* Bab
5
Kebun menghampar di seluruh
penjuru Tanah Rote. Dari 27.161 hektar kebun yang ada di wilayah Kabupaten Rote
Ndao, 20.711 hektar di antaranya adalah kebun tanaman lontar. Dan, orang Rote
dikenal sebagai penyadap lontar yang andal. Tidak sekadar menyadap lontar,
mereka juga sangat piawai memanfaatkan segenap potensi yang ada pada pohon
lontar. Ada yang berbeda dari orang Rote bila sudah berbicara pohon lontar
sebagai pohon kehidupan.
Memang kita dapat
menjumpai pohon lontar di mana-mana. Tapi, tidak ada yang mampu menandingi
kehebatan warga masyarakat Pulau Rote. Pasalnya, dari sekian banyak daerah yang
memiliki pohon lontar, hanya orang Rote yang mampu memanfaatkan segenap potensi
pohon tersebut. Mulai dari akarnya buat ramuan tradisoional, batangnya yang
kuat dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuat bangunan, pelepanya bisa
dimanfaatkan untuk membuat pagar, sampai daunnya yang multifungsi. Orang Rote
memanfaatkan daun lontar buat tempat penyimpan nira yang disadap, tikar
tradisional, bahan baku pembuat atap rumah, hiasan perabot rumah tangga, berbagai
kerajinan. Bahkan, daun lontar bisa dipakai buat bahan baku kotak resonansi alat
musik sasando yang sudah mendunia.
Dan manfaat pohon
lontar yang telah sangat populer, yakni nira lontar sebagai sumber kahidupan
bagi orang Rote. Lantaran pohon lontar
banyak dijumpai di Pulau Rote serta pemanfaatannya yang demikian multiguna bagi
orang Rote, Pulau Rote pun dikenal dengan julukan “Nusa Lontar” (Negeri Lontar).
Samai-sampai banyak orang yang menyebut Pulau Rote sebagai “Surga Pohon
Lontar”.
Kedekatan kehidupan
orang Rote pada pohon lontar tidak terlepas dari sejarah panjang yang mereka
telah lewati. Dari sebuah pulau tak berpenghuni sampai kini berisi orang Rote.
Dalam penuturan syair yang biasa dibawakan oleh para ketua adat setempat digambarkan
bahwa dahulu kala Pulau Rote yang semula tak berpenghuni kemudian didiami oleh
sebuah kelompok suku yang menurut cerita berasal dari tanah atas atau Lain Do Ata (sebelah utara). Sumber lain
menyebutkan bahwa penduduk pertama yang mendiami Pulau Rote berasal dari
Ceylon, yang sekarang dikenal dengan nama Sri Lanka. Hal ini terkait dengan
fakta tentang kesamaan nama-nama lokasi, pola kekerabatan antara orang Rote dan
Ceylon, serta cara-cara orang Ceylon menyadap lontar untuk memperoleh nira. Kemungkinan
besar awal kedatangan mereka bersamaan dengan dominasi imigran-imigran dari
utara.
Pohon lontar memang
cukup mewarnai daratan wilayah Kabupaten Rote Ndao --sebuah kabupaten di Provinsi
Nusa Tenggara Timur yang merupakan kabupaten ujung selatan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Sebagian besar wilayah ini terdiri dari padang rumput, hamparan
pohon lontar, pohon pinus, cendana, gewang, dan hutan bakau di kawasan pantai. Hidup
pula hewan-hewan yang menghidupi. Hewan yang banyak hidup di sini adalah hewan-hewan
menyusui besar seperti kerbau, sapi, kuda; hewan menyusui kecil, seperti
kambing, babi dan domba; binatang melata semisal ular; dan unggas semisalnya
burung Kakatua dan burung Nuri.
Permukaan tanah
umumnya berbukit-bukit dan bergunung-gunung (32.625 hektar) dan sebagian
terdiri dari dataran rendah (45.250 hektar) dengan tingkat kemiringan rata-rata
mencapai 45 derajat. Kontur Pulau Rote bervariasi, pada daerah pantai
ketinggian 0-10 meter di atas permukaan laut dan di bagian tengah mencapai
ketinggian 200-1500 meter di atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan
40-60 derajat.
Penggunaan lahan di
Kabupaten Rote Ndao didominasi oleh hutan, lahan sawah, perkebunan dan
tegal/kebun. Dari data lahan sawah yang ada sebenarnya masih banyak dari lahan
tersebut belum diusahakan. Ini merupakan potensi yang masih dapat dikembangkan.
Pada saat ini jenis sawah yang dominan adalah sawah tadah hujan mencakup 62%
lahan sawah yang telah diusahakan, kemudian diikuti oleh sawah dengan irigasi
sederhana. Lahan sawah dengan sistem irigasi setengah teknis banyak terdapat di
Kecamatan Lobalain, Rote Tengah dan Rote Timur. Luas lahan sawah terbesar
terdapat di Kecamatan Rote Tengah. Lahan sawah terdapat di semua kecamatan di
Kabupaten Rote Ndao. Dari 27.161 hektar kebun yang ada, 20.711 hektar di antaranya
adalah kebun tanaman lontar. Kabupaten Rote Ndao memang dikenal sebagai daerah
tanaman lontar.
A.
Hidup
dari Pohon Lontar
Masyarakat Pulau Rote
sangat identik dengan pohon lontar. Dapat dikatakan bahwa pohon lontar
merupakan bagian dari roda kehidupan warga masyarakat Pulau Rote, mulai dari
zaman nenek moyang meraka sampai saat ini. Warisan-warisan leluhur nenek moyang
yang berkaitan dengan pohon lontar tetap dilestarikan hingga kini. Sebut saja salah
satunya teknik atau cara menyadap nira lontar yang telah diwariskan secara turun-temurun
sampai kemudian menjadi sebuah kebiasaan dan profesi bagi sebagian besar warga masyarakat
Rote.
Layaknya padi di Tanah
Jawa, pohon lontar dianggap sebagai sumber kehidupan bagi orang Rote. Pohon
lontar sangat terkenal dengan niranya yang manis dan dapat diolah menjadi gula
merah, gula lempeng, kecap, cuka dan berbagai minuman tradisional lainnya. Bagi
orang Rote, nira lontar disebut “tuak”. Sama seperti pohon aren dan sejenisnya,
nira lontar atau tuak diperoleh dengan cara disadap. Penyadapan nira lontar
dilakukan dengan cara yang telah diwariskan secara turun-temurun dengan
menggunakan beberapa peralatan tradisional.
Menjadi seorang petani
penyadap lontar tidaklah mudah. Ada tantangan tersendiri. Mesti memiliki
keterampilan khas untuk menekuni pekerjaan menyadap nira. Salah satu keahlian
yang harus dimiliki para penyadap nira lontar adalah melawan rasa takut akan ketinggian
pohon dan harus pandai memanjat. Bagi sebagian orang, hal itu terlihat sangat
sulit. Tapi, bagi para lelaki Pulau Rote, hal itu merupakan sesuatu yang biasa.
Ketinggian pohon
lontar bisa puluhan meter. Dan untuk memperoleh nira, seseorang harus mencapai
puncak pohon lontar. Lantaran cara memanjat menyadap pohon lontar ini telah berjalan
turun temurun, tak mengherankan bila sebagian besar kaum lelaki di Pulau Rote
pandai memanjat pohon lontar.
Di Rote, para penyadap
nira lontar yang biasa dikenal dengan sebutan mana ledi tua memulai aktivitas
menyadap lontar sekitar jam 3-4 pagi. Pada jam-jam tersebut kita biasa mendengar
dentuman “kikik” ( saringan tradisional) menghantam pelepah lontar. Kebiasaan
membunyikan pelepah lontar ini dengan tujuan membersihkan saringan dari ampas
nira.
Beberapa kebiasaan
seputar penyacapan pohon lontar yang berlangsung di Pulau Rote.
Memanjat.
Oleh karena pohon lontar terkenal cukup tinggi, maka satu-satunya cara agar
orang dapat menyadap nira lontar adalah dengan memanjat. Seorang penyadap
lontar harus menguasai teknik dan cara memanjat. Dapat dikatakan bahwa orang Rote
tergolong pemanjat sejati. Karena, dalam sehari saja, seorang penyadap lontar
bisa memanjat lebih dari seratus (100) pohon lontar tanpa menggunakan alat
bantu (tangan kosong dan kaki kosong). Yang lebih fantastisnya lagi, seorang
penyadap lontar harus memikul beban berat membawa turun nira lontar dari atas
pohon lontar dengan menggunakan “kokondak” atau wadah yang terbuat dari daun
lontar. Hal ini memerlukan konsentrasi tinggi agar wadah tersebut tidak
membentur dan akhirnya pecah. Memang cukup sulit dibayangkan. Namun, hal ini
sudah menjadi keseharian orang Rote, khususnya para penyadap nira lontar atau
(mana ledi tua).
Para penyadap lontar
atau mana ledi tua di Pulau Rote memiliki teknik tersendiri dalam memanjat
pohon lontar, antara lain:
1. Sebelum memanjat
sebuah pohon lontar, pertama-tama pohon lontar harus diberi tangga khusus
berupa pahatan kecil pada batang lontar yang berfungsi buat tempat meletakkan
telapak kaki ketika memanjat. Dalam bahasa ibu, pahatan ini disebut no ik.
2. Saat memanjat
sebuah pohon lontar, seorang pemanjat harus menguasai dan menghafal betul lekuk
liku pohon yang dipanjat, mulai dari berapa jumlah anak tangga, anak tangga
mana yang sering dipakai, berapa kali langkah kaki ketika turun ataupun naik,
di mana letak no ik atau anak tangga
untuk meletakkan kaki tanpa harus langsung melihat.
3. Seorang pemanjat harus
benar-benar dalam kondisi sehat dan bugar. Karena, untuk memanjat pohon lontar
diperlukan stamina dan konsentrasi tinggi --termasuk salah-satunya teknik berpegangan
batang pohon lontar yang cukup besar untuk dijadikan pegangan. Seorang pemanjat
lontar harus memperhatikan pegangannya pada saat memanjat. Segala sesuatu akan
terasa sulit apabila sesuatu itu merupakan hal baru bagi kita. Dan sesuatu akan
terasa mudah bila sesuatu itu merupakan kebiasaan atau hal sudah biasa kita
lakukan berulang-ulang. Begitu pula dengan teknik memanjat pohon lontar, menurut
kita yang tidak biasa akan terasa cukup sulit, namun merupakan hal yang lumayan
mudah bagi orang Rote.
Proses.
Mula-mula batang dijepit dan dilunakkan dengan menggunakan kakabik (alat penjepit) yang terbuat dari kayu. Selanjutnya, pada
batang nira dipasang sebuah wadah kecil yang di sebut Haik atau Mbaok yang
berfungsi untuk menadah nira lontar yang
menetes dari batang nira pohon lontar. Agar Haik
tidak mudah jatuh dan nira lontar tidak terkontaminasi oleh cahaya matahari, diperlukan
sebuah alat pelindung yang disebut sosorok.
Sosorok juga dapat berfungsi menjaga
nira dari serbuan serangga, tikus dan kelelawar. Setelah sosorok dipasang dan diikat, kemudian dibiarkan selama beberapa jam
atau sampai air nira memenuhi Haik. Biasanya
bila dipasang pagi hari maka diambil
pada sore. Begitupun sebaliknya.
Pengambilan
dan penyaringan nira lontar. Setelah kira-kira nira memenuhi haik,
tahap berikutnya adalah pengambilan nira lontar. Mula-mula sosorok atau kapisak
dibuka. Lalu, nira yang sudah memenuhi haik
akan disaring menggunakan kikik lantas
dimasukkan ke dalam kokondak dan siap
dibawa turun.
Pengirisan
batang nira. Setelah nira yang ada dalam haik diambil, tahap selanjutnya adalah
mengiris batang nira dengan tujuan agar air nira yang akan dihasilkan
berkualitas baik dan batang nira tetap mengeluarkan air nira yang lebih banyak.
Untuk mengiris batang
nira digunakan pisau khusus yang disebut dombe
tuak. Ketajaman pisau yang digunakan untuk mengiris batang nira sangat menentukan
hasil air nira. Dengan pisau yang tajam sehingga permukaan batang nira rata dan
teratur akan menghasilkan air nira yang optimal. Seorang mana ledi tua memperhatikan betul ketajaman pisau yang digunakannya.
Memasang
kembali haik dan sosorok. Tahap selanjutnya setelah pengirisan
batang niara adalah memasang kembali Haik
atau Mbaok untuk menadah air nira.
Untuk menjaga kualitas air nira dipasang pula kapisak atau sosorok. Sosorok dan Mbaok diikat dengan tali yang terbuat dari daun gewang.
Turun.
Setelah pemasangan selesai, air nira yang telah dihimpun dalam kokondak siap dibawa turun. Biasanya pada
satu pohon lontar terdapat tiga sampai empat kumpulan ranting yang menghasilkan
air nira (dalam bahasa setempat disebut sumak).
Dari satu pohon lontar saja, air nira yang dihasilkan sudah mampu memenuhi satu
kokondak (takarannya setara bahkan
lebih dari satu galon air). Sebab itu, untuk membawa turun satu kokondak yang terisi penuh dengan air nira
dibutuhkan ketelian.
Pemanfaatan
nira lontar yang telah diturunkan. Setelah berada di
bawah, air nira dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, antara lain diproses
menjadi gula merah, gula lempeng, gula semut, kecap dan minuman tradisional
lainnya. Selain itu, air nira yang baru diturunkan dapat langsung diminum
karena rasanya yang sangat manis. Gula merah dan gula lempeng menjadi konsumsi
terfavorit orang Rote.
Gula merah dan gula
lempeng juga menjadi primadona bagi masyarakat daerah lain di wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Dengan begitu permintaan gula merah dan gula lempeng cukup
tinggi. Tidak hanya di kota-kota besar Nusa Tenggara Timur seperti Kupang, Soe
dan beberapa daerah lain seperti Alor, Flores dan Sumba. Gula merah dari Rote
juga telah dinikmati oleh daerah-daerah di Indonesia. Wisatawan asing yang
datang ke Pulau Rote pun gemar mengkonsumsi hasil-hasil olahan dari nira
lontar.
Begitulah proses
penyadapan nira lontar (tuak) yang menjadi keseharian orang Rote. Bisanya proses
penyadapan nira lontar dilakukan dua kali sehari, masing-masing pada waktu pagi
dan sore hari. Biasanya pula penyadapan lontar dilakukan pada musim tertentu, tergantung
pada musim tumbuhnya tunas batang nira, sekitar bulan Maret sampai bulan
November. Bagi orang Rote, musim penyadapan nira lontar ini disebut Fai fanduk.
B.
Hidup
dari Sawah dan Kebun
Memiliki daerah yang
subur dan hamparan lahan-lahan yang luas menjadikan wilayah Pulau Rote cocok
untuk ditanami oleh berbagai jenis tanaman. Itulah yang membuat pulau ini
selalu menyediakan bahan pangan tersendiri mulai dari beras, jagung, kacang-kacangan
dan sebagainya. Tidak mengherankan pula banyak sekali lahan-lahan persawahan
yang terhampar luas segenap penjuru pulau ini. Dan orang Rote pun banyak yang
menekuni dunia tani dan kebun.
Pada umumnya, petani
di Pulau Rote bercocok tanam dengan sistem atau cara yang relatif sama dengan
daerah-daerah lain. Hal ini dapat dilihat dari bentuk pematang yang sama, teknik
menanam dan cara memanen. Perbedaannya hanyalah bahwa petani di Pulau Rote
umumnya bercocok tanam setahun sekali, yaitu pada musim hujan (akhir November
sampai akhir bulan Maret). Beberapa daerah tertentu saja yang menanam padi
secara rutin.
Dengan kondisi iklim
dan musim hujan dan relatif pendek, sebagian besar areal persawahan di Pulau
Rote mengalami kekeringan pada musim kemarau. Karena petani di Pulau Rote tergolong
sangat ulet dan rajin, kendati sebagian besar petani Rote hanya bercocok tanam
sekali setahun, mereka tidak pernah mengalami kekurangan beras. Begitu banyak
lahan persawahan yang tersedia dan dapat diolah. Berkat keuletan, mereka mampu
mengolah dalam skala yang lumayan luas dan hasilnya dapat dinikmati sampai pada
tahun berikutnya,bahkan bisa surplus.
Kabupaten Rote Ndao
memiliki potensi pertanian yang besar dan beraneka-ragam namun sejauh ini dapat
dikatakan belum optimal pemanfaatannya. Luas areal potensi pertanian lahan
basah sebesar 17.515 hektar, baru dimanfaatkan seluas 9.613 hektar. Sedangkan
luas areal lahan kering 30.157,90 hektar dan baru dimanfaatkan untuk budidaya
komoditas agribisnis seluas 7.795 hektar. Komoditas yang dapat diandalkan dan
mempunyai peluang bisnis adalah padi, jagung, sorgum, bawang merah, lombok,
semangka dan kacang tanah.
Hasil produksi padi
dan jagung sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Rote Ndao. Sedangkan
bawang merah dan semangka sudah dapat dijual ke luar daerah lain dan
mendominasi pasar di beberapa kabupaten tetangga seperti Kabupaten Kupang, Timor
Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu. Untuk itu perlu
dikembangkan lebih lagi, baik dalam budidaya maupun pemasaran, sehingga dapat
mencapai pasar nasional dengan harga yang kompetitif.
Selain itu Rote
memiliki komoditas unggulan yaitu kacang tanah yang spesifik dan hanya ada di
Kabupaten Rote Ndao tapi belum dikembangkan secara optimal. Potensi ini sangat
menjanjikan untuk dikembangkan mengingat masih banyak potensi lahan yang belum
dimanfaatkan, tersedianya tenaga kerja yang murah dan peluang pasar yang masih
terbuka.
Selain menanam padi di
sawah, orang Rote juga memiliki sebuah keunikan yang tidak ditemukan di daerah
lain, yaitu membuat kebun besar yang pagarnya terbuat dari batu. Kebiasaan
membuat kebun besar ini telah digeluti oleh orang Rote secara turun-temurun sebagai
sebuah profesi dan aktivitas yang rutin. Dalam bahasa setempat, kebun besar ini
biasa disebut Tine atau Osi.
Nenek moyang orang
Rote pada zaman dulu tidak pernah berkekurangan bahan makanan berkat keuletan
dalam membuat kebun ekstra luas yang mampu menyediakan pasokan makanan seperti
berbagai jenis jagung dan kacang-kacangan yang melimpah ruah. Pembuatan kebun
ini dilakukan oleh kamun lelaki mulai dari membersihkan lahan, membuat pagar
batu sampai menggarapnya. Sedangkan kaum wanita bertugas menanam dan memanen.
Pada masa lalu, setiap
keluarga masyarakat Pulau Rote memilki kebun besar ini. Keunikan dari kebun besar
atau Tine adalah pada penggunaan batu
sebagai pagar. Sebutan untuk pagar batu ini adalah Lutu. Cara pembuatan padar, batu disusun rapi tanpa adanya bahan
perekat mulai dari batu berukuran besar sampai ke batu-batu yang lebih kecil. Semakin
ke atas, batunya semakin kecil. Selain batu, ada pula bahan lain yang dipakai
oleh orang Rote untuk membuat pagar, yaitu pelepah pohon lontar. Dalam bahasa
setempat, pagar pelepah lontar ini ini biasa di sebut mba’a. Batu dan pelepah lontar juga digunakan buat pagar rumah
orang Rote. Itulah ciri khas budaya Rote yang masih kental sampai sekarang.
Banyak pula orang Rote
yang menggeluti pekerjaan musiman sebagai penanam bawang merah dan buah
semangka. Memang hasil dari bawang merah dan buah semangka tidak terlalu banyak.
Namun harus diakui bahwa daerah Rote merupakan daerah yang subur. Hasil-hasil
semangka dan bawang merah banyak dipasarkan ke kota-kota besar di NTT seperti Kupang,
Alor, dan Soe.
C.
Menjadi
Nelayan dan Petani Rumput Laut
Selain mata
pencaharian sebagai petani, ada pula warga masyarakat Pulau Rote yang
berprofesi sebagai nelayan. Mengingat letak Pulau Rote yang terpisah tersendiri
dan dikelilingi laut, ada sebagian warga masyarakat Rote yag memilih pekerjaan
sebagai nelayan, terutama warga yang tinggal di wilayah pesisir. Daerah-daerah
pesisir di Pulau Rote antara lain pesisir Rote Timur, Pantai Baru, Batutua, Della
(Nemberala), Litianak, Boni, Ndao, Nuse, Landu, dan Oeseli.
Pada umumnya kehidupan
nelayan di Pulau Rote relatif sama dengan nelayan-nelayan di daerah lainnya, baik
dilihat dari segi paralatan yang digunakan maupun cara atau teknik yang
dipakai. Pekerjaan sebagai nelayan telah digeluti oleh masyarakat daerah-dareah
pesisir di Pulau Rote sejak ratusan tahun lalu. Para nelayan di Pulau Rote
sangat ulet dalam bekerja dan hasil-hasil laut yang diperoleh sangat bervariasi
mulai dari berbagai jenis ikan, udang, kepiting, cumi-cumi sampai gurita. Nelayan
Rote biasanya pergi melaut pada malam hari dengan menggunakan perahu layar yang
mereka buat sendiri.
Bagi penduduk pesisir pantai Pulau Rote, desiran
ombak dan tiupan angin merupakan sahabat sehari-hari yang menemani mereka dalam
mencari nafkah di laut. Daerah-daerah yang banyak menyuplai hasil-hasil laut
seperti ikan kering dan gurita adalah Landu, Ndao, Della, dan Pantai Baru. Selain
memperoleh hasil-hasil laut seperti ikan, udang, kepiting, dan lobster,
sebagian warga masyarakat di pesisir Pulau Rote juga menekuni pekerjaan
sampingan sebagai petani rumput laut.
Hasil-hasil
laut nelayan Rote, cumi-cumi. Cumi-cumi sebagai salah satu
komoditas unggulan perikanan tangkap di perairan teritorial Kabupaten Rote Ndao
memiliki potensi sebesar 2.681 ton per tahun dengan jumlah yang boleh ditangkap
sehingga sumberdaya ikan tidak terdegradasi adalah 2.114,8 ton.
Saat ini produksi cumi-cumi
telah mencapai 82,35 ton kering atau setara dengan 247,3 ton basah dengan
pemanfaatan 11,70%. Dengan demikian masih terbuka peluang pengembangan produksi
cumi-cumi sekitar 1.867,5 ton atau 88,31% dari jumlah yang boleh ditangkap.
Penangkapan cumi di
Kabupaten Rote Ndao saat ini terdistribusi baru pada beberapa perairan Pulau
Ndana (Kecamatan Rote Barat Daya), Pulau Do'o dan Nuse (Kecamatan Rote Barat),
yang mana perairan tersebut memang kaya sumberdaya cumi-cumi. Perairan bagian
selatan dan perairan Kecamatan Rote Timur, Pantai Baru dan Rote Tengah belum
dieksploitasi sama sekali. Musim penangkapan cumi-cumi berlangsung sepanjang
tahun dengan musim puncak pada April sampai dengan Nopember.
Penangkapan cumi-cumi
umumnya dilakukan pada malam hari, terutama hari-hari gelap (tidak dalam
keadaan terang bulan) dengan menggunakan dua jenis alat tangkap yaitu jala
lombo atau payang dan mini purse seini atau pukat cincin. Jala lombo adalah
pukat kantong yang digunakan untuk menangkap ikan permukaan (pelagic fish), termasuk cumi-cumi. Tingkat
produktivitas alat ini rata-rata 250 kilogram cumi-cumi per hari.
Proses pengolahan
cumi-cumi menggunakan dua metode. Pertama, cumi-cumi segar hasil tangkapan
digarami kemudian dikeringkan tanpa perebusan. Proses ini menghasilkan
cumi-cumi asin kering kualitas second dengan harga yang lebih murah. Dan kedua,
cumi-cumi segar hasil tangkapan digarami, rebus dan dikeringkan menghasilkan
cumi-cumi asin kering kualitas pertama dengan harga yang lebih mahal. Sentra
pengolahan cumi-cumi terdapat di Desa Tolama (Kecamatan Rote Barat Laut) dan
Desa Oenggaut (Kecamatan Rote Barat). Cumi-cumi basah dijual dengan harga
Rp7000 per kilogram, cumi-cumi asin rebus kering harga Rp20.000 per kilogram
dan cumi-cumi asin kering kualitas second harganya Rp17.000 per kilogram. Semua
hasil olahan cumi-cumi ini dipasarkan ke Jakarta dengan harga erkisar Rp40.000 sampai
Rp60.000 tergantung kualitas.
Ikan
Kerapu. Ikan kerapu merupakan salah satu komodiitas ekspor
andalan saat ini dengan permintaan pasar yang sangat tinggi namun terbatas
dalam penyediaan stok karena masih sangat bergantung dari hasil penangkapan di
alam. Hal ini sangat mengganggu stok alam mengingat harga yang cukup mahal dan
intensitas penangkapan semakin meningkat sehingga budidaya dapat menjadi jalan
keluar terbaik. Ikan kerapu merupakan jenis ikan karang dengan panjang total
3,3 – 3,8 kali tingginya, panjang kepala ¼ panjang total, leher bagian atas
cekung dan semakin tua semakin cekung, sirip punggung semakin melebar ke
belakang dengan 10 duri keras dan 18 – 19 duri lunak, warna putih kadang
kecoklatan dengan totol hitam pada badan, kepala dan sirip.
Menurut Bret dan
Groves (1979), ikan kerapu bersifat stenohaline,
yaitu mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan perairan berkadar garam
rendah. Budidaya ikan kerapu merupakan salah satu produk unggulan sektor
kelautan dan perikanan untuk mendongkrak pembangunan di Kabupaten Rote Ndao,
mengingat potensi yang tersedia demikian menjanjikan dan belum dimanfaatkan secara
optimum. Keunggulan komparatif-kompetitif dari ikan karapu adalah memiliki
harga jual yang tinggi, pangsa pasar besar, orentasi ekspor, potensi perairan
yang mendukung, ketersediaan induk di alam melimpah, tenaga kerja tersedia,
serta dekat dengan daerah pemasaran. Produktivitas budidaya ikan kerapu
tergolong tinggi yaitu diukur dari rasio pemberian pakan 5 – 7,5% per hari dari
biomassa, kepadatan tebar (fase pendederan 200-250 ekor/m3, fase penggelondongan
75-100 ekor/m3, pasca gelondongan hingga panen 20 – 25 ekor/m3), lintasan
produksi 85-90% hingga ukuran konsumsi, pertumbuhan 3-3,5 cm per bulan.
Rumput
Laut. Rumput laut termasuk komoditas unggulan sektor
kelautan dan perikanan yang menjadi leading
sector pendongrak pembangunan di Kabupaten Rote Ndao. Keunggulan komparatif
komoditi rumput laut adalah bahwa tidak membutuhkan investasi yang besar, ongkos
operasial rendah, lahan tersedia, umur pemeliharaan relatif pendek (45 hari),
rasio pertumbuhan berat tinggi 1:15-20, tenaga kerja tersedia, permintaan pasar
sangat tinggi, harga kompetitif, sarana transportasi cukup memadai, dan
prasarana jalan ke daerah sentra industri cukup baik.
Metode yang digunakan
dalam budidaya rumput laut adalah metode Long
Line (dominan), patok dasar/lepas dasar dan rakit. Investasi sistem Long Line ini relatif murah namun rentan
terhadap gelombang dan angin. Yang agak mahal adalah sistem rakit tapi tahan
terhadap gelombang dan angin.
Jenis rumput laut yang
dibudidayakan di Rote adalah dari species Eucheuma
Cotonii dari jenis Alga Merah (Rhodopy
Ceae) yang mengandung polisakarida dan sejumlah protein, lemak, mineral dan
vitamin. Berdasarkan data yang ada, pemanfaatan yang baru mencapai 6,5%. Sebab
itu masih terdapat lahan tanam seluas 30.480,8 hektar atau 93.21% yang belum
dimanfaatkan dan dapat digunakan untuk ekspansi budidaya rumput laut. Hasil
produksi dijadikan bahan baku industri pengolahan tepung rumput laut atau
industri ekstraksi karagenan.
Oleh karena rumput
laut sangat banyak manfaatnya seperti dapat diproses menjadi berbagai jenis
bahan makanan, bahan baku pembuat sabun, bahan kosmetik dan obat-obatan, harga
rumput laut juga cukup menjamin kehidupan warga masyarakat pesisir. Selain
melaut, pekerjaan sampingan mengumpulkan rumput laut juga telah mejadi sebuah
kebiasaan bagi warga masyarakat peisisir di Pulau Rote.
D.
Peternak
Selain petani dan
nelayan, sebagian warga masyarakat Pulau Rote juga menghidupi suatu usaha yang
telah digeluti sejak dulu dengan beternak. Jenis ternak besar yang cukup
menonjol di wilayah ini adalah kambing, kuda, domba, babi, sapi dan kerbau.
Sedangkan ternak kecilnya adalah ayam dan itik.
Untuk ternak sapi,
daerah sentra produksi tersebar di Kecamatan Rote Timur, Pantai Baru, Rote
Tengah dan Lobalain. Kerbau banyak terdapat di Kecamatan Rote Tengah dan Rote
Barat Laut. Sedangkan kuda banyak terdapat di Kecamatan Rote Barat Daya dan
Rote Barat Laut. Populasi domba, kambing dan babi tersebar hampir merata di
seluruh wilayah Kabupaten Rote Ndao.
Pola pengusahaan hewan
ternak ini masih mengandalkan pada potensi lahan untuk menghasilkan bahan
pakan. Ternak-ternak ini pada umumnya dilepas pada pagi hari untuk mencari
makan dan dikandangkan pada sore hari. Jika dilihat dari potensi lahan kering
yang ada di wilayah Kabupaten Rote Ndao, maka populasi ternak ini masih
potensial untuk dikembangkan lebih besar lagi.
Jenis-jenis komoditi
peternakan yang potensial untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis antara
lain ternak sapi potong, penggemukan (fattening),
atau peternakan kuda. Hingga saat ini kebutuhan produk peternakan --baik
daging, susu maupun telur-- belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri
sehingga impor jenis-jenis produk peternakan tersebut masih cukup besar.
Peternakan merupakan
salah satu sektor yang memiliki peluang usaha di Kabupaten Rote Ndao. Padang
pengembalaan yang tersedia sekitar 43.699 hektar di 8 kecamatan dan populasi
ternak besar (sapi, kuda dan kerbau) yang masih kurang memungkinkan untuk usaha
pengembangan khususnya dalam pembibitan baik kualitas maupun kuantitas dan
industri pakan ternak.
E.
Pekerjaan
Menenun
Di Pulau Rote,
perbedaan peran wanita dan lelaki sangat kentara. Pekerjaan seperti membuat
rumah dan menyadap lotar, membajak sawah dan membuat perhiasan logam hanya
dilakukan oleh kaum lelaki. Sementara wanita mengerjakan pekerjaan feminin,
salah satunya adalah menenun. Bagian wanita Rote, pekerjaan menenun telah
dilakukan sejak zaman dulu. Dalam menenun, biasanya kaum hawa harus ulet dan terampil
dalam setiap tahap dari pekerjaan menenun kain, mulai dari mengolah benang
sampai mempelajari motif-motif yang sesuai dengan adat dan nilai budaya daerah
setempat.
Seni menenun di NTT
sebagian besar hanya dapat ditemukan di daerah Rote Ndao dan Pulau Sabu.
Berdasarkan catatan sejarah, sebenarnya penduduk Pulau Sabu masih keturunan orang
Rote. Sebab itu, kesenian dari kedua daerah ini pun hampir sama, salah satunya
seni tenun.
Selain memiliki
keterkaitan dalam sejarah, secara geografis kedua pulau tersebut berdekatan. Sebab
itu, motif tenun dari kedua pulau tersebut senada karena saling memengaruhi.
Umumnya, motif tenun dari kedua pulau ini berupa motif flora dan motif
geometris yang terangkai halus dalam beberapa jalur.
Motif potola yang
dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat pada abad ke-17 menjadi motif berharga
yang memperkaya khasanah motif tenun dari kedua pulau ini. Betapa tidak, dahulu
kain potola hanya dikenakan oleh keluarga raja dan bangsawan. Kain itu
diwariskan secara turun-temurun di kalangan mereka saja. Namun keberadaannya
yang langka tak membuat para penenun di kedua pulau ini tak mampu menyerap
motif potola. Hingga kini, bunga bersudut delapan dalam lingkaran yang motif
potola malah menjadi ciri khas tenunan Pulau Rote.
Pekerjaan menenun di wilayah
Rote paling banyak dilakukan oleh masyarakat Pulau Ndao (salah satu pulau kecil
yang termasuk dalam daerah Pulau Rote). Sebagian besar wanita di Pulau Ndao
mengisi waktu luang mereka dengan menenun kain tenun yang biasanya dijual ke
beberapa daerah lainnya di pulau Rote serta setiap wisatawan yang datang. Kain
tenun ikat dari Rote biasanya berupa kain sarung yang disebut pou, selimut
untuk anak lelaki (lava), dan delava (selendang). Warna khas tenun Rote adalah
coklat, biru, kuning, merah, putih dan hitam, dengan motif bunga dan dedaunan.
Bentuk tumpal dan belah ketupat menjadi motif bagian bawah kain tenun. Kain
tenun Rote Ndao ini menjadi kain adat setempat serta dipakai buat pakaian adat
daerah Rote --baik oleh kaum pria maupun kaum wanita. (*)
Komentar
Posting Komentar