilantik sebagai Bupati Probolinggo periode 2013-2018.
“Saya berharap semua
keberhasilan yang sudah diraih selama ini bisa dilanjutkan oleh Bupati dan
Wakil Bupati yang baru. Salah satu faktor pokoknya adalah kerja sama dengan
DPRD yang baik. DPRD itu pemerintahan daerah bersama-sama Bupati dan Wakil
Bupati. Tidak ada yang tidak bisa dibicarakan dengan musyawarah mufakat,” begitu
pesan Gubernur Jawa Timur Soekarwo saat melantik Tantriana Sari di Pendopo
Kabupaten Probolinggo, 20 Februari 2013.
Lebih lanjut Gubernur
Soekarwo meminta agar Bupati Tantriana selalu melibatkan Forum Pimpinan Daerah (Forpimda)
untuk merumuskan apa saja yang dapat diselesaikan secara baik. “Memang menjadi
Bupati dan Wakil Bupati itu harus mengurangi tidur. Banyak menghabiskan energi
untuk melakukan koordinasi dengan Forpimda, tokoh agama, tokoh masyarakat,
parpol dan ormas,” jelas Gubernur Jatim.
Tantriana pun langsung
bekerja dan meresapi benar pesan-pesan Gubernur Jawa Timur. Koordinasi dengan
Forpimda dan menggerakkan segenar mesin birokrasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Probolinggo menjadi keseharian Bupati termuda itu. Dalam tiga tahun memimpin, sejumlah
prestasi berhasil digapai. Di antaranya Manggala
Karya Kencana sebagai bagian prestasi pemerintah dalam menyelenggarakan
program kependudukan dan KB serta pembangunan keluarga sejahtera.
Pemkab Probolinggo juga
berhasil meraih penghargaan sebagai daerah yang mendapat predikat opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP). Untuk kali ketiga secara berturut-turut, Pemkab
Probolinggo memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, atas laporan Keuangan Daerah tahun 2015. Predikat
WTP diberikan Kepala BPK Perwakilan Jawa Timur, Novianto Herodwijanto, kepada
Bupati Puput Tantriana Sari, Selasa (31 Mei 2016).
"Ini yang ketiga
secara berturut-turut," kata Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah (DPKD)
Tanto Walono, yang mendampingi Bupati di kantor BPK Perwakilan Jatim.
Dengan predikat
tersebut, tahun depan (2017) Pemkab Probolinggo berhak mendapatkan Dana
Insentif Daerah (DID) seperti tahun 2016. Tanto menyatakan, tahun 2016 Pemkab Probolinggo
mendapatkan DID sebesar Rp22 miliar dari Pemerintah Pusat.
Torehan tersebut
mencerminkan bahwa komitmen transparansi dan akuntabilitas keuangan benar-benar
dijaga oleh Pemkab Probolinggo di bawah kepemimpinan Tantriana.
Masih seputar
prestasi, pada 2015, Pemkab Probolinggo mendapatkan penghargaan Swasti Saba Padapa sebagai wujud
komitmen pemerintah dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang sehat, mandiri,
dan tatanan kawasan pemukiman sarana dan prasarana sehat.
Dalam dua tahun sisa
masa kepemimpinan Tantriana di Kabupaten Probolinggo tentu masih banyak
prestasi yang dapat ditorehkan dan apresiasi yang diperoleh. Apakah Tantriana
yang mulai mengemban amanah bupati di umur 30 tahun ini bakal kembali
memperoleh kepercayaan rakyat, tentu masih sangat banyak kemungkinan.
Yang terbaru, pada
awal September 2016, Bupati Puput Tantriana Sari menyabet penghargaan Lencana
Melati sebagai Ketua Mabicab Pramuka. Penghargaan itu cukup istimewa lantaran
hanya dua kepala daerah yang mendapatkan penghargaan tersebut, masing-masing Bupati
Probolinggo dan Bupati Magetan. Penghargaan tersebut menandai adanya dukungan
yang luar biasa dari Bupati Tantri terhadap gerakan Pramuka di Kabupaten
Probolinggo.
"Sebagai Kakak
Ketua Mabincab Pramuka Kabupaten Probolinggo, saya menyampaikan ucapan terima
kasih dan apresiasi atas penghargaan ini. Ini merupakan prestasi dari Pramuka
Kabupaten Probolinggo,” kata Bupati Tantri usai menerima penghargaan yang
disematkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(PMK), Puan Maharani, pada acara Apel Besar Pramuka se-Jatim "Hari Pramuka
yang ke-55 Tahun 2016" di Markas Komando Armada Indonesia Kawasan Timur
(Koarmatim), Surabaya, 4 September 2016.
Tak hanya bupati,
Wakil Bupati Probolinggo Timbul Prihanjoko juga mendapatkan Lencana Melati
sebagai Ketua Kwarcab Probolinggo pada kesempatan yang sama.
Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat. Bupati Indramayu (2000-2005,
2005-2010) Irianto Mahfud Sidik Syafiuddin yang akrab disapa Yance merasa lega
usai mengikuti acara serah terima jabatan bupati yang berlangsung di Pendopo
Kabupaten Indramayu pada 12 Desember 2010. Pangkalnya sederhana saja, hari itu
dia menyerahkan jabatan bupati kepada isterinya Anna Sophanah. Hari itu pula Anna
Sophanah resmi menjadi Bupati Indramayu periode 2010-2015, setelah dilantik
oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Anna dilantik dengan ketetapan Menteri
Dalam Negeri Nomor 131.32-855 tahun 2010 dan Nomor 132.32-856 tahun 2010.
Dalam pelantikan dan
serah terima jabatan bupati, terlihat seperti seorang suami menyerahkan
tugasnya kepada istri. Hal itu terlihat dalam adegan "cium tangan"
yang dilakukan Anna kepada Yance. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan
mengomentari adegan itu sebagai bentuk kesopanan istri yang akan meneruskan
tugas suami membangun Indramayu. Sebab, masih banyak pekerjaan rumah yang harus
dituntaskan wanita kelahiran Indramayu tanggal 23 Oktober 1958 itu agar pembangunan di Indramayu meningkat
lebih baik. Saat pelantikan itu, indeks pertumbuhan manusia di Indramayu berada
pada angka 67,39 poin, di bawah Jabar 71,64 poin.
Memasuki usia ke-58
tahun (2016), di masa pengabdiannya periode kedua, Anna Sophanah tetap
bersemangat dan fokus untuk memajukan pembangunan daerah. Baginya, dapat
memajukan daerah dan menyejahterakan rakyat merupakan target utamanya ketika
dipercaya memangku jabatan sebagai kepala daerah. Tanpa mengesampingkan
kodratnya sebagai seorang ibu yang senantiasa tetap memperhatikan keutuhan
rumah tangga.
Salah satu kunci
keberhasilannya dalam menjaga keutuhan rumah tangga adalah memiliki komitmen
bersama untuk saling mempercayai dengan tidak mengabaikan amanah rakyat
Indramayu untuk membangun kemajuan daerah, dan keutuhan rumah tangga di atas
segalanya yang harus tetap menjadi perhatian khusus yang sudah menjadi komitmen
bersama.
“Dalam berumah tangga
komitmen itu sangat perlu dibangun, apabila suami-isteri mampu saling menutupi
kekurangan dan kelebihannya maka diyakini keutuhan dalam membangun rumah tangga
yang sakinah, mawadah warrahmah akan
terwujud dengan baik,” ujarnya suatu ketika.
Meski demikian, wanita
yang pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Indramayu ini tetap memperhatikan
kemajuan daerah sebagai salah satu bentuk konsekuensinya selaku seorang
pemimpin daerah. Hampir enam tahun mengemban amanah rakyat Indramayu, telah
banyak membuahkan hasil yang membawa nama harum Indramayu melalui berbagai
prestasi di kancah regional ataupun nasional.
Prestasi yang diraih
sepanjang tahun 2016 di antaranya, menerima penghargaan Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) dari BPK-RI, Anugerah Satya Lencana Pembangunan Bidang
Koperasi, Piala Adipura yang ke-8, Piala Adhiwiyata Mandiri, Juara Pertama
Lomba Desa Tingkat Nasional, Penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka kategori
Birokrat yang Peduli Terhadap Pengembangan Perpustakaan dan Kegemaran Membaca
dari Perpustakaan Nasional RI dan menerima Piala UKS dalam Lomba Sekolah Sehat
(LSS) dari Pemerintah Pusat.
“Atas nama Pemkab
Indramayu dan pribadi, saya mengucapkan banyak terima kasih atas partisipasi,
kerja keras dan peran aktif seluruh rakyat Indramayu yang telah mengantarkan
Kabupaten Indramayu meraih berbagai penghargaan,” tutur ibu tiga orang anak, masing-masing
Dinny Yuniarti Syafiana, Daniel Muttaqien Syafiuddin dan Deany Iyeng Syafiana.
Menurut Ketua
Dekranasda Kabupaten Indramayu periode 2000–2010 ini, keberhasilan Indramayu
dalam meraih berbagai prestasi bergengsi jangan dijadikan sebagai ajang kesombongan
tapi hendaknya dapat menjadi motivasi
agar tetap berkarir dan berkarya untuk kemajuan daerah, sehingga Kabupaten Indramayu
menjadi daerah yang diperhitungkan.
Begitu pun dalam
memimpin daerah, perkembangan spiritual dalam konteks agama Islam menjadi hal
yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari yang dituangkan ke dalam visi
Indramayu religius, maju, mandiri dan sejahtera (Remaja). ”Visi Indramayu
Remaja secara konsep cukup baik dengan menerapkan wajib membaca Al Quran selama
15 menit sebelum belajar ataupun bekerja, karenanya perlu didukung bersama,”
imbaunya pada suatu waktu.
Agaknya kerja keras
Anna Sophanah melanjutkan apa yang telah dicapai oleh sang suami sudah cukup
dirasakan oleh rakyat daerah yang dikenal sebagai sentra penghasil buah mangga
ini. Dan kini ia tengah menapak menuntaskan masa jabatannya pada periode kedua,
2015-2020.
B.
Tidak
Semua Isteri Sukses Estafet Kepemimpinan Suami
Di balik fenomena
kemenangan dan keberhasilan para perempuan sebagai Bupati Bantul, Kediri,
Kuningan, Probolinggo dan Indramayu, tampak pula beberapa isteri yang berniat
menggantikan suami sebagai kepala daerah harus menelan pil pahit. Di Kabupaten
Sukoharjo, Jawa Tengah, Titik Suprapti, gagal menggantikan suaminya, Bambang
Riyanto, sebagai bupati. Titik Suprapti kalah dalam Pilkada memperebutkan
posisi Bupati Sukoharjo periode 2010-2015.
Lalu dalam pemilihan
Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), istri Gubernur Ismeth Abdullah, Aida Zulaikha
Ismeth, juga harus kecewa. Aida maju karena Ismeth sudah dua periode menjadi
Gubernur. Namun Aida yang berpasangan dengan Eddy Wijaya dikalahkan oleh
pasangan HM Sani dan HM Soeryo Respationo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
Kepulauan Riau 2010-2015.
Ada pula isteri kepala
yang mampu terpilih namun cukup satu periode saja menjabat. Ini terjadi pada
sosok Widya Kandi Susanti yang memenangi Pilkada Kabupaten Kendal pada 2010.
Bupati berlatar-pendidikan dokter ini berhasil menggantikan suaminya Hendy
Boedoro (Bupati Kendal 2000-2005, 2005-2007). Namun kemudian ia kalah pada Pilkada
Kabupaten Kendal 2015.
Aroma kurang sedap
memang sempat menyelimuti perjalanan Widya Kandi Susanti. Ketika Widya Kandi
Susanti bersiap dilantik sebagai Bupati Kendal periode 2010-2015 pada Agustus
2010, suaminya tengah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kedung Pane, Semarang,
gara-gara menyelewengkan APBD Kabupaten Kendal. Dalam putusan kasasi, Mahkamah
Agung menetapkan hukuman tujuh tahun penjara untuk Hendy Boedoro dan denda Rp500
juta serta membayar uang pengganti Rp13,121 milyar.
Isu lain yang cukup
menggelitik, Widya sempat menolak menutup Lokalisasi, “PSK Pahlawan Keluarga”
yang ada di Kabupaten Kendal. Ia menolak menutup lokalisasi karena merasa khawatir
akan menimbulkan masalah baru. Menurutnya, menutup lokalisasi adalah hal yang
mudah. Cukup persetujuan DPRD dan berkoordinasi dengan Satpol PP. Namun ia
khawatir, para PSK akan menjajakan diri di jalanan. “Bisa saja menutup tempat
pelacuran, tapi PSK-nya harus diberi pekerjaan dulu,” tegas Widya sebagaimana
dilansir Kompas.
Yang juga tak sedikit
menggelitik, sekitar dua tahun menjabat sebagai Bupati Kendal, tepatnya tanggal
23 Oktober 2012, Widya Kandi Susanti tampil beda. Saat menghadiri peluncuran
ekspor kayu perdana yang berlabel legal, Bupati Widya Kandi Susanti yang biasa
berkerudung itu menanggalkan kerudungnya.
"Penampilan masih
dulu, hanya beda tak berkerudung ya? Ini karena rambut saya yang berubah,"
kata Bupati Widya memberi alasan ketika disapa ihwal penampilannya yang
berbeda.
Bupati Widya masih
terlihat cantik. Kalau sebelumnya selalu berkerudung, konon sejak sepekan
sebelum acara peluncuran ekspor kayu legal itu Widya Kandi melepas kerudungnya.
Tampilannya lebih muda. Rambut dipotong pendek seleher dengan warna rambut cat
coklat tua. Kendati tidak berkerudung, baju kerja Bupati Widya masih memakai
seragam lengan panjang dan celana panjang.
Bupati Widya Kandi
mengatakan, dia harus selalu menjelaskan penampilan barunya ke publik. Itu
dijelaskan setiap dia berkesempatan pidato di semua pertemuan ataupun apel pagi
di jajaran birokrasi Pemkab Kendal.
Menanggalkan kerudung,
demikian kata Bupati Widya Kandi, salah satu penyebabnya karena kondisi
rambutnya yang susah dirawat. Rambutnya cenderung rusak dan banyak rontok.
Kerusakan rambut itu diduga akibat dirinya banyak ke lapangan dalam bekerja
sebagai bupati.
Entah lantaran
kebijakan yang sedikit melawan arus atau penampilan yang banyak berubah yang
menjadikannya kalah ketika kembali mencalonkan diri pada Pilkada Kabupaten
Kendal yang berlangsung Desember 2015? Kebijakan dan penampilan memang kadang
sensitif di mata rakyat.
C.
Polemik
yang Mesti Dijawab
Terlepas dari
keberhasilan atau kegagalan para isteri melanjutkan estafet kepemimpinan sang
suami di tampuk kekuasaan kepemimpinan daerah, fenomena estafet kepemimpinan
yang berputar-putar di lingkar keluarga dan kerabat tentu bukanlah sesuatu yang
kita harapkan. Kalau si pengganti masih bertali kerabat dengan pejabat
sebelumnya memiliki kapasitas dan kapabilitas politik dan intelektual yang
memadai, boleh jadi rakyat dapat menerima. Sebaliknya, bila si pengganti nyaris
tak punya kualitas yang layak, maka rakyat yang akan dikorbankan.
Guru Besar Ilmu
Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan mengingatkan, politik kekeluargaan
yang marak terjadi di daerah berpotensi menimbulkan penyalah-gunaan kekuasaan. Sebab
itu, aturan yang membatasi politik kekeluargaan mendesak diterbitkan untuk mewujudkan
demokrasi yang sehat. ”Kondisi saat ini menunjukkan banyak pemimpin haus
kekuasaan. Penguasa baru yang masih keluarganya hanya menjadi boneka dan
dikendalikan oleh yang lama,” ujarnya.
Politik kekeluargaan, demikian
pendapat Kacung Marijan, adalah nepotisme dan kolusi yang mengatas-namakan
demokrasi. ”Penyalah-gunaan kekuasaan bisa dengan alokasi APBD yang ditujukan buat
kepentingan pemilihan. Kompetisi dalam pemilihan jelas tak sehat karena adanya
pengaruh pemimpin yang lama. Harus ada jeda bagi keluarga petahana (incumbent) untuk mencalonkan diri,” ujarnya.
Soal regulasi, menurut
pengamat otonomi daerah Djohermansyah Djohan, RUU Pilkada mengatur keluarga petahana tak bisa mencalonkan diri dalam
pilkada untuk satu periode. Keluarga petahana adalah istri/suami, anak,
menantu, adik/kakak, dan cucu.
Pengajar Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Joko Susanto, menilai
praktik nepotisme yang gejalanya melanda pilkada merupakan bentuk penguasaan
ruang publik. ”Ruang politik yang mestinya milik publik dikuasai oleh kelompok
keluarga atau kelompok modal. Jadi, jelas di sini secara substansial terjadi
pelanggaran,” tandasnya.
Selain aturan yang
tegas, Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana, Kupang, Umbu TW Pariangu, berharap
partai politik secara serius menyiapkan kader-kader perempuan berkualitas sejak
sekarang sebagai investasi politik di lima tahun berikut untuk mengisi pos-pos
politik di parlemen ataupun birokrasi. Selain itu, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah harus sungguh-sungguh membuka akses bagi perempuan dalam merajut peran
dan kariernya di berbagai bidang, termasuk di birokrasi.
Penempatan atau
pemberian akses tersebut tentu berdasarkan pertimbangan kualitas kompetensi,
bukan karena aspek kewanitaan, sebagaimana ungkapan Marina Mahathir, most women are not elected because they are
women. Apalagi menurut Sharpe (2000), perempuan memiliki keunggulan dalam
hal hubungan interpersonal, kecermatan, naluri prestasi, mementingkan proses,
dan kejujuran kerja serta bersikap lebih demokratis.
Presiden Joko Widodo
sudah membuktikannya saat dirinya menjabat Wali Kota Solo. Ketika terminal di Kota
Solo semrawut dan rawan premanisme, dia pun mengangkat perempuan menjadi kepala
terminal. Hasilnya, wajah terminal berubah tertib, nyaman, dan steril dari
tindakan kriminal. Selain itu, 17 pasar tradisional di Solo berhasil dibangun
di bawah Ketua Satpol Pamong Praja yang adalah seorang perempuan.
Jadi, peluang
perempuan naik ke tahta kepemimpinan pemerintahan daerah haruslah dibuka
lebar-lebar, bukan hanya sebatas orang-orang di lingkar keluarga dan kerabat petahana.
(*)
Komentar
Posting Komentar